Eni Yuniar:Menulis dan Berorganisasi untuk Berjuang


Bincang-bincang dengan mantan BMI Hong Kong satu ini dalam waktu yang amat singkat, banyak sekali pelajaran yang bisa didapat dari pengalamannya hidupnya, dari pengalaman berorganisasinya, dari sikap idealisnya, dari solidaritasnya kepada kaum tertindas, dari pengalaman menulisnya.


BMI di Hong Kong tentu sudah tak asing lagi dengannya karena seiring dengan aktivitas 'berjuang'-nya, nama dan gambarnya sering muncul di beberapa media massa berbahasa Indonesia yang beredar di Hong Kong. Dia seorang perempuan muda, cantik, pendiam, tetapi murah senyum dan sangat vokal dan tegas ketika berbicara soal perburuhan, terutama yang berkaitan dengan nasib BMI di Hong Kong.

Dialah Eni Yuniar, mojang kelahiran Ponorogo, 7 Juni 1980. Yang lahir dari pasangan Subari (ayah) dan Tatik (ibu) sebagai anak pertama dari 5 bersaudara. Dia ke Hong Kong sebagai BMI sejak tahun 1999 setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA 3 Ponorogo. Selama 8 tahun ia di Hong Kong sebelum kemudian, 22 November 2007 lalu, pulang ke tanah air untuk seterusnya.

Kesulitan finansial keluarga yang membuat perempuan yang beralamat di Jl Juanda 70 Ponorogo ini nekad ke Hong Kong sebagai BMI. Begitu sulitnya kondisi keuangan keluarga sebelum ia ke Hong Kong, sampai-sampai untuk mengirim tulisan ke media massa di Indonesia saja, tidak punya uang, seperti pengakuannya ketika Peduli tanya sejauh mana publikasi karyanya di waktu lalu.

Sejak masih duduk di bangku SMP, Eni sudah suka menulis, tetapi untuk publikasi, ia mengalami kendala. ''Tdk pernah dipublikasikan krn gak punya duit utk beli perangko, sejak SMP, tp naskahku msh ada, disimpan ibu, aq nulis cerita 14 th yg lalu,'' demikian tulis Eni pada 15 Februari 2008, membalas SMS Peduli.

Organisasi

Tiba di Hong Kong, Eni melihat kenyataan yang membuat nuraninya 'berontak'. Ketika itu, kata dia, kondisi perburuhan di Hong Kong sangat memprihatinkan. Hampir 60% buruh migran di sana digaji underpay dan tidak semua buruh migran dapat libur. ''Padahal, itu melanggar hukum perburuhan di Hong Kong sendiri,'' ungkapnya.

Karena keprihatinan itu, baru 6 bulan di Hong Kong, dirinya ia sudah bergabung dengan Indonesian Migrant Workers Union (IMWU). ''Kebetulan di Hong Kong kan pemerintahnya mengizinkan kita (buruh migran, Red) untuk membentuk serikat buruh. Jadi, ya, saya ikut gabung dengan IMWU.

Selain pemerintah Hong Kong memang mengizinkan buruh migran berserikat, masuknya Eni ke IMWU juga karena majikannya yang seorang guru mendukungnya juga. Bahkan, majikan yang baik itu juga mengirim Eni kesebuah tempat kursus komputer di Hong Kong. ''Itu majikan pertama saya. Kalau majikan kedua, itu sangat jahat. Berbeda dengan majikan saya yang pertama,'' ungkap Eni.

Di IMWU, Eni dan kawan-kawan pun lantas berpikir bagaimana caranya bisa memberikan semacam pendidikan/penyuluhan kepada BMI supaya wawasannya tentang hukum-hukum meningkat menjadi lebih baik. Secara pribadi, bagi Eni, penyuluhan itu harus dilakukan karena dirinya merasa mempunyai tanggung jawab moral itu melaksanakan 'tugas' itu.

Akhirnya, ketemu jalan. Yakni, penyuluhan lewat tulisan. IMWU pun kemudian menerbitkan sebuah bulletin yang memberikan wawasan tentang hukum-hukum perburuhan kepada BMI.

Eni pun menulis lagi untuk mengisi buletin yang diterbitkan IMWU itu setelah kegiatan yang ia mulai sejak SMP itu sempat terhenti. Bangkitnya kembali semangat menulis pada diri Eni di Hong Kong itu juga karena novel Perempuan di Titik Nol yang ditulis oleh Nawal el-Saadawi tahun 1975.

Eni mengaku, oleh salah seorang temannya, saat itu dirinya dipinjami novel karya penulis Mesir itu. ''Buku itu memotivasi saya untuk menulis karena pena juga bisa dijadikan pedang untuk menaklukkan kekuasaan,'' ungkap Eni.

Menulis

Setelah IMWU menerbitkan buletin, Eni pun terus menulis di antara kesibukannya yang lain baik sebagai BMI pada seorang majikan maupun sebagai orang organisasi. Menulis untuk mengisi buletin itu sangat penting bagi Eni karena memberikan penyuluhan kepada kawan-kawan BMI itu bagi dirinya pribadi merupakan keharusan, sebuah tanggung jawab.

''Jadi, apa ya? Saya bisa menulis itu agak saya paksakan juga. Sebab, kalau saya tidak paksa, saya tidak bisa mengisi buletin. Kalau buletin tidak diisi, berarti buletin tidak terbit. Kalau buletin tidak terbit, saya tidak bisa memberikan penyuluhan kepada kawan-kawan yang tertindas. Saya jadikan pena saya sebagai pedang karena saya mempunyai tanggung jawab moral,'' kata Eni tegas.

Di antara berbagai kesibukannya, 2 tahun pun berlalu. Kontrak kerja berakhir. Eni pun ganti majikan. Sialnya, majikan keduanya tak sebaik majikan pertama, bahkan berkebalikan. Di majikan kedua itu, untuk mengerjakan buletin IMWU, Eni mengaku baru bisa mengetik tulisan setelah pukul 24.00 hingga pukul 3-4 pagi. Tapi, Eni tetap menulis supaya buletin tetap terbit sehingga dirinya bisa menunaikan tanggung jawabnya memberikan penyuluhan kepada kawan-kawan sesama BMI-nya.

Mau Kuliah

Agustus 2006, Eni ke New York mewakili buruh migran dan presentasi tentang permasalahan BMI di Hong Kong. Ia berbicara dalam sidang ke-36 Komite Antikekerasan terhadap Perempuan (CEDAW), Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), duduk bersama delegasi pemerintah dan parlemen Hong Kong serta sejumlah organisasi nonpemerintah (Ornop). ''Kebetulan waktu saya ke Amerika itu, saya sekjen (IMWU, Red)-nya,'' ungkap Sekjen IMWU periode 2005-2006 ini.

Dalam kesempatan itu, Eni mendesak pemerintah Hong Kong menghapus kebijakan New Condition of Stay (NCS) dan Two-Week Rule (Aturan Dua Minggu) yang dinilai diskriminatif terhadap pekerja perempuan asing di sektor rumah tangga. CEDAW merekomendasikan agar pemerintah Hong Kong menghapus Two-Week Rule karena dinilai sangat diskriminatif.

Kemudian, tahun 2007-2008, Eni Yuniar adalah ketua IMWU. Namun, jabatan itu tidak dijalaninya hingga selesai karena dirinya pulang ke Indonesia untuk seterusnya sejak 22 November 2007 lalu.

Setelah di Indonesia apa rencana ke depannya? Eni mengaku ingin kuliah. Tapi, ia masih belum menentukan mau kuliah di mana dan masuk jurusan apa. ''Sedang saya pikirkan,'' katanya.

Masih mau melanjutkan profesi sebagai penulis? ''Saya bukan penulis, tapi saya baru akan mulai belajar menulis. Sebelumnya saya menulis cuma asal-asalan saja. Apa yang ada di hati saya, itu yang saya tulis. Saya mulai menulis ketika ayah saya memberikan buku harian. Di buku itu, saya tulis apa yang saya kerjakan sehari-hari. Sampai sekarang, buku itu masih ada,'' kata penyumbang cerpen berjudul ''Tuan dan Nyonya Majikan Yang Terhormat'' dalam antologi cerpen karya BMI Nyanyian Imigran. [KUSWINARTO]



ENI YUNIAR

TTL: Ponorogo, 7 Juni 1980
Status: lajang, anak ke-1 dari 5 bersaudara
Alamat: Jl. Juanda 70 Ponorogo, Jawa Timur
Orangtua: Subari (ayah) dan Tatik (ibu)
BMI HK: selama 8 tahun (1999-2007)
Pendidikan: lulusan SMA 3 Ponorogo
Pengalaman organisasi: Sekjen IMWU (2005-2006), Ketua IMWU (2007-2008).
Pengalaman menulis: menulis cerita anak, artikel tentang perburuhan di buletin IMWU, dan sebuah cerpen berjudul ''Tuan dan Nyonya Majikan Yang Terhormat'' dalam antologi cerpen karya BMI Nyanyian Imigran.

[dari majalah peduli]

0 tanggapan: