Nyi Ngatirah selama 34 Tahun Menjadi Sinden Andalan Ki Narto Sabdo

Tetap Dipertahankan Komunitas Meski Ingin "Pensiun"

Laporan: Anton Sudibyo, Semarang

Usianya sudah menginjak kepala enam, namun suara emasnya dalam menembangkan Jawa tak tergantikan. Karena itu, ketika berniat mundur dari aktifitas menyinden, Ngatinah ternyata digondeli karena belum ada penggantinya.



Pergelaran wayang kulit malam Jumat Kliwon Teater Lingkar Kamis (27/3) lalu terasa istimewa. Bukan lantaran Ki Manteb Sudarsono yang menjadi dalang malam itu, tetapi kehadiran Nyi Ngatirah, 64, malam itu membuat suasana menjadi luar biasa.

Orang menjulukinya sinden andalan Ki Narto. Betapa tidak, hampir semua (90 persen) gending-gending yang digubah orang nomor satu di Ngesti Pandhawa itu mampu dikuasainya. Cengkok khasnya pun menjadi panutan sinden-sinden muda. Hingga epigon Nyi Ngatirah bermunculan tanpa satu orang pun yang pernah menjadi muridnya.

"Mboten nate gadhah murid, paling nggeh niru saking kaset (tidak pernah punya murid, paling mereka meniru dari kaset)," ujar Ngatirah malam itu.

Namun ia mengaku tidak masalah jika ada orang bisa meniru teknik dan cengkoknya. Malah ia sering merasa heran. "Cengkok begitu saja kok ya banyak yang mau niru," katanya terkekeh.

Ditemui di sela-sela pentas wayang kulit dalam rangka 28 tahun Teater Lingkar itu, Ngatirah lalu menceritakan awal karirnya menjadi seoran sinden. Nenek 8 cucu dan 1 buyut ini awalnya adalah penari di kelompok Ngesti Pandhawa yang waktu itu masih berpentas keliling dari kota ke kota. Sejak usia belasan tahun ia sudah menari dan berpindah dari satu tempat ke tempat yang lain.

Perempuan yang menikah diusia 16 tahun dengan Siswanto, pemain wayang orang Ngesti Pandhawa) itu cukup lama menjadi penari. Hingga suatu hari ketika usianya menginjak 30, Ki Narto menghampirinya kala dirinya sedang berlatih tari.

"Sampeyan ki rak pantes nari. Wes rak entuk dedeg yo rak entuk rupa. Nek tak ajari nembang wae piye, dadi sinden, gelem? (Kamu itu tidak pantas menari. Sudah postur tidak mendukung, muka juga tidak. Saya ajari menyanyi saja ya, jadi sinden, mau?)," ucap Ki Narto kala itu.

Dan sejak itulah, Ngatirah putar haluan. Ia tidak lagi menari. Hari-harinya selalu diisi dengan berlatih nembang secara privat kepada Ki Narto. Dan naluri Narto Sabdho memang tidak salah. Ngatirah muda ternyata mempunyai bakat terpendam dalam hal nembang. Setiap apa yang diajarkan selalu mampu ia serap dan kuasai dengan baik.

Malah terkadang, Ki Narto dibuat geleng-geleng dengan kemampuan Ngatirah. Diceritakannya, Ki Narto kaget karena ketika berlatih Ngatirah sering tidak memperhatikan. Namun saat dites, ia mampu melakukannya dengan baik. Ngatirah sendiri juga tidak tahu dari mana kemampuannya itu berasal.

"Perasaan saya ya sulit, tapi ketika mencoba kok tahu-tahu bisa," akunya .

Diajari begitu rupa, dengan ketekunan dan kesabaran menumbuhkan kekaguman tersendiri pada diri perempuan kelahiran Desember 1944 itu. Ia memandang Ki Narto sebagai sosok yang luar biasa baik.

Menurutnya, secara moral dan tindakan, Ki Narto, hampir tidak ada cacatnya. "Disiplin dan tekun, itulah yang selalu dikatakan Ki Narto pada saya."

Namun, jangan harap bisa membantah jika Ki Narto sudah marah. Jika merasa disepelekan dan tidak diperhatikan, dalang Ngesti Pandhawa itu paling tidak suka.

"Ya mudah-mudah sulitlah, harus tahu celahnya," ujar Ngatirah.

Mulai 1959, Ngesti Pandhawa masuk Semarang dan mulai berpentas secara rutin di gedung GRIS yang berlokasi di belakang Gedung Rakyat Indonesia Semarang (GRIS). Mengenang masa jaya Ngesti Pandhawa, Ngatirah bercerita dengan semangat. Kejayaan Ngesti hingga terkenal ke seluruh Indonesia, penonton yang selalu penuh, dan beberapa kali diundang Presiden Soekarno ke istana negara, adalah memori indah yang ia akui sulit terulang di masa sekarang.

Sesudah Kusni meninggal pada 1980, kemudian diikuti Sastrosoedirdjo pada 1984, dan Ki Narto Sabdho setahun kemudian, Ngesti Pandowo kehilangan tokoh-tokoh panutan. Bersamaan dengan itu, muncul kesulitan kronis soal manajemen dan kreativitas. Dan zaman keemasan Ngesti Pandhawa perlahan-lahan surut.

Sekarang jadwal pasti pentas Ngesti pandawa hanya Sabtu malam Minggu. Namun ini pun tak mampu menaikkan kembali pamor Ngesti Pandowo. Setiap pementasan hanya dihadiri segelintir orang.

Dengan keadaan Ngesti Pandhawa yang begitu mengenaskan, pun juga usia Nyi Ngatirah yang kian lanjut, tidak menyurutkan aktifitasnya sebagai sinden. Sosoknya masih bisa didapatkan dengan mudah disetiap Ngesti Pandhawa pentas.

Bahkan, dengan keseniorannya itu, beberapa kali Ngatirah menjadi duta kesenian. Bersama rombongan kesenian, pada 1994, ia berkesempatan keliling dunia di antaranya ke India, Cekoslowakia, dan Yunani. Belum lagi acara kesenian tingkat nasional yang sudah tak terhitung banyaknya.

Tak heran, ia beberapa kali mendapatkan penghargaan dari pemerintah Jawa tengah. "Pak Mardiyanto dan Pak Mail (almarhum Ismail), nate maringi (pernah memberi)," tuturnya.

Terakhir, Teater Lingkar memberikan pengharagaan tali asih di tengah pertunjukan wayang Ki Manteb.

Ketika disinggung mengapa tidak berhenti mengingat usia, Ngatirah malah tersenyum. Ungkapnya, ia bukannya tidak mau tetapi tidak bisa. Ia mengatakan sudah beberapa kali membicarakan kemundurannya pada pimpinan, namun selalu ditolak dengan alasan belum ada penggantinya.

"Ampun mandeg Nyi, mboten sah niru pegawai negeri. Sinden niku mboten wonten pensiune (jangan berhenti Nyi, jangan meniru pegawai negeri, sinden itu tidak ada pensiunnya)," ujarnya menirukan ucapan Cucuk, pimpinan Ngesti Pandhawa.

Ketika ditanya perbandingan sinden dulu dan sekarang, ibu yang mempunyai 5 anak (3 meninggal) itu menuturkan keheranannya mengapa sinden sekarang duduk berjajar menghadap penonton. Menurutnya, lebih nyaman dulu, yaitu duduk di kanan dan kiri dalang membentuk letter V dan menghadap kelir.

Selain itu, ia juga tidak setuju dengan pergelaran wayang dicampur dengan lagu dangdut atau campursari yang mulai marak sekitar 1990-an itu.

"Lebih srek yang dulu. Bisa nonton wayangnya. Kalau seperti tadi kayaknya nggak srek. Apalagi sudah tua seperti saya ini. Wong wes tuo kok dadi tontonan," ujarnya dengan senyum dikulum. []

Radar Semarang Senin, 31 Mar 2008

0 tanggapan: