Ini bukan analisis politik, tetapi hanya sekadar uneg-uneg seorang warga masyarakat Jawa Timur yang merasa geregetan untuk ikut mengajukan pendapat seputar Pilgub Jatim. Maka, jika banyak yang terasa ganjil, jangan diolok-olok. Jika kelak ada yang sudi meluruskannya dengan ’’bahasa rakyat’’ pastilah saya akan sangat berterima kasih.
Pilgub Jatim yang kini baru pada tahap pendaftaran balon [ketika tulisan ini dibuat, penyunting] sudah terasa sebegitu seru. Buktinya, di Jawa Pos saja, sekian banyak artikel muncul, belum lagi yang di media lain. Opini, berita, silih muncul. Bahkan, tulisan-tulisan itu sejak awal sudah menguarkan aroma kekhawatiran, Pilgub Jatim nanti bakal berlangsung terlalu seru, terlebih dengan bakal bertarungnya Sekdaprov dengan Wagub Jatim, Soekarwo dengan Soenarjo.
Hal pertama yang terasa mengganggu ’’pikiran-rakyat’’ saya adalah diharuskannya para bakal calon itu menumpang kendaraan politik yang namanya ’partai’. Mereka harus mendaftar lewat partai.
’’Lha, memang hukumnya bilang begitu, kok! Adanya pemerintahan itu kan ditandai dengan adanya hukum!’’ sengak komentar sahabat saya yang masih manget-manget keluar dari kawah Jurusan Hukum Tatanegara.
Nah, itulah soalnya! Pikiran saya ini agaknya memang perlu di-update, atau jangan-jangan malah perlu di-scan antivirus! Soalnya, bilangnya begini:
Pertama, sebagai kendaraan, partai politik itu pastilah boros bahan bakar.
Kedua, kendaraan itu sering melaju terlalu kencang, terlalu jauh meninggalkan rakyat. Padahal, bukankah adalah rakyat pemilik kekuasaan yang sejati di dalam tatapemerintahan yang mengagungkan sistem demokrasi? [Maaf, ini bukan berteori, melainkan hanya sedang kemaruk mengingat pelajaran sekolah dasar].
Ketiga, tampaknya partai –sebesar apa pun ia-- juga bukan alamat yang tepat untuk me-numplek-kan [menumpahkan] segenap cinta. Mau bukti? Lihatlah baik-baik Wakil Rakyat dari partai-partai itu, kadang mereka juga tergagap-gagap mengartikulasikan aspirasi pihak yang diwakilinya [baca: aspirasi rakyat].
Saya juga selalu risih dengan istilah ’wakil’ itu. Sebab, lazimnya eksistensi pihak yang diwakili lebih penting daripada yang mewakili. Derajat wakil lazimnya berada di bawah yang diwakili. Begitu pengertian yang tertanam dalam tatapikir saya, sehingga saya menerima istilah wakil presiden, wakil tuan rumah, wakil wali, dan sebagainya. Yang namanya wakil presiden, di mana-mana derajatnya ya di bawah presiden-nya. Lha, ini kok nyleneh, yang diwakili saja makan nasi thiwul kok yang mewakili malah makan pizza di Roma, kencing di Amerika, dan bercinta di hotel bintang lima. Mbok ya Pusat Bahasa sudi mengevaluasi ulang istilah yang satu ini.
Ada contoh yang cukup menarik pula, kenyataan yang bisa kita baca di Banyuwangi. Ratna Ani Lestari bisa melenggang ke kursi Banyuwangi Satu, padahal sebagian besar Wakil Rakyat Banyuwangi menyeteruinya. Menurut saya, kejadian seperti yang muncul di Banyuwangi dimana Bupati dengan DPRD-nya bagaikan [nuwun sewu] kucing dengan kirik, adalah sangat menarik dikaji untuk memperkaya materi kuliah ilmu politik di perguruan tinggi.
’’Itulah gara-gara money politic. Banyak orang menang dalam pemilihan karena membeli suara rakyat!’’ sahut Togog dangan nada tanpa rasa berdosa.
Politik uang? Rakyat dibayar untuk menjatuhkan pilihannya kepada seorang calon? Nah, ini dia! Teori politik pastilah mengharamkannya. Tetapi, sebegitu besarkah kadar dosa seorang rakyat yang terpaksa menjual suaranya untuk barang sepekan dua pekan mengganti thiwul-nya dengan uncet [nasi beras] syukur-syukur bisa beli lauk walau hanya berupa ikan asin?
Jika demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi ada di tangan rakyat, andai pun ia mau menjual diri, siapa berhak melarangnya? Dan apalagi kalau hanya menjual suaranya!
Panitia Pengawas, Komisi Pemilihan, Pakar Politik, mahasiswa, mereka akan antre atau serentak ’menghukum’ rakyat yang menjual suaranya itu. Tetapi, sungguh menyedihkan, mereka tak pernah bicara ketika justru rakyatlah yang terjual, ketika rakyat hanya bisa merintih [tak lagi punya energi untuk berteriak]. Pernahkah Anda melihat wajah rakyat yang telah terjual? Dan bagaimana perasaan Anda?
Begitulah riak tatapikir saya. Dan saya jadi semakin tersinggung ketika suatu saat mendengar kalimat semacam ini, ’’Janganlah memilih seseorang [calon gubernur] yang hanya akan melupakan partai!’’ Sebab, dalam pengertian yang sebegitu dalam menancap di dalam ’’pikiran-rakyat’’ saya, begitu seorang pemimpin menyejahterakan, menenteramkan, dan membahagiakan rakyatnya, lunaslah segenap kewajibannya. Lha, emang partai itu berjuang untuk siapa? Untuk dirinya sendirikah?
Saya masih pula ingat kata-kata almarhum kakek, ’’Jangan pikir tidak ada perempuan yang lebih jantan daripada laki-laki!’’ Analoginya, jika kita bicara dikotomis soal partai dan nonpartai, pastilah, ada kalanya orang partai lebih bijaksana daripada orang nonpartai, ada kalanya orang nonpartai lebih julig daripada orang partai. Tetapi, kalau belum-belum sudah teriak-teriak, ’’Jadikanlah saya pemimpin untuk membesarkan partai!’’ walah nggih no way mawon-lah! Yang kita mau, setidaknya di Jawa Timur kita, adalah gubernur untuk rakyat, sebab partai-partai sudah punya gubernur, menteri, dan bahkan sudah pula punya presidennya sendiri! [Purwo Santosa, seorang rakyat biasa].
dari radar tulungagung
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar