Kehampaan Erotisme Inul

Oleh Siti Arafah

Sudah beberapa hari ini, kita diributkan dengan munculnya seorang Inul Daratista atau Ainur Rahimah, seorang penyanyi dangdut asal Gempol, Pasuruan, Jawa Timur. Tidak hanya kalangan artis yang mengomentari melalui media massa dan elektronik, tetapi juga dua ormas Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah, ikut “menanganinya” melalui imbauan cekalnya. Inul adalah protipe seorang wanita dari lingkungan yang sangat sederhana, kemudian menjadi sebuah fenomena erotisme seni-budaya-ekonomi global di media (televisi-VCD).



Sejatinya, fenomena Inul bukanlah kali pertama yang terjadi. Sejak era reformasi, erotisme media seakan-akan menjadi tontonan yang lumrah. Entah lumrah karena kiblat dan ukuran kita yang kebarat-baratan atau lumrah karena masyarakat kita senang “menikmati”-nya dan menarik untuk dipasarkan. Yang jelas, erotisme inilah yang belakangan menjadi mainstream pemasaran media melalui goyangan dangdut ala Inul, sinetron atau telenovela Amerika Latin yang “terlalu” berani memamerkan aurat.

Perkembangan masyarakat kapitalisme global abad ke-21 ini ditandai oleh dua logika, yaitu logika pelepasan nafsu (libido) dan logika kecepatan, yang kedua-duanya sangat potensial bagi kebangkrutan sosial. Kapitalisme global tidak lagi berkaitan dengan ekspansi kapital, teritorial dan pasar, tetapi kini lebih berkaitan dengan ekspansi arus libido dan perkembangan getaran nafsu (Yasraf Amir Piliang: 1998). Perputaran ekonomi pasar bebas melegitimasi perputaran dan pelepasan nafsu ini secara bebas. Atau, sebaliknya, logika hawa nafsu menjadi paradigma dari berlangsungnya ekonomi pasar bebas.

Dua logika itu menghasilkan beberapa perubahan mendasar yang meresapi dan mengkontaminasi berbagai bentuk wacana, baik dalam skala lokal, regional maupun global. Kini, berbagai wacana tengah berada dalam keadaan krisis identitas. Wacana-wacana tersebut tidak mampu lagi mempertahankan struktur alamiah dan normatifnya sebagai akibat dari berbagai kontaminasi yang mengelilinginya. Karenanya, tidaklah mengherankan, jika yang mengalir secara lokal-regional antardaerah di Indonesia adalah sabu-sabu dan show dangdut kampungan yang di-CD-kan secara amatiran.

Pendistribusian energi kesenangan (libido) melalui kecepatan sarana informasi ini merupakan upaya memperoleh keuntungan ekonomis. Sebab, ekonomi masyarakat global telah dikuasai oleh apa yang disebut libidonomics (nemein berarti mendistribusikan dan libido berarti energi nafsu), yaitu pendistribusian rangsangan, rayuan, godaan, kesenangan, kegairahan, atau hawa nafsu dalam satu arena pertukaran. Tidak hanya transaksi saham, tetapi juga transaksi seksual. Pameran sudah tidak lagi memamerkan kualitas produk andalan, tetapi menampilkan kecantikan dan deregulasi tubuh. Tidak hanya membahas etika ekonomi, tetapi juga erotika ekonomi. Singkatnya, ekonomi telah melampui jagat ekonomi itu sendiri. Dengan demikian, semua intensitas, semua potensi kegairahan dan kesenangan di mana pun ada kesempatan untuk digali dan dimodifikasi. Tidak cukup satu kesenangan: tidak cukup satu mobil; tidak cukup satu rumah; tidak cukup satu wanita; dan tidak cukup satu lelaki.

Dalam pada itu, di dalam masyarakat kapitalisme global terakhir ini terjadi upaya-upaya yang terus-menerus untuk memaksimalkan diskursus seksualitas: mencari bentuk, gaya, kombinasi, teknologi, teknik dan media yang serba baru. Ada upaya untuk menjadikannya transparan: tanpa rahasia, pembatas, bungkus dan rasa malu. Ada upaya untuk memaksimalkan sisi komersialitasnya: komodifikasi tubuh, penampilan dan kegairahan. Dan, ada pula upaya untuk menularkannya ke dalam diskursus lain: seksualitas ekonomi, politik dan media. Upaya-upaya inilah yang kemudian menghasilkan beberapa efek pelipatgandaan dan intensifikasi energi libido, serta reorientasi dan modifikasi arus hawa nafsu.

Begitulah, apa pun yang berkaitan dengan seks - kegiatna, tindakan dan kejadian seksual - ditulis, direkam, difoto, di-shooting, dicetak, dibukukan, divideokan, difilmkan, dinanti dan disanjung. Sebaliknya, apa pun di luar seks kini diseksualitaskan. Lihat saja, iklan mobil dilatardepani wanita seksi yang menantang; pameran produk kerajinan di daerah (mesti) dijaga oleh seorang wanita cantik berpenampilan seksi, kampanye politik didampingi para model bertubuh semampai; dan pertandingan olahraga kurang meriah tanpa wanita penyorak. Economicus erotica!

Nihilisme Kehidupan

Berangkat dari fenomena seksualitas yang berkembang secara cepat dan bebas dalam masyarakat global, kita harus menanggung berbagai efek negatif -- kalau boleh disebut demikian. Sebab, kebebasan seksual dan erotisme media pada dasarnya telah mendekonstruksi nilai-nilai luhur secara besar-besaran, seperti tabu, moral, dan spiritualitas. Dibalik gejolak paradigma libidonimics, scientica sexualils, erotika yang berlapis-lapis dan pengeksposan tubuh melalui citraan-citraan media yang tanpa bungkus, menyebabkan lenyapnya aura sebatang tubuh. Tubuh telah menjadi tanda dalam satu proses penandaan media.

Di samping itu, bersamaan dengan kemajuan ekonomi serta meningkatnya memakmuran, muncul tanda-tanda lenyapnya kedalaman (deepness) di dalam kehidupan masyarakat kontemporer. Masyarakat lebih menyenangi gaya ketimbang makna, lebih menghargai penampilan daripada kedalaman, lebih mengejar kulit ketimbang isi. Istilah-istilah seperti “emangnya gue pikirin”, “yang penting gengsinya dong”, atau “yang penting penampilannya dong”, memberikan gambaran betapa sikap mental masyarakat sudah sangat apatis (cuek!) dan bahasa kini semakin ringan, tanpa beban makna, dan lepas dari aturan nilai-nilai luhur.

Sementara itu, para sosiolog melihat hilangnya batas-batas sosial dalam masyarakat antara dunia anak-anak dan dunia orang dewasa lewat transparansi media. Acara anak-anak di televisi diselingi iklan film kekerasan. Anak-anak dengan bebas juga bisa menikmati video atau disket porno. Tidak ada lagi rahasia yang tersisa buat anak-anak. Tabu, larangan dan pantangan ditanggalkan oleh kemudahan akses terhadap berbagai media.

Dari sinilah dimulainya krisis dan kontradiksi moral dalam masyrakat informasi. Tidak mengherankan, jika pemerkosaan terjadi setelah menyaksikan video porno bersama-sama. Masyarakat kontemporer kehilangan rasa malu di dalam dirinya. Tubuh-tubuh tanpa bungkus di televisi “menggoda” seorang kiai yang sedang membaca kitab kuning. Para penegak keamanan menjajakan kebenaran di jalanan. Para konglomerat berlomba menambah kekayaan di atas pemiskinan rakyat - dengan membawa lari uang negara. Lalu, mati di atas utang pun menjadi enak, tanpa malu.

Inilah model masyarakat yang sudah tidak lagi mempunyai konsep diri (self) dalam pergumulan dunia citraan (image) informasi. Konsep diri telah tertukar dengan iklan, fashion show, kursus kepribadian yang kapitalistik, teknologi kecantikan dan operasi plastik. Karenanya, konsep diri dapat diperoleh lewat satu komoditi, dapat dibeli dengan topeng kosmetika dan pakaian mahal.

Dan, para angamawan merisaukan semakin lunturnya daya spiritual dan semakin lenyapnya batas antara spiritual dan pseudo-psiritual di dalam masyarakat. Melunturnya daya spiritual menyebabkan semakin merosotnya rasa keagungan nama Tuhan itu sendiri. Seorang artis di televisi, misalnya, bisa berkata dengan ringan, “Tuhan pasti sayang ama gue deh, soalnya Dia ngasih apa saja yang gue mau, tanpa terbetik sedikit pun rasa tentang kesucian dan keagungan Tuhan serta nilai-nilai spiritual. Nilai-nilai spiritual semakin terlepas dari nilai-nilai ritual. Orang lebih suka kirim kartu lebaran, ucapan natal, parsel, bingkisan dan lain-lain daripada mengingat aspek spiritualnya.

Carut-marut kehidupan masyarakat kontemporer seperti itulah yang menjadi eksodus menuju satu nihilisme kehidupan dan fatalitas kehidupan. Yaitu, kehidupan yang tidak dilandasi oleh keimanan, moralitas dan makna luhur, tetapi oleh kedangkalan ritual, penampakan jasmaniah dan simulara profan. “Saya rela mati demi idola”, lalu beberapa orang gadis mati di antara penonton konser musik. Atau, bertangis-ria dan pingsan dipelukan sang idola, kemudian menjadi acara yang siap dijual di televisi.

Sebagai seorang ibu, penting bagi kita untuk melakukan pengingatan kembali (reminder) kepada pengalaman primer kehidupan psikis manusia, yaitu masa kelahiran atau bayi. Secara psikis, bayi adalah seperti sebuah telur pecah yang muncrat ke mana-mana, tanpa dapat menemukan bentuknya yang tetap dan pasti. Agar tidak muncrat ke mana-mana, tanpa dapat menemukan bentuknya yang tetap dan pasti. Agar tidak muncrat dan hancur atau menghancurkan apa yang dilaluinya, ia harus dilingkupi, ditentukan tapal batasnya atau dibuatkan cetakannya. Dalam tapal batas inilah libido dan instink manusia dijaga agar senantiasa berada dalam kanalnya dan, karenanya, tidak mengalir secara liar kecuali melalui zona-zona yang telah ditentukan. Dengan demikian, seorang anak manusia akan terus berada dalam ikatan keibuan (isi Yin dalam filosofi Cina) yang secara spiritual - memang - dekat dengan kasih-sayang (rahman-rahim) Tuhan. Dan, pengumbaran libido (getaran hawa nafsu) yang tak berbatas lebih banyak disebabkan oleh keterpisahan manusia dari sisi keibuannya.

Secara awam, betapa penting fungsi dan peranan ibu dalam mencetak generasi yang tidak tertawan oleh kapitalisme global yang libidonomics dan tanpa batas. Mengherankan juga jika seorang ibu sangat kagum dan bangga melihat anaknya tampil erotis di panggung, hanya karena popularitas seksualis dan materialistik. Bicaralah, wahai para agamawan dan budayawan! Wallahua'lam. []

(Penulis adalah seorang ibu rumah tangga,
memiliki dua puteri, tinggal di Sumenep, Madura).


Suara Karya, 18 Februari 2003

0 tanggapan: