BUKAN YEM

Cerpen Etik Juwita*

’’Kau percaya? Ada kawanku yang memasukkan bayi majikannya ke dalam mesin cuci sesaat menjelang pulang kampung,’’ katanya tanpa emosi. Saya melempar pandang pada ruang gelap, menembus jendela kaca. Perempuan ini berhasil meneror saya. Sial! Bergidik saya membayangkan yang baru dikatakannya.



Udara pengap. Kendaraan kecil ini cuma merayap. Dengan mesin mobil yang mampu mendidihkan darah yang beku, jalur pantura seperti jalan pintas menuju tempat setara neraka. Badan saya yang tertekuk sejak enam jam lalu seperti bengkok, ngilu punggung saya seperti menderita encok. Nyeri tak berani bergeming karena kesemutan mencapai tulang tembus daging. Tentu saja saya tak gegabah menyatakan ketidaksukaan saya pada ceritanya. Saya memandangnya lagi, berharap dia menyudahi terornya. Tukar pengalaman menjadi TKW mestinya ia tak perlu mengada-ada.

’’Dan aku?’’ Ia menggantung pertanyaannya, lalu diam. Memandang sekeliling. Si sopir sedang menikmati lagu Teluk Bayur sambil mengisap rokok. Si kernet sedang tidur, kepalanya tengadah bertumpu pada koper-koper kami yang menjulang dengan mulut menganga. Lima perempuan lain sedang tindih-menindih, beradu pundak terlelap juga. Wajah mereka sama, pucat seperti mayat. Ekspresi yang tampak pun sama, lelah. Mungkin karena usai kerja di luar negeri dan sekarang balas dendam dengan tidur sepanjang perjalanan. Saya tidak begitu, ia juga tidak seperti mereka. Tinggal saya, ia, dan sopir yang terjaga. Ia memandang saya, saya mengamatinya. Tiba-tiba saya merasa tak nyaman terjaga. Padahal saya paling tidak bisa tertidur ketika berada dalam kendaraan. Lewat cahaya yang menerobos dari mobil yang melintas dari arah berlawanan, saya melihat sinar matanya berapi-api, memanggang daging saya.

Ia merapatkan bibirnya pada telinga saya hingga mampu saya cium bau mulutnya yang seperti aroma got mampet, karena terlalu lama terkatup. Napasnya menderu hangat menyapu pipi kiri saya. ’’Aku mencampur susu anak majikanku dengan racun tikus,’’ katanya.

[]

Jika tahu akan separah ini perjalanan yang harus saya lalui, saya pasti minta dijemput saja oleh keluarga. Mestinya saya minta majikan saya untuk membelikan tiket langsung dari Singapura ke Surabaya. Dengan begitu saya pasti sudah sampai di Blitar, kampung saya. Tidak perlu melewati Jakarta. Tidak perlu singgah di Terminal 3, lalu menggunakan jasa travel yang seperti gerobak pengangkut sampah begini dan bertemu dengan perempuan ini. Harusnya saya menolak usulan majikan saya untuk mengantar Mbak Karti, wanita yang dua tahun menjadi kawan saya bekerja, sampai rumahnya di Banyumas. ’’Pastikan ia tak mengalami suatu yang buruk selama dalam perjalanan,’’ kata majikan saya waktu itu.

Masalahnya, saat ini justru saya yang mengalami siksaan. Sementara Mbak Karti yang dirisaukan majikan saya malah mendengkur tertidur dengan tubuh melengkung seperti trenggiling.

Udara tambah pengap. Sengaja saya sibakkan kaca jendela berharap udara dari luar akan melegakan napas. Sial! Pasir-pasir lembut menghambur ke wajah saya, ketika truk dengan bak belakang yang berbunyi gluduk-gluduk melintas. Saya tutup kembali kaca jendela dengan kasar. Bau bacin dari bangkai ikan asin di pinggiran tambak tersekap dalam udara pengap. Dan, wanita itu, yang sudah berpindah dari sisi kiri saya, duduk persis di depan saya. Rupanya ia memerhatikan kelakuan saya. Ia tersenyum tipis, sinis.

’’Cuma aku dan kamu yang belum tidur,’’ katanya.

’’Saya tidak mengantuk. Mbak tidurlah.’’ Saya benar-benar ingin ia tidur.

’’Aku juga tidak mengantuk. Kau ingin dengar ceritaku yang lain?’’

O, mungkin kali ini ia akan mengatakan sesuatu yang lebih tak manusiawi. Diam-diam saya berpikir orang di depan saya ini umurnya mungkin mendekati empat puluh. Pipinya mulai kempot, bergigi palsu warna keemasan yang sekali-kali mengkilat oleh pantulan sinar yang berkelebat. Kuku-kuku tangannya terpotong tak rata, seperti penderita penyakit jiwa. Cekung matanya hitam seperti pejudi yang suka begadang sepanjang malam. Payudaranya kempot, dengan tubuh kurus dan kulit penuh sembulan otot. Perempuan ini barangkali memang sedang terganggu jiwanya. Stres!

’’Anak Mbak berapa?’’ tanya saya mengalihkan arah perbincangan. Kalau saya mengiyakan untuk mendengarkan ceritanya, pasti saya tidak bisa tidur, bukan cuma malam ini tapi sebulan malam setelah ini.

’’Tiga yang hidup. Tiga yang kugugurkan.’’

Ah, pertanyaan saya salah arah lagi.

’’Maaf Mbak, saya ngantuk. Saya tidur ya?’’

’’Menutup mata untuk membayangkan bayi yang dimasukkan mesin cuci?’’ katanya.

Saya kira saya sudah terperangkap dalam terornya. Saya urung merebahkan kepala saya pada sandaran jok tak berbusa yang bangkunya sudah membikin pantat saya terasa panas bukan alang kepalang ini. Saya bergeser sedikit, punggung saya seperti sedang tertindih baja.

’’Mbak, kenapa Mbak mengarang cerita ngeri begitu? Mustahil. Saya tidak percaya.’’

’’Karena kau tidak tahu.’’

’’Membunuh bayi pasti dihukum mati.’’

’’Tapi kawanku bebas!’’

’’Karena cerita membunuh itu tidak pernah ada!’’ bantah saya. Saya sadar suara saya agak membentak.

’’Kau masih kecil. Apa yang kau tahu? Apa kau tahu ia tak pernah punya nama pasti? Apa kau tahu ia beralamat palsu?’’

’’Saya mungkin cuma 22 tahun. Tapi saya tahu saya sedang dibohongi.’’

’’Kalau tahu mengapa mesti ketakutan? Takut pada sesuatu yang bohong? Kok nggak lucu sih kamu, Wuk Bawuk…’’

Saya memandangnya, sebenarnya saya sedang memelototinya. Ia menggeser kakinya sambil meringis.

’’Lihatlah, jempol kakiku hancur,’’ katanya lagi.

Saya mulai mengerti ia tidak gila. Orang tidak waras pasti tidak bisa berdebat. Saya menatap pada kakinya. Ia agak menaikkan celana panjangnya, melepas kaki dari sandal, menyorongkan kakinya ke depan saya, mencari cahaya untuk menunjukkan jarinya pada saya. Di antara jari-jari kurusnya tampak kuku ibu jari kanannya tak berbentuk, korengan, dan membusuk.

’’Tertimpa kaki meja saat mempersiapkan jamuan makan malam majikan,’’ paparnya saat mata saya tertumbuk miliknya.

’’Tak dibawa ke dokterkah?’’

’’Pakai uangnya biyungmu apa?’’

’’Ya, uangnya majikan Mbaklah.’’

’’Biar aku nggak dikasih makan seharian?’’

Tiba-tiba saya merasa iba padanya. Sebegitu pahitkah?

Mendengar kisah bagaimana kawan-kawan saya menjalani kehidupan sebagai buruh migran seringkali memerangahkan saya. Mulai dari cara mereka memberi nama majikan sebagai Mak Lampir, Nini Pelet, Mak Jambrong, bahkan Anjing! Atau tindakan nekat mereka mencampur sup yang diminum majikan dengan air kencing biar majikan nurut dan tak cerewet. Cerita-cerita yang semakin memberi keyakinan pada saya bahwa selama ini saya bernasib jauh lebih baik dari mereka. Pekerjaan saya cuma bersih-bersih rumah dan menjaga anjing. Itu pun dengan dua pembantu.

Meski awalnya takut-takut, saya bertanya kepadanya. Dia rupanya janda yang ditinggal kawin suami yang setahun lebih sebulan bekerja di Saudi Arabia pada keluarga Tuan Minyak berbini tiga beranak sepuluh dengan satu saja pembantu, yaitu dirinya. Sedapat mungkin saya menghindar untuk bertanya tentang kebenaran cerita bayi dan racun tikus itu. Semua masih terlelap.

[]

Semburat merah matahari pagi tampak di depan kami. Lalu saya menduga kami sedang menuju arah timur. Kendaraan yang kami tumpangi terseok-seok pada jalan tak rata. Muka kernet yang masih saja terlelap terangguk-angguk, kali ini terdengar bunyi seperti suara babi dari hidungnya. Barangkali ia sedang bermimpi jadi kaya raya dengan cara menjelma jadi babi ngepet.

Adidas pemberian majikan saya di pergelangan tangan menunjuk angka empat pagi. Kendaraan yang kami tumpangi membelok pada gang sempit yang jalannya membuat jidat saya tertumbuk muka Mbak Yem, wanita yang bercerita tentang susu racun tikus itu. Ia tersenyum. Bahkan senyumnya seperti nenek-nenek yang sedang berkabung karena ditinggal mati suaminya. Janggal dan dipaksakan.

Tiba-tiba mobil berhenti. ’’Bangun-bangun! Kita istirahat dulu,’’ kata sopir parau. Semua penumpang menggeliat, geragapan lalu menarik otot-otot mereka hingga terdengar bunyi gemeretak dari sendi-sendi yang terulur. Kernet melompat dan menggiring kami pada ruang berukuran 3 x 4 dan menyuruh kami duduk. Dia lalu bergegas mengunci pintu.

’’Kok dikunci?!’’ teriak saya. Kernet memelototi saya, saya balik memelototinya. ’’Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan,’’ katanya, sambil melenggang pergi menuju ke segerombolan orang yang bicara dengan berbisik-bisik.

Saya perhatikan wajah-wajah pucat kawan saya yang terkantuk-kantuk yang dengan tidak curiga menyerahkan paspor mereka kepada kernet. Saya pun menyerahkan milik saya setelah sempat saya baca sebuah tulisan bercat hijau berbunyi: MONEY CHANGER di belakang meja bertuliskan KONTER. Di ruangan yang dihuni beberapa laki-laki ini, kawan-kawan seperjalanan saya dipanggil satu demi satu ke ruang yang saya tak mampu melongok apa yang terjadi di dalam sana. Saya was-was, ketika menyadari saya satu-satunya TKW yang dapat giliran paling belakang.

’’Kami membantu TKW. Karena banyak penipuan, maka kami membantu untuk menguruskan uang TKW yang masih dalam bentuk cek, dolar, riyal, atau ringgit. Bukan apa-apa, kadang uang-uang itu palsu. Kami tidak memaksa, tapi semua ini demi kebaikan TKW juga,’’ kata lelaki yang cara menatapnya tak tenang seperti kucing hendak mencuri ikan asin.

Saya teringat uang tiga ribu dollar Singapura yang nilainya sekitar lima belas juta rupiah di dalam tas punggung saya, terselip di antara kapas tampon pembalut wanita. Kata saya, ’’Uang saya sudah saya kirim ke ibu saya semuanya.’’

’’Boleh lihat bukti pengirimannya? Kadang-kadang jasa pengirim uang menipu. Kalau kita sih sama-sama orang Indonesia, kan baik kalau saling peduli.’’

’’Sudah saya buang di kotak sampah di Singapura,’’ jawab saya. ’’Saya sudah boleh pergi?”
’’Silakan. Ke sini bukan sana!’’ parintahnya agak membentak.

Ketika kami berada kembali di dalam kendaraan, kawan-kawan saya ribut mengeluhkan kurs mata uang rupiah yang lebih mahal di Indonesia. ’’Harusnya kutukar semua di Singapura, Tik. Jadi ruginya nggak banyak banget kayak begini,’’ kata Mbak Karti. Saya merasa saya sedang ingkar janji pada mantan majikan untuk menjaga Mbak Karti.

Ketika semua orang ribut tentang uang dan cek mereka yang di tangan sudah dalam bentuk rupiah, Mbak Yem diam saja. Tatapannya kosong. Pagi yang semburat memperlihatkan wajahnya yang kusut-masai. Kesedihan seperti sedang menggantungi lehernya.

’’Mbak Yem tukar uang juga?’’ saya bertanya agak berbisik.

’’Nggak.’’

’’Mbak Yem pikir mereka bohong?’’

’’Karena aku nggak punya uang.’’ Ia memandang jauh ke depan, ’’Majikanku akan mengirim cek uang gajiku.’’

’’Hah?! Mbak Yem percaya?’’ serempak semua perempuan yang semula acuh menanya Mbak Yem.

’’Nggak. Tapi aku bisa apa?’’

Saya yakin yang dimaksudkan bila bersikeras meminta gajinya, ia harus menunda kepulangannya ke Indonesia. Setuju untuk menerima tawaran majikan adalah satu-satunya jalan agar majikan bersedia membelikan tiket pesawat untuk pulang.

Selepas sarapan pagi di sebuah warung, kami dibawa ke tempat yang saya benar-benar tak tahu namanya. Pada sebuah rumah, di mana kami boleh mandi dan duduk di lantai berkarpet. Ada beberapa orang lain yang mungkin tiba beberapa saat sebelum kami. Mereka menuju Jawa Timur. Kami hanya berpapasan beberapa menit saja. Sopir mereka sudah berteriak-teriak memanggil mereka untuk segera melanjutkan perjalanan.

Saya mencoba mencari jawab tentang tempat yang kami singgahi, tapi gagal. Tak ada petunjuk yang saya dapatkan. Bahkan keterangan kami berada di daerah mana pun, saya tidak tahu. Tetapi orang-orang yang sepertinya tuan rumah ini bicara dalam bahasa lu-gue.
Satu jam kami dibiarkan keleleran di atas karpet, sampai seseorang memanggil nama-nama kami satu per satu ke satu ruang yang sebentar tadi saya lewati. Anehnya, tak ada satu orang pun di antara kawan-kawan saya yang bersedia menjawab pertanyaan saya setiap kali mereka keluar dan melewati saya. Cuma Mbak Yem yang melempar senyum tipis pada saya. Mbak Karti bilang, ’’La kok disuruh bayar lagi sih, Tik?’’ Lagi-lagi saya dapat giliran yang terakhir.

’’Kami dari perusahaan jasa asuransi, uang yang Mbak bayarkan di bandara itu cuma asuransi untuk masa berlaku selama Mbak belum keluar Jakarta dan Jawa Barat. Setelah itu kami tidak bertanggung jawab. Kemarin sebuah mobil yang mengangkut TKW dirampok di Brebes. Barang-barangnya ludes, TKW-nya diperkosa. Kami cuma minta lima ratus ribu saja. Sudah termasuk pesangon untuk sopir dan kernet yang mengantar. Ya, tapi ini terserah Mbaklah. Mbak sayang duit atau keselamatan Mbak sendiri,’’ laki-laki di depan saya berusaha menjelaskan niat baiknya.

’’Baik sekali Bapak ya? Boleh minta kartu namanya, Pak?’’ saya menerapkan ajaran majikan untuk tidak mempercayai orang asing. Lagi pula, saya mengira ia sedang berusaha mengompas saya dan teman-teman. Ia geragapan. Matanya jalang mengamati meja di antara kami yang tak ada apa-apanya selain asbak. ’’Wah, maaf Mbak, kebetulan saat ini kartu nama saya habis,’’ jawabnya kemudian.

Mujurnya, di saat yang bersamaan mata saya sekilas melihat kalender bergambar kucing yang di bagian bawahnya tertulis nama toko mas lengkap dengan alamatnya.

’’Kalau tidak salah ini Bekasi ya Pak? Boleh pinjam teleponnya Pak, kebetulan saudara saya bekerja di kepolisian Depok. Saya tidak bawa uang sebanyak itu. Saya pikir saya akan minta dijemput saja dari sini. Apalagi jika travel tidak memberi jaminan keselamatan buat saya.’’

Saya sendiri bahkan takjub oleh ketenangan saya. Lelaki di depan saya berdiri. Saya pikir ia akan membentak atau memukul saya. Ternyata ia menuju kipas angin di pojok ruangan, lalu menyalakannya. Rupanya percakapan kami telah membuatnya gerah.

’’Sebentar Mbak, saya keluar dulu,’’ katanya.

Ditinggalkan sendiri saya malah menyesal telah nyinyir. Saudara? Di Depok? Polisi? Bagaimana kalau ia percaya, lalu menyuruh saya pergi sendiri, terpisah dengan TKW yang lain? Di daerah yang saya tidak kenali sama sekali!

’’Mbak, tolong jangan bilang ke kawan-kawannya, Mbak tidak membayar asuransi. Sekali ini, baiklah kami menolong Mbak. Mbak bisa tetap melanjutkan perjalanan. Semoga selamat. Semoga tak dirampok dan diperkosa di jalan. Silakan keluar!’’ Dia mengusir dengan membentak saya. Saya lega.

’’Kau bayar?’’ kata Mbak Yem berbisik ketika kami melanjutkan perjalanan.
’’Tidak. Mbak?’’

’’Jadi, kau tak percaya aku tak punya uang sama sekali?’’
’’Oh, maaf.’’

’’Mereka pikir mereka saja yang pintar! Dasar!’’ umpatnya.

Kawan-kawan saya terlelap lagi ketika kami melintasi jalan-jalan yang berdebu. Saya diam, karena Mbak Yem juga diam. Mengamati benda-benda yang bergerak menjauh ke belakang kendaraan kami, seperti tak percaya saya telah benar-benar berada di negara saya kembali. Dua tahun ternyata mampu mengubah banyak hal. Banyak sekali orang-orang berhati aspal. Bermuka aspal. Berkelakuan seperti aspal. Hitam dan tak bernaluri.

Entah berapa lama saya terlelap, meski tak suka tidur di mobil, didera capai saya klenger juga. Mobil sudah melintasi jalan yang bergerunjal oleh batu-batu. Tubuh saya menjundal-jundal, barang bawaan kami melorot menimpa tubuh kami. Keadaan itu berlangsung cukup lama sampai Mbak Yem tiba-tiba teriak, ’’Belok kiri, Pir!’’

’’Sudah sampai Mbak?’’ tanya saya.

’’Ya. Kamu jaga diri ya? Baru sedikit yang kamu tahu,’’ katanya.

Mobil berhenti, kernet melompat turun. ’’Sutiyem ya?! Tanda tangan sini nih, kita mesti terus jalan nggak boleh mampir,’’ katanya kepada Mbak Yem sembari melirik rumah mungil yang berdinding bambu. Sepi sekali.

Kuperhatikan Mbak Yem yang terpincang-pincang mengangkat ranselnya. Bawaannya paling sedikit di antara kami.

’’Mbak Yem!’’ saya memanggilnya melalui kaca jendela yang saya sibakkan sedikit.

Ia menjatuhkan bawaannya. Melangkah terseret-seret menuju saya. Mesin mobil sudah dihidupkan.

’’Racun tikus di susu bayi itu, benar?’’

’’Aku bukan Yem, aku orang bebas!’’ katanya. Ia tersenyum.

Saya tak pernah mampu mengartikan senyumnya yang terakhir kala itu. Bahkan ketika saya memutuskan untuk menceritakan ini kepadamu. Mungkin ia bilang bahwa ia pun bisa memberikan penderitaan pada manusia lain. Pernah kau bayangkan anakmu kau beri susu bercampur racun tikus? Ia, bukan Yem, barangkali sudah melakukannya. Pada keluarga Tuan Minyak yang berbini tiga beranak sepuluh.

Tapi, Mbak Yem (mungkin bukan Yem) tidak bilang ya. Cuma samar. Hanya samar. ***

Hongkong, 30/3/2006


*) Etik Juwita, cerpenis buruh migran Hongkong. Hingga kini masih menjadi pembantu rumah tangga di negeri rantauannya itu.

Jawa Pos, Minggu, 10 Juni 2007

Cerpen Etik Juwita Bukan Yem ini terpilih/masuk sebagai 20 Cerpen Terbaik Indonesia 2008 (akan dibukukan GPU) versi Pena Kencana.

0 tanggapan: