Oleh Nan Marcha*)
Semula, patut diduga, kontroversi aksi Ratu Ngebor Inul Daratista bakal berakhir secara bijaksana.
Katakanlah, setidaknya, kelompok pemberangus kebebasan Inul dalam berekspresi telah mencatatkan gugatannya bahwa setiap geliat ekspresi tidak hadir di ruang hampa. Ada yang pantas dipagari, dalam hal ini, marwah kaum pemeluk teguh. Memang, gugatan kelompok-kelompok keagamaan itu terbukti mencapai titik kulminasinya. Makanya, mereka haramkan goyang pantat Inul. Lumrah, gugatan senantiasa mematok tuntutan paling tinggi. Harapannya, jangan ada lagi mata yang memelototi --terutama melalui tv-- aksi-aski ngebor Inul.
Dalam kelompok keagamaan ini, posisi Rhoma Irama cukup pelik. Apa pun dalihnya, Raja Dangdut itu, berada pada wilayah ambigu: pendakwah atau artis layaknya Inul? Lalu, otoritas apa yang dimiliki Rhoma sehingga ia sekenanya mengganti-ganti posisi? Bahkan seperti penguasa yang begitu berkuasa, sekali waktu ia sebagai pendakwah --punya klaim pemegang otoritas menentukan arah-- yang berseberangan dengan Inul. Seolah ingin menghantam dari dua jurusan pada waktu yang bersamaan Rhoma terpanggil untuk membersihkan "istana perdangdutan" dari penghuninya yang baru, Inul. Ini ajaib. Sebab, sesungguhnya, berkelit ke mana pun Rhoma dan Inul sama-sama sekubu (dunia hiburan, profan). Harusnya, "jangan buruk dangdut Inul dibelah."
Begitu pula, para pembela Inul, pantaslah mengemukakan sanggahan-sanggahan. Muaranya, kenapa harus Inul? Soal tebaran pesona birahi, banyak yang bersuara keras Inul tidak berada di baris depan. Periksa penyanyi-penyanyi dangdut yang lain. Sejak dari gaya terbilang cukup ganjen menawarkan tembang apa yang akan dilantunkan, sesekali diselingi lirikan mata yang dimesum-mesumkan, hingga goyang patah-patah yang menurut Guruh Soekarnoputra justru dapat dikatakan merongrong birahi lelaki.
Tidakkah aksi ngebor Inul yang bikin heboh itu adalah sekadar temuan dari kesuntukan seorang artis pinggiran bernama asli Ainur Rokhimah dalam melakukan eksplorasi terhadap goyangan monoton selama ini yang "itu-itu saja"? Mengapa ekspresi otonom Inul ketika mengeksplorasi anatominya dikaitkan-kaitkan dengan moralitas --cakupannya, moral bangsa ini-- yang harus selalu dijaga? Bukankah antara aksi ngebor Inul dengan isu moralitas merupakan relasi yang sama sekali tidak korelatif?
Kelompok pembela Inul sempat pula menggunakan kata "persona" yang lazim dan agung bagi kelompok-kelompok keagamaan: Tuhan. Artikulasinya, bahwa ekspresi goyangan pantat Inul adalah anugerah Yang Maha Kuasa yang pantas disyukuri --bukan diberangus.
Itulah argumen yang dibangun mereka yang kesengsem Inul. Pastilah, kelompok-kelompok keagamaan yang kontra Inul bisa pula menggunakan bahasa lawan. Fatwa haram adalah ujud ekspresi keagamaan yang lumrah. Jadi, kebebasan berekspresi bukan hal unik yang hanya dikaitkan soal-soal sesepele aksi ngebor Inul. Dahsyatnya, penggugat dan pembela aksi ngebor Inul sama-sama menggunakan lidah api. Menjilat ke mana-mana. Kalau mau jujur kontroversi itu sudah dikunci sendiri oleh Inul. Caranya santun dan rendah hati. Datang ke rumah Rhoma (katakanlah representasi kelompok penentang aksi ngebor Inul). Dan Inul mengurangi frekuensi aksi ngebornya via tv.
Ternyata, belakangan, urusan Inul masih menyisakan episode nyinyir. Bayangkan, Inul diusung para pembelanya sambil petantang-petenteng penuh arogansi. Peristiwanya dikemas lewat tayangan Trans TV dengan judul sangat provokatif "Rindu Inul". Provokatif, sebab siapa saja yang rindu dan berapa banyak yang rindu pastilah membutuhkan data statistik. Rindu Inul tidak mengenggam data statistik itu. Itu kalau bicara faktual. Tetapi, "Rindu Inul" hanyalah realitas media.
Pertanyaannya, angin apa yang bertiup ke telinga Ishadi S.K. dan membuatnya bersuka cita membuat program "Rindu Inul" yang sedemikian pongah? Betapa tidak, gugatan kelompok keagamaan terhadap Inul sudah mengendur dan sangat terasa menurun tensinya. Tiba-tiba, hadir Inul yang begitu perkasa datang memberondong dari persembunyiannya menyoraki para penentang aksi ngebornya. Temanya satu, kebebasan berekspresi: biarkan Inul menggoyang pantatnya seleluasa mungkin. Tampak suporter Inul --tapi, tak seorang pun penyanyi dangdut-- mengelu-elukan kemenangan mereka. Sebut saja sebagian darinya Jajang C. Noer, Anwar Fuady, Tracy Trinita, Sophia Latjuba, Ully Artha, Titik Puspa, Pangky Soewito, Ruhut Sitompul hingga Gubernur Sutiyoso! Serta beberapa kutipan komentar (baca: kepatuhan kepada Inul sang pesona) di antaranya Dewi Motik, Ayu Utami, Shinta Nuriyah, dan Gus Dur!
"Rindu Inul" adalah pesta kemenangan yang menghasut penonton untuk mengamini seolah-olah telah terjadi bencana besar di republik ini. Setiap rongrongan kelompok keagamaan --termasuk untuk sebatas urusan goyang pantat-- mesti dilawan sedini mungkin. Dan, amboi..., berkat tangan Tuhan diiringi solidaritas yang nyata bencana itu dapat disingkirkan seketika. Bahkan, begitu heroiknya Jajang C. Noer menyatakan dukungannya. Jajang berkata atas nama bangsa ini --entah kapan mandat itu diberikan kepadanya, Soekarno-Hatta mengunakan klaim itu untuk kemerdekaan-- ia membela aksi ngebor Inul.
Kalau fatwa haram terhadap aksi ngebor Inul dinilai berlebihan. ’
"Rindu Inul" adalah bentuk perlawanan yang juga berlebihan. Jujur saja, yang menyakitkan, tv sebagai media publik melalui "Rindu Inul" diseret ke arena yang tidak fair. Pada satu sisi kelompok-kelompok keagamaan kontra Inul terpaksa melakukan aksi demo untuk mencuri-curi satu dua detik plototan mata penonton tv. Pada sisi lain, yang didapatkan para pembela Inul: satu paket acara khusus yang ditayang berulang-ulang sampai membosankan. Agaknya, Ishadi S.K. berhasil menyulap tv jadi sebuah rezim.
Idealnya, televisi media publik. Faktualnya, televisi alat industrialis. Jadi apa yang didapatkan dari tayangan "Rindu Inul" tentunya kontinuitas industri --dalam konteks ini industri hiburan-- yang mati-matian bikin gerakan defensif agar sosok penghibur (kali ini kebetulan Inul) jangan sampai sempoyongan jatuh.
"Rindu Inul" adalah deskripsi soal antiklimaks. Kini, hilang sudah Inul Daratista nun dari Pasuruan sana: liat, tangguh, penempa diri, dan independen (otonom melakukan eksplorasi anatominya). "Rindu Inul" merupakan deklarasi atas hilangnya sosok Ratu Ngebor itu. Ya, yang kita saksikan sekarang bukan lagi Inul yang leluasa menggeliatkan pantatnya melainkan sosok yang rapuh: boneka! Inul telah menjadi boneka industri hiburan.
Jadi, kalau begitu, siapa yang kita bela selama ini? Hak berekspresi Inul --sebagai seorang pribadi-- atau hiruk-pikuk industri hiburan?
*) Nan Marcha, peminat kebudayaan tinggal di Jakarta.
Jawa Pos, Minggu, 22 Juni 2003
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar