Inul dan Pendidikan Kita

SEDEMIKIAN hebatnya Inul --barangkali tidak semata-mata menunjuk Inul sebagai individu, tetapi sebagai fenomena: Inulitas-- sehingga Bengkel Muda Surabaya pun mengangkatnya ke dalam forum Pentas Musik dan Diskusi Fenomena Inul (Balai Pemuda Surabaya, Rabu, 5 Februari 2003).


Para pembicara yang diundang pun tergolong sangat wah dari segi jumlah maupun kualitas, seperti Prof Ir H Priyo Suprobo, Msc PhD (Guru Besar di ITS), Dr Ayu Sutarto (pakar humaniora dari Universitas Jember), Dr H Sam Abede Pareno (Unitomo), Akhudiat (budayawan), Rusdi Zaki (penyair/wartawan), dan Tribroto (koreografer).

Pertama kali dengar bahwa salah seorang pembicara berasal dari ITS (Institut Teknologi Surabaya, ed), spontan terbetik pertanyaan iseng dalam benak saya: apakah pembicara yang satu ini akan berbicara, misalnya, tentang konstruksi pantat Inul yang jauh lebih hebat dan lebih tahan gempa daripada konstruksi (fondasi) sarang lebah atau cakar ayam karena konstruksi pantat Inul adalah konstruksi “gempa” itu sendiri(?).

Ternyata, tak jauh meleset dari pertanyaan iseng saya tampaknya, seperti yang dikutip panitia dan dipasang pada surat undangan, beginilah komentar Prof Priyo Suprobo itu, “Setelah melihat goyangnya, ternyata pantas kalau dijuluki bom panggung. Ini bisa memberi inspirasi karena goyang Inul persis putaran molen (pencampur bahan beton).” Sayang, pembicara ini berhalangan hadir.

Seperti yang dikeluhkan beberapa peserta diskusi, malam itu seluruh pembicara cenderung menyanjung-nyanjung Inul. Mungkin akan jadi lebih seru kalau diundang pula Beni Setia yang selama ini tergolong kritis lewat tulisannya, baik yang dimuat Jawa Pos maupun Kompas.

Memang pada akhirnya para pembicara tampak sepakat bahwa kesenian yang ditawarkan Inul adalah kesenian massa, kesenian populer.

Oleh karena itu, parameter yang paling tepat adalah pasar, yaitu bagaimana Inul mengelola tubuhnya, memperbanyak jurusnya (sehingga tak hanya punya dua atau tiga jurus: jurus ngebor, jurus molen, maupun jurus menggergaji), dan meningkatkan penguasaan panggungnya, mungkin itu lebih baik jadi urusan Inul sendiri yang pada akhirnya juga akan lebih tunduk pada hukum pasar.

Walaupun pada tahap berikutnya penghambaan terhadap hukum pasar--sejak dulu hingga sekarang-- selalu menimbulkan ketegangan, bahkan bisa berkembang jadi konflik di dalam masyarakat.

Maka, dalam hubungannya dengan fenomena Inul, kini kita melihat reaksi beberapa pemuka agama dan beberapa komunitas dalam bentuk imbauan, seruan, fatwa, atau apalah namanya, yang dengan istilah agak kasar boleh dirumuskan sebagai mengharamkan Inul. Wow! Inilah yang menarik.

Jika benar kesenian Inul adalah kesenian yang tidak bermutu, ibarat fastfood yang konon lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, tindakan orang-orang yang menyeru mengharamkannya itu tidak ada bedanya dengan kepanikan orang saat banjir bah datang. Mereka adhem-adhem saja saat melihat hutan digunduli, saat got-got dipenuhi sampah. Maka, jika kita telah sampai pada kesimpulan bahwa masyarakat kita berselera rendah, lagi-lagi ini merupakan kegagalan pendidikan formal kita.

Kita layak menuding pendidikan formal, sekolah, dan bukannya pendidikan masyarakat dan pendidikan di dalam keluarga. Karena, pendidikan formal itulah yang dibangun dengan seperangkat sistem yang jelas, terencana, dengan kurikulum dan anggaran yang pasti, dari uang rakyat!

Pendidikan formal kita memang payah, dan akan selamanya demikian, percayalah, jika masih saja kita dengar kasus penyogokan dalam penerimaan guru, jika istilah-istilah semacam “pengajaran berbasis kompetensi” atau “pendidikan berbasis sekolah” masih saja berhenti sebagai kata-kata manis, seperti iklan permen.

Keadaannya akan makin runyam lagi ketika, tampaknya, instansi-instansi atau lembaga-lembaga yang mengemban tugas pelaksanaan pendidikan (sekolah) tidak juga memiliki wawasan yang bagus. Ambil contoh, misalnya, Dinas Pendidikan yang tampaknya lebih suka menyelenggarakan festival dalang (tua) daripada festival dalang (bocah), lebih tertarik mengurusi pesinden, penyanyi dangdut, daripada mengurusi para siswa(?).

Namun, jika kita sepakat kesenian Inul adalah kesenian yang bermutu tinggi, tidak sekadar seperti fastfood, inilah usul yang menarik: Bisakah kita masukkan Tarian Inul ke dalam kurikulum, setidaknya untuk muatan lokal (Jawa Timur) pendidikan kita?[]

BONARI NABONENAR Cerpenis, alumnus IKIP Surabaya

Kompas-Jatim, Senin, 10 Feb 2003

0 tanggapan: