Novel sejarah sosial politik “Bulan Jingga dalam Kepala” karya pemikir muda Fadjrul Rachman akan dibedah Halim HD, M Shoim Anwar bersama pengarangnya tgl 13 Maret 2008 di Toko Buku Togamas Jl Diponegoro Surabaya. Mulai pukul 19.00. Silkan hadir. Gratis, lho.
[Sumber: SMS dari Bung Halim] dan berikut ini sebuah resensi atas buku tersebut…
Bulan Jingga dalam Kepala (bagian pertama)
Judul : Bulan Jingga dalam Kepala
Penulis : M. Fadjroel Rachman
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan : I, 2007
Tebal : 425 hlm
Setelah malang melintang di hiruk pikuknya dunia mahasiswa di era 80-an, bersastra sambil berpolitik di kampus, dikejar-kejar tentara, dianggap sebagai orang yang berbahaya, dan akhirnya dipenjarakan oleh Pemerintah Orde Baru karena dianggap sebagai otak aksi mahasiswa yang menuntut Soeharto turun dari kursi kepresidenannya dalam aksi 5 Agustus 1989 . Kini M Fadjroel Rachman yang masih konsisten mengkritisi pemerintah melalui tulisan-tulisannya di media masa dan puisi-puisi perjuangannya membuat sebuah novel sejarah politik Indonesia dan dunia kontemporer dengan kehidupan tokoh utamanya yang mirip dengan pengalaman hidupnya.
Novel perdana Fadjroel yang diberinya judul Bulan Jingga dalam Kepala ini diawali dengan kisah Surianata saat menghadapi kematian di hadapan regu tembak di kawasan Tangkuban Perahu Lembang. Lalu kisah Surianata mundur ke belakang, tujuh tahun sebelum ia dihukum mati. Surianata masih kuliah di ITB. Ia bersama kawan-kawannya aktif berdiskusi dalam sebuah kelompok rahasia yang dinamai Lingkar Sokrates yang senantiasa mengevaluasi kondisi ekonomi, sosial, dan politik mutakhir, tak hanya itu saja mereka juga berlatih membela diri, dan menyiapkan diri dengan gagasan radikal perubahan sosial.
Dalam novel ini dikisahkan Indonesia berada dibawah kekuasaan otoriter Jendral Suprawiro yang dengan kekuasaannya telah menculik, membunuh, mencuri harta rakyat dan memenjarkan orang seenaknya terutama para aktivis politik dan mahasiswa yang menentang pemerintahannya.
Melihat keadaan negerinya yang semakin parah, akhirnya Surianata dan kawan-kawannya sampai pada sebuah kesimpulan bahwa Jendral Suprawiro dan rezim fasisnya harus digulingkan!. Untuk itu mereka menggalang kerjasama dengan kampus-kampus lain untuk melakukan aksi demo dengan tujuan menurunkan Jenderal Suprawiro dari tahtanya.
Setelah selama setahun melakukan berbagai demonstrasi, akhirnya aksi mahasiswa mencapai puncaknya ketika beberapa mahasiswa tewas ditembak ketika melakukan aksi demo. Inilah momentum sejarah yang mengetuk pintu para mahasiswa termasuk Surianata untuk melakukan aksi yang lebih besar lagi. Kali ini dengan lokasi tepat di simbol kekuasaan negara, Istana Merdeka!
Istana Merdeka segera dikepung seratusan ribu mahasiswa. Tentara dan polisi tak kuasa menahan amuk massa yang marah terhadap pemimpinnya. Presiden dan keluarganya terkepung di Istana Merdeka. Surinata dan kawan-kawannya menerebos ke ruang Istana Merdeka. Ia berhadapan langsung dengan Jenderal Suprawiro. Pistol dengan pistol saling teracung, baku tembak terjadi hingga akhirnya menewaskan Jenderal Suprawiro, malangnya Bulan Pratiwi (5 thn) putri Jendral Suprawiro tertembak juga secara tidak sengaja oleh Surianata.
Kematian Jenderal Suprawiro disambut sorak massa yang mengepung Istana Merdeka. Sang Presiden yang telah tewas digantung terbalik seperti pemimpin fasis Italia, Benito Mussolini. Mahasiswa menjadi pahlawan. Sayang ternyata para mahasiswa tak siap dengan langkah selajutnya, situasi menjadi chaos, Jakara dilanda amuk masa. Pemerintahan beralih ke kekuasaan para Jenderal yang dulu merupakan kaki tangan Jenderal Suprawiro. Surianata diadili dan djijatuhi hukuman mati karena telah membunuh Presiden dan putrinya. !
Surianata memang puas telah membunuh Jenderal Suprawiro, namun batinnya menangis dan tak tenang karena secara tak sengaja ia telah membunuh Bulan Pratiwi yang tak berdosa. Berkali-kali Surianata membatin bahwa pembunuhan yang ia lakukan membuat jiwanya seperti lepra yang membusuk. Pertempuran dunia batin inilah yang selalu 'mengganggu' Surianata dalam penjara hingga detik-detik terakhir hidupnya berakhir.
Fiksi dengan aroma sejarah, politik, yang juga melukiskan hiruk pikuk gerakan mahasiswa Indonesia dalam menumbangkan rezim fasis inilah yang diangkat dengan gamblang oleh Fadjorel. Dalam novel ini juga terlihat secara jelas bagaimana adanya penghianatan dalam gerakan mahasiswa dan bagaimana pula intrik-intrik politik para jenderal yang menggunakan aksi mahasiswa untuk membawa mereka pada puncak kekuasaan tertiinggi. Dan bagaimana juga akhirnya jika kekerasan dipergunakan untuk menumbangkan sebuah rezim.
Dalam novel ini Fadjroel bertutur secara mengesankan, ia tak ragu menggunakan kalimat-kalimat puitis dalam mendeskripsikan sesuatu. Hal ini menjadi paradoks yang mengasyikan karena menggabungkan gemulainya sastra dengan kerasnya dunia politik dan kehidupan Surianata dalam penjara. Penggunaan kalimat-kalimat puitisnya tersaji secara pas karena Fadjroel mengetahui kapan ia harus berlarik-larik dengan kalimat puitis dan kapan ia harus mempercepat tempo kisahnya.
Beberapa kotbah politik dan sejarah dari para tokoh-tokohnya terselip dalam porsi yang cukup banyak dalam novel ini. Di novel ini pengetahuan penulis tentang filsafat, sosiologi, politik tumpah ruah didalamnya, selain itu diwarnai pula dengan taburan nama-nama pembuat sejarah. Termasuk kisah penyaliban Yesus Kristus yang cukup banyak disinggung di novel ini. Namun Fadjorel bukan menulisnya menurut sudut pandang iman, melainkan dari sisi "kebiadaban dunia" atas apa yang dilakukan terhadap Yesus.
Masih banyak hal-hal yang menarik dalam novel ini, seperti kerasnya kehidupan di penjara dimana sadisme dan perilaku seks menyimpang selalu membayang-bayangi mereka yang hidup di penjara. Setting ITB, UI, Kuil Yasukumi Tokyo, Kamp Nazi Sachhensuen dan Holocoust Memorial Berlin juga turut mewarnai novel ini. Lalu ada pula sedikit taburan kisah cinta antara Surianata dan Bunga Langit yang tak cengeng dan tetap rasional ditengah perjuangan mereka.
Di tengah segala hal yang menarik dalam novel ini, satu hal yang berpotensi menggundang pertanyaan di benak pembacanya yaitu soal setting waktunya. Fadjorel sama sekali tak menulis angka tahun dalam kisahnya. Novel ini hanya menyebutkan kejadian di tahun X. Berbagai peristiwa sejarah dan situasi politik riil dan beberapa nama-nama asli tokoh-tokoh pembuat sejarah muncul dalam novel ini, namun ia tak memaparkannya sesuai dengan kronologis waktunya. Berbagai peristiwa sejarah yang kejadiannya berlainan tahun bisa saja terjadi dalam satu periode waktu.
Contohnya ketika Surianata dalam penjara disebutkan bahwa Xanana Gusmao masih berada di LP Cipinang dan Timor Leste belum merdeka. Namun ketika itu pula Surianata meminta kawan-kawannya untuk membawakan novel Tin Drum karya Gunter Grass karena ia ingin membaca novel tersebut setelah Grass mengaku dirinya sebagai anggota pasukan SS Hitler. Hal yang tidak sesuai dengan kronologis waktu rill karena sejatinya Grass mengaku bahwa dirinya anggota SS di tahun 2006, dan ketika itu Timor Leste telah merdeka dan Xanana telah menjadi presiden.
Ketika hal ini saya tanyakan langsung pada Fadjroel, ia menjawab melalui emailnya bahwa ia memang tidak membuat kronologi sejarah politik pada novel ini. Ia hanya tertarik pada peristiwa politik lalu memberi makna atas peristiwa tersebut. Menurutnya novel ini memang tidak dimaksudkan membuat kronologi sejarah. Ia hanya melihat makna peristiwa-peristiwa lalu disambungkan menjadi makna baru.
Dalam kreatifitas menulis fiksi hal seperti diatas sah-sah saja dilakukan. Hanya saja, tanpa penjelasan dari penulisnya hal ini berpotensi menimbulkan kejanggalan bagi pembacanya yang umumnya terbiasa dengan fiksi sejarah berdasarkan kronologis waktunya seperti tetralogi Pramoedya atau novel sejarah seri Gajah Mada karya Langit Kresna H, dll
Yang kedua, ketika Istana Merdeka dikepung masa kenapa pula Jendral Suprawiro tak dievakuasi oleh paspampres, bukankah kedatangan masa bisa diprediksi dan bukankah aturan pengamanan kepala negara seharusnya telah melakukan evakuasi bagi kepala negara dan keluarganya dari istana ketika keadaan menggenting?
Yang ketiga, surat terakhir Surianata kepada kedua orangtuanya penuh dengan kotbah politik, ah rasanya hal ini terlalu berlebihan, bukankah surat kepada orang tua biasanya lebih personal ?. Bagi saya surat seperti yang ditulis Surianata tampaknya lebih cocok ditujukan kepada kawan-kawan seperjuangannya untuk terus membakar semangat mereka.
Ditengah segala kelebihan dan kekurangannya, novel sejarah politik yang penuh liku, padat, mengungkap kemarahan, kekayaan alam fikir dan batin seorang Fadjroel ini layak diapresiasi oleh mereka yang ingin mengetahui lebih banyak sepak terjang pergerakan dan pola pikir ideal mahasiswa dalam memperjuangkan kebebasan politik. Walau berupa fiksi, tak belebihan jika dikatakan bahwa novel ini dapat dijadikan kisah pembelajaran bagaimana seharusnya para pejuang demokrasi harus berpikir dan bersikap agar apa yang dicita-citakannya dapat terwujud dengan baik.
Selain itu novel ini juga berbicara perjuangan manusia meraih kebebasan, melawan sifat kebinatangan penguasa yang selalu ada sejak zaman dahulu kala. Kebinatangan yang tak akan pernah hilang selamanya dan akan terus membayangi akal budi kita. Seperti bulan yang bersembunyi dalam terang matahari, lalu berkuasa penuh di tengah gelap. Selalu berulang hingga kiamat. Itulah bulan jingga dalam kepala manusia.
@h_tanzil
salam,
h_tanzil
dari gramedia online
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar