BMI Hong Hong Berseri lewat Sastra dan Seni

Oleh: Mega Vristian

Dalam pandangan umum, buruh migran Indonesia (BMI) adalah sosok pekerja kasar yang hanya bisa mengerjakan tugas-tugas sepele rumah tangga. Pembantu rumah tangga (PRT) atau babu adalah pekerjaan yang dipandang dengan sebelah mata dan babu dianggap bukanlah pekerjaan ideal yang memberikan penghasilan besar sekaligus mendatangkan kebanggan, karena bekerja modal otot bukan otak.



Untuk diketahui, bekerja menjadi BMI, di Hong Kong tidaklah semudah yang dibayangkan. Masyarakat Hong Kong, khususnya para Majikan sangat tidak menyukai BMI, yang lamban kerjanya dan lamban berpikir.Karena hampir 75% anak-anak mereka dipercayakan pada BMI, sampai kemasalah mendampingi anak-anak mereka mengerjakan tugas sekolah.Anak- anak Hong Kong sangatlah cerdas dan kritis, karena mereka mendapatkan pendidikan dan kesejehteraan nyaris sempurna. Nah jika BMI mereka tidak rajin mengasah otak, selalau manyun ketika, anak majikan bertanya tentang suatu hal, jelas si anak akan protes ke orang tuanya, akibatnya bisa fatal si BMI akan diberhentikan. Sejujurnya syarat untuk bisa menjadi BMI ke HOng Kong, harus lulusan SMA, tapi praktiknya PJTKI bisa menyulap dari SD, menjadi SMA.

Kembali ketema, sejauh ini media massa lebih banyak memberitakan kemalangan dan petaka yang menimpa BMI. Media lebih suka mengekspose berita duka berkisar pemerkosaan, penyiksaan, perampokan, dan kematian BMI dinegeri orang. Kenyataannya BMI memang rawan bahaya. Dan, tampaknya media massa percaya "dagangan yang laku" dan disukai pembaca adalah berita-berita semacam itu.

Jarang media komersial yang menulis kiprah dan sosok BMI sebagai manusia utuh yang penuh harga diri dan menjunjung nilai kemanusiaannya. Ketimpangan berita itu mungkin karena keterbatasan pengetahuan dan ketergesaan (untuk tidak menyebut kemalasan) pewarta untuk menggali berita yang "bergizi" bagi pembaca sekaligus berguna bagi "obyek" berita. Bisa jadi karena organisasi-organisa si buruh migran kurang aktif memberikan materi berita. Atau, mungkinkah karena sosok ideal BMI yang tegar dan kreatif memang langka?

Penampilan buruh migran yang menjunjung martabat dan harkat kemanusiaannya serta liku-liku yang ditempuhnya dalam usaha ini perlu diangkat untuk menciptakan citra buruh migran utuh. Selain itu, juga kesanggupan mengungkap kekurangan sumber daya buruh migran untuk perbaikan.

Dengan citra buruh migran Indonesia seperti itu, kegiatan sastra-seni buruh migran di Hong Kong barangkali tampak sebagai cerita ajaib dan langka.

Melalui sastra dan seni, BMI di Hong Kong menunjukkan citra selain hanya pekerja yang berkutat membereskan pekerjaan rumah tangga. Apalagi kondisi Hong Kong sangat menunjang untuk mengembangkan potensi diri. Majikan yang relatif baik serta berbagai komunitas buruh migran di Hongkong yang menawarkan program pendidikan membantu BMI untuk memanfaatkan waktu luang untuk mengekspresikan dan mengembangkan potensi diri. Di sini buruh migran lebih "dimanusiakan" . Pemerintah Hong Kong tidak terlalu diskriminatif terhadap buruh migran.

Kegiatan sastra dan seni BMI tersalurkan dan terwadahi media berbahasa Indonesia di Hong Kong, antara lain koran Suara, Berita Indonesia, Tabloid Apakabar, Roos Mawar, dan majalah Ekspresi. Berbagai komunitas buruh migran seperti Indonesian Migrant Workers Union (IMWU), Forum Lingkar Pena Hong Kong (FLP-HK), dan Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) juga bergiat menerbitkan buletin yang menampung luapan energi seni buruh migran. Karya buruh migran juga sering dimuat surat kabar dan majalah di tanah air.

Kemunculan beberapa BMI penulis di Hong Kong dengan karya-karyanya harus diakui antara lain karena pemerintah memasang aturan jelas yang melindungi hak dan kewajiban BMI. Terutama karena adanya hak libur empat hari dalam sebulan dan jam kerja yang jelas. Waktu yang cuku plapang tersebut memberikan kesempatan BMI untuk belajar berbagai hal, antara lain berorganisasi, menekuni pendidikan, dan berseni sastra.

Intensitas kepenulisan BMI di Hong Kong lumayan membanggakan. Dari tangan mereka telah lahir 16 buku. Antara lain Tertawa Ala Victoria Park, Indonesia Merdeka, dan Negeri Elok Nan Keras di Mana Kami Berjuang (Denok K Rokhmatika); Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati); Penari Naga Kecil (Tarini Sorita); Perempuan di Negeri Beton (Wina Karni); Badai Signal 8 (Swastika dan Shifa Auli); Anda Luar Biasa (Eni Kusuma); serta novel Ranting Sakura (Maria Boniok).

Selain itu, terbit kumpulan cerpen Hong Kong Namaku Peri Cinta (FLP/Publishing House Jakarta) yang merangkum karya anggota Forum Lingkar Pena Wina Karni, Shifa Aulia, S Aisyah Z, Andina Respati,Via Rosa, Rof, dan Ikrima Ghany. Antologi puisi Nubuat Labirin Luka terbitan Sayap Baru dan Aceh Working Grup memuat karya Aliyah Purwanti, Anan, Anik Sulistia, Widi Cahyani, dan Mega Vristian.

Sedang kumpulan cerpen Nyanyian Imigran (Dragon Family Publisher) merangkai karya Aliyah Purwanti, Ikrima Ghany, Lik Lismawati, Nining Indarti, Etik Juwita, Mega Vristian, Tarini Sorita, Anik Sulistia, Tanti, Imes Hisa, Swastika, Kris DS, dan Enny. Kemudian buku Galz Please Don't Cry (PT Lingkar Pena Kreativa) memuat karya Wina Karni, Swastika M, dan Fia Rosa. Buku Selasar Kenangan (Akoer, Jakarta) memuat karya Mega Vristian dan Lik Kismawati. Juga buku Dian Sastro for President (On/Off Trilogy) dan antologi puisi–cerpen–esai Sastra Pembebasan karya Mega Vristian.Kabar gembira lagi pada bulan Agustus, tahun ini akan meluncur 16 buku kumcer karya BMI, yang diterbitkan Grasindo.

Kehidupan dan persoalan buruh migran mereka angkat melalui karya tulis, teater, dan pembacaan puisi sehingga sampai pada masyarakat luas. Dalam konteks ini, kiprah BMI Hong Kong merupakan kasus unik. Diharapkan aktivitas positif tersebut mengilhami dan merangsang buruh migran Indonesia di negera-negera lain untuk lebih manfaatkan waktu libur atau istirahat. Daripada bengong dan nelangsa sendiri dihajar rindu pada keluarga di kampung, tentu lebih baik memanfaatkan waktu barang sejenak untuk mengekspresikan dan aktualisasi diri.

Sastra dan seni bisa menjadi oase bagi jiwa raga untuk beristirahat barang sejenak dari rutinitas kerja. Kegundahan, kerinduan, kekecewaan, bahkan tuntutan atas perlakuan sewenang-wenang dapat disalurkan dan diteriakkan melalui cerpen atau puisi. Puisi bisa menjadi medium untuk membangkitkan semangat. Juga untuk melawan kekuasaan yang menindas.

Tentu kita masih ingat sebuah kalimat yang menggelorakan semangat mahasiswa, pelajar, pemuda, buruh, bahkan ibu-ibu di seluruh tanah air untuk menumbang rezim Orde Baru pada bulan Mei 1998. "Hanya satu kata: Lawan!" Kalimat lugas dan tandas itu merangkum dan mengkristalkan kekecewaan, kesumpekan, ketakutan, "horor" dahsyat selama 32 tahun di bawah kekuasaan Soeharto untuk bersatu padu melawan. Hasilnya, Soeharto lengser dari tampuk kekuasaan. Mungkin para pemuda yang meneriakkan, menuliskan kalimat itu di tembok-tembok di seluruh negeri tak tahu atau tak ambil pusing siapa yang melahirkan "mantera" lugas tandas tersebut.

Kalimat itu warisan Wiji Thukul, penyair yang dengan sangat berani berhadapan dengan kekuasaan Orde Baru yang sedang kalap kala itu. Wiji Thukul seorang penyair sederhana yang kurus lusuh, namun mempunyai kecintaan yang besar pada rakyat kecil. Dia berjuang bersama mahasiswa, aktifvis, dan buruh untuk merebut kemerdekaan di tanah air sendiri. Melalui gerakan dan puisi dia melawan lantang kekuasaan. Puisi-puisinya mengilhami dan membangkitkan semangat perlawanan pemuda, mahasiswa, dan buruh untuk menumbangkan kekuasaan yang sewenang-wenang dan mengembalikan pada bangsa dan rakyatnya.

Kegiatan menulis dan berkesenian BMI di Hongkong, bekerja sama dengan buruh migran dari negara-negara lain dan organisasi buruh setempat, merupakan perjuangan untuk menjunjung harkat dan martabat kemanusiaannya. Bukan sekadar untuk mengungkapkan uneg-uneg atau hanya bergumam. Sebab, harkat-martabat kemanusiaan wajib dibela dan dijunjung dalam pekerjaan apa pun. Melalui sastra dan seni BMI bisa berjuang dan memberikan sumbangan bagi usaha memanusiakan manusia dan diri sendiri. Melalui aktivitas dan eksistensi sebagai manusia utuh itu buruh migran akan tampil dengan wajah lebih berseri.[]

Buruh Migran Indonesia dan Sastra Menyimpan Banyak Pertanyaan

Oleh: Mega Vristian

Sastra BMI?

Jujur saya memang tidak bisa berhenti menulis, karena adanya semangat yang tidak pernah pudar. Terlebih lagi adanya faktor keberuntungan. Beruntung karena selama bekerja di Hong Kong menjadi BMI alias babu walau berganti-ganti majikan, menggunakan komputer tidak pernah dilarang. Tentu saja harus tahu aturannya.



Nah hari ini setelah pekerjaan siang beres, saya segera membuka komputer dan mulai menulis untuk milis dengan tema "Sastra Buruh" yang telah lama menjadi PR saya. Menurut yang saya tangkap, dalam tulisan ini saya harus berbagi cerita mengenai kegitan tulis menulis di kalangan teman-teman saya sesama BMI di Hong Kong.

Tetapi sebelumnya, saya dan hampir seluruh teman BMI yang gemar menulis tidaklah begitu sreg dengan istilah "Sastra Buruh", "Sastra BMI" ataulah "Sastra Babu". Sebab mengapa? Ini adalah upaya pengkotakan atau istilah pemberangusan profesi yang seakan-akan seorang BMI hanya akan dibicarakan bila bisa menulis apalagi dengan tulisan yang berbau sastra dan konyolnya tempatnya atau kotaknya itu adalah "Sastra Buruh". Lantas bagaimana bila BMI ini sudah tidak menjadi buruh lagi di Hong Kong karena pulang ke Tanah Air menjadi ibu rumah tangga, aktivis buruh pada salah satu LSM atau menjadi seorang isteri Dokter bahkan Insinyur? Apakah tulisan mantan BMI ini nantinya akan dikelompokkan ke dalam genre baru lainnya yaitu "Sastra Mantan BMI"?

Sebutlah BMI

Belum juga tuntas mengenai pengkotakan ini, kami ini sebetulnya sedang berjuang keras guna memasyarakatkan kata "BMI" ke seluruh pelosok Nusantara. Sekilas seperti masalah yang sepele, tetapi bagi kami tidak. Mempopulerkan kata BMI sama saja susahnya untuk melawan praktek pembayaran gaji di bawah standar (underpayment).

Masyarakat tanah air sudah terbiasa menyebut kami ini sebagai TKW (Tenaga Kerja Wanita) dan pihak Konsulat Jenderal RI di Hong Kong dengan Nakerwan. Ada juga beberapa pihak yang memandang sinis, mengatakan kami sebagai JLN (Jongos Luar Negeri). Untuk itulah dalam melawan sebutan yang cenderung merendahkan profesi ini, teman-teman yang memiliki hobi menulis telah membiasakan dengan kata BMI. Alhasil semua media berbahasa Indonesia yang diterbitkan di Hong Kong sudah terbiasa menulis kami sebagai BMI. Bila pun ada yang kelolosan menggunakan kata TKW dalam media tersebut, kami hanya menganggapnya wartawan penulisnya masih kurang bergaul.

Tema

Maraknya kegemaran menulis di kalangan BMI sebetulnya seiring dengan diterbitkannya media cetak berbahasa Indonesia. Juga munculnya kelompok gemar menulis di Hong Kong seperti Kopernus (Komunitas Perantau Nusantara) dan Forum Lingkar Pena pada tahun 2004 membuat BMI di Hong Kong seperti memiliki rumah untuk menampung bakatnya di dunia tulis menulis.[]

Sastra, Olahraga, dan Penghargaan

Oleh Beni Setia

SEBAGAI orang yang pernah mendapatkan Anugerah Seniman Jawa Timur dan sekaligus bekerja di dua ranah kesusastraan, Indonesia dan (etnik) Sunda, rasanya saya cukup pantas untuk menanggapi tulisan terkarib, Bonari Nabonenar --lihat ''Menyoal Sastra Satu Kamar'' (JP, 27/7/08). Sebuah tulisan yang menandaskan bahwa kesejahteraan para pekerja sastra di ranah (bahasa) Indonesia lebih tinggi dari pekerja sastra di ranah (bahasa) Jawa. Benarkah begitu?



Belum lama ini saya menerima e-mail dari kawan yang kebetulan bekerja sebagai redaktur di sebuah harian di luar Jawa, yang mengatakan korannya menyediakan tiga halaman untuk karya sastra dan seni-budaya, tapi tak seperti koran-koran di Jawa yang menyediakan honor lumayan, korannya cuma mampu menyediakan honor Rp 50.000 untuk puisi, cerpen atau esei dan artikel termuat --meski berkali-kali dia minta agar ada peningkatan honor. Sebuah permintaan maaf agak nJawani.

Tapi, apa kita menulis untuk honor semata? Ada kalanya kita ingin berpendapat dan butuh orang yang mau mendengar pendapat kita, lalu berbagi pendapat dalam diskusi terbuka di media massa atau yang terselubung via e-mail atau HP. Ada hal-hal mendesak yang harus dikatakan dan butuh tempat untuk berkata. Persis seperti petani gunung yang berjalan ke sana-kemari sambil membawa timba dan gentong untuk mencari sumur dan air. Sekaligus kita terkadang menulis karena terlalu banyak membaca --dan bacaan tak pernah ada putusnya di internet-- dan karena itu banyak kawan yang lalu memilih membuat blog pribadi agar senantiasa bisa menampung unek-unek dan ada yang membacanya.

Keterikatan pada budaya dan bahasa daerah yang mendorong seseorang menulis dalam bahasa ibu dengan intensitas yang sama dengan saat menulis dalam bahasa Indonesia --kadang malah lebih tinggi. Hal yang nilainya bukan pada ukuran besar-kecilnya honorarium yang diterima, tapi pada aura kepuasan bat�n mampu dan masih bisa menggunakan bahasa ibu. Persis seperti yang dirasakan ketika saya menulis sekian sajak Sunda, dimuat, dan mendapatkan honor Rp 15.000 --padahal bila saya tulis dalam bahasa Indonesia bisa dihargai 10�-20 kali lipat. Celakanya, sajak yang selesai tertulis dalam bahasa Sunda tak pernah bisa diterjemahkan, tanpa merusak otentisitas, ke bahasa Indonesia --karena itu bermakna menulis sajak baru.

Lantas apa arti sebuah cerpen dibayar Rp 1.000.000 bila itu ternyata hanya karena terbit di koran A di Jawa dan bukan koran B di luar Jawa yang cuma bisa membayar Rp 50.000. Saya pikir besaran honor tak menceritakan apa-apa, hanya menceritakan kalau koran A, Z, atau Q di Jawa itu sudah sangat mapan dan karenanya mau menghargai karya sastra sesuai margin keuntungannya yang tinggi; dan koran B, W, dan E di luar Jawa ingin melakukan hal yang sama tapi mereka tak punya margin laba yang besar.

Besaran honor tidak identik dengan kualitas karya, pengabdian sastrawan di zona kering dan seterusnya, tapi berkaitan langsung dengan kapitalisasi industri pers. Koran yang sukses secara finansial, yang berpangkal pada besaran kue iklan yang didapat, bisa menghargai karya sastra. Apa ini tak berkaitan dengan snobisme konglomerat sukses macam Rockefeller atau Ford?

Karena itu, soal apakah Anugerah Seniman Jawa Timur akan diteruskan atau tidak, sesungguhynya tak berkaitan dengan siapa yang akan menjadi gubernur pengganti Imam Utomo. Tapi, berhubungan dengan birokrasi yang mengatur agar pos anggaran untuk penghargaan seniman itu tetap tersedia di RAPBD Jawa Timur nanti. Hal itu sekaligus menunjukkan bagaimana para wakil rakyat mau memikirkan kesejahteraan seniman Jawa Timur sehingga berani meloloskan pos anggaran itu pada APBD 2009 tanpa dirangsang dengan uang pansus, panmus, atau gratifikasi.

Akan menarik kalau Pemprov Jawa Timur mau menenggok ke Pemprov Jawa Barat yang berani membuat terobosan dengan menyediakan dana miliaran untuk membeli buku-buku sastra berbahasa Indonesia maupun Sunda untuk melengkapi koleksi perpustakaan-perpustaan di Jawa Barat. Motivasi yang bisa mendinamisasi industri buku (sastra) di Jawa Timur.

Meski terlambat --Jawa Barat baru tiga tahun terakhir memberi anugerah seniman model Jawa Timur-- berani melakukan terobosan yang lebih radikal dan dahsyat. Dan, itu terlihat signifikan dalam lonjakan penerbitan buku sastra berbahasa Indonesia dan Sunda pada 2008. Bersediakah para birokrat Jawa Timur membuat anggaran untuk itu? Beranikah para wakil rakyat membuat terobosan yang tidak populer tapi akan besar artinya bagi dunia sastra di Jatim dengan memasukkan anggaran penghargaan kepada para seniman dalam APBD 2009 nanti?

Pada dasarnya Anugerah Seniman Jawa Timur tak menekankan kualitas karya tapi lebih menggarisbawahi pada daya tahan dan kapasitas kesenimanan seseorang. Tak heran kalau seniman yang bergerak dengan semangat idealistik dan di bidang seni minoritas bisa bersanding dengan seniman pop-hiburan yang berkesenian untuk menyenangkan banyak orang. Seniman wayang klitik berbaur dan dianggap setaraf dengan seniman gambus; pematung yang kering berbaur dengan pelukis populer yang selalu sold out pada setiap pamerannya; pekerja teater berdampingan dengan seniman seni pertunjukan yang berbasis ritual macam reog Ponorogo; dan seterusnya. Tak heran bila kesenimanan seseorang terkadang dikaitkan dengan kemauan untuk membangkitan motivasi kreatif kepada para seniman yang sebenarnya. Dahlan Iskan, meski dibiaskan, mendapat penghargaan dalam level seniman, tapi bukan dari kualitas karya dan intensitas saat berkarya yang total, melainkan dari komitmennya dalam menggerakkan tangan-tangan kreatif para seniman daerah ini.

Lucu juga sebenarnya. Tapi lebih lucu lagi saat dibandingkan dengan para atlet yang dihargai Pemprov Jawa Timur bukan berdasarkan keatletannya tapi dari berapa banyak ia mampu merebut medali emas di PON. Seperti pada PON XVII/2008 Kalimantan Timur kemarin. Ada seorang atlet yang mendapatkan bonus lebih dari Rp 600.000.000 (ENAM RATUS JUTA RUPIAH!). Sebuah ''penghargaan'' yang setara dengan 5 tahun Anugerah Seniman Jawa Timur (yang diberikan kepada 10 seniman terpilih).

Lucu ya! Tapi ars longa vita brevis, karena sampai kini orang masih menyenandungkan tembang Tombo Ati dan memainkan lakon pakem atau sempalan pakem epos Mahabarata. Tak seorang pun yang ingat pada prajurit yang berlari ke Roma untuk mengabarkan kemenangan dalam perang. Dan, kita mengingat William Tell bukan karena jago memanah apel di kepala anaknya, sebagai tantangan pada otoritarian penguasa, tapi karena ia berani melawan kesewenangan aristokrasi dari si feodal. Memang![]

Beni Setia, Pengarang bukan sastrawan, tinggal di Caruban

Sumber: Jawa Pos [Minggu, 10 Agustus 2008 ]

Beberapa Catatan Seputar Pengiriman Tenaga Kerja ke Luar Negri

[a] Angka pengangguran makin besar, dan persaingan untuk merebut lowongan pekerjaan semakin ketat. Jangankan kelompok berpendidikan rendah, kelompok dengan ijasah diploma dan bahkan sarjana pun banyak yang menumpuk sebagai pengangguran. Persoalan ini bisa berkaitan dengan sistem perekonomian (misalnya: kurang suburnya


pertumbuhan ekonom berbasis kerakyatan), pemerataan pembangunan (terutama di sektor ekonomi yang salah satu indikasinya adalah masih derasnya arus urbanisasi), sistem pendidikan (terutama pendidikan formal yang menghasilkan banyak lulusan yang kemudian ternyata gagap ketika harus memasuki dunia kerja), didukung oleh faktor sosial budaya kita (misalnya sifat malas, malu untuk menjual, dan sebagainya).

[b] Dalam kaitannya dengan pengiriman tenaga kerja indonesia (TKI) ke luar negri, sering terdengar harapan, anjuran, atau seruan agar Indonesia terus berusaha untuk mengirimkan tenaga-tenaga trampil, dengan keahlian khusus, misal di bidang kesehatan, industri, dan sebagainya. Tetapi, sebagian besar TKI di luar negri tampaknya masih berkutat di sektor domestik (pekerja rumah tangga), dan sektor perkebunan/bangunan (sebagai kuli).

Harapan atau seruan demikian sekarang ini masih berbenturan dengan kenyataan: (a) pendidikan di negri ini (Indonesia, Red) masih tergolong mahal --Sering terdengar keluhan bahwa nilai ijasah yang bagus saja tidak cukup untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi dan (b) peluang kerja yang di buka oleh negara tertentu, misalnya Hong Kong yang hanya mau menerima perempuan pekerja asal Indonesia untuk sektor domestik. Akibatnya, agaknya banyak perempuan asal Indonesia yang terpaksa ’menyembunyikan’ ijasah sarjananya agar bisa bekerja di Hong Kong di sektor domestik itu.

[c] Masih dalam kaitannya dengan arus buruh migran atau pengiriman TKI ke luar negri, kita selalu direpotkan oleh kelompok TKI yang berangkat secara illegal. Diduga, faktor penyebabnya adalah panjangnya birokrasi dan/atau tingkat kemahalan biaya yang mesti dibayar untuk berangkat ke luar negri melalui jalur legal. Akibatnya, banyak pencari kerja memilih berangkat secara illegal walau mereka sudah mengetahui risikonya.

[d] Tampaknya pula banyak pekerja kita (TKI) yang kurang memiliki wawasan ekonomi yang positif. Mereka, kelompok ini, pergi ke luar negri untuk bekerja, untuk mendapatkan gaji, dan kemudian pulang ke tanah air untuk menikmatinya: membangun rumah dengan segenap isinya, serta membelanjakannya untuk keperluan-keperluan konsumtif lainnya. Akibatnya, ketika tabungan mereka habis, ketika tenaga masih memungkinkan, satu-satunya peluang yang mereka lihat adalah kembali ke luar negri. Mengingat hal seperti itu sangat penting untuk dikembangkan wawasan (ekonomi) yang positif pada mereka, bagaimana memanfaatkan uang hasil bekerja di luar negri itu sebagai modal untuk membuka usaha (ekonomi) di kampung halaman, sehingga masa-masa ketika mereka bekerja di luar negri itu bisa dipandang pula sebagai masa-masa ’sekolah’ atau pendadaran untuk membangun etos kerja yang baik ketika nanti sudah menjalankan pekerjaan/usaha sendiri.

Kalau upaya mengembangkan wawasan positif dan membimbing para mantan TKI untuk membuka usaha sendiri di kampung halaman mereka berhasil, sekian banyak tujuan bisa dirah dengan sekali dayung: pengentasan kemiskinan, pengurangan angka pengangguran, dan menggeliatkan perekonomian berbasis kerakyatan. Demikianlah beberapa catatan saya. Ada yang mau Anda tambahkan? [Budi Utomo]

Tbaloid Intermezo, Januari 2008

Catatan yang Tercecer dari Penyerahan Hadiah LCC-BI 2007

Secangkir Kopi Sastra di Ruang BCA Causeway Bay


''Secangkir kopi''
Sebait kalimat yang dikutip dari puisi 20 Juta untuk Sebuah Patung karya Tania Roos, adalah salah satu puisi yang mengisi acara pengumuman sekaligus penyerahan hadiah pemenang Lomba Cipta Cerpen (LCC) yang diselenggarakan oleh Koran Berita Indonesia.



BCA Causeway Bay yang biasanya hanya dikunjungi oleh BMI yang mau kirim uang atau menabung pagi itu (18 November 2007) mendadak ingar. Sekitar 60 penggemar sekaligus yang penggelut sastra hadir menyemarakkan acara penyerahan hadiah LCC.

LCC ini adalah untuk kedua bagi BI, karena sebelumnya pernah diadakan lomba karya tulis cerpen tahun 2003 dalam rangka memeringati HUT RI ke-58, Berita Indonesia bekerjasama dengan KJRI.

Sayangnya, sejak lomba karya tulis itu pihak penyelenggara terutama KJRI tidak lagi mengadakan lomba karya tulis yang sebenarnya sangat ditunggu-tunggu dan diminati oleh para BMI.

Mengapa LCC ada laghi tahun ini? Tania Roos selaku Ketua Panitia yang dipercaya oleh BI, dengan bahasa polosnya meyampaikan begini, ’’Saya yang mengudrek-udrek Pak Sam Jauhari supaya diadakan lagi lomba karya tulis cerpen.’’

Pak Sam Jauhari yang sudah tak asing lagi di mata BMI-HK, akhirnya menyetujui untuk diadakan lagi lomba cipta cerpen itu. Yang tahun ini diberi nama LCC Bulan Bahasa 2007. Menurut penuturan salah seorang panitia, Etik Juwita, kurang lebih 40 peserta telah ikut perpartisipasi mengikuti LCC yang penjuriannya dipercayakan oleh pihak BI kepada Sastrawan-sastrawan Jatim: Beni Setia, Bonari Nabonenar, dan Arief Santosa.

Sebelum pengumuman pemenang , para juri sempat membuat para peserta bertanya dan deg-degan, karena 15 Cerpen yang masuk nominasi diumumkan di Intermezo bulan Oktober 2007.

Dari sana bisa dikira-kira siapa yang akan menjadi pemenang. Pertanyaan para peserta akhirnya terjawab pada minggu 18 November 2007. Juara I Swastika Mahartika, Juara II Farida Supriyanti dan Juara III Tarini Sorrita. Dan 3 peserta lagi menduduki juara harapan satu sampai harapan tiga sedangkan yang lainnya mendapatkan penghargaan sebagai 15 besar.

Dan suatu kabar baik dari ketua panitia, bahwasannya 15 cerpen terbaik akan dibukukan. Sebenarnya bagi para peserta, hadiah bukanlah tujuan utama mereka, yang penting mereka bisa menyosialisasikan tulisan mereka kepada publik.

Dalam acara pengumuman serta penyerahan hadiah pemenang LCC dalam rangka Bulan Bahasa 2007, sekaligus temu muka para penulis di kalangan BMI, sebelumnya acara diisi dengan berbagai selingan pementasan karya seni oleh teman-teman dari Sekar Bumi, Nongkrong Bareng Fans, dan Forum Lingkar Pena Cabang Hong Kong.

Pementasan karya seni berupa puisi dan cerpen bagi Sekar Bumi sendiri adalah yang pertama kali karena Sekar Bumi adalah organisasi baru di Hong Kong khususnya di kalangan BMI-HK. Sekar Bumi adalah salah satu wadah baru untuk menyalurkan bakat-bakat BMI yang terpendam sama seperti organisasi lainnya yang sama misinya tentunya.

Selain puisi dan cerpen, teaterpun sempat mengisi selingan yang dipentaskan oleh kelompok FLP HK. Bahkan kita patut bangga karena teman kita pun ada yang sanggup menciptakan puisi berbahasa Jawa.

Walau baru pertama kali penampilannya membacakan puisi, Anggi alias Camat Sekar Bumi yang biasanya mementaskan tarian, dia sudah terbilang cukup baik dan menghayati puisi yang dibacakannya. Siang itu ada 4 buah puisi dan 2 cerpen yang mengisi acara selingan, di antaranya cerpen Hati yang Kapalan milik Etik Juwita yang dibacakan oleh Etik Juwita, cerpen Togog Jadi Ratu milik Tania Roos yang dibacakan oleh Anan Sekar Bumi.

Sedangkan 4 puisi yang ditampilkan adalah Pesan Arwah Seorang Babu karya Anan dibacakan oleh Ruba'iyah, 20 Juta untuk Sebuah Patung karya Tania Roos dibacakan oleh Hesti NBF, Srikandi karya Anggi Sarpani Sapon Sekar bumi dibacakan oleh Anggi sendiri, dan Aku mau Peduli karya Tarini Sorrita Sekar Bumi dibacakan oleh Tarini Sorrita, Dwijayanti, Dwi Sapon, dan Eni Fatmawati.

Acara pun diisi dengan bincang-bincang antar peserta lomba dan moderator, yang kebetulan siang itu dimoderatori oleh Afandi, Nugroho KJRI, Etik Juwita selaku panitia merangkap cerpenis dan Tania Roos selaku Ketua Panitia yang juga cerpenis.

Obrolan dibilang cukup seru seputar sastra dan solusi di masa akan datang bagi para BMI yang gemar menulis. Dari obrolan ringan itu terlihat jekas antusias teman-teman penulis untuk bisa tetap menulis dan kalau bisa KJRI pun dapat menyelenggarakan acara seperti LCC dan menyediakan tempat untuk BMI yang berbakat dan gemar tulis-menulis.

Ini disetujui oleh Pak Nugroho alias Nugi, namun dengan jujur dia bilang belum bisa menjanjikan. Semoga dengan adanya LCC ini KJRI pun membuka mata dan telinga untuk BMI yang gemar menggeluti sastra.

Kalau bisa KJRI pun bisa mengadakan workshop kepenulisan dan mendatangkan para sastrawan alias narasumber dari Indonesia ke Hongkong, seperti yang pernah dilakukan oleh Ida Permatasari pendiri Cafe' de Kosta dan Berita Indonesia bekerjasama dengan Garuda Indonesia 2005 lalu.

Maka, lomba menulis, workshop, atau kegiatan meningkatkan serta mengasah wawasan para BMI-HK pada dasarnya seperti halnya secangkir kopi. Ia bikin hangat, nambah semangat, lebih-lebih di pagi hari sebelum kerja yang sesungguhnya mesti dimulai. [Dwita Sekarbumi]

Sumber: Tabloid Intermezo edisi Januari 2008

Jatuh Cinta pada Sepi

Cerpen: Tanti

Langkahku terhenti sesaat ketika aku menyadari bahwa aku telah berada di tempat dimana banyak kenangan yang pernah merobek relung hatiku. Meninggalkanya atau tepatnya sebuah perpisahan yang mungkin tak pernah aku inginkan. Aku bahkan membencinya.



Jatuh cinta pada laki-laki asing, tak pernah ada dalam benakku sebelumnya, bahkan dari mimpi pun jauh. Tetapi itulah kenyataan yang ada sekarang. Aku sedang putus cinta dengan seseorang berkebangsaan asing. Awal perkenalanku mungkin juga karena aku sempat kerja sampingan tiap hari minggu di kantornya. Dari situ hubungan kami semakin dekat dan tanpa kami sadari benih-benih cinta itu perlahan hadir di antara kami. Meski pernah aku berjanji pada diriki sendiri aku tak akan jatuh cinta di negri gingseng ini, ternyata akhirnya aku terkena panah asmara itu. Perasaan yang aku sendiri tak pernah menginginkanya, tetapi aku pun tak mampu menolaknya.

Enam bulan sudah kisahku dengan dia yang akhirnya harus berakhir di sini dengan kepedihan yang mungkin aku sendiri yang merasakanya. Dan mungkin juga aku manusia terbodoh saat itu, aku sudah tahu pasti bahwa dia telah memiliki seorang bayi tak berdosa hasil hubungan dengan kekasihnya. Manusia bodoh kan diriku? Namun, mungkin juga itulah kata orang yang namanya cinta, tertutup bukan hanya hati, mata pun demikian.

Kembali aku langkahkan kakiku. Aku sudah berjanji untuk melupakanya, walau jujur aku butuh waktu. Pikiranku sekarang adalah bagaimana aku harus mendapatkan kembali pekerjaan yang telah hilang itu.

’’Rahma, hari ini kamu gak kerja kan?’’ tanya temenku, Liya, yang sejak tadi bersamaku. Aku hanya menggeleng. Aku yakin dia tahu apa yang aku rasakan. Kami berdua akhirnya berhenti pada sebuah tenda putih yang berada di dalam taman Victoria itu. Tatapku kosong tak tahu harus pada apa aku bersandar, ruang hatiku kosong walau aku sudah berjanji melupakanya. Seolah tahu yang aku rasakan, Liya menyodorkan sebuah buku baru untukku

’’Baru nih, kemaren baru dapet dari mbak Mur langganan bukuku.’’

Judul buku sekitar 200 halaman itu sempat menarik perhatianku. Jodoh. Aku tersenyum memandangnya.

’’Apa maksudnya nih?’’ Tapi dia malah mengedipkan matanya kepadaku.

’’Gak ada, aku hanya ingin kamu membacanya aja gak ada maksud apa-apa kok,’’ kembali dia tersenyum sambil mengedipkan matanya kembali.

’’Ok, aku tahu kok, makasih ya?’’ kataku sambil mulai membuka-buka buku yang baru aku terima dari Liya.

Tiba-tiba handphone-ku berbunyi, ada tulisan ’someone’ di sana yang berarti, itu telpon dari laki-laki yang pernah mengisi hari-hari indahku dan juga telah merobek hatiku. Aku tak mengangkatnya, mendiamkanya beberapa saat, aku dan Liya saling berpandangan

’’Coba kamu angkat apa maunya?’’ Liya mengulurkan handphone yang sejak tadi tak taruh di sampingku.

’’Sorry Liy, aku belum siap terlalu menyakitkan untuk saat ini, biarin aja ya?’’ Aku seolah memohon pada Liya yang segera meletakkan kembali handpone-ku di tempat semula. Aku mendesah perlahan, tak pernah tahu apa maunya dia. keputusan untuk berpisah mungkin sebuah keinginan bersama, tetapi kenyataanya memang awalnya sangat berat bagi kami, tapi aku berjanji pada diriku sendiri, aku harus kuat, harus mampu, aku tak boleh lagi menengoknya, menguak kembali luka lama yang begitu menyakitkan. Memikirkanya saat ini sangat memusingkanku, mungkin pantas jika di sebut aku membencinya, tetapi aku hanyalah perempuan biasa yang memiliki banyak kelemahan seperti perempuan biasa lainya.

’’Sebentar Liy, aku ke kamar mandi dulu ya? Gak tahu kenapa tiba-tiba kurasakan kepalaku pening memikirkan apa yang sedang terjadi. tak percaya kalau aku akan menjadi perempuanya yang hanya mungkin sebagai teman sepinya. Tak seoarng pun ingin aku bersamanya sejak dulu, tapi entah kenapa pula aku hanya ingin bersamanya ya? Memiliki laki-laki seperti dia mungkin memang membanggakanku. Tapi, bagaimana dengan yang sebenarnya terjadi pada diriku? Apakah selama aku menjalin hubungan denganya aku bangga? Atau justru aku merasa tertekan? Apakah mereka tahu yang sebenarnya aku rasakan? Apakah mereka mau tahu? Aku yakin mereka mengiraku baik-baik saja. Dan aku memang menginginkan mereka mengiraku baik-baik saja. Tak kurang dan tak lebih, hanya itu yang aku inginkan. Aku ingin hanya aku yang menanggung hubungan terlarang ini, bukan siapa atau siapa. Mencintainya sekarang hanyalah sebuah halusinasi. Dan aku harus aku menyingkirkannya, meski hanya halusinasi. Aku akan membiarkanya menjadi yang terbaik bagiku. Dan aku sudah berjanji pada diriku bahwa aku takkan berhubungan denganya lagi. Hanya itu saat ini yang ada dalam benakku. Keegoisan dia mengalahkanku, mengalahkan hatiku untuk tidak melawanya kembali, sekarang aku harus menganggap bahwa dia bukan apa-apa. Dia tidak pantas untuk dipertahankan, dia tak pantas untuk hidup di sampingku, dan dia tak pantas mendapatkanku. Aku telah berjanji pada diriku sendiri, apa pun yang terjadi aku akan tetap di jalanku yang sekarang, Benar-benar cintaku tak pantas untukknya. Bagiku dia sekarang adalah masa lalu yang harus aku sembunyikan dari semua orang. Baru sekarang aku sadar dan malu pada diriku bahwa sebenarnya yang aku lakukan sangatlah memalukan. Mencintai laki-laki yang salah bagiku adalah sesuatu yang baru, aku tak pernah jatuh cinta, atau mungkin aku terlalu sibuk dengan urusan yang tak seharusnya aku urusi? mungkin hanya Tuhan yang tahu tentang apa yang aku rasakan dan aku inginkan. Selama di negri asing ini mungkin aku hanya takut pada sepi, takut pada kesendirian. Jujur aku membencinya, membenci sepi yang selalu menggelutiku, menyelubungiku, aku benci, benci sekali. Sebuah pertanyaan yang sering dan sampai sekarang bahkan telah mengendap dalam pikiranku, apa sebenarnya yang menjadikanku seperti ini? Mengapa sepi selalu setia menemaniku? Mengapa? Apakah aku tak boleh bersama ingar-bingar? Apakah aku tak boleh bercinta dengan gaduh? Apakah aku tak boleh bermesraan dengan ramai? Apakah harus sepi yang mengakrapiku? Apakah harus semua itu yang temaniku? Apakah semuanya harus hampa? Atau karena sepi telah jatuh cinta kepadaku? Apakah karena sepi telah menjadi darah dalam dagingku? Aku tak pernah tahu. Yang aku tahu bahwa aku hanyalah perempuan biasa yang tak bisa jauh dari cinta.

Cinta? Sudah berapa lama sebenarnya aku tak pernah merasakan arti yang sebenarnya? Yang kata orang cinta itu sesuatu yang bisa memberi warna merah jambu pada pipi. Yang bisa membuat hatiku berbunga-bunga, yang bisa memberiku debar yang hebat, kapankah aku pernah merasakanya kembali? Atau karena aku telah melupakanya? Dan kenapa pula aku harus melupakanya? Apakah aku tak menginginkanya kembali? Mungkin aku lelah, aku capek dengan semua yang terjadi, dan mungkin juga aku tak menginginkanya lagi? Berarti aku pernah jatuh cinta kan? Ya, mungkin aku pernah jatuh cinta, tapi mungkin juga aku sudah ingin melupakanya, entah kenapa mungkin aku hanya ingin sejenak merasakanya, atau pula itu yang sebenarnya membuatku merasa sakit seperti ini? Sakit yang mungkin hanya aku sendiri yang merasakanya. Tak ingin aku pungkiri sebenarnya aku ingin merasakan keindahan itu lagi, tapi mungkinkah? Baru saja dia porandakan semua, atau sekali lagi karena aku mencintai laki-laki yang salah? Ya, mungkin ini kesalahan terbesar dalam hidupku yang aku takkan mengulanginya lagi? Tetapi aku memang harus heran pada yang namanya cinta, kenapa aku bisa terkena virusnya? Yang membuatku sakit, pedih, dan banyak hal lain yang sekiranya tak pernah aku mengerti. Hanya mungkin keadaanlah yang bisa membawaku dalam situasi seperti sekarang ini, sakit hati, jatuh cinta lagi-lagi pada laki-laki yang salah? Namun, aku sempat menikmatinya, menikmati cinta yang tak seharusnya aku nikmati, dan tak seharusnya aku pertahankan. Tapi aku mempertahankanya selama 6 bulan, waktu yang bisa di bilang lebih dari cukup untuk sebuah hubungan. Aku benar-benar menikmatinya, bersamanya kala itu sangat menyenangkan bagiku walau harus berakhir seperti ini, aku tak pernah menyesalinya, karena sebenarnya perasaanku padanya pun nyata dan bukan hanya sebuah permainan yang dia inginkan. Jujur aku tak tahu apakah dia mempermainkanku? Atau benar-benar perasaan itu ada? Namun sebenarnya aku sempat percaya bahwa dia mencintaiku walau hanya dalam hitungan detik. Aku yakin dia pernah mencintaiku walau hanya dalam satu helaan nafasnya. Bagiku sebenarnya sudah lebih dari cukup.

Sekarang dalam kenyataanya aku harus merelakan dia pergi, aku berjanji takkan ada lagi baginya ruang di hatiku.Tak akan ada, dan tak akan pernah, dia harus menjadi masa lalu yang aku tak boleh mengingatnya, harus!

Dan sekarang aku juga mantap melangkah tanpanya, dia bukan apa-apa dan siapa-siapa, tak penting lagi, cinta ini telah terkubur bersama waktu yang tetap akan temaniku hingga akhir perjalanan ini. []

Hong Kong, Desember 2007

Sumber:
Tabloid Intermezo edisi Januari 2008