Pesan Yap Thiam Hien Award 2002

Budiman Tanuredjo

momok hiyong si biang kerok
paling jago bikin ricuh
kalau situasi keruh
jingkratjingkrat ia bikin kacau dia ahlinya
akalnya bulus siasatnya ular
kejamnya sebanding nero
sefasis Hitler sefeodal raja kethoprak
luar biasa cerdasnya
di luar batas culasnya
demokrasi dijadikan bola mainan



hak azasi ditafsir semau gue
emas doyan hutan doyan
kursi doyan nyawa doyan
luar biasa, tanah air digadaikan
masa depan rakyat digelapkan
dijadikan jaminan utang
momok hiyong momok hiyong
apakah ia abadi
dan tak bisa mati?
momok hiyong momok hiyong berapa ember lagi
darah yang ingin kau minum?"


ITULAH puisi yang ditulis Wiji Thukul, penerima Yap Thiam Hien Award tahun 2002. Puisi berjudul "Momok Hiyong" ditulis Wiji tanggal 30 September 1996. Puisi ini untuk mengingatkan penguasa tiran dan tertera dalam buku "Puisi-puisi Kerakyatan Wiji Thukul" oleh Yoseph Yapi Taum.

MALAM penganugerahan Yap Thiam Hien Award ke-9 akan dilangsungkan Selasa, 17 Desember 2002 di Museum Nasional, pukul 18.30. Yap Thiam Hien Award itu akan diterima Siti Dyah Sujirah, istri Wiji yang sering dipanggil Mbak Sipon. "Anak dari Wiji akan membacakan puisi yang ditulis ayahnya," ujar Rachland Nashidik dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham) kepada Kompas.

Wiji Thukul yang nama aslinya Wiji Widodo adalah penyair pertama peraih penghargaan hak asasi manusia. Salah seorang Dewan Pendiri Yapusham Todung Mulya Lubis mengatakan, untuk mendapatkan Yap Thiam Hien Award tidak perlu seorang advokat, tidak perlu seorang human right defender, tidak perlu pula orang yang secara teoretis menguasai masalah HAM. Wiji tidak berbicara mengenai deklarasi, kovensi, standar dan instrumen hak asasi manusia, akan tetapi sadar atau tidak sadar, Wiji telah berjuang dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi awal dan akhir dari pemajuan hak asasi manusia.

"Melalui puisi-puisinya, sadar atau tidak sadar, Wiji telah berjuang dalam memajukan nilai-nilai kemanusiaan yang menjadi awal dan akhir dari pemajuan hak asasi manusia," kata Lubis.

Wiji tak hanya seorang penyair. Ia juga seorang aktivis. Ia mengambil langkah nyata untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Ia melawan ketika pabrik tekstil Sariwarna Asli (1992) mencemari lingkungan di sekitar tempat tinggalnya. Ia ikut memimpin pemogokan buruh di PT Sriteks (1995). Ia pun sempat ditangkap dan menjadi korban kekerasan aparat keamanan. Mata kirinya buta akibat hantaman popor senapan ketika memimpin demonstrasi buruh.

Wiji akhirnya melarikan diri dari kejaran penguasa Orde Baru. Ia bersembunyi, meninggalkan dua anaknya Fitri Nganti Wani dan Fajar Merah. Menko Polkam Soesilo Soedarman menyatakan Wiji Thukul sebagai buronan aparat keamanan pascakerusuhan 27 Juli 1996. Partai Rakyat Demokratik (PRD) tempat Wiji bergabung dinyatakan sebagai partai terlarang. Budiman Sudjatmiko (Ketua Umum PRD) dan sejumlah fungsionaris partai ditangkap dan diadili. Baru setelah tumbangnya kekuasaan Orde Baru, Presiden Abdurrahman Wahid membebaskan para aktivis PRD.

Dalam profil Wiji Thukul yang ditulis Panitia Yap Thiam Hien Award sekitar bulan Januari 1998, dini hari, Wiji menyelinap menemui keluarganya di Kampung Kalangan-Solo untuk menemui anaknya Fajar Merah yang berulang tahun. Setelah itu, Wiji tak diketahui lagi keberadaannya. Menurut penuturan adiknya, Wahyu Susilo, tanggal 19 Februari 1998, Wiji sempat menghubunginya melalui telepon di Jakarta dan menanyakan kabar keluarga. "Wiji pun mengatakan akan pulang ke Solo, namun sampai sekarang tak ada kabar ceritanya," kata Wahyu Susilo yang kini memimpin LSM perburuhan.

Tak jelas betul bagaimana nasib Wiji. Ny Sipon tak bisa memastikan apakah suaminya "hilang", "bersembunyi", atau sengaja "dihilangkan" pihak tertentu.

"Kami berharap Wiji Thukul kembali dan bersama masyarakat lain untuk memajukan HAM," kata anggota Dewan Juri Prof Dr Azyumardi Azra.

DARI deretan penerima Yap Thiam Hien Award, Wiji Thukul adalah orang kedua yang tak bisa menerima sendiri penghargaan HAM yang mulai diberikan tahun 1992. Pada tahun 1993, aktivis buruh Marsinah - yang tewas terbunuh usai memimpin aksi buruh-menerima Yap Thiam Hien Award. Marsinah juga tak bisa menerima Yap Thiam Hien Award dan penghargaan itu diterima saudaranya.

Ricky Pesik, Ketua Panitia Penyelenggara Penganugerahan Yap Thiam Hien Award, mengemukakan, pada saat akhir terdapat tiga orang calon penerima Yap Thiam Hien Award. Dia tak mau menyebutkan kandidat lainnya. Namun, Dewan Juri yang terdiri dari Prof Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Prof Dr Azyumardi Azra, Dr Harkristuti Harkrisnowo, HS Dillon, dan Asmara Nababan memutuskan secara aklamasi untuk memilih Wiji Thukul sebagai peraih Yap Thiam Hien Award 2002. "Tak ada split decision," ujar Azyumardi Azra yang ditegaskan kembali oleh Asmara Nababan.

Dalam sejarahnya, Yap Thiam Hien Award beberapa kali diterima oleh dua orang ketika Dewan Juri tak bisa menyatukan pilihan. Misalnya, Petani Jenggawah dan Ade Rostina Sitompul (tahun 1995), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) dan Farida Hariyani (tahun 1998), Sarah Lerry Mboeik dan Mama Yosefa Alomang (tahun 1999), dan Suraiya Kamaruzzaman dan Ester Jusuf Purba (tahun 2001). Sedang untuk Yap Thiam Hien Award 1992 memang dipilih tiga orang untuk level lokal, regional, dan nasional, yakni Muhidin yang berjuang bersama masyarakat Tanah Merah (Plumpang), Johny Simanjuntak yang menyadarkan masyarakat sekitar Kedung Ombo soal hak atas tanah dan ganti rugi serta HJC Princen yang sangat konsisten memperjuangkan HAM.

Todung Mulya Lubis tak bisa memastikan apakah nama Wiji sudah pernah menjadi calon penerima Yap Thiam Hien Award pada tahun-tahun sebelumnya, karena aktivitas Wiji sudah berlangsung lama. "Kalau tidak salah, ia memang baru muncul tahun ini," kata Lubis yang sudah sembilan tahun terlibat dalam pemberian penghargaan HAM.

Penerimaan Yap Thiam Hien Award memang tak bisa dilepaskan dengan pertimbangan konteks sosial politik saat itu. Hal itu diakui oleh Nursyahbani Katjasungkana, anggota Dewan Juri tahun 1995. Seperti dikutip Kompas, 5 Desember 1995, Nursyahbani mengatakan, penerimaan Yap Thiam Hien Award tak bisa dilepaskan dalam konteks sosial politik, dimana masyarakat (ketika itu) takut menghadapi aparat. Pada tahun 1995, Petani Jenggawah dan Ade Rostina Sitompul terpilih.

Hal yang sama juga disampaikan Todung Mulya Lubis, 5 Desember 2000, saat Urban Poor Consortium (UPC) terpilih sebagai penerima Yap Thiam Hien Award 2000. "Pilihan juri memberikan penghargaan kepada UPC salah satu pertimbangannya adalah untuk mengingatkan kita bahwa selama ini perjuangan hak asasi di bidang sosial, ekonomi, dan budaya masih jauh dari yang diharapkan. Sehingga perhatian harus kita tujukan kepada perjuangan hak sosial, ekonomi, dan budaya, bukan hanya perjuangan hak sipil dan politik," kata Lubis.

Pada tahun 2002 yang memilih Wiji Thukul juga mengandung pesan politik yang sangat kuat. Selain karena aktivitas Wiji yang memenuhi kriteria Dewan Juri, momentum Yap Thiam Hien Award 2002 juga untuk mengingatkan penguasa bahwa masih banyak orang yang hilang. "Ini merupakan reminder yang sangat penting bagi pemerintah, bahwa masih banyak orang yang hilang. Orang yang tak diketahui keberadaannya. Ini sebuah reminder yang pahit yang harus dipelihara karena dalam proses transisi sekarang, penghilangan orang masih saja terjadi," kata Azyumardi.

Dengan terisak, Asmara Nababan membacakan pertimbangan terakhir Dewan Juri. "Wiji sudah selayaknya mendapat penghargaan pertama-tama dan utama, atas apa yang dilakukannya dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Penghargaan ini juga menjadi lonceng peringatan bagi kita semua bahwa: penghilangan orang secara paksa adalah kejahatan yang masih berlangsung. Lonceng yang mengingatkan bahwa kita semua berutang kepada keluarga, sahabat, dan kekasih dari orang-orang yang dihilangkan di negeri ini. Tentulah jangan dilupakan bahwa yang paling berutang adalah negara terutama pemerintah," kata Asmara Nababan.

Menurut catatan Ikatan Keluarga Orang Hilang (Ikohi) yang diketuai Mugiyanto yang juga pernah diculik aparat, terdapat 1.246 orang dari berbagai wilayah Indonesia yang menjadi korban penghilangan orang secara paksa.

DI era yang sedang berubah, dari era represi Orde Baru ke era reformasi, dari isu penghormatan HAM ke isu perang terhadap terorisme, penganugerahan Yap Thiam Hien makin menemukan relevansinya. Isu perang terhadap terorisme telah meminggirkan isu demokratisasi dan penghormatan HAM. Demokratisasi dan penghormatan HAM dianggap menjadi tidak terlalu penting lagi. Perang terhadap terorisme harus menjadi yang utama.

Namun, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana menjaga moralitas orang-orang yang menerima Yap Thiam Hien Award agar tetap mempunyai komitmen yang tinggi terhadap penghormatan HAM. Rasanya menjadi tanggung jawab para penerima Yap Thiam Hien Award untuk terus mengkampanyekan dan memperjuangkan perlunya penghormatan HAM di tengah serangan isu perang terhadap terorisme. Diperlukan sebuah kerja sama dari orang-orang yang telah mendapat pengakuan publik sebagai pejuang HAM untuk terus berjuang di jalur HAM dan tidak mudah berpindah jalur menjadi anti-HAM. Atau justru malah ikut memerangi HAM. Bukan juga setelah diakui, kemudian tak lagi punya arti.

Ada penerima Yap Thiam Hien Award yang masih konsisten pada jalur memperjuangkan dan mempromosikan HAM. Namun, ada juga yang sudah mendahului kita, seperti HJC Princen. Namun, ada juga penerima Yap Thiam Hien Award yang dalam menjalankan profesinya sekarang bisa ditafsirkan tidak sejalan dengan perjuangan mempromosikan HAM.

Lubis tak juga bisa memberikan jawaban yang pasti bagaimana menjaga moralitas penerima penghargaan HAM. Apakah penghargaan Yap Thiam Hien Award bisa dicabut jika terjadi penyimpangan moralitas? "Itu masih perlu dibicarakan lebih jauh lagi," kata Lubis.

Namun, Lubis memberikan contoh ketika Mochtar Lubis memilih mengembalikan penghargaan Ramon Magsaysay yang diterimanya tahun 1958, ketika lembaga itu memilih Pramudya Ananta Toer sebagai penerima penghargaan Magsaysay tahun 1995. Bagaimana dengan penerima Yap Thiam Hien Award? Sebuah pertanyaan yang masih sulit dijawab.

Pertanyaan yang belum terjawab secara memuaskan adalah sponsor yang menjadi penyandang dana penganugerahan penghargaan HAM. Dalam jumpa pers soal sponsor itu digugat. "Bagaimana lembaga ini akan memberikan penghargaan HAM kalau penyandang dana adalah perusahaan yang disangka juga melanggar HAM karena melanggar masyarakat adat atau melanggar hak masyarakat atas lingkungan," demikian pertanyaan wartawan.

Lubis mengaku sulit juga menjawab gugatan ini. Dia mengakui, pada saat penyerahan Yap Thiam Hien Award 2001, dia menerima protes terhadap salah satu sponsor yang dinilai pemrotes itu tidak layak menjadi sponsor. "

Namun, Lubis mencoba berpikir positif. Dengan menjadi sponsor penganugerahan penghargaan HAM, perusahaan itu diharapkan juga menghormati HAM karyawannya. Dalam mengelola perusahaan hendaknya mereka menerapkan human right impact assement. "Itu semua bagian dari proses promosi dan sosialisasi HAM di lingkungan perusahaan," kata Lubis.

Adapun menurut Asmara Nababan, perusahaan yang menjadi sponsor tahun 2002 ini adalah penyumbang dana Komisi Nasional HAM untuk pendidikan dan latihan HAM. Untuk Yap Thiam Hien Award 2002 pihak sponsor adalah PT Kaltim Prima Coal, Rio Tinto, LippoBank, PT Pakarti Yoga, dan Astra Internasional. []

Kompas, Kamis 12 Des 2002

0 tanggapan: