Inulitas Dangdut

BENI SETIA*

[Catatan untuk Bonari Nabonenar]

Pada suatu Selasa malam di bulan September 2002 di acara Kontak Dangdut TVRI Surabaya, Inul Daratista yang baru pulang show di Jepang menyerukan, "Hallo, pemirsa. Apa tidak kangen pada goyang Inul?" Pernyataan itu menegaskan bahwa Inul sadar akan kelebihan dirinya sebagai penyanyi dangdut. Dan karena itu, sekaligus, lupa bahwa ia show di Jepang bukan di hadapan orang Jepang, tapi cuma di hadapan orang Indonesia. Kebanggaan semu yang sama artinya dengan kebanggaan diundang ke Jakarta padahal cuma main di restoran nasi uduk X --cuma ngamen.



Lalu beranggapan bahwa semua itu dikarenakan goyangannya --dalam sebuah VCD yang direkam secara tembak, ketika menyanyikan lagu Goyang Dombret ia pernah menyapa penontonnya dengan seruan "Bokong Inul..." sambil meleding. Sehingga goyang itu disporporsi --goyang menjadi dominan dan cengkok dangdut serta nyanyi jadi subordinan. Maka, tidak heran kalau orang menonton dangdut live --bahkan di Sekatenan-- dengan pendekatan ngeres. Karenanya tontotan dangdut live sepertinya merupakan wilayah untuk memanjakan lelaki dengan wanita yang harus selalu menampilkan dirinya subordinan terlecehkan, dengan sengaja melecehkan dirinya sebagai appetited erotik di tengah para pria yang tranced joget.

Identik dengan selalu memancing selera murahan, instink binatang, dan karenanya dangdut selalu dikondisikan buat diapresiasi secara miring begitu. Celakanya --untung-- banyak seniman dangdut yang tidak terima. Maka diupayakan supaya dangdut tidak selalu berada di level bawah. Mereka menulis lirik yang cerdas. Lirik yang berdakwah (tapi lirik lagu Rhoma Irama yang bicara tentang bahaya mabuk itu dipakai untuk pengantar sekelompok kawan yang menyongsong tahun baru dengan minum, seperti yang saya alami sekitar 1988 di Ngaglik Kuburan).

Atau merasa naik kelas ketika dangdut masuk diskotek dan pub dijadikan sarana tranced goyang bagi anak muda kelas menengah. Asumsi mobilitas (vertikal) sosial yang aneh, karena dangdut mencoba menyamai gengsi semu shabu-shabu atau wiski yang dijadikan komoditas teler kelas menengah. Asumsi irasional.

Tetapi dangdut tidak hanya itu. Saya suka Ida Laila --ketika makan soto di pertigaan Krampung-Gelora, saya melihat pesan di dinding toko mulut gang sempit-- karena dramatik lagu Siksa Kubur-nya. Di sana tak hanya ada dakwah tapi ada pengemasan dramatik yang membuat orang siap untuk menyimak isi pesan dan makna, dan bukan sekadar cengkok dan musik.

Saya suka Evi Tamala, karena lagu dangdut bisa lamban dan serius mengungkapkan pesan seperti lagu pop sentimentil biasa dikemas. Saya suka Rhoma Irama karena keberaniannya mencangkokkan harmoni dari melodi model Deep Purple. Saya suka Reynold Panggabean --dan bukan Camelia Malik-- karena bisa mencengkokkan lecutan bass khas musik disko ke dalam lirik-lirik yang cerdas khas anak muda kelas menengah. Dan, saya suka Jefry Bule, Leo Waldy, Megi Z --wajah preman yang percaya pada suara dan empati nyanyi-- dan seterusnya.

Tapi, Inul tetap menjadi aspek penting. Meski selain suka Inul --terkadang saya menghidupkan TPI di pagi hari agar bisa melihat the big bra Sarah Azhari sebagai presenter In Dangdut-- saya juga suka Doyok yang mengubah gerak sensual dangdut menjadi semacam seni pantomim humor yang mengandalkan kelenturan tubuh. Dan, kalau kita membandingkan Inul dengan Doyok, maka kita seperti membandingkan eksploitasi selera yang menyebabkan wanita budak nafsu lelaki dengan penafsiran cerdas yang menyebabkan tarian pengiring bisa tampil jadi satu suguhan kesenian yang utuh.

Dan, sebagai seorang bapak saya lebih suka melihat dangdut Doyok hadir di ruang keluarga yang berjangkarkan sebuah TV. Saya juga tak akan begitu rela kalau ruang publik hanya diisi oleh dangdut model Inul --dan ini tak berarti saya anggota FPI-- karena itu menyebabkan dangdut tetap hanya jadi ekspresi pinggiran.

Kita bisa menghargai tampilnya orkestrasi dangdut --atau sekadar masuknya musik brass atau musik gesek. Tapi kita merasa bahwa penjelajahan musikal macam itu sepertinya meninggalkan roh dangdut yang khas musik rakyat. Seperti ekspresi tayub, tledek, dan sebagainya yang merujuk kepada satu habitat sosial-budaya tertentu. Karenanya, atmosfer dangdut ada di sana dan mungkin harus selalu ada di sana. Sekaligus harus diapresiasi dengan pendekatan yang non-etika dan non-moral. Jadi, kualitas ada pada keleburan dan syurr berjoget, meski dangdut juga punya kemungkinan estetik lain, kendati itu ditempuh secara tersengal-sengal.

Dan, kesalahan kita ada pada kesesatan fatamorgana --selain pendekatan etika dan moral--, dengan menganggap dangdut itu tunggal. Padahal, seperti jazz atau rock, dangdut itu telah mengembangkan diri dan melahirkan macam-macam variasi yang tidak tunggal. Karenanya, kita harus mengapresiasinya sebagai penampakan musik industrial --yang live selalu penuh dengan Inulisasi-- yang tak tunggal. Karenanya tak boleh diapresiasi dengan moral dan etika, dan harus dipertimbangkan dari fakta seberapa jauh bisa memanggil investasi, BEP, dan total keuntungan, sumbangan pajak --dan ekses pembajakan. Harus tunduk kepada hukum ekonomi --seperti seni lukis, di mana mutu ada di luar kemampuan galeri menggoreng mitos dan meledakkan tren lukisan dominan, di mana pendekatan pialang saham lebih kuat ketimbang pengabsian kurator seni.

Lantas apa makna tuntutan akan kualitas di dalam belitan mitos live yang greng penuh Inulisasi di satu sisi dan hukum ekonomi industrial di sisi lainnya? Sebuah nonsens yang menyebabkan dangdut terus terpuruk.

Cabang dangdut ekspresi seni murni --Jopie Item pernah men-jazz-kan lagu Bunga Nirwana-- belum terlihat dominan dan determinan diapresiasi, dan mungkin tidak pernah akan terlihat. Barangkali di sini kritik kelas menengah kepada dangdut itu --yang cuma seronok live atau teralienasi sebagai komoditas industri-- bergaung. Dangdut hanya ekspresi sensual Inulitas live dan eksplorasi industrial tanpa disadari oleh senimannya yang dieksploitasi kreativitas. Mungkin di titik ini letak dari kecanggungan dangdut, dan sekaligus ketanggungan kualitas dari kesenimanan dan pencapaian lagu dangdut. Mungkin. []


* (Beni Setia, ayah tiga orang anak, tinggal di Madiun).


Jawa Pos, Minggu, 13 Okt 2002

0 tanggapan: