Buruh dalam Wacana Media*

Mempertautkan buruh dan media sejauh ini menghadapkan kita pada persoalan menarik, yakni sejauh mana media merepresentasikan masalah-masalah perburuhan ruang-ruang beritanya. Persoalan pembelaan terhadap kepentingan buruh secara normatif tentunya menjadi kepentingan yang dominan dari setiap pemberitaan tentang perburuhan. Apalagi jika kita melihat bahwa wartawan sendiri dalam hubungannya dengan pemilik media juga dapat dikatakan sebagai buruh. Oleh karena itu pembicaraan mengenai dinamika pemberitaan buruh di media sesungguhnya memiliki titik singgung kepentingan. Di satu sisi wartawan merupakan narrator yang berkewajiban menyambung suara buruh, dan di sisi lain yakni kepentingan wartawan sendiri terhadap lembaga medianya, karena secara hukum bisa dikatakan bahwa wartawan juga seorang buruh.


Jika kita amati secara seksama, kecenderungan yang berlangsung di media kita tentang pemberitaan buruh nampaknya memang masih berkutat di masalah klasik perburuhan yakni tingkat upah yang rendah beserta dampak ikutannya seperti tingkat kesejahteraan dan pemogokan. Unjuk rasa perburuhan, apalagi menjelang hari buruh awal Mei lalu memang kerap menjadi tema diberitakan oleh media kita. Pada momen-momen penting perburuhan seperti itu, wacana publik digiring ke arah makro sistem perburuhan nasional seperti peraturan ketenagakerjaan, peningkatan kualitas buruh hingga ke soal sistem pengupahan.

Kendati demikian, terdapat ironi tersendiri ketika pemberitaan masalah perburuhan hadir di hadapan kita. Semenjak dulu sampai sekarang, seringkali berita-berita tentang buruh kurang sekali memanfaatkan buruh sebagai narasumber utama. Orang-orang yang dilibatkan dalam wacana perburuhan seringkali adalah pihak luar, para pakar atau pengamat dari pendidikan tinggi, maupun aktivis lembaga swadaya masyarakat. Tidak berarti bahwa mereka tidak menyuarakan aspirasi kaum buruh dengan baik, karena kenyataannnya banyak pemikiran dari mereka yang diberdayakan dan digunakan untuk pengambilan kebijakan perburuhan. Poin penting yang patut dicatat di sini adalah bahwa buruh itu sendiri akhirnya justru menjadi terpinggitrkan dari arena perdebatan publik. Sementara hakikatnya merekalah yang setiap hari bersinggungan dengan problem yang sedang diwacanakan.

Maka jangan heran jika perspektif maupun aspirasi orisinal dari kaum buruh sangat jarang muncul di berbagai wacana media maupun pengambilan kebijakan publik tentang perburuhan. Menjadi wajar kiranya jika sosok buruh sebagai penopang industrualisasi lantas teralienasi dalam konstelasi penciptaan opini publik maupun kebijakan nasional. Pada aras ini mestinya kita perlu merasa khawatir karena dalam wacana perburuhan itu, justru buruh menjadi sekadar obyek yang tetap berada di luar arena perbincangan. Wacana publik tentang buruh belum melibatkan buruh sebagai subyek yang diberi otonomi luas di ruang-ruang pemberitaan.

Hal ini dapat kita tilik dari berapa perbandingan narasumber yang ditampilkan oleh media. Kecenderungan yang terjadi adalah bahwa media menggunakan narasumber yang elitis, alias penggunaan orang-orang dengan kadar prominence tinggi. Jika “nama menciptakan berita”, penampilan tokoh publik memang mengindikasikan nilai berita yang tinggi. Ini berarti bahwa buruh praktis kurang mendapatkan tempat untuk menjadi sumber berita dominan, padahal sejatinya mereka sendirilah yang merasakan persoalan-persoalan hidup yang menghimpit mereka. Jika kita andaikan berita merupakan sebuah ruang representasi alias “arena kontestasi antarsubyek”, maka minimalnya suara buruh dibandingkan dengan narasumber lain membuktikan bahwa buruh tetap saja diposisikan sebagai bagian yang terpinggirkan. Buruh dalam pemberitaan tentangnya sekadar menjadi penonton saja. Modus pewacanaan seperti ini tentu saja patut dipertanyakan, karena kecenderungan demikian bisa berarti meminimalkan peran buruh di sisi aktor-aktor pengendali wacana.

Di sisi lain, sebagian pemberitaan tentang buruh dianggap sangat menarik jika mengandung nilai kemanusiaan. Ambillah satu contoh tentang kriminalisasi yang dilakukan pengusaha maupun penguasa terhadap buruh. Kasus Marsinah pada tahun 1993 misalnya, adalah sebuah kisah menarik tentang bagaimana buruh yang sudah berada di posisi pinggir itu dibunuh dan dibuang karena perjuangannya menuntut kenaikan upah pada perusahannya di Sidoarjo, Jawa Timur. Kasus ini cukup menjadi permicu bagi pers untuk memberitakannya secara beruntun, dikarenakan proses peradilannya yang lumayan panjang. Majalah Tempo misalnya, menurunkan pemberitaan tentang kasus ini selama delapan bulan pemberitaan. Peristiwa demi peristiwa yang terkait dengan peradilan kasus Marsinah diangkat ke dalam berita, bahkan selama masa itu majalah tersebut menurunkan dua Laporan Utama yang berisi investigasi atas kasus tersebut.

Pemberitaan Tempo tentang kasus sampai dengan tahun 1994 (pra bredel) barangkali sekadar satu anomali dari kecenderungan pemberitaan media tentang buruh. Dalam pengamatan penulis, semenjak tahun tersebut belum pernah ada pemberitaan investigatif serupa terhadap sejumlah kasus buruh. Kasus meninggalnya Titi Sugiarti, buruh sebuah pabrik tekstil di Jawa Barat, medio tahun 1994 yang konon juga disinyalir sebagai pembunuhan terhadap buruh juga tidak mendapatkan ruang yang cukup memadai dalam representasi media. Kesimpulan awal yang bisa ditarik dari kecenderungan ini ialah kurangnya greget media untuk melahirkan suatu pemberitaan yang memungkinkan isu perburuhan diberitakan dalam sebuah kemasan yang komprehensif. Berita investigasi sebenranya cukup menjadi kemasan yang memadai, dimana buruh sebagai subyek utama pemberitaan mendapat tempat yang cukup luas untuk direpresentasikan.

Terserak-seraknya pemberitaan buruh dalam pelbagai berita langsung nampaknya belum menjadi jawaban atas permasalahan: sejauh mana buruh mendapat tempat di media. Isu-isu buruh yang notabene masih sama itu diberitakan secara tidak konsisten dan keberadannya pun acak. Hal ini dapat berarti bahwa kesempatan buruh untuk mengaktualisasikan diri di dalam membentuk wacana publik masih sangat kurang. Di sisi lain, kemampuan akses media di kalangan buruh pun boleh dikatakan masih sangat rendah sehingga kesadaran tentang pentingnya media sebagai penyambung lidah buruh praktis juga kurang. Dalam konteks inilah sesungguhnya media perlu merubah perspektif jurnalisme dalam melihat problematika perburuhan pada umumnya. Buruh selayaknya diberi ruang yang memadai alias ditempatkan sebagai subyek yang mempunyai nilai penting, entah dengan memberikan ruang khusus untuk menyuarakan atau menuliskan persoalannya atau ditampilkan dalam format berita mendalam atau investigatif report.

Jika alternatif-alternatif di atas dapat dilakukan oleh media, maka buruh dan pembaca pada umumnya tentu akan bersyukur karena tampilan media tidak akan lagi dinilai sebagai bias birokrat maupun bias pakar. Penempatan buruh sebagai subyek yang mendapat tempat luas di media bisa berarti sebuah penghargaan akan pentingnya menyeimbangkan pemeranan antaraktor wacana di arena media kita. Hal terakhir ini penting sebagai agar media benar-benar menjalankan fungsinya sebagai alat kontrol atau yang lazim kita kenal sebagai watchdog. Terakhir, masyarakat tentu menginginkan agar jurnalisme kita mampu menjadi guru yang memberdayakan masyarakat dan bukan sebaliknya memperdaya masyarakat. Dahulu kita sempat mengalami masa-masa dimana sebagian besar media turut berperan sebagai agen hegemoni yang meninabobokan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perjuangan kelas buruh. Di era reformasi ini, tentunya hal yang demikian selayaknya ditabukan. Kemerdekaan pers yang dahulu diimpikan –dan sekarang menjadi kenyataan– hendaknya benar-benar menjadi pemicu semangat agar media berperan penuh melakukan kontrahegemoni kekuasaan negara beserta aparatusnya. Wallahu’alam bisshowab.


* Artikel ini dimuat di harian BERNAS JOGJA edisi 31 Mei 2007

dikopas dari sini

1 tanggapan:

semoga semua itu terwujud dengan cepat.