Negeri Wacana dan Republik Mimpi

Oleh: Zulkifli*

Tuhan telah menganugerahkan kekayaan sumberdaya alam, kemajemukan bangsa dan masyarakat serta beraneka kebudayaan agar bisa dimanfaatkan bagi kesejahteraan manusia. Namun hingga kini, masih terdapat banyak tindakan yang tidak bertanggung jawab untuk keberlanjutan dan kelestarian lingkungan hidup.



Seiring bertambah dan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebudayaan, revolusi industri, pengurasan terhadap SDA semakin gila dan menjadi-jadi. Global Warming, menjadi isu yang sangat sentral akhir-akhir ini. Itulah buah dari kerakusan badut kapitalisme.

Pembangunan berkelanjutan adalah yang bisa melestarikan dan menyejahterakan manusia tanpa harus merusak alam. Maka dari itu, pembangunan berkelanjutan bukan hanya harus memenuhi persyaratan ekonomi, tetapi juga persyaratan sosial budaya dan ekologi (Soemarwoto; 1992).

Undang Undang No 23 Tahun 1997 menyebutkan, dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, makhluk hidup, termasuk manusia dan prilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk lain. Dengan demikian, prinsip pembangunan berkelanjutan menghendaki peningkatan kualitas hidup manusia yang selalu berorientasi jangka panjang dengan memperhatikan aspek keberlanjutan hidup manusia sekarang dan akan datang.

Paham kapitalisme juga telah menggeser nilai kepercayaan dan rasa hormat terhadap manusia. Trust, faktor jaminan kepercayaan manusia selalu diukur dengan seberapa banyak materi dan benda bernilai ekonomi yang dia miliki dan kuasai, tidak hanya di ranah bisnis atau usaha, kini merasuk ke aspek sosial kemasyarakatan. Aspek moralitas dan etika jauh terpinggirkan oleh cara yang tidak adil dan culas alias curang, tindakan yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi). Sayangnya hingga kini pola kebijakan pembangunan Indonesia, paradigma ekonomi masih mendewakan pertumbuhan dengan bumbu pemerataan yang tidak jelas. Prinsip penetesan (trickle down effect) yang jelas-jelas tidak efektif dan menyengsarakan rakyat, masih saja dipertahankan. Konglomerat dan kelompok tertentu dimanjakan melalui berbagai kebijakan dan fasilitas negara yang menggiurkan. Satu contoh, bagaimana kasus BLBI yang hingga kini tak kunjung tuntas penyelesainnya.

Potensi dan SDA yang melimpah di negeri kita, kenapa tidak bisa mewujudkan cita-cita luhur seperti yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 maupun dalam pasal-pasalnya. Bahwa, Bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Jangan hanya bisa mimpi (baca: berwacana). Itulah sindiran sekaligus tamparan buat pengelola negeri. Kalau kita mau berkaca, seharusnya hal itu bisa menjadi inspirasi sekaligus motivasi. Bukannya caci maki dan dibenci, apalagi ada sebuah ketersinggungan yang amat berlebihan terhadap tayangan Republik Mimpi di salah satu station TV swasta.
Berita hasil penemuan bakteri sakazakii oleh IPB pada beberapa susu formula, malah ditanggapi pemerintah dalam hal ini menteri kesehatan dengan sikap ketus dan terkesan menutupi, bukan malah berterimakasih. Itu sebuah bukti betapa tidak berdaya dan lambannya Depkes termasuk BPOM dalam pengawasan dan peredaran makanan dan minuman di pasar yang layak konsumsi dan tidak berbahaya.

Semoga PP No 2/2008 tentang Penyewaan Hutan tidak jadi dilaksanakan dan segera dicabut, karena hal ini sangat kontra produktif dengan kebijakan pemerintah sendiri. Seperti program Gerhan (Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan), termasuk banyaknya persoalan illegal logging dan illegal mining yang belum tuntas.

Pemerintah sebaiknya konsentrasi dan serius untuk menumbuhkembangkan sektor riil, maupun perbaikan dan peningkatan bidang pendidikan. Pengambilan keputusan dan kebijakan yang partisipatif, akomodatif sekaligus transparan dan akuntabel akan mewujudkan pemerintahan yang baik (Good Governance). Bukan saja benar secara peraturan atau perundangan-undangan, tetapi harus punya etika dan moral dan itu terlihat dalam prilaku serta tindakan nyata, bukan di mulut saja. Begitu juga tentang Otonomi Daerah, harus lebih dimaknai pada sebuah kompetisi pelayanan publik. Kepala Daerah dan DPRD seharusnya berlomba bagaimana menelorkan kebijakan dan perda yang berorientasi kepentingan publik, atau pro poor.


*) Penulis adalah Konsultan Community Development

Banjarmasin Post, Rabu,19-03-2008|01:01:11

0 tanggapan: