Pameran Foto BMI-HK: Tulungagung, Tangerang, Jember


YANG DIJEJALI PERNYATAAN KLISE
DAN YANG SEPI PEJABAT



Setelah Surabaya dan Trenggalek, hingga saat ini sudah 3 lokasi dipameri foto BMI-HK: Balai Rakyat Tulungagung, Jawa Timur --bekerja sama dengan Radar Tulungagung (17 – 18 Nov 2007), BLK-LN (PT Yonasindo Intra Pratama) di Tangerang, Banten (7 – 8 Desember 2007), kemudian di Gedung Poma Fakultas Ekonomi Universitas Jember, Jawa Timur --bekerja sama dengan SBMI Jawa Timur (17 – 18 Desember 2007). Seperti yang sudah-sudah, di sela-sela Pameran Foto diselingi diskusi.



Di Tulungagung, diskusi dihadiri pula oleh pejabat dari Disnaker setempat (walau bukan Kadisnaker-nya), pejabat eksekutif (walau bukan Bupati-nya), dan beberapa orang anggota Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten Tulungagung.

Pada sesi diskusi di Tulungagung, lagi-lagi terlontar pernyataan pejabat yang terasa sangat klise, yang lebih merupakan pesan agar para calon buruh yang memilih luar negri sebagai tempat tujuan mendapatkan pekerjaan memilih PJTKI yang benar-benar legal, bonafid, dan tepercaya. Pernyataan atau pesan seperti itu sekaligus mengabarkan kepada kita bahwa di tengah-tengah masyarakat masih terus berlaku perekrutan calon buruh migran yang direkrut secara tidak sah dan kemudian berangkat ke luar negri secara illegal. Maka, tampaknya kita perlu balik berpesan kepada para pejabat itu agar dalam upaya ’’melindungi segenap warga negara’’ pemerintah secara preventif melakukan upaya-upaya agar para perekrut illegal itu tidak berkeliaran di tengah-tengah masyarakat.

Persoalan berikutnya adalah, jika kemudian ternyata si calon buruh migran pun tahu bahwa ia akan diberangkatkan secara illegal dengan segenap risikonya dan tetap saja memilih jalan itu, pastilah di balik semua itu ada persoalan yang sungguhsungguh kompleks sifatnya, yang dijamin tak akan pernah tuntas hanya dengan imbauan-imbauan atau pesan-pesan.

Yang benar-benar beda rasanya adalah yang di Tangerang, ketika foto-foto BMI-HK dipamerkan di BLK-LN (PT Yonasindo Intra Pratama), para calon buruh migran yang akan diberangkatkan ke Taiwan, Singapura, Malaysia, dan Hong Kong sangat antusias mengamati foto demi foto yang dipamerkan. Apalagi ketika Ayu Andini --Kepala Cabang Jawa Timur yang mengundang Panitia Pameran Foto HK dan TKI Kita untuk berpameran di Tangerang itu-- meminta beberapa calon buruh migran yang pernah bekerja di HK untuk menjelaskan beberapa foto yang ditunjuk dan diberi hukuman menyanyikan sebuah lagu atau berjoget ketika keterangannya dinilai salah. Suasananya menjadi sangat hangat.

Pertanyaan-pertanyaan dari para calon buruh migran itu pun mengalir, baik dari mereka yang akan ke HK maupun ke negara lain. Salah satu pertanyaan yang cukup berkesan adalah, ’’Pak, tadi dikatakan bahwa di Hong Kong ada hal-hal negatif dan ada pula hal-hal positif. Manakah yang lebih kuat atau lebih banyak? Negatifnya atau positifnya?’’ Wah, ini pertanyaan yang memerlukan riset atau penelitian khusus untuk bisa menjawabnya. Maka, jawaban sementara yang bisa dikemukakan adalah, ’’Untuk sementara ini tampaknya skor-nya masih 1:1. Nah, oleh karena itu adalah tugas Anda, khususnya yang akan berangkat ke HK untuk kemudian membuat skor itu berubah menjadi 2:1, 3:1, 4:1 dan seterusnya untuk kemenangan hal-hal yang positif.’’ Bukan jawaban yang pasti, tetapi mereka tampak memahaminya, dan menunjukkan ekspresi: puas.

Lain di Tulungagung, lain di Tangerang, lain pula di Jember. Diskusi di sela-sela Pameran Foto BMI-HK di Jember semula dimaksudkan berjalan dengan topik ’’BMI HK Nyastra’’. Tetapi, karena sebagian besar yang hadir adalah para mantan BMI, aktivis perburuhan, dan mahasiswa Fakultas Ekonomi UNEJ (kalau ada mahasiswa Fakultas Sastra, agaknya cuma seorang dua orang) diskusi pun meluncur ke persoalan-persoalan di luar sastra. Tetapi, lumayanlah. Setidaknya, pernyataan-pernyataan yang sangat benar tetapi sekaligus terasa sangat klise seperti di Tulungagung tidak terulang lagi. Kalau ada yang terasa mengganjal di Jember adalah ini: Mengapa tak seorang pun pejabat di lingkungan Pemkab Jember tertarik untuk melihat foto-foto BMI-HK ini ya?

[Intermezo, edisi Desember 2007]

dikopas dari sini

Bongkar Human Trafficking di Tulungagung [2]

Pria Bayar Rp 8 Juta, Wanita Potong Gaji


Para korban trafficking bersedia pergi ke Malaysia karena diiming-iming pekerjaan dan gaji tinggi oleh Tomo Cs. Namun, mereka tak tahu kalau PJTKI yang akan memberangkatkannya adalah fiktif. Mereka pun mengaku telah menyerahkan uang adiministrasi, bahkan setelah bekerja di luar negeri gajinya akan dipotong.



Berdasar informasi yang dihimpun Radar Tulungagung, besarnya uang yang dibayar masing-masing korban tidak sama. Ada yang cuma Rp 750 ribu, hingga Rp 8 juta. Tapi ada juga yang tidak membayar sepeser pun. Yang tak bayar ini dialami oleh semua korban wanita. Mereka hanya dikenai sistem potong gaji kalau sudah bekerja.

Itu berbeda dengan calon TKI laki-laki yang masih juga dikenai membayar biaya dengan kisaran di atas. "Kami dikenai potong gaji selama lima bulan," tutur Priadi, 25, salah satu korban asal Ponorogo.

Dalam kejadian itu Priadi mengaku telah membayar uang Rp 1 juta. Selama ini Priadi memang ngebet bisa merantau ke Malaysia dengan mencari ringgit untuk mengubah nasibnya agar lebih baik. Ungkapan hampir senada juga disampaikan beberapa korban lain seperti Maimunah, Suliha dan Darmi. Mereka menuturkan tertarik dengan promosi yang ditawarkan oleh PL (semacam tenaga perekrut lapangan PJTKI) karena proses dan biayanya yang relatif mudah serta efisien.

Berbagai dokumen penting seperti KTP, KK dan akta kelahiran juga telah diberikan. "Kami sama sekali tidak tahu jika dokumen kami tidak digunakan. Apalagi diganti palsu," tutur Maimunah dengan nada menyesal. Kebanyakan korban merasa malu dengan kejadian tersebut. Bahkan tidak sedikit yang mengaku kapok. Tidak ingin melanjutkan keinginan mereka mencari ringgit ke negeri Jiran. "Lain kali kalau tidak benar-benar resmi saya tidak mau. Kami benar-benar merasa dirugikan serta malu dengan kejadian ini," ujar Maimunah.

Anehnya, meski sebagian korban mengaku telah menyetor uang hingga jutaan rupiah, tersangka Tomo justru mengatakan sebaliknya. Di hadapan polisi dia mengaku hanya mematok bayaran Rp 550 ribu dari para korban yang disebutnya sebagai calon TKI. Berkurangnya nilai pembayaran itu diduga karena permainan para PL yang bertugas melakukan perekrutan di lapangan. Tomo juga menolak disebut sebagai pemilik PJTKI fiktif. "Saya cuma membuatkan dokumen palsu ini lho Pak. Itu pun baru dua bulan ini berjalan," kilahnya. (des/cam)

Dikopipaste dari Jawa Pos Radar Tulungagung, Jumat, 29 Feb 2008

Bongkar Human Trafficking di Tulungagung [1]

Gagalkan Penyelundupan 20 TKI
Pelakunya PNS, Korban Sembilan Wanita

TULUNGAGUNG - Upaya penyelundupan perdagangan manusia (trafficking) dibongkar jajaran Polres Tulungagung. Sebanyak 20 korban berhasil diselamatkan ketika akan diangkut pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) ilegal ke Solo, Jawa Tengah, dengan rencana berikutnya akan dikirim ke Malaysia. Mereka yang tengah menumpang kendaraan Bison nopol AG 7013 S dicegat polisi ketika melintas di jalan umum Desa Ngranti, Boyolangu, kemarin malam.




Operasi penggerebekan yang dilakukan pukul 21.00 WIB itu menemukan sedikitnya sembilan wanita, di antaranya dua orang masih berusia di bawah umur. Selebihnya, 11 laki-laki berada di dalam satu kendaraan bersama wanita tersebut. Para calon TKI/TKW yang akan diberangkatkan menuju Solo itu merupakan rombongan gelombang kedua. Sebelumnya, kendaraan pertama telah berangkat lebih dulu dengan ditumpangi 21 orang.

Siapa pembawa calon TKI/TKW tersebut? Sindikat penyelundupan ini diduga diotaki seorang PNS yang bertugas di lingkup Badan Pengawas (Bawas) Tulungagung yang diketahui bernama Tomo Adi Wibowo,42. Usaha yang dijalankan Tomo ini diperkirakan sudah memakan ratusan korban untuk dikirim ke negeri Abdullah Badawi ini.

Kapolres Tulungagung AKBP Trihadi Sutono mengatakan, sindikat perdagangan manusia tersebut telah lama diincar polisi. Pihaknya baru bergerak ketika mendapat informasi dari intelejen yang menyebut bahwa malam itu akan ada pemberangkatan dua rombongan TKI ilegal menuju Solo. Malam itu, polisi langsung menuju sasaran. Hasilnya, satu unit mobil Bison yang mengangkut 20 orang TKI itu berhasil dicegat saat melintas di jalan umum Desa Ngranti, Kecamatan Boyolangu. Tapi satu unit Bison lain yang mengangkut 21 TKI telanjur lolos. Rombongan pertama itu diduga sudah berada di sekitar Madiun saat mobil bison kedua yang disopiri Sunarto dicegat tim buru sergap (buser) Polres Tulungagung. "Penyelundupan manusia ke luar negeri tanpa disertai dokumen yang sah ini bisa kami kategorikan sebagai kasus trafficking. Para tersangka akan kami jerat dengan pasal berlapis sesuai pelanggaran yang telah dilakukannya," kata Kapolres Tulungagung AKBP Trihadi Sutono.

Dalam pemeriksaan, polisi berhasil mengungkap orang yang memberangkatkannya. Polisi menemukan nama Tomo Adi Wibowo sebagai bos dari PJTKI itu. Akhirnya Tomo yang warga Pucung, Kecamatan Boyolangu, ditangkap di rumahnya. Tidak hanya Tomo yang diringkus. Tiga orang lainnya yang terlibat dalam jaringan PJTKI ilegal itu juga dibekuk. Mereka adalah Afifah, 25, Desa Plosokandang, Kecamatan Kedungwaru, Wasis, 26, warga Desa Jengglungharjo, Kecamatan Tanggunggunung, serta Kamidi, 50, warga Desa Panjer, Kecamatan Rejotangan. Kini mereka diamankan di mapolres Tulungagung. Sedang para korbannya, juga dibawa ke mapolres untuk dimintai keterangan. Saat di markas polisi itu para korban dipertontonkan film tentang trafficking.

Dalam menjalankan aksinya, empat tersangka tersebut memiliki peran beda. Tomo berperan sebagai pemilik PJTKI fiktif. Afifah merupakan tenaga administrasi yang mengurusi proses pemalsuan sejumlah dokumen seperti KTP, kartu keluarga maupun akta kelahiran para korban. Sementara Wasis dan Kamidi berperan sebagai penanggung jawab pengiriman serta PL atau pencari korban atau tenaga kerja yang akan dikirim ke luar negeri. Keempat orang ini ditangkap secara bergiliran sesaat setelah rombongan korban trafficking kedua yang menumpang mobil Bison nopol AG 7013 S berhasil digagalkan petugas.

Selain menahan empat tersangka, polisi juga mengamankan sejumlah barang bukti penting seperti uang belasan juta rupiah yang diduga hasil trafficking, satu set komputer, printer dan scaner untuk memalsu dokumen penting, puluhan KTP, KK dan akta kelahiran palsu serta satu unit mobil bison. "Kami masih akan melakukan pengembangan penyelidikan. Sebab, tidak menutup kemungkinan jaringan Tomo telah melibatkan sindikat yang sama di daerah-daerah lain," tandas kapolres serius.

Sinyalemen yang dikatakan kapolres Tulungagung ini tidak lepas dari pengakuan tersangka Tomo yang menyebut pihaknya bekerja sama dengan banyak biro PJTKI di daerah lain. Seperti Malang, Blitar, Trenggalek, Kediri, Ponorogo, Lombok maupun Tulungagung sendiri. PJTKI fiktif milik Tomo juga bekerjasama dengan sebuah Biro perjalanan Bijak milik Ny Bari yang beralamat di Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. "Semuanya masih lidik. Kami akan coba berkoordinasi dengan jajaran kepolisian daerah lain untuk menggali lebih lanjut kasus ini," sambung kapolres.

Hasil dari penyidikan polisi sementara menemukan fakta bahwa aktivitas ilegal tersebut dilakukan Tomo sejak tahun 1996. Itu artinya, selama 12 tahun jaringan ini telah menyelundupkan tenaga kerja keluar negeri dengan tujuan utama Malaysia. Sesuai buku administrasi yang disita petugas, korban trafficking Tomo cs telah mencapai ratusan orang. Pengiriman rata-rata dilakukan seminggu dua kali. Setelah menuntaskan pemalsuan dokumen, para korban lantas dikirim menuju Solo untuk mengurus paspor. Tahap ini pula yang kemarin dilakukan Tomo saat mengirim dua rombongan TKI ilegal menuju Solo. Sesuai rencana, mereka baru akan diberangkatkan menuju malaysia pada Jumat besok menggunakan kendaraan darat dan laut setelah transit di kota Medan.

Kabag Binamitra Polres Tulungagung Kompol Suparno memastikan keempat tersangka akan dijerat tiga pasal sekaligus. Yakni UU no no 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang; UU no 39 tahun 2004 pasal 102/103 tentang penempatan dan perlindungan TKI serta pasal 263 KUHP tentang tindak pidana pemalsuan. Ancaman hukuman maksimal dari ketiga jeratan pasal tersebut adalah hukuman penjara selama 15 tahun penjara serta denda maksimal Rp 120 juta. (des/cam)


Dikopipaste dari Jawa Pos Radar Tulungagung, Jumat, 29 Feb 2008

Kumpulan Cerpen Kawannya IMWU

Salam Sastra,

Bagaimana kabar, Kawan-kawan? Mudah-mudahan baik-baik saja. Kalaupun ada yang sedang tidak baik, semoga segera menjadi baik. Atau, bagaimana kalau yang tidak baik itu dijadikan cerita pendek (cerpen), lengkap dengan bumbu penyedap rasa? Serius nih!




Lho, iya, diolah tuh, jadi sebuah-dua buah-tiga buah cerpen. Ini mumpung IMWU sedang punya sebuah gawe, dimulai sejak SEKARANG sampai selesainya, 30 Maret 2008. Khusus untuk anggota IMWU. Bikin buku kumpulan cerpen. Temanya : Kehidupan selama jadi BMI. Terserah mau soal cinta, keluarga, masalah sosial, dan lain-lain. Boleh isi sebenarnya dari kisah nyata. Tapi mbok yao dibumbui lagi, biar rasanya semakin lezat. Semakin sedap dibaca sebagai cerita rekayasa, bukan lagi kisah nyata.

Nah, kalau berminat, buatlah cerpen sepanjang 4-6 halaman kertas A4 (kwarto) diketik dengan spasi 1,5 dan ukuran huruf/font 12. Cerpen karya sendiri, bukan jiplakan. Belum pernah dimuat di media massa cetak/elektronik, atau tidak sedang diikutkan dalam sayembara manapun. Kirimkan via email ke alamat : imwu@asian-migrants.org atau diantar langsung ke Sekretariat IMWU. Boleh mengirim lebih dari satu cerpen. Jangan lupa sertakan biodatanya ya.

Panitia akan memilih 15 cerpen terbaik, dimuat dalam buku kumpulan cerpen ini nantinya, dan satu cerpen terbaik sekaligus kelak menjadi judul buku. Bagi kawan-kawan IMWU yang cerpennya dimuat, akan mendapat 3 (tiga) buku kumcer itu. Keterangan lebih lanjut, hubungi telp. 852-61585397 (Sring), 852-92033491 (Mega), 852-95890082 (Rudi)


Terima kasih atas perhatian dan keikutsertaan kawan-kawan.
dikopipaste dari blog-nya IMWU

Potret BMI Hong Kong dan Persoalan Sudut Pandang


Oleh Etik Juwita

Setiap orang atau kelompok melihat kondisi BMI di Hong Kong dengan cara berbeda. Ada yang simpatik, ada yang sinis. Semua tergantung pada pengetahuan dan kepekaan yang mereka miliki dalam melihat akar masalah.




BEBERAPA waktu lalu, saya menerima SMS dari seorang kawan yang sedang menyiapkan pameran foto buruh migran keliling kabupaten-kabupaten di Jawa Timur “Yang sekarang ada sebanyak 80% foto happy, wah. Kalau mungkin, panitia mengharapkan foto yang tidak ‘wah’, biar imbang sebagai potret”, demikian bunyi SMS itu.

Pameran itu dimaksudkan memberi gambaran tentang kehidupan komunitas Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Sehingga diharapkan bisa mengurangi culture shock (kejutan budaya) bagi calon buruh migran yang ingin bekerja di luar negeri. Dengan demikian, potret yang diharapkan adalah potret apa adanya, sewajarnya kehidupan buruh migran dengan warna-warna yang ada. Maksud saya, potret yang baik dan juga potret yang buruk.

Pertanyaannya kemudian, gampangkah menemukan potret buruk kehidupan BMI-Hong Kong, ketika gambar-gambar itu lebih mudah dihasilkan oleh jepretan kamera teman-teman buruh yang sedang merayakan hari istirahat setelah enam hari berada dalam rumah majikan? Mungkinkah gambar yang nanti ditampilkan akan menunjukkan bahwa buruh-buruh ini yang notabene punya perilaku sama dengan orang berprofesi apa pun (reaksi refleks bilang cheezzz bila sedang di’jepret’) akan mengatakan persoalan mendasar buruh migran yang selama ini sangat ruwet?

Persoalan buruh migran yang masih ruwet hingga saat ini adalah bagi hasil antara pemilik modal (PJTKI dan Agen) plus keruwetan penanganan BMI yang jadi rebutan antara Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) dan Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans).
Ini membuat persentase angka yang disebutkan dalam SMS yang saya terima itu menuntun pada pertanyaan: “Mungkinkah BMI di HK sengsara jika yang muncul adalah foto mereka yang terlihat gembira, berpakaian warna-warni dengan merek yang mungkin hanya mampu dibeli oleh masyarakat kelas menengah di Indonesia? Benarkah ada yang tidak sedang bergembira? Yang tidak sedang kelihatan “wah”?

Soal perspektif

SMS yang dikirim kawan saya menunjukkan bahwa seolah tak ada BMI sengsara di Hong Kong karena terbukti 80% foto yang ia terima melulu potret “happy”. Atau sebenarnya ini masalah perspektif? Artinya, ada dan tidaknya persoalan buruh sesungguhnya juga bergantung pada sudut pandang masyarakat umum dalam menyikapi kehidupan yang ditempuh BMI Hong Kong.

Saya tak yakin orang akan menyadari dirinya bermasalah atau menimbulkan masalah dengan sendirinya, tanpa membandingkannya dengan lingkungan di luar dirinya.
Dengan menunjukkan gambar “wah” sekilas, sebagian orang akan beranggapan BMI Hong Kong makmur. Ini satu hal yang selayaknya jadi barometer negara pengguna jasa BMI lainnya agar pekerja sektor rumah tangga diakui sebagai tenaga kerja.

Namun kontras dengan gambar ini, bentuk penyikapan potret BMI yang sebenarnya dan sangat unik justru mucul dari pemerintah. Bahwa gaya hidup BMI Hong Kong yang cenderung flamboyan dan berbeda dengan kehidupan ketika masih berada di kampung di Tanah Air ini dinilai permerintah sebagai penyimpangan terhadap budaya bangsa. Lebih unik lagi ketika “kegelisahan” pemerintah ini kemudian terungkap dalam berita di sebuah surat kabar berbahasa Inggris yang terbit di Hong Kong, beberapa waktu lalu.

Dalam berita itu disebutkan bahwa gaya hidup BMI yang mewah (mewarnai rambut, bertindik, dan membeli barang mewah seperti telepon genggam) telah sampai pada tahap yang mengkhawatirkan yang ditakutkan akan merendahkan reputasi bangsa di mata orang asing. Untuk mengurangi hal ini, tulis berita itu lagi, perwakilan pemerintah Indonesia di Hong Kong membuat konser hiburan, tari-tarian, dan penggalakan kegiatan keagamaan.

Jadi ini masalah perspektif bukan? Sehingga jika kembali lagi pada “baik-buruk” sebuah potret sebenarnya tergantung pada bagaimana kita menyikapi dan melihat sebuah keadaan.

Pemerintah mungkin gelisah akan opini publik tentang keadaan BMI di Hong Kong. Kawan saya mungkin mengharapkan dalam pamerannya akan muncul penggambaran keadaan BMI Hong Kong yang sebenarnya, susah maupun senang. Media yang terbit di Indonesia, yang mengirimkan wartawannya yang terkejut-kejut ke Hong Kong, mungkin lebih suka menuliskan “gaya hidup” yang kemudian mereka sebut unik dan akan jadi “oleh-oleh spesial dari Hong Kong” (cerita lesbian, barangkali).

Sebagai BMI yang kesulitan mendapatkan gambar rekan saya yang sedang sengsara (yang sejatinya benar-benar ada dan banyak), maka mendengarkan siaran radio BBC lewat tengah malam waktu Hong Kong di bulan Agustus, mengejutkan saya. Di tengah pesta peringatan kemerdekaan RI tahun ini, radio tersebut menyiarkan bahwa ada rekan saya yang tidak beruntung dan sedang berada di shelter Koalisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (Kotkiho).

Saya kemudian sampai pada kesimpulan bahwa penggambaran potret BMI Hong Kong pada akhirnya tergantung pada bagaimana perspektif yang dimiliki setiap orang. Tergantung pada seberapa jauh pengetahuan dan kepekaan yang mereka miliki dalam melihat akar masalah.

Penulis adalah BMI di Hong Kong

Catatan: tulisan inipernah dimuat SUARA

Lik Kismawati Ingin Buka Cafe dan Terus Menulis


Jadi TKI sekitar 7 tahun di Hong Kong cukup baginya. ’’Saya usahakan tidak balik lagi jadi TKI,’’ tegas lajang asal Desa Kraton, Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, ini. Lantas, apa mimpi Lik Kismawati selanjutnya?



Di keluarganya, Lik—sapaan Lik Kismawati—anak sulung dari 4 saudara. Sebagai anak sulung, gadis 27 tahun ini sadar benar perannya dalam keluarga. Terlebih, keluarganya bukanlah tergolong keluarga berada. Bahkan, ekonomi keluarga boleh dibilang pas-pasan.

Karena kondisi ekonomi yang tidak mendukung pula, Lik hanya dapat mengenyam pendidikan hingga kelas 2 SMA. Lalu, bekerja menjadi TKI di luar negeri menjadi pilihan utama setelah terpaksa drop out dari sekolah.

Gadis berbintang Gemini yang ramah ini jadi TKI sejak November 1999. Hong Kong jadi negeri tujuannya, hingga mengakhiri status TKI-nya pada 15 Juni 2006 lalu. Di Hong Kong, ia merasa bersyukur karena selama bekerja tidak mendapat masalah yang memberatkan. Majikannya orang Hong Kong asli. Tuan seorang pegawai restoran, Nyonya bekerja di sebuah rumah sakit.

Di Hong Kong, Lik aktif di organisasi Indonesiaan Migrant Worker Union (IMWU), dan di komunitas penulis: Komunitas Perantau Nusantara (Kopernus), dan Café de Kosta.
Sebagai anggota IMWU, November 2005, Lik dipercaya mewakili organisasi TKI itu ke Korea selama 12 hari.

Makin Percaya Diri

Karya tulis pertamanya di media berupa reportase, yakni di Tabloid Suara, Hong Kong. Munculnya karya pertama di media itu membuat Lik semakin percaya diri dalam menulis.

Alhasil, selain muncul tulisan berikutnya, karya Lik juga muncul di media lain, seperti Intermezo, Sinar Harapan, Surya, Ekspresi, dan Apa Kabar. Bahkan, cerpen Lik juga dimuat di beberapa buku kumpulan cerpen bersama: Kumpulan Cerpen Srikandi (2006), Nyanyian Imigran (2006), dan Selasar Kenangan (2006).

Dalam dunia kepenulisan, Lik juga mampu menyabet prestasi dalam lomba. Gadis yang tidak menyukai makanan yang pedas-pedas ini berhasil meraih juara 2 sekaligus juara harapan 3 dalam sayembara penulisan cerpen yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong tahun 2005.

Sedih di Negeri Orang

Kesedihan biasanya menggerus batin saat Lebaran tiba. Bagi umat muslim seperti Lik, lebaran galibnya jadi saat yang bahagia karena hari itu merupakan hari kemenangan setelah berhasil mengekang hawa nafsu selama bulan Ramadan. Dan sejak kerja di Hong Kong, sebanyak 6 kali Lik melewatkan lebaran tanpa keluarga.

Perasaan haru karena lebaran jauh dari orang-orang yang dicintai, kata Lik, dirasakan oleh kebanyakan TKI di Hong Kong. ’’Karena itu, saat salat Ied, rata-rata jadi hujan tangis. Sepertinya nggak ada yang nggak menangis. Ingat anak, suami, orangtua, serta saudara yang mereka tinggalkan,’’ ungkap Lik mengenang pengalaman Lebaran di Hong Kong.

Namun, kesedihan yang paling memukul perasaan Lik adalah ketika Sutrisno, ayahnya yang bekerja sebagai supir pulang ke Rahmatullah Desember 2003 saat Lik berada di Hong Kong dan tak bisa pulang untuk melihat ayahnya untuk yang terakhir kali. ’’Perasaan sedih banget ketika itu,’’ kata Lik yang mengaku belum punya calon pendamping hidup.

Ingin Buka Café

Setelah kembali ke tanah air, Lik mantap tidak akan kembali jadi TKI. Ia berusaha untuk tidak kembali lagi ke luar negeri. ’’Aku ingin berwirausaha. Aku akan coba survai, cari-cari celah untuk berwiraswasta, apa yang cocok dan bisa dijalankan, sembari melanjutkan menulis yang tersendat sejak kembali di Indonesia,’’ katanya.

Sebagai salah satu persiapan, sekarang Lik sudah membeli sebidang tanah di Daerah Gresik. ’’Saat ini belum tahu untuk apa tanah itu. Tapi aku kira prospeknya bagus dan rasanya strategis untuk usaha. Karena, dengar-dengar di sana sebentar lagi ada jalan tol dan akan dibangun terminal.’’

Usaha apa yang ingin dibuka? ’’Sekarang aku lagi pasang kuda-kuda untuk buka café. Pengin buka café karena di lingkunganku masih ada nafas untuk usaha itu.’’

Terus Menulis

Lik mengaku aktivitas menulisnya tersendat sejak kembali di Indonesia. Menurutnya, suasana di Indonesia, terutama di lingkungan tinggalnya, berbeda jauh dengan di Hong Kong. Di Hong Kong dirinya bisa berdiskusi dengan teman-teman sesame TKI dan bisa menulis dengan tenang meskipun waktu untuk itu sangat terbatas.

Sementara di Indonesia, di rumah, Lik merasa kurang iklim yang kondusif untuk menulis. Ada saja gangguan ketika menulis, keluhnya. Namun, Lik akan berusaha beradaptasi dengan lingkungan barunya dan terus menulis.

Di akhir percakapannya dengan Peduli, Lik yang terlibat langsung dalam penanganan anak-anak pascagempa Yogyakarta bersama mahasiswa KKN UGM dan Komunitas Merapi beberapa waktu lalu, titip pesan untuk teman-teman TKI yang masih di luar negeri.

Apa pesannya? Hati-hati dengan uang hasil kerja. Jangan boros-boros dengan gaji.


DATA DIRI

Nama: Lik Kismawati
TTL: 12 Juni 1981
Alamat: RT/RW 20/04 Dusun Parengan, Desa Kraton, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo
Orangtua: Sutrisno (ayah, alm.) dan Mariatun (ibu).
Bintang: Gemini.
Status: Lajang.
Kreativitas: Menulis reportasi, cerpen, puisi, cerbung. Mulai menulis sejak jadi TKW.
Publikasi karya: Tabloid Suara (Hong Kong), Tabloid Intermezo (Hong Kong), Tabloid Apa Kabar, Majalah Ekspresi, Sinar Harapan, dan Surya. Cerpennya juga ada di buku Kumpulan Cerpen Srikandi (2006), Nyanyian Imigran (2006) dan Selasar Kenangan (2006).
Prestasi: juara 2 sekaligus juara harapan 3 dalam sayembara penulisan cerpen yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong tahun 2005.

Buruh Bicara, Buruh Bersastra

KEMARIN, 1 Mei, adalah Hari Buruh Internasional. Jika para buruh di berbagai belahan dunia berdemonstrasi, sekelompok buruh merayakan hari itu dengan cara lain. Ya, para buruh migran itu mengadakan Festival Sastra Buruh di Gogodesa, Kecamatan Kanigoro, Blitar, Jawa Timur, pada 30 April-1 Mei. Sejak awal mereka memang bersepakat untuk memperkenalkan karya seni, membaca puisi, dan berteater. Ajang itu juga menjadi bagi pengalaman lewat sastra mengenai kehidupan kaum buruh.



Ya, nasib buruh migran ternyata tak jauh beda dari buruh lokal. Namun memang masalah buruh migran lebih kompleks. AA Syifai, salah seorang penggagas festival itu, menuturkan kebijakan pemerintah sejak penyaluran tenaga kerja sampai soal perlindungan amat longgar.

"Lebih dari 50% biaya pengurusan kerja di luar negeri habis di tangan penyalur. Ya, dari pialang sampai menteri ambil jatah," ujarnya.

Rumah tangga juga sering bermasalah karena kepergian mereka ke luar negeri. " Banyak teman saya mengeluh sang suami kawin lagi," ujar Maria Bo Niok.

Mantan buruh migran di Hong Kong yang sekarang menjadi penulis itu menuturkan banyak rekannya ternyata menulis. Nah, Festival Sastra Buruh adalah ajang bagi para buruh migran yang menjadi penulis, khususnya yang bekerja di Hong Kong.

Apa yang melatarbelakangi kepenulisan menulis? "Tidak lain tak bukan adalah keadaan," kata Maria.

"Dulu saya beranggapan mereka menulis untuk sekedar curhat. Ternyata karya mereka luar biasa," ucap Bonari Nabonenar, sastrawan yang belakangan dekat dengan buruh migran.

Dia bersama bersama rekan-rekannya tak mempermasalahkan apakah genre sastra buruh benar-benar ada. "Saya hanya berproses dengan teman-teman buruh yang menulis. Lepas dari ukuran apakah itu sastra buruh atau bukan."

Dekan Fakultas Bahasa dan Seni Unnesa, Surabaya, Setyo Yuwono, menilai buruh menulis sungguh positif. "Di kampus saja saya kesulitan mengembangkan atmosfer bersastra," ujarnya.

Dia menyatakan salut karena di sela kesibukan sebagai buruh, mereka bisa memanfaatkan teknologi untuk menjalin komunikasi antarpenulis. "Padahal, banyak mahasiswa gagap teknologi. Membuka internet saja tak bisa," katanya.

Beni Setia menganggap stigma ideologi kiri yang melekat pada buruh bukan kesalahan mereka. "Kita harus bisa melihat sastra secara objektif. Jangan dilihat semata-mata dari latar belakang sang pengarang," ujar cerpenis yang bermukim di Madiun itu.

"Kalaupun ada ideologi dari luar, itu semata-mata karena ada penggerak dari luar yang bisa menerapkan teori pada buruh," katanya. Sastra karya buruh migran, ujar dia, membuktikan bahwa karya tak bisa dilihat cuma dari satu sisi. "Kualitas karya mereka mematahkan banyak pendapat miring tentang buruh."

Para buruh migran itu menulis karena kegelisahan. Dan, aksi budaya mereka bisa menjadi representasi keperihan hidup di negeri orang.(Sony Wibisono-53)


Sumber: Suara Merdeka, Kamis 3 Mei 2007

Naik Garuda Gratis karena Tulisan


Beberapa waktu lalu (08/02/06) Tarini Sorrita (34), salah seorang anggota Cafe de Kossta, pulang kampung (Cirebon, Jawa Barat). Kesempatan cuti itu sekaligus dimanfaatkan Rini --begitulah sapaan akrap ibu seorang gadis 11 tahun ini—untuk meluncurkan buku cerpen-nya, Penari Naga Kecil (PNK). Acara peluncuran buku cerpen itu menyusul kesuksesan pentas sastra buruh migran yang sebelumnya telah beberapa kali digelar di Surabaya, Blitar, Jogjakarta, Wonosobo, Jember, bersama para penulis: Denok Rokhmatika, Etik Juwita, Maria Bo Niok, Winna Karni, Tania Roos.



Menjelang tengah malam yang dingin pada tanggal 10, Rini bertolak dari Cirebon ke Jogjakarta bersama ayah, ibu, dan putri tunggalnya, Wati Suhartini (11).

Siang harinya, saya datang dan segera bergabung dengan mereka yang sudah beristirahat bersama panitia: Maria Bo Niok yang kemudian jadi moderator acara dan Mr Gunkid. Bahkan cuci muka pun belum sempat, Maria sudah mengajak pergi ke Sekolah PRT (Pekerja Rumah Tangga) yang didirikan oleh Serikat Pekerja Rumah Tangga Jogjakarta. Bertemu para siswa dan aktivis SPRT itu sungguh menyenangkan.

Sore, kami berempat langsung menuju Toko Buku Togamas di Jl Gejayan, tempat diskusi dan peluncuran buku PNK. Lepas magrib salah seorang panitia yang ditugasi menjemput orangtua dan anak Rini datang di tempat acara.

Cuaca Jogjakarta sedang sangat bersahabat. Tamu berdatangan. Ada aktivis LSM, ada mahasiswa, ada penulis. Tak kepalang tanggung, pengarang trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, dan pengamat sastra M Nurrahmat yang Kepala SMU 8 Jogjakarta diundang sebagai pembicara. Mereka pun sudah siap di tempat beberapa lama sebelum waktu yang ditentukan. Banyak pula rekan-rekan pers yang datang meliput. Ada dari Kompas, Gatra, Kedaulatan Rakyat, dan lain-lain, dan bahkan ada pula wartawan TVRI yang datang bersama jurukameranya. Penyair dan akademisi sastra Prof Dr Rachmat Djoko Pradopo pun hadir dan memberikan ucapan selamat secara khusus kepada Rini.

Para anggota SPRT Jogja, seorang di antara mereka didapuk membacakan salah satu cerpen karya Tarini dan seorang yang lain lagi membacakan puisi karya mereka sendiri, telah siap jauh waktu.
Acara berjalan lancar dan menarik. Semua komentar bernada dukungan dan menyemangati Rini. Setelah memberikan beberapa catatan, bahkan, M. Nurrahmat mengatakan, ’’Saya acungkan dua jempol untuk Mbak Rini!’’

Pesan Ahmad Tohari buat Rini, lebih-kurang begini, ’’Mbak Rini, salah satu kunci sukses seorang penulis itu ialah jangan pernah merasa jadi atau mencapai puncak sebagai penulis. Sebab, begitu perasaan itu timbul, tamatlah riwayat kita!’’

Tanggal 13 Februai, malam, Rini sudah berada di Surabaya, tepatnya di Gedung Cak Durasim, Kompleks Taman Budaya Jawa Timur, Jl Gentengkali 85 Surabaya dalam acara yang sama, diskusi dan pembacaan cerpennya. Didapuk sebagai pembahas adalah sastrawan Beni Setia (Madiun) dan Dra Emy Susanti, Msi, Ketua Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga.

Acara yang juga dimeriahkan dengan kedatangan ratusan siswa SMU Trimurti Surabaya bersama guru bahasa Indonesia mereka, Ibu Ndari, diawali sambutan Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur, Dr. Setya Yuwana Sudikan, dan Kepala Taman Budaya Jawa Timur, Drs. Pribadi Agus Santosa, Msi.

Kata Beni, mengambil salah satu cerpen Rini sebagai acuan, Rini adalah tipe pekerja rumah tangga yang benar-benar profesional, bahkan telah memiliki kuatan yang bisa dibilang luar biasa yang memungkinkan ia berani dan bisa jothakan alias diam-diaman dengan Sang Majikan. ’’Lihatlah ini,’’ kata Beni sambil menunjuk sebuah gambar di dalam buku Penari Naga Kecil, ’’Rini bisa diam-diaman dengan majikannya, dan hanya berkomunikasi dengan tulisan pada secarik kertas!’’

Sementara itu, Emy menilai bahwa Rini bisa menunjukkan bahwa perbedaan-perbedaan di antara kita tidak perlu menibulkan masalah. ’’Rini bisa bersahabat dengan orang-orang dari negara mana saja tanpa masalah, seperti terlihat pada cerpennya Ular Putih, Ular Coklat, Ular Hitam!’’

Ada yang jauh lebih menarik daripada cerpen-cerpen Rini di dalam bukunya itu, yakni cerita tentang pengalaman Rini dengan Terminal III Bandara Soekarno-Hatta – kemudian Rini bertutur mengenai kejengkelannya saat harus mampir di Terminal Tiga. [b]

PETUGAS IMIGRASI DI BANDARA SOEKARNO-HATTA


Kali ini saya ingin berbagi sedikit cerita tentang pengalaman ketika saya cuti ke Indonesia. Kebetulan saya PP-nya Hong Kong – Jakarta. Nah, pada saat saya ingin check in (kayak hotel saja heheheh...), petugas Imigrasi yang memeriksa pasport dan visa itu menanyakan secarik kertas warna putih-hijau yang harus diisi nama, alamat, dan lain-lain. Saya disangka kelupaan karena saya memang tidak begitu peduli. Tadinya, saya pikir, asal ada pasport sudah akan beres semua.



Si Petugas berseragam coklat muda bertanya, ’’Kamu mau ke mana?’’

’’Ke Hong Kong, Pak,’’ Tak lupa saya berikan senyum termanis.

Tetapi, tiba-tiba.....

’’PRT ya? Lha kenapa belum kamu isi ini?’’ sambil dia menunjukkan kepada saya 2 lembar formulir kecil itu. Wajah itu benar-benar kurasakan tak bersahabat, seolah saya bekerja sebagai pembantu itu bener-bener bisa seenaknya dihardik.

Dengan hati yang sedikit sakit, namun senyum ini tetap saya umbar untuknya, ’’Oh,maaf Pak, biar saya isi di sebelah sana,,’’ kataku sambil menerima formulir itu dan menuju meja kecil tak jauh dari situ.

Dan di belakang saya ada seorang gadis cantik nan seksi.

’’Mau kemana Mbak?’’ tanya Si Petugas kepada perempuan seksi itu. Kok, sama perempuan itu Si Petugas bersikap jauh lebih manis, ya?

’’Ke Korea, Pak!’’ jawab gadis itu sembari senyum dan mengulurkan pasportnya.

’’Kerja ya?’’ Si Petugas masih terus menatap gadis itu dengan senyum ramahnya.

’’Tidak Pak, ikut suami di sana!’’ Dan dengan cepat dia melayani gadis seksi itu, sambil sesekali berbisik dengan teman di sampingnya.

Saya terus memerhatikan kedua Petugas Imigrasi yang duduk bersebelahan itu. Entah mengapa, tiba-tiba saya muak melihatnya. Apakah karena saya seorang buruh dan tak secantik perempuan sekdi itu sehingga mereka bisa semena-mena terhadap saya? Menelanjangi jiwa saya hingga tak tersisa harga diri ini?

Namun, akhirnya saya memilih tak peduli. Dalam hitungan menit saya sudah kembali dengan formulir itu.

’’Cepat amat! Siapa yang membantumu menulis?’’ dengan mengamati tulisan saya dan pandangan ejekan itu tetap dia tujukan. Mungkin dia pikir aneh kalau seorang pembantu bisa menulis dengan cepat.

Nah, kan! Dia protes, ’’Lha kamu lulusan apa kok nulisnya cepat?’’

’’Maaaf Pak, pesawat akan segera berangkat, sudah waktunya!’’ saya tak pernah menjawab pertanyaanya lagi.

Kenapa mereka tak pernah menghargai warganya sendiri ya? Hanya itu yang ada dalam pikiran saya. Apa salahnya menjadi seorang pekerja rumah tangga? Apakah haram? Apakah yang cantik-cantik itu juga cantik di dalamnya?

TKI itu adalah ’’mutiara dalam debu’’. Kebanyakan orang akan memandang rendah, padahal mereka menyimpan kekayaan yang tak semua orang bisa memilikinya: Pengalaman Hidup, bukankah hal termahal dalam hidup ini. Itu saja. Dan saya berharap, andai saja para Petugas Imigrasi itu tahu bahwa saya dan teman-teman adalah bagian dari rakyat yang menggaji mereka pula! Terdengar lucu, kan?

Dan andai mereka tahu, jangankan menulis isian 2 lembar formulir. Kehidupan mereka selama 5 tahun pun bisa saya tuliskan dalam beberapa menit? Sombong? Saya rasa tidak. Karena justru ini mendorong saya untuk menuliskan tentang keadilan yang selalu terlupakan untuk kawan-kawan TKI. Itu saja.[]

Hong Kong, 06 Februari 2006

Tanti Reog
tanti_wae@yahoo.com

MENYIBAK FENOMENA SASTRA BURUH


Oleh: BENI SETIA

SPONGEBOB, dari animasi Spongebob Squarepants, sebenarnya seorang buruh. Lebih tepatnya, seorang pekerja paruh waktu di restoran Tuan Krab, di sela-sela kesi-bukannya sebagai seorang pelajar. Sebuah adonan yang menarik untuk menghadirkan realitas sosial kota kecil pedalaman Amerika Serikat, yang disimbolkan sebagai Bikini Bottom di dasar laut.



Dalam sebuah episode diceritakan, anak Tuan Krab dipaksa bekerja di restoran-nya, sebagai manajer pelaksana yang mengubah menu dan seragam, sehingga terjadi investasi inefisien yang malah membuat langganan lari. Tuan Krab memutuskan untuk memecat anaknya, lewat Spongebob yang hanya pekerja paruh waktu, karena sebagai ayah dalam menara manajemen keluarga, ia tidak berani menghukum si anak. Padahal anaknya sengaja melakukan manajemen ngawur agar segera dikeluarkan ayahnya, dan pergi piknik bersama kawan-kawannya.

Dalam sebuah episode diceritakan, Spongebob harus menyelesaikan tugas mengarang sebanyak 800 kata, tentang hal yang harus dikerjakan dalam kegiatan sehari-hari, dalam satu malam. Ilham banyak tapi imajinasi liar menyeretnya Spongbob melantur sampai subuh, sebelum kemudian memutuskan untuk menuliskan pengalamannya membuat karangan. Ketika tugas itu bisa diselesaikan tepat saat jam masuk dan disetorkan, gurunya bilang akan rapat dan karangan dikumpulkan minggu depan -- sambil menya-takan penyesalan karena tidak bisa menguhubungi Spongebob lewat telepon.

Karenanya, meski selalu menghadirkan susana bekerja di restoran Tuan Krab, atau situasi belajar di sekolah, tekanan cerita lebih kepada kekonyolan waktu luangnya si Spongbob -- bersama teman karibnya, Patrik si Bintang Laut. Persaingan bisnis antara restoran, situasi kerja, dan upah Spongebob yang dikatakan jarang dibayar -- padahal Spongebob cuma kerja paruh waktu -- tak pernah benar-benar dieksploitasi.

PENDEK kata, Spongebob Squarepants sebenarnya hadir dalam acuan setting, ka-rakter dan konflik buruh, tapi tak pernah bercerita tentang persoalan buruh, karena tekanannya lebih pada kekonyolan seorang remaja yang kelebihan waktu luang. Prioritas cerita melulu lucu menyebabkan Spongbob Squarepants gagal jadi cerita tentang buruh.

Bahkan seorang pekerja paruh waktu yang tak memiliki kontrak kerja yang jelas, sehingga berada dalam posisi [bargaining position] lemah -- tak bisa menggugat kesejahteraan lebih. Posisi ini mungkin menyebabkan kita harus mencermati termin buruh, yang terjabar kepada [a] buruh, sebagai worker yang mempunyai spesialisasi kerja dan ikatan kontrak yang jelas dengan perusahaan yang mapan, sehingga bisa bergabung dalam Serikat Pekerja dan lebur dalam Serikat Buruh nasional.

Secara kualitas teknik para worker ini terjabar pada kelompok blue collar, yang lebih merupakan tenaga pelaksana di lapangan, dan white collar, yang lebih merupakan tenaga menengah dan eksekutif di kantor. Di Indonesia kelompok white collar ini dibedakan dari kelompok yang bekerja di institusi negara atau yang non-PN. Kelompok itu disakralisasi oleh sistem feodalisme sehingga jadi elit yang mempunyai organisasi ekskusif -- Korpi dan Darma Wanita bagi yang sipil dan hirarkis Angkatan serta Persit dan sebagainya bagi TNI dan polisi. Sebuah kelompok worker yang tak sama dengan worker standar seperti buruh, manager pemasaran, dan seterusnya. Dan novel Umar Khayam, Para Priyayi, memotret dengan bagus usaha orang biasa untuk meniti tangga mobilisasi sosial vertikal dengan menjadi PNS di masa kolonial. Sedang novel JB Ma-ngunwijaya, Burung-burung Manyar, jadi menarik ketika karakter Teto dilihat dengan kerangka psikologi serupa.

Di titik ini kita bisa melihat novel Multatutli, Max Havelaar, sebagai penolakan seorang pegawai kolonial Belanda kepada kolonialisme kapitalistik yang memeras, dan terutama eksistensi tenaga pengelola pribumi yang tak memihak rakyat -- malah semakin menyengsarakannya dengan ikut mengeksploitasinya, tapi terasa sah dalam tatanan feodalisme. Sekaligus fakta itu mengingatkan kita pada asumsi Ralf Dahhendorf, yang menyatakan manajer bukan jurubicara buruh untuk bos tapi lebih mnerupakan alat bos untuk meredam kesadaran buruh yang menginginkan perubahan. Dan dengan kaca mata yang sama kita bisa menonton situasi perburuhan di perkebunan Deli lewat novel-novel M.H Szekely-Lulofs, Rubber [Berpacu Nasib di Kebun Karet, Grafitpers, 1985] dan Koelie. Dan bagaimana wiraswasta Minang di tanah perkebunan Deli dengan buruh-buruh yang dieksploitasi, mendapat kejayaan ketika bermajikan seorang wanita [=istri] Jawa ketimbang wanita Minang dalam novel Hamka, Merantau ke Deli.

Dengan acuan itu kita bisa mengapresiasi film Syumanjaya, Si Mamad, dalam kerangka perburuhan. Di mana seorang pegawai kecil, dengan gaji pas-pasan di tengah sistem penggajian yang tidak manusiawi yang mendorong orang untuk bertindak korup, hanya bisa bertahan hidup dengan ikut korupsi pensil, buku tulis dan lembaran kertas hvs. Tapi hal itu malah membuatnya tersiksa dan amat menderita, sementara atasannya malah enjoy. Hal itu menyebabkan kita melihat naskah drama Marcel Pagnol, Topaze, yang disadur Parakitri T. Simbolon menjadi Topaz: Sang Guru [Grmedia 1981], dengan kerangka lain. Topas, guru lugu dan pandir itu dinobatkan jadi pion yang ddianggap bisa dijadikan alat money laundry seorang koruptor, dengan menjadi direktur boneka yang kendalinya dipegang oleh gundik bos. Sebelum sadar kalau secara hukum semua itu miliknya dan karenanya ia ”merampas” harta rakyat itu dengan menendang si bos dan menguasai gundiknya. Cerita tragi-komedik yang kepahitannya jadi menonjol saat dihadirkan sebagai film -- dengan bintang almarhum pelawak S. Bagyo.

Serta [b] buruh sebagai buruh pocokan [bahasa Jawa] yang tak mempunyai ketrampilan, dipekerjakan paruh waktu oleh perusahaan mapan atau individu yang mapan, sehingga tak memiliki kontrak resmi dan tak punya perlindungan hukum. Bekerja dalam ikatan asimetrik patron-client, juragan-sahaya yang feodalistik. Di sini termasuk pekerja paruh waktu macam Spongebob, para pembantu [domestic helper], tukang repe-rasi radio rumahan, buruh tani serabutan, tukang becak, tukang pemijit buta keliling, pekerja warung nasi, pelacur, sastrawan dan segala macam pekerja informal lainnya.

Sekelompok orang yang bekerja dengan mengandalkan tenaga, yang dikondisikan dalam situasi pemanfaatan jasa sesaat dengan ikatan kerja seharian atau paruh waktu, dan karenanya hidup dan matinya dapur mereka tergantung dari adanya panggilan kerja -- yang tidak bisa dicari dan diburu. Sayang kondisi tragis ini jarang dilirik atau dieksploitasi oleh para sastrawan, karena yang hadir hanya potret eksistensial individual manusia yang terkelucak, yang tak menjanjikan gempita ideologi seperti ketika berbicara tentang sekelompok buruh pabrik yang dieskploitasi.

Bagi saya pribadi, seorang sastrawan lebih merupakan seorang buruh pocokan, ketimbang seorang worker yang memungkinkannya mempunyai Serikat Pekerja hingga bisa bergabung dalam Serikat Buruh nasional, seperti wartawan media tulis atau elek-tronika -- demikian pula karyawan usaha pers yang menerbitkan koran, majalah, atau siaran berita hiburan [= gosip selebriti] TV. Sebagai seorang buruh pocokan, sastrawan sangat peka akan ketidakpastian penghargaan kreativitas, dan bisa memahami kuatnya dorongan kapitalistik untuk mengkomoditaskan apa saja, dengan menggelorakan produktivitas demi mendapat uang honor dengan menulis fiksi atau apa saja. Sekaligus sastrawan itu jadi lebih mudah terharu dan tergugah oleh nasib buruh di tataran individual eksistensial manusia ketimbang secara ideologik.

PROBLEM Sastra Buruh terletak pada fenomana [a] yang menulis bukan seorang buruh atau orang yang bersimpati pada nasib buruh, dan karenanya hanya memanfaat-kan setting buruh buat tujuan non -kesejahteraan buruh. Bahkan menjadikan dunia mu-ram perburuhan sebagai komoditas buat nambah kekayaan pribadi. Animasi Spongbob Squarepants, film Marsinah, atau album kelompok Rage againts Machine [yang lirik-nya bersimpati pada kaum buruh] mendadak jadi komoditas yang menggiurkan.

Atau [b] yang diceritakan bukan kelompok riil atau simbolik buruh yang dieks-ploitasi, sehingga imbauan penyadaranan atau tawaran praksis emansipatorik ideologik jadi punya porsi utama. Yang mendapat porsi justru hal sebaliknya, teks berkutat dalam masalah personal eksistensial [seorang] manusia yang terjebak dalam situasi sosial perburuhan yang pincang, hingga yang hadir bukan ihwal ketidakadilan sosial-ekonomi, tapi justru pemaknaan alienasi manusiawi dari orang yang terpinggirkan dan berdamai dengan Allah SWT yang menggariskan nasib.

Kondisi metafisika, dan keyakinan adanya cakrawala Allah SWT sebagai asal dan akhir dari perspektif nasib manusia yang dihadirkan dan terdampar di dunia menjadikan kisah kemalangan buruh dan manusia yang terpinggirkan secara sosial-ekonomi itu memiliki dimensi pengkisahan dan pemaknaan lain. Lihat, misalnya, drama Kapai-kapai Arifin C Noor, yang berkisah tentang seorang buruh [Abu, yang mengatasi kesulitan hidup dengan bermimpi dan mengkhayal. Lantas bandingkan dengan Tengul, yang melawan keterpurukan ekonomi secara elmu pesugihan, meski akhirnya lebih memilh miskin secara sosial-ekonomi ketimbang berlebihan secara duniawi tapi kehilangan iman. Yang menunjukkan keberpihakan seorang Arifin C Noor pada humanisme-relegius di tengah alienai ekonomi. Padahal ia sangat membenci kondisi sosial-ekonomi yang menurutnya pincang, dengan sikap konsumtif hedonistik orang berduit yang individualistik menyebabkan orang terpinggirkan makin terperosok ke dalam penderitan -- simak, Arifin C Noor, ”Sastra Kita Sastra Borjuis”, dalam Dewan Kesenian Jakarta, Dua Puluh Sastrawan Bicara, Sinar Harapan, 1984, hlm, 89-95.

Secara teksual pilihan pada yang terakhir terkadang menyebabakan seorang sastrawan dan teks sastra ditolak sebagai bagian dari Sastra Buruh, bahkan dicemoohkan sebagai potret elitis yang pure art. Dan kondisi itu pula yang terkadang menyebabkan seorang sastrawan yang terpanggil menuliskan nasib buruh menolak untuk menghadir-kan aspek eksistensial manusiwai tokohnya -- dan cenderung ingin menghadirkan yang karikatural ideologis. Karya Utuy T. Sontani, Awal dan Mira -- yang bercerita tentang wiraswata korban perang kelas pinggiran -- lebih humainstik dibandingkan tema bertendens yang vulgar dalam Si Sapar, misalnya.

Kondisi itu menyebabkan kita terbelah oleh sampai sejauh mana ideologi berperan dan dijadikan acuan utama. Padahal, tanpa acuan ideologi atau ideologi mana yang dijadikan acuan, seorang Subagyo Sastrowardoyo tak menemukan perbedaan signifikan di antara puisi yang ditulis kelompok Lekra dan kelompok Manikebu. -- lihat ”Sadjak-sadjak Perlawanan Taufiq Ismail Dan ’Angkatan 66’” dalam Subagio Sastrowardojo, Bakat Alam dan Intelektualisme”, Pustaka Jaya, 1971, hlm 89-106. Di mana keduanya berbicara dari posisi kami yang dieksploitasi dan diinjak-injak oleh mereka yang do-minan, determinan, sewenang-wenang dan tak mempedulikan nasik kami dan kebenaran lain. Melulu berurusan dengan kekamian dan bukan kekitaan. []

Disampaikan dalam acara diskusi Sastra Buruh di Festival Sastra Buruh (Blitar, 1 Mei 2007

Pemerintah Didesak Batalkan PLTN Muria

Minggu, 24 Februari 2008 | 02:18 WIB
Jakarta, Kompas - Di tengah kontroversi mengenai pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir atau PLTN di Semenanjung Muria, Masyarakat Peduli Bahaya PLTN mendesak pemerintah membatalkan segala upaya untuk membangun PLTN fisi di Semenanjung Muria.




Desakan itu termuat dalam pernyataan sikap yang ditandatangani 28 akademisi dari berbagai bidang ilmu, didukung sekitar 200 peserta yang hadir dalam pertemuan di Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara, Jakarta, Sabtu (23/2), tentang rencana pembangunan PLTN di Semenanjung Muria.

Pernyataan tersebut merupakan puncak dari proses yang berlangsung sejak tahun 2007 dengan tujuh kali forum diskusi yang melibatkan berbagai kalangan. Proses itu merupakan tanggapan atas skenario rencana pembangunan PLTN yang sudah dirancang oleh pemerintah.

Sejak 2004 pemerintah menghidupkan lagi rencana pembangunan PLTN fisi (pembelahan inti-inti atom) di Semenanjung Muria. Rencana itu sudah ada sejak 1974, tetapi diambangkan hingga tahun 1996, menyusul protes keras dari masyarakat.

Pemerintah kemudian mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2006 yang menetapkan Kontribusi Sumber-sumber Energi Alternatif minimal 5 persen, termasuk energi nuklir, disusul PP No 43/2006 tentang Perizinan Reaktor Nuklir.

Padahal, dalam Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Perubahan Iklim yang berlangsung Desember 2007 di Bali telah ditetapkan bahwa nuklir tak termasuk dalam energi alternatif yang dapat mengurangi emisi karbon dioksida di atmosfer.

Dalam diskusi itu muncul berbagai pendapat yang antara lain menyatakan, persoalan PLTN bukan sekadar persoalan teknis, tetapi juga harus mempertimbangkan berbagai aspek, terutama pertimbangan nilai etis.
Profesor Sastrapratedja dari STF Driyarkara mengatakan, ”Kemampuan manusia menciptakan teknologi tidak selalu otomatis sepadan dengan kemampuan mengendalikan.” Ada faktor budaya dan psikologis yang belum mendapat perhatian penuh. Teknologi memiliki mekanismenya sendiri dan dapat menyebabkan dampak yang tidak dikehendaki, seperti limbah nuklir.

”Karena punya akibat luas, perlu pertimbangan etika yang lebih luas dari etika tradisional,” ujarnya.
Ia mengingatkan, segala tindakan harus dipertimbangkan agar berkesesuaian dengan kelangsungan manusia. Artinya, generasi yang akan datang punya hak yang sama untuk hidup layak dalam lingkungan alam yang bebas pencemaran.

Heru Nugroho dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengingatkan kuatnya politik pencitraan di balik rencana pembangunan PLTN. ”Siapa yang paling membutuhkan energi nuklir? Pebisnis? Korporasi multinasional yang menyubsidi nuklir? Pemerintah? Birokrat? Komprador? atau rakyat?” ujarnya.

Terkait dengan politik pencitraan, anggota DPR dari Fraksi PDI-P, Sonny Keraf, mengatakan, sikap keras mengegolkan PLTN bagi banyak pihak dipandang sebagai bentuk perlawanan terhadap dominasi Amerika Serikat, khususnya menyangkut isu nuklir di Iran.

Ia mengatakan, sosialisasi oleh pemerintah selama ini hanya pada penyampaian hal positif, tetapi dampaknya tidak disampaikan. ”Banyak negara maju yang sudah meninggalkan pembangkit tenaga nuklir karena dinilai tidak aman,” tambahnya. Ia mencontohkan Jerman dan negara Skandinavia yang lebih maju memilih energi alternatif, seperti energi surya dan angin. Indonesia juga memiliki sumber energi alternatif berlimpah, seperti angin, matahari, dan gelombang. Forum itu menilai selama ini pemerintah tidak memiliki kehendak kuat untuk mengembangkan energi alternatif yang aman dan ramah lingkungan. (MH/isw)


Di-kopas dari sini:>

ALAMAT PERWAKILAN RI DI LUAR NEGRI: Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah [3]

Vietnam: Kedutaan Besar RI Hanoi. 50, Ngo Quyen Street, Hanoi, Republic Sosialist Vietnam. Telp. (84-4) 825 3353, 825 7969, Fax. (84-4) 825 9274. E-mail: indohan@netnam.vn/komhan@hn.vnn.vn. Konsulat Jenderal RI Ho Chi Minh City. 18, Phung Khac Khoan Street, District !, Ho Chi Minh City. S.R. Vietnam
Telp. (84-8) 825 1888, 825 1889, Fax. (84-8) 829 9493. E-mail: indonhcmc@hom.fpt.vn




Srilanka:
Kedutaan Besar RI Colombo
400/50 Sarana Road, Off Buddhaloka Mawatha, Colombo-7, SRI LANKA
Telp. (94-11) 267 4337, Fax. (94-11) 267 8668
E-mail: indocola@sri.lanka.net

Fiji:
Kedutaan Besar RI Suva
6th Floor, RA Marama Building, 91 Gordon Street, Suva, Fiji Islands
P.O Box 878 SUVA
Telp. (679) 331-6697, Fax. (679) 331-6696
E-mail: kbrisuva@connect.com.fj
komsuva@yahoo.com

Selandia Baru:
Kedutaan Besar RI Wellington
70 Glen Road, Kelburn P.O. Box 3543, Wellington, New Zealand
Telp. (64-4) 475 8697, 475 8698, 475 8699, Fax. (64-4) 475 9374.
Website: www.indonesianembassy.org.nz
E-mail: kbriwell@ihug.co.nz

Uzbekistan:
Kedutaan Besar RI Tashkent
73, Yahyo Gulomov Str. Tashkent 700000, UZBEKISTAN
Telp. (998-71) 132 0236, 132 0238, Fax. (998-71) 120 6540, 133 0513
Website: www.indonesia.embassy.uz
E-mail : Tashkent@indonesia.embassy.uz

TIMUR TENGAH
Aljazair:
Kedutaan Besar RI Alger
17,Impasse Chemin Abdel-Kader Gadouche, HYDRA B.P. 62 El-mouradia 16070 ALGER
Telp. (213-21) 694 915
E-mail: kbrialg@wisaal.dz

Kuwait:
Kedutaan Besar RI Kuwait
Kaifan Block 6, Al-Andalus Street No. 29, P.O Box 21560 Safat, 13076 Safat, Kuwait
Telp. (965) 483 9927, 483 9953, 481 3779, Fax. (965) 481 9250
Website: www.kbrikuwait.org
E-mail : unitkom@kbrikuwait.org

Lebanon:
Kedutaan Besar RI Beirut
Presidential Palace Avenue, Rue 68 Sector 3 – Building No. 3237,
Baabda – Lebanon, P.O. Box 40007 Baabda – Lebanon
Telp. (961-5) 924 682, 924 683, 924 676, Fax. (961-5) 924 678
Website: www.welcome.to/indobey
E-mail : indobey@cyberia.net.lb

Libya:
Kedutaan Besar RI Tripoli
Hay Al Karamah, Qobri Taariiq Al Sari’i, Amaama Al Saraaj, Tripoli – Libya
P.O. Box 5921 Tripoli – Libya
Telp. (218-21) 484 2067, Fax. (218-21) 484 2075, 484 2069
E-mail: indonesia@bsisp.net

Maroko:
Kedutaan Besar RI Rabat
63, Rue Beni Boufrah, Souissi, Rabat, MAROC, P.O. Box 5076
Telp. (212-37) 757 860, 757 861, Fax. (212-37) 757 859.
E-mail: kbrirabat@jam.net.ma

Mesir:
Kedutaan Besar RI Cairo
13, Aisha Taimouria Street, Garden City Cairo, Arab republic of Egypt
Telp. (20-2) 794 7200, 794 7209, 792 5451, 792 5452
Fax. (20-2) 796 2495
Website: www.indocairo.org
E-mail : pwk-cairo@access.com.eg

Persatuan Emirat Arab:
Kedutaan Besar RI Abu Dhabi
Zone 2 Sector 79 Villa No. 474, Sultan Bin Zayed Street (Str. No. 32)
Al Bateen Area P.O Box 7256, ABU DHABI – United Arab Emirates
Website: www.indonesianembassy.ae
E-mail : indoemb@emirates.net.ae

Konsulat Jenderal RI Dubai
Villa No. 1 Community 322/2A, Al Hudaiba – Dubai, UAE P.O Box 73759
Telp. (971-4) 398 5666, Fax. (971-4) 398 0804
Website: www.kjridubai.ae
E-mail : indocons@emirates.net.ae

Qatar:
Kedutaan Besar RI Doha
Al-Maahed Street, Al Salata Al Jadeeda, P.O. Box 22375, Doha, State of Qatar
Telp. (974) 465 7945, 466 4981, Fax. (974) 465 7610
E-mail: inemb@qatar.net.qa
Website: www.kbridoha.com

Sudan:
Kedutaan Besar RI Khartoum
Firdaus Street No. 27 Block 61, El Mughtaribun, Arkewit.
P.O. Box 13374, Khartoum, Sudan
Telp. (249-183) 225 106, 229 106, Fax. (249-183) 225 528

Saudi Arabia:
Kedutaan Besar RI Riyadh
Riyadh Diplomatic Quarter, P.O. Box 94343 Riyadh 11693, Kingdom of Saudi Arabia
Telp. (966-1) 488 2800, 488 2282, Fax. (966-1) 488 2966
Website: www.kbri-riyadh.org.sa
E-mail : komunikasi@kbri-riyadh.org.sa

Konsulat Jenderal RI Jeddah
Al-Mualifin Street, Al-Rehab, District/5, Kingdom of Saudi Arabia
Telp. (966-2) 671 1271, Fax. (966-2) 673 0205, 673 0957
E-mail: komjed@naseej.com.sa

Syria:
Kedutaan Besar RI Damascus
Mazzeh, Eastern Villas, Al-Madina Al Munawwara Str. 132 Opposite Omar
bin Abdul Aziz Mosque, Block No. 270/A, Building No. 26. Damascus – SYRIA
P.O Box 3530
Telp. (963-11) 392 1476, 392 1475, Fax. (963-11) 611 9632
E-mail: www.kbridam@cyberia.net.ib
kbridams@net.cy

Tunisia:
Kedutaan Besar RI Tunis
15, Rue du Lac Malaren/Rue du Lac Quberia, Berges Du Lac Grande Tunis’e, Tunisie
BP. 58 Berges du Lac, 1053 – Tunis
Telp. (216-71) 860 377, 860 702, 963 973, Fax. (216-71) 861 758
E-mail: kbritun@gnet.tn

Yaman:
Kedutaan Besar RI Sana’a
Fajj Attan Hadda, P.O. Box 19873, Sana’a, Republic of Yemen
Telp. (967-1) 427 210, 427 211, Fax. (967-1) 427 212
Email: indosan@y.net.ye

Yordania:
Kedutaan Besar RI Amman
Sixth Circle, South Um-Uthaina, 44 Feisal Bin Abdul Aziz Street
Amman 11181, Jordan, P.O. Box 811784 Amman
Telp. (962-6) 5538911, 5528912, 5521648, Fax. (962-6) 5528380
E-mail: amman96@go.com.jo

AFRIKA
Afrika Selatan:
Kedutaan Besar RI Pretoria
949 Schoeman Street, Arcadia, P.O. Box 13155 Hatfield 0028
Pretoria, Republic of South Africa
Telp. (027-12) 342 3350 s/d 342 3353, Fax. (027-12) 342 3369
E-mail: indoemb@intekom.co.za

Konsulat Jenderal RI Cape Town
212 Buitengracht Street, Boo-Kap, Cape Town, Republic of South Africa
Website: www.indonesiasouthafrica.co.za
E-mail : kjrict@intekom.co.za

Ethiopia:
Kedutaan Besar RI Addis Ababa
Mekanissa Road, Higher 23, Kebele 13, House No. 1816, P.O. Box 1004
Addis Ababa – Ethiopia
Telp. (251-113) 712 104, 712 185, Fax. (251-113) 710 873
E-mail: kbriadis@telecom.net.et

Kenya:
Kedutaan Besar RI Nairobi
Menengal Road, Upper Hill, P.O. Box 48868, Nairobi, KENYA
Telp. (254-20) 271 4196 s/d 271 4198, Fax. (254-20) 271 3475
Telex : 23171 INDO KE
E-mail: indonbi@indonesia.or.ke

Madagaskar:
Kedutaan Besar RI Antananarivo
26-28 Rue Patrice Lumumba Tsaralalana, Antananrivo 101, Madagaskar
Telp. (261-20) 222 4915, 222 4825, Fax. (261-20) 223 2857
Telex: 0986-223857 INDON MG
E-mail: kbritana@dts.mg

Nambia:
Kedutaan Besar RI Windhoek
103, Nelson Mandela Avenue, P.O. Box 20691/WHK, Windhoek – Namibia 9000
Telp. (264-61) 285 1000, Fax. (264-61) 285 1231
Website: www.indonesiawindhoek.org
E-mail : kbri@iafrica.com.na

Nigeria:
Kedutaan Besar RI Abuja
5 B, Anifowoshe Street, Victoria Island, P.O. Box 3473, Lagos – Nigeria
Telp. (234-1) 261 4601, 261 3405, 261 0508, Fax. (234-1) 261 3301, 261 3963
E-mail: indonesianembassy@vgccl.net
Website: www.indonesianig.com

Senegal:
Kedutaan Besar RI Dakar
Avenue Cheikh Anta Diop, Fann Mermoz, A Cote de l’Enea B.P. 5859
DAKAR – SENEGAL
Telp. (221) 825 7316, 824 0738, Fax. (221) 825 5896.
Website: www.indonesia.senegal.org
E-mail : kbri@sentoo.sn

Tanzania:
Kedutaan Besar RI Dar Es Salaam
299 Ali Hasan Mwinyi Road, P.O. Box 572, Dar Es Salaam,
United Republic of Tanzania
Telp. (255-22) 211 9119, 211 8133, Fax. (255-22) 211 5849
E-mail: kbridsm@raha.com

Zimbabwe:
Kedutaan Besar RI Harare
3, Duthie Avenue Belgravia, P.O. Box CY 69 Causeway,
Harare – Republic of Zimbabwe
Telp. (263-4) 251 799, 250 072, Fax. (263-4) 796 587
Website: www.indonesia.org.zw
E-mail : kbri@ecoweb.co.zw
indohar@ecoweb.co.zw


di-co-pas dari sini

ALAMAT PERWAKILAN RI DI LUAR NEGRI: Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah [2]

Korea Selatan: Kedutaan Besar RI Seoul. #55, Youido-dong, Youngdeungpo-ku, Seoul, Republic Korea Telp. (82-2) 783 5675, 783 5676, 783 5677, Fax. (82-2) 780 4280 Website: www.indonesiaseoul.org.
Iran: Kedutaan Besar RI Tehran. 210, Ghaemmagham Farahani Ave., P.O. Box 11365/4564, Tehran – IRAN
Telp. (898-21) 871 6865, 871 7251, 855 3655, Fax. (898-21) 871 8822. Website: www.indonesia-embassy.ir
E-mail : kbritehran@parsonline.net




China:
Kedutaan Besar RI Beijing
Dong Zhi Men Wai da Jie No. 4, Chaoyang District Beijing, PRC 100600
Telp. (86-10) 6532-5486 s/d 6532-5488, Fax. (86-10) 6532-5368, 6532-5782
E-mail: kombei@public3.bta.net.cn

Konsulat Jenderal RI Guangzhou
Dong Fang Hotel, West Building 2/F, Room 1201-1223, 120 Liu Hua Road
Guangzhou-510016, Guangdong – PRC
Telp. (86-20) 8601 8772, Fax. (86-20) 8601 8773
E-mail: kjrigz@public.guangzhou.gd.cn

Konsulat Jenderal RI Hong Kong
127-129 Leighton Road, 6-8 Keswick Street
Causeway Bay, Hong Kong – SARC
Telp. (852) 2890 4421 s/d 2890 4428, Fax. (852) 2895 0139
E-mail: kjrihkg@netvigator.com

Pakistan:
Kedutaan Besar RI Islamabad
Diplomatic Enclave I Street 5, Ramna G-5/4. P.O. Box 1019,
Islamabad – PAKISTAN 44000
Telp. (92-51) 283 2017 s/d 283 2020, Fax. (92-51) 283 2013
Website: www.kbri-islamabad.go.id
Email: unitkom@kbri-islamabad.go.id

Konsulat Jenderal RI Karachi
E/1-5, Shahrah-E-Iran, Clifton, Karachi-75600, PAKISTAN
Telp. (92-21) 587 4623, 587 4619, Fax. (92-21) 587 4483.
E-mail: kjrikhi@super.net.pk

Singapura:
Kedutaan Besar RI Singapore
7 Chatsworth Road, Singapore-249761
Telp. (65) 6737 7422, Fax. (65) 6737 5037, 6235 5783
E-mail: unitkom@indonemb.com.sg

Kamboja:
Kedutaan Besar RI Phnom Penh
No. 1, ST. 466 Corner Norodom Boulevard, Sangkat Tonle Bassac,
Khan Chamcar Mon, P.O. Box 894 Phnom Penh, Cambodia
Telp. (855-23) 217 934, 216 148, Fax. (855-23) 217 566
Website: www.indonesia-phnompenh.org
E-mail : kukppenh@bigpond.com.kh

Philipina:
Kedutaan Besar RI Manila
185 Salcedo Street, Legaspi Village, Makati City, Philippines, P.O. Box 1671 MCPO
Telp. (632) 892 5061 s/d 892 5068, Fax. (632) 892 5878, 894 4561
E-mail: kbri@info.com.ph

Konsulat Jenderal RI Davao
Ecoland Subdivision, P.O. Box 81038, Matina, Davao City, Philippines
Telp. (63-82) 299 2930 s/d 299 2934, Fax. (63-82) 297 3462
E-mail: kjri-dvo@mozcom.com

Laos:
Kedutaan Besar RI Vientiane
Phone Kheng Road, P.O. Box 277 Vientiane, R.D.R. LAOS
Telp. (856-21) 413 900, 413 909, 413 910, Fax. (856-21) 214 828, 218 527.
E-mail: indonesiavte@laonet.net

Thailand:
Kedutaan Besar RI Bangkok, 600-602 Petchburi Road, Phayathai, Bangkok 10400
THAILAND, Telp. (66-2) 252 3135 s/d 252 3140, Fax. (66-2) 255 1267
Website: www.kbri-bangkok.com
E-mail : kukbk@ksc11.th.com

Konsulat RI Songkhla
19 Sadao Road, Muang District, Songkhla 90000 – THAILAND
Telp. (66-74) 311 544, 312 219, 441 867, Fax. (66-74) 441 094
E-mail: song4kom@upc1.loxinfo.co.th

Malaysia:
Kedutaan Besar RI Kualalumpur
No. 233 Jalan Tun Razak, 50400 Kualalumpur, P.O. Box 10889, Malaysia
Telp. (603) 2145 2011, 2142 1151, 2142 1354, 2141 5228, 2141 1421
Fax. (603) 2141 7908, 2142 3878.
Website: www.kbrikl.org.my
E-mail : kbrikl@po.jaring.my
kbrikul@time.net.my

Konsulat Jenderal RI Johor Bahru
723, Jl, Ayer Molek 80000, Johor Bahru, Malaysia
Telp. (607) 2212000, 2223396, 2229301, Fax. (607) 224 8309 222 3397.
E-mail: kjrijb@tm.net.my

Konsulat Jenderal RI Kota Kinabalu
Lorong Kemajuan, Karamunsing, Peti Surat 11595, 88817 Kota Kinabalu
Sabah – Malaysia
Telp. (60-88) 218 600, 218 258, 218 518, Fax. (60-88) 215 170
E-mail: kjrikk99@tm.net.my

Konsulat RI Penang
467, Jl. Burma, 10350 Penang, Malaysia
Telp. (604) 2274686, 2276281, 2276278, Fax. (604) 227 5887
E-mail: kjripen1@tm.net.my
kjripen2@tm.net.my
kjripen3@tm.net.my

Timor Leste:
Kedutaan Besar RI Dili
P.O. Box 207, Farol, Palapaso, Dili, Timor Leste
Telp. (670) 331 7107, 331 1109, Fax. (670) 332 3684, 331 2332
E-mail: kukridil@hotmail.com

Papua New Guinea:
Kedutaan Besar RI Port Moresby
Lot 1 & 2 Section 410, Kiroki Street, Gordons 5, N C D, Papua New Guinea
P.O. Box 7165 Boroko, N.C.D
Telp. (675) 3253116, 3253544, 3253435, Fax. (675) 325 0535
E-mail: kbripom@daltron.com.pg

Konsulat RI Vanimo
Sandaun Province, P.O. Box 39, Vanimo
Telp. (675) 857 1371, 857 1372, Fax. (675) 857 1373, 857 1298
E-mail: rivanimo@daltron.com.pg

di-co-pas dari sini

ALAMAT PERWAKILAN RI DI LUAR NEGRI: Asia Timur dan Pasifik, Asia Selatan dan Tengah [1]

Australia:
Kedutaan Besar RI Canberra 8 Darwin Avenue, Yarralumla ACT 2600, Telp. (61-2) 6250 8600. Fax. (61-2). 6273 6017, 6273 3545, Website: http://www.kbri-canberra.org.au. E-mail: indonemb@kbri-canberra.org.au. Konsulat Jenderal RI Melbourne. 72 Queens Road, Melbourne, VIC 3004, Telp. (61-3) 9525 2755. Fax. (61-3) 9525 1588, Website: http://www.kjri-melbourne.org. E-mail: kjri@kjri-melbourne.org. Konsulat Jenderal RI Sydney. 236-238 Maroubra Road, Maroubra, NSW 2035, Sydney – Australia. Telp. (61-2) 9344 9933, Fax. (61-2) 9349 6854, 9349 3366. Website: http://www.indosyd.org.au
E-mail : protokol@indonsyd.org.au




Konsulat RI Darwin
20 Harry Chan Avenue, Darwin GPO Box 1953 Northern Territory 0801
Telp. (61-8) 8941 0048, 8941 0451, Fax. (61-8) 8941 2709
E-mail: kridrw@130.aone.net.au

Konsulat RI Perth
134 Adelaide Terrace East Perth, WA 6004 PO. Box 6683, East Perth, WA 6892
Telp. (61-8) 9221 5858, Fax. (61-8) 9221 5688
E-mail: ri@iinet.net.au

Afghanistan:
Kedutaan Besar RI Kabul
Malalai Watt, Shah-re-Now, Kabul, Afghanistan
Telp. (93-20) 220 1066 , Fax. (93-20) 220 1735
E-mail: kbrikabul@neda.af

Bangladesh:
Kedutaan Besar RI Dhaka
Road No. 53, Plot No. 14, Gulshan 2, Dhaka 1212, Bangladesh
Telp. (88-2) 988 1640, 988 1641, 881 2260, Fax. (88-2) 882 5391, 881 0993
Website: www.jakarta-dhaka.com
E-mail : indhaka@bangla.net

Jepang:
Kedutaan Besar RI Tokyo
5-2-9 Higashi Gotanda, Shinagawa-Ku, Tokyo 141 – JAPAN, P.O. Box 11365/4564
Telp. (81-3) 3441-4201, Fax. (81-3) 3447-1697

Konsulat Jenderal RI Osaka
Daiwa Bank Semba Bldg. 6th Floor 4-21, Minami Semba 4-Chome Chuo-Ku
Osaka 542-0081 JAPAN

Korea Utara:
Kedutaan Besar RI Pyongyang
5 Foreigner’s Building, Moon So Dong, Taedonggang District
Pyongyang – Democratic People’s Republic of Korea
Telp. (850-2) 381 7425, Fax. (850-2) 381 7620
E-mail: kompyg2@public2.bta.net.cn

India:
Kedutaan Besar RI New Delhi
50-A, Kautilya Marg, Chanakyapuri, New Delhi – 110021, INDIA
Telp. (91-11) 2611 8642 s/d 2611 8646, Fax. (91-11) 2688 6763, 2687 4402
Website: www.kbri-newdelhi.org
E-mail : iembassy@giasdl01.vsnl.net.in
iembassy@nda.vsnl.net.in

Konsulat Jenderal RI Mumbai
19, Altamount Road, Cumballa Hill, MUMBAI 400 026-INDIA
Telp. (91-022) 2386 8678, 2380 0940, Fax. (91-022) 2380 0941, 2380 5862
E-mail: kjrimum@bom3.vsnl.net.in

Brunei Darussalam:
Kedutaan Besar RI Bandar Seri Begawan
Simpang 528, Lot. 4498, Kg. Sungai Hanching Baru, Jalan Muara, Bandar Seri
Begawan BC 2115, Negara Brunei Darussalam, P.O. Box 3013
Telp. (673) 233 0180, 233 0358. Fax. (673) 233 0646
Website: www.indonesia.org.bn
E-mail: kbribsb@brunet.bn

Myanmar:
Kedutaan Besar RI Yangon
100, Pyidaungsu Yeiktha Road, Yangon, Union of Myanmar
Telp. (95-1) 254 465, 254 469, 229 750
(873) 762 031 460 (satelit)
Diplomatic Compound
Fax. (95-1) 254 468
E-mail: kbriygn@indosat.net.id

Kaledonia Baru:
Konsulat Jenderal RI Noumea
2, Rue Lamartine – Orphelinat, B.P. 26, 98845 Noumea Cedex
Nouvelle Caledonie
Telp. (687) 232 880, 232 881, Fax. (607) 278 435
Telex. 3068 INDNOUM

di-co-pas dari sini

QUO VADIS PEMBENAHAN PENGIRIMAN TKI

Hati kita pasti jengkel, sedih membaca berita tentang segudang penderitaan TKI-W kita di luar negeri yang disiksa, diperkosa majikan/agen, polisi, bunuh diri dan sederet penderitaan lainnya.



Meskipun mereka cukup trampil bekerja, masih juga dicerca, disiksa dan bahkan tidak luput dari kasus upah dengan adil (underpaid-dibawah UMR). Kita telah memiliki UU Pengiriman TKI keluar negeri, sayangnya – ternyata belum menjamin para TKI terhindar dari aksi penyiksaan dan penderitaan lainnya. Nyatanya, UU sajatidak cukup, apalagi bila tidak dibarengi "azas timbal balik" (resiprositas) adanya perangkat hukum perlindungan yang sama dari negara penerima (receiving states).

Sebagai langkah pembenahan, Pemerintah sudah waktunya menerapkan peraturan hukum yang tegas untuk membasmi berbagai perbuatan tercela terkait pengiriman TKIa.l. KTP-Paspor palsu, ijazah-pendidikan dan usia TKI yangdimanipulasi, biaya rekrutmen calon TKI (informal) yang terlalu mahal, dll. Selama ini terkesan, keran pengiriman TKI dibuka lebar Рbahkan terlalu bebas, dengan alasan klasik, pemerintah masih kesulitan menyediakan lapangan kerja di dalam negeri, sehingga seleksi atas kualifikasi dan kondisi fisik calon TKI terabaikan. Terkesan, siapasaja yang berminat, dipersilahkan menjadi TKI, padahal sikap inilah yang menjadi cikal-bakal masalah besar yang dihadapi para TKI (khususnya informal, pekerja kebun, pe̱ata laksana rumah tangga) di luar negeri. Karenanya, inilah saatnya Pemerintah perlu mengambil langkah serius dalam pengawasan pengiriman TKI dengan menerapkan peraturan yang sangat tegas. Pemerintah perlu unjuk gigi dan membangun citra dan wibawa.

Sistem yang selama ini diberlakukan atas dasar "belas kasihan" dan mengabaikan hukum harus segera dihentikan dan hal ini memerlukan tindakan gradual dan sistematis dari pemerintah. Pengiriman TKI oleh agen-agen siluman (calo-tekong)tanpa melalui proses pelatihan, tes kesehatan, ijasah resmi, KTP dan paspor yang sesuai UU, harus dihukum seberat-beratnya dan dikategorikan bagian dari aksi kejahatan kemanusiaan (illegal human- women and child - trafficking). Dengan demikian aparat hukum memiliki dasar tindakan untuk menertibkan para cukong, tekong dan agen nakal tanpa ragu-ragu. Para agen yang melanggar tidak cukuphanya dicabut ijin usahanya, melainkan harus diganjar pidana sesuaiUU yang ada. Dalam hal ini DPR RI juga perlu pro aktif mengawasipelaksanaan – law enforcement UU yang mereka buat.

Berbagai kasus yang menimpa TKI sebagian besar berawal dari dalam negeri (hulu) dan di luar negeri penempatan (hilir) hanya merupakan akibat. Pemerintah juga perlu mengambil langkah serius dan dratisdengan menutup Terminal III Bandara Sukarno Hatta dan terminal TKI lainnya di berbagai bandara di dalam negeri. Dengan mewajibkan TKI yang baru kembali ke tanah air melalui Terminal III, sama saja menggiring TKI ke dalam “perangkap” para calo dan penipu yang memaksa TKI menyewa mobil yang mereka sediakan ke daerah masing-masing dengan ongkos lebih mahal. Himbauan dan pembenahan yang dilancarkan pemerintah selama ini ternyata tidak cukup ampuh bahkan terkesan diacuhkan dan tidak jalan sama sekali, meskipun himbauan itu nyata-nyata datang dari seorang Presiden. Dengan menutup Terminal III Sukarno Hatta, TKI harus diperlakukan seperti pemumpang umum lainnya sehingga akan luput dari tangan-tangan para calo nakal. Dalam hal ini perlu membenahi dan menambah frekuensi angkutan umum dari Sukarno Hatta ke berbagai terminal dalam kota khususnya bagi TKI yang tiba dengan penerbangan larut malam.

Saya juga ingin menghimbau kepada Pemerintah agar segera mewajibkan semua pusat pelatihan calon TKI-W memasukkan kurikulum pelatihan beladiri (pencaksilat, taekwando, dll) dalam program pembelajaran calon TKI-W kita sebelum berangkat ke luar negeri. Better late than never - lebih baik telat daripada tidak berbuat sama sekali. Dengan memiliki ketrampilan beladiri para TKI-W kita akan dapat membeladiri atau lebih mudah menyelamatkan diri bila disiksa/dikerasi majikan. Ketika bertugas di KJRI Hong Kong, saya ajak para TKI-W kita untuk latihan taekwando bersama (diasuh para mantan tentara Gurkha - Nepal) khususnya pada akhir pekan dengan biaya murah-sambil membangun persahabataan dan networking. Hasilnya, mereka sehat2 dan terhindar dari tindak kekerasan majikan. Hal serupa saya yakin dapat diterapkan untuk para calon TKI-W ke Arab dan Malaysia, dll., asalkan kita mau dan didasari niat luhur.
Semoga mendapat perhatian Menakertrans RI dan instansi terkait lainnya.

SAHAT SITORUS
Pemerhati masalah sosial, tinggal di Jakarta
Email: ssitoruss@hotmail.com

Dikopas dari BI

TKW Hongkong Bentuk Forum Budaya Buruh Migran

08/10/07 20:38

Surabaya (ANTARA News) - Sejumlah TKW Indonesia yang bekerja di Hongkong membentuk Forum Budaya Buruh Migran Indonesia (FBBMI) untuk mewadahi aspirasi serta kegiatan kebudayaan mereka selama berada di tanah air.



Bonari Nabonenar, salah seorang penggerak seni buruh migran kepada ANTARA News di Surabaya, Senin mengemukakan, FBBMI itu diketuai oleh Wina Karnie, TKW asal Magetan yang sudah menerbitkan buku kumpulan cerpen, "Perempuan Negeri Beton".

"FBBMI akan diresmikan 17 Oktober di Dusun Nglaran, Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, Jatim bersamaan dengan kegiatan diskusi bertema `Orang Kampung dan Globalisasi`," katanya.

Menurut dia, FBBMI akan menjadi wadah untuk memfasilitasi para buruh yang mengambil cuti dan hendak menggelar pentas seni atau kegiatan budaya lainnya di Indonesia. Forum itu juga akan menjadi wadah konsultasi TKW yang hendak menerbitkan buku.

"Kebetulan Wina Karnie juga menjadi Ketua Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Hongkong yang merupakan organisasi para penulis," kata Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu.

Menurut dia forum itu dibentuk karena selama ini lembaga pembelaan atau advokasi kaum buruh migram sudah banyak berdiri, sedangkan untuk menjembatani kegiatan budaya bagi mereka belum pernah ada, khususnya ketika mereka berada di tanah air.

Selain kegiatan peluncuran FBBMI dan diskusi, di dusun terpencil di Trenggalek itu juga digelar pameran foto "Hongkong dan TKI Kita" yang merupakan kelanjutan dari pameran pertama di Galeri Surabaya, kompleks Balai Pemuda beberapa waktu lalu.

Sekitar seratus foto tentang seluk beluk Hongkong dan TKI itu akan dipamerkan mulai 15 hingga 17 Oktober di rumah orangtua Bonari sendiri.

"Mengapa diselenggarakan di Trenggalek? Karena pameran itu memang akan dikelilingkan se Jatim, khususnya wilayah yang banyak menyumbangkan TKW ke Hongkong. Kebetulan yang banyak daerah kawasan selatan Jatim," katanya.

Ia mengemukakan, di Trenggalek kemungkinan besar foto-foto itu mendapatkan apresiasi lebih baik dibandingkan dengan di Surabaya. Sebab Trenggalek dan sekitarnya merupakan salah satu daerah yang banyak memberangkatkan TKW ke Hongkong.

Foto-foto karya para TKW itu memotret berbagai obyek di tempat kerja mereka, seperti gedung-gedung bertingkat hingga 60 tempat mereka bekerja, aktivitas mingguan mereka di Victoria Park, fasilitas umum, kendaraan di jalan atau perpustakaan tempat mereka memperkaya wawasan.

Lewat pameran itu, Bonari berharap akan memberikan gambaran lengkap kepada masyarakat, khususnya keluarga para TKW mengenai pekerjaan para buruh itu serta suasana dan kehidupan di negeri Hongkong.

"Misalnya, foto flat yang terdiri atas 50 hingga 60 lantai tempat para TKW bekerja sebagai pembantu. Foto itu memberikan informasi penting bagi keluarga TKW maupun calon TKW yang belum berangkat," katanya.

Menurut Bonari, calon TKI akan tahu bahwa mereka bisa bekerja di gedung tingkat 60. Dengan pengetahuan itu, para calon TKW bisa mengukur diri, apakah mereka berani berangkat atau tidak. (*)

dikoppas dari Antara

Sebuah Permohonan kepada KJRI-HK

Memindahkan Proyek ’Agustusan’ ke Kawasan Banjir Lumpur

Ida Permatasari

Bayangkanlah, coba, apabila pada suatu hari di sebuah terminal –yang pasti bukan Terminal Tiga-- Anda bertemu seseorang yang kemudian mengaku sebagai pejabat di Provinsi Jawa Timur, dan kemudian mengaku setiap tahun –setiap bulan Agustus—pergi ke Hong Kong. Kali ini terminal terasa jauh lebih ramai dari biasanya, jauh lebih bising, maksudnya --sehingga Anda sering tidak menangkap dengan jelas kata demi kata yang diucapkan Sang Pejabat itu. Dan Anda pun tak boleh ge-er dengan merasa bahwa seluruh kata yang mbrudhul dari mulut Anda bisa ditangkap dengan baik.




Sehingga, Anda pun tak perlu tolah-toleh tanda bingung ketika mendengar bahwa Sang Pejabat itu biasanya ke Hong Kong untuk memenuhi permintaan KJRI-HK, mengirimkan artis penyanyi dan pelawak untuk menghibur para TKI-HK dalam rangka memeringati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Pemerintah Provinsi Jawa Timur selalu dimintai untuk mengirimkan artis penyanyi dan pelawak itu dengan dasar bahwa bagian terbesar TKI-HK berasal dari Jawa Timur. Lalu, rombongan pun kembali ke tanah air dengan perasaan lega karena telah melakukan amal kebaikan dan dari pertemuan-pertemuan dengan para TKI-HK, termasuk pertemuan di dalam gerbong kereta yang melaju ke Szen Szen [mohon dikoreksi ejaannya], mereka menengkap kesan keceriaan para TKI-HK.

’’Saat ke Szen Szen, di kereta kami bertemu dengan TKI-HK yang sedang menikmati liburannya dengan pergi ke Szen Szen. Mereka nyaris memenuhi gerbong,’’ kata Sang Pejabat untuk menggambarkan betapa banyak TKI-HK yang berlibur ke Szen Szen saat itu, ’’kami sempat terlibat dalam obrolan, dan mereka merasa senang dan berterima kasih karena telah mendapatkan hiburan gratis.’’

Bayangkan saja bahwa Anda mendengar kalimat-kalimat seperti itu, tetapi tetap jagalah kesadaran bahwa Anda tidak bisa menangkap dengan sejelas-jelasnya setiap katanya. Lalu, Anda membiarkan saja kata-kata yang tidak berhasil Anda tangkap dengan jelas itu terbang bebas –dengan tidak sedikit pun berupaya untuk menangkap mereka—dan dengan demikian Anda memberi peluang kepada diri untuk menikmati kalimat-kalimat itu sebagai kalimat-kalimat sastra: yang menggetarkan rasa, menawarkan teror [meminjam istilah Putu Wijaya] mengasyikkan, yang multitapsir.

Apabila kata-kata itu tersusun dalam bangunan sebuah cerita pendek, yakinilah saja bahwa cerita pendek itu sangat berpotensi dijadikan cerita pendek yang bisa diikuti kuis berhadiah dengan pertanyaan model pilihan ganda: 1. Pada hari itu sebegitu banyaknya TKI-HK yang berlibur ke Szen Szen, sebab [a] hari libur nasional China, [b] hari Minggu, [c] menghadapi Hari Kejepit Nasional, [d] memang seperti itu setiap hari, arus TKI-HK ke/dari Szen Szen. 2. Rombongan Pejabat itu ke Szen Szen untuk: [a] menggelar acara Peringatan HUT Kemerdekaan RI di Szen Szen, [b] dalam rangka berlibur bareng TKI, [c] survei lapangan untuk sasaran penempatan TKI baru, [d] memperbarui visa. [Jika ada waktu luang, para pembaca bisa menjawab kuis ini dan mengirimkan jawabannya ke mana saja, ke alamat yang disuka, dan tidak perlu mengharapkan hadiahnya.]

Memenuhi Permintaan

Lain ladang lain belalang, lain kepala lain pikirannya. Maka cobalah tempatkan diri Anda sebagai orang yang berpikir bahwa, misalnya, proyek menghibur TKI dengan mengirimkan artis penyanyi dan pelawak yang dibiayai dengan uang rakyat [tetapi mereka lebih suka menyebutnya sebagai Dana dari Pemerintah] itu sebagai sebuah pemborosan. Atau, dengan kata lain, tidak efektif. Pertama, karena hiburan gratis itu pasti tidak bisa dinikmati oleh seluruh TKI-HK asal Jawa Timur yang jumlahnya konon berkisar 90 – 100 ribu orang itu. Kedua, tanpa diambil oleh Pemerintah pun, proyek menghibur TKI itu sudah diambil oleh pihak swasta termasuk organisasi TKI dan event organizer. Hampir tidak ada hari Minggu tanpa kehadiran selebritis dari indonesia, artis sinetron, penyanyi, kelompok band, pelawak, dan bahkan dai, di antara para TKI-HK.

Maka, ketika Anda menyorongkan komentar di hadapan Sang Pejabat bahwa proyek mengirimkan artis dari Indonesia ke Hong Kong oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur itu sebagai pemborosan, bayangkan pula, Anda akan mendapat kalimat bernada tinggi yang lebih-kurang berbunyi begini, ’’Lho, kami kan harus memenuhi permintaan KJRI-HK?’’ dan Anda menimpalinya dengan, ’’Apakah permintaan itu tidak bisa ditolak?’’ dan jawaban balik dengan nada makin tinggi-nya adalah, ’’Kan sudah dianggarkan!’’

Pikiran Anda boleh dinilai salah. Tetapi, yakinlah, dan pe-de aja lagi! Karena, Sang Pejabat [yang tampaknya makin tepat jika kita beri gelar sebagai ’Oknum’ ini] layak kita kasihani karena tampaknya ia belum sempat belajar mendengarkan ’’suara rakyat’’: bahkan yang nada dan iramanya paling nyleneh sekalipun.

Maka, jika Anda tidak ingin terlibat dalam perdebatan di dalam suasana [terminal] yang makin tidak menarik ini, dan memilih menjadi orang yang pantang patah hati, cobalah pergi ke KJRI-HK, dan dengan rendah hati ajukanlah permohonan seperti ini, ’’Yang terhormat KJRI-HK, kami mohon jangan lagi meminta Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk membiayai proyek pengiriman penyanyi, penari, dan pelawak untuk menghibur para TKI di sini, sebab kami akan merasa lebih terhibur jika dananya bisa dialihkan ke ’’Kuala Lumpur’’ [baca: Porong, Sidoarjo, Jawa Timur] untuk mengurangi [betapapun kecilnya angka pengurangan itu] kesedihan saudara-saudara kami di sana. Kalaupun masih kumudu-kudu memberikan ’hiburan’ bagi kami, berilah kami pendidikan. Berilah kami tambahan semangat, tambahan wawasan dan ketrampilan untuk menghadapi hidup yang makin hari makin berbiaya tinggi ini. Kalaulah tidak mungkin dalam sekali waktu kami yang 90 ribu orang ini masuk kelas bersama-sama [misalkan yang bisa mengikuti hanya 100 orang] kami toh bisa menularkan pengetahuan yang kami dapat dari kelas itu ke kawan-kawan lainnya. Kalau kami mendengarkan lagu, misalnya, pastilah kami tidak bisa menularkan lagu itu ke kawan yang lain seindah suara aslinya, bukan? Maka, Yang Terhormat KJRI-HK, please, kabulkanlah permohonan kami ini.’’ []

Pernah dimuat di Berita Indonesia

"Sastra Babu", anyone? This is "Sastra Babu"!


Sastra buruh migran sebagai “Sastra Babu”

Etik Juwita

Pada peluncuran buku antologi cerpen “Nyanyian Imigran” di Pusat Dokumen Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki di Jakarta 23 Juli 2006 lalu, muncul pemberian nama “Sastra Babu” untuk tulisan-tulisan yang dibuat oleh “babu-babu” di Hong Kong. Penamaan itu diberikan oleh seorang yang datang dan sempat memberikan komentar dalam sesi diskusi (mutlak kesalahan saya, saya tak ingat nama bapak paruh baya tersebut).




Penamaan muncul ketika sesuatu diciptakan, ada dan berwujud baik abstrak atau konkret. Mengingat fungsi kata yang juga sebagai lambang selain sebagai alat komunikasi, kata juga mampu memberikan identitas, sebagai bayi yang belum sempurna lahirnya bila tak dinamai. Nama baik diberikan pada bayi karena orangtua si baru lahir mengharapkan orok itu nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi baik; baik bagi dirinya, orantuanya, masyarakat sekitarnya, mungkin juga baik bagi negara. Sebagai penegasan akan sebuah kelahiran, pemberian nama tentu mutlak artinya. Ironisnya sebagai bayi, tentu ia tak bisa mengelak ketika orangtua memberi si orok nama Bagus, Cantik, Ganteng, atau orangtua yang punya selera humor tinggi membuat kenduri dan mengumumkan nama anaknya: Garong Perkasa. Mungkin ia cuma bisa melengkingkan suara: oaaar! Bukan protes, tapi karena bisanya cuma mengoar-ngoer. Tapi apakah “babu-babu” pun cuma bisa mengoer bila tulisannya disebut “Sastra Babu”? Diam dan menerima pemberian nama itu dengan tidak mengambil sikap? Seperti bayi?

Pengotakan sastra dengan memberikan nama-nama berangkat dari tidak adanya kesepakatan mutlak dalam penilaian baik-buruk suatu tulisan sehingga patut dimasukkan dalam kelompok atau kelas tertentu, bisa juga penamaan itu ada karena ingin gampang saja menyebut satu golongan sastra tertentu untuk membedakannya dengan golongan lain; sebagai wakil dan perlambangan dari suatu genre. Atau, sebagai nomenklatur; penamaan itu diperlukan demi kelancaran penelitian tertentu (studi tentang sastra, barangkali). Atau, adalah imbas dari banyaknya jenis tulisan non-fiksi yang terfokus pada keadaan tertentu (misalnya; tulisan yang mengacu pada isu gender dan feminisme)--dengan catatan, saya lebih menspesifikasikan hal pokok di sini bahwa yang dikategorikan sebagai “sastra” adalah tulisan-tulisan fiktif saja.

Pemberian nama pada golongan tertentu dianggap mengacu pada pengertian yang cenderung konotatif atau denotatif tentu perlu pula dikemukakan alasan-alasan penguat pemaknaan itu. Apakah kata “babu” benar cuma memberikan pemahaman yang tendensius, pelecehan akan profesi pembantu yang bekerja di luar negeri? Membawa pengertian bahwa dengan menyebut “Sastra Babu” pada tulisan-tulisan hasil karya “babu-babu” cuma membuat tulisan dan penulisnya punya kedudukan sama, sederajat dengan pembantu? Atau penyebutan ini sebenarnya mengandung pengertian-pengertian yang tidak tunggal; “Sastra Babu” karena yang menulis seorang “babu”, atau “Sastra Babu” karena tulisan ini tentang kehidupan “babu”? Sedemikian pentingkah penyebutan itu hingga perlu menakutkan dan harus membela diri, membantah dengan mencurigai penamaan itu tendensius, melecehkan pekerjaan pembantu yang juga menulis? Atau perlu dibela dengan mengasumsikan yang diolok-olok tak bisa bicara?

Agaknya perlu juga dirunut bagaimana mula pembantu-pembantu di Hong Kong menulis dan mampu mempublikasikan tulisan-tulisan itu di media cetak di Hong Kong, beberapa bahkan, ada yang pernah diterbitkan di media cetak di Indonesia, menunjukkan tulisan-tulisan itu nyata di hadapan masyarakat yang ada di Tanah Air. Bagaimana awalnya, keadaan yang menguntungkan di Hong Kong karena perlakuan pembantu sebagai labor/tenaga kerja, memberikan sumbangsih dalam proses pemupukan proses kreatif pembantu Indonesia yang bekerja di satu bagian negara China ini. Bagaimana satu keadaan menuntun keadaan yang lain? Bagaimana kait-mengaitnya satu peristiwa yang melanjut pada peristiwa berikutnya. Tentu naif bila menganggap tulisan-tulisan itu muncul hasil buah kerja sekejap saja. Tentu ini bukan hasil kerja simsalabim, adakadabra: cling!

Lalu oi oi! benar pembantu di Hong Kong yang kemudian oleh media cetak di Hong Kong lebih sering disebut sebagai BMI (Buruh Migran Indonesia) sedang menulis. Tujuh buku dengan komposisi perbandingan enam untuk cerita fiktif dengan satu biografi malah sudah diterbitkan. Prestasi ini masihkah perlu diragukan bahwa BMI Hong Kong sedang giat “menceritakan diri”, menceritakan yang fiksi, menguraikan imajinasi dalam bentuk tulisan? Kemudian masyarakat menilai apa yang dilakukan BMI Hong Kong ini sesuatu yang mengejutkan, bahwa kelompok yang menurut sebagian orang sebagai masyarakat marginal sedang bersastra. Bukankah Max Havelaar dituliskan oleh Multatuli, Pariyem meminjam tangan Linus Suryadi, Srintil digulirkan oleh Ahmad Tohari? Bukankah ia yang pekerjaannya membaca buku, mempelajari kalimat Hamlet; “My love’s red, red rose”, ia yang berkaca mata tebal, berambut gimbal, yang nyentrik dan dengan wajah berkerut-kerut memikirkan baris demi baris kata sempurna untuk mengutarakan filosofi hidup saja yang biasanya menulis sastra? Tapi ini adalah kelompok terpinggir, “babu” di Hong Kong. Pembantu, bekerja dengan sehari-harinya bicara dengan bahasa pinjaman, kadang dengan bahasa isyarat, tak pandai-pandai benar mengeja, yang peduli bagaimana menciptakan keadaan rumah tangga orang bersih, teratur, rapi, dan satu dua mampu memfungsikan komputer sedang giat bercerita. Mengkhayal-khayal malah.

Oar! oer! Ini mengejutkan. Ini “Sastra Babu”.
Tendensius, konotatif, denotatif, alegoris, hiperbolis, sarkastis, atau ironis, “Sastra Babu” memang telah lahir, muncul karena keadaan yang kondusif, refleksi dari keadaan yang ada. Hasil olah pikir dari sudut pandang/penyikapan situasi, bukan dari yang sebenar-benarnya sedang menderita. Ia yang tersiksa belum bercerita, belum berkesempatan. Yang baru lahir sedang merangkak berjalan, ada yang belajar bicara menolak diberi nama. Maunya; aku menulis untuk mengangkat derajatku. Membebani diri dengan menumpu harapan berlebih pada laku menulis. Tak insaf benar ia sedang menegaskan; derajat “babu” di bawah penulis. Risau akan kemarginalitasan yang sebenarnya cuma digariskan keadaan.

Rose bukankah tetap bunga dengan batang berduri dan daun menyirip meskipun ia disebut mawar? Dan Garong Perkasa bisa saja jadi Jagoan Penunduk Garong bila kelak besar, si Ganteng bisa jadi si Buruk Rupa bila kelak tua. Maka, rekan saya yang berteriak dan menolak dan belajar bicara itu, kedengaran keras, sumbang dan mengandung satu pengertian: mencemaskan.[]

Hong Kong, 15/09/06
Pernah dimuat di Tabloid SUARA

Mahasiswa pun Belajar Menulis dari BMI

Dari Diskusi bersama BMI di STKIP PGRI Ponorogo

Diskusi kepenulisan yang digelar Rabu malam (16/01) di STKIP PGRI Kabupaten Ponorogo tidak saja meriah oleh para mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra kampus tersebut. Diskusi yang dimoderatori oleh Drs. Sutedjo, M.Hum, salah seorang dosen di kampus tersebut, juga dijadikan oleh mahasiswa untuk menimba ilmu menulis.

Banyak pertanyaan yang berkisar tentang teknik-teknik menulis disampaikan oleh mahasiswa di sesi tanya-jawab kepada para pembicara: tiga orang mantan BMI Hongkong – Eni Yuniar, Tania Roos, dan Mei Suwartini , Bonari Nabonenar. Tiga orang mantan BMI Hongkong tersebut adalah sebagian kecil dari kelompok BMI yang menggeluti dunia tulis-menulis.

Diskusi menjadi menarik, antara juga karena – diakui oleh salah seorang mahasiswa – mahasiswa lebih memiliki banyak kesempatan untuk menulis, tetapi kebanyakan tidak menulis. Sementara para BMI, waktu dan kesempatannya sangat terbatas ketika masih jadi BMI, tetapi mereka bisa terus menghasilkan berbagai tulisan, diterbitkan di berbagai media massa, bahkan buku.

BMI penuh kendala dalam menulis. Tania Roos, misalnya. Dirinya mengisahkan, ketika bekerja pada majikan di Hong Kong, kalau mau menulis, ia terpaksa menunggu waktu malam hari dan menulisnya pun sambil duduk di atas toilet. ’’Kalau saya menulis di ruang lain, otomatis lampunya terang. Itu bisa mengganggu majikan saya. Oleh karena itu, supaya tidak mengganggu majikan, supaya di ruang lain tetap gelap, saya masuk kamar kecil. Saya menulis sambil duduk di toilet. Lampu terang, tetapi majikan saya tidak melihat,’’ kata Tania.

Mei Suwartini lebih parah lagi. Majikannya di Hong Kong tidak suka Mei menulis. Itu ditambah kesibukannya sebagai BMI sangat padat di samping sang majikan sendiri sangat ketat menerapkan aturan kepada BMI-nya. Mei tidak boleh menyimpan disket, flashdisk, apalagi laptop.

Alhasil, untuk menulis, Mei harus mencuri-curi waktu. Ia menuliskan naskah-naskah tulisannyha dengan tangan, lalu ia akan minta tolong kepada salah seorang rekannya sesama BMI untuk mengetikkan naskahnya. Hanya Eni Yuniar yang tidak terkendala majikan untuk aktivitas menulisnya.

Manfaat Menulis

Dalam keadaan terkendala, apalagi tidak, BMI Hong Kong terus melahirkan berbagai bentuk tulisan baik puisi, cerpen, karya jurnalistik, juga novel. Hal itu karena mereka paham benar manfaat positif dari aktivitas menulis.

Seperti dikemukanan oleh para BMI yang jadi pembicara, banyak manfaat yang mereka dapatkan dari kegiatan menulis. Di antaranya, dengan menulis, dirinya dapat mencurahkan dan membagikan pikiran, perasaan, dan gagasan kepada orang lain melalui karya tulis. Manfaat lain, jika tulisan berhasil dimuat di media massa atau dapat juara, selain ada kepuasan batin dan menjadikan dirinya lebih dikenal, juga mendapatkan keuntungan finansial dari honor tulisan.

Menulis juga memiliki manfaat social dan pemenuhan rasa tanggung jawab. Hal ini diakui oleh Eni Yuniar yang sejak SMP sudah menghasilkan tulisan, mula-mula cerita-cerita anak. Mantan ketua IMWU ini mengaku dirinya menulis karena dirinya punya tanggungjawab moral untuk menolong BMI di Hong Kong yang bermasalah. Oleh karena itu, diorganisasinya ia menerbitkan dan menulis seputar hukum-hukum perburuhan. Hal itu dilakukan sebagai salah satu cara untuk memberikan pendidikan/penyuluhan kepada BMI.

Manfaat dan motivasi seperti yang dimiliki oleh para BMI itu yang belum banyak dimiliki oleh kebanyakan mahasiswa, termasuk mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra. Oleh karena itu, Sutedjo menyarankan agar mahasiswa belajar dari para BMI dan segera memulai menulis.

Sense of Belonging

Diskusi sastra yang menampilkan BMI yang menulis sebagai pembicara sudah yang kesekian kalinya diadakan. Pemimpin Redaksi Majalah Peduli Bonari Nabonenar, yang aktif menggelar acara-acara seperti ini mengemukakan, kegiatan semacam ini memang sangat penting. Sebab, dengan demikian, orang-orang daerah bisa mengenal bahwa daerahnya memilik BMI yang juga jadi penulis.

Ponorogo sendiri memiliki beberapa BMI yang jadi penulis. Selain Mei Suwartini dan Eni Yuniar, masih ada lagi Tanti dan lainnya. ’’Kita berharap Ponorogo bisa menangkap ini (BMI yang menggeluti dunia tulis-menulis, red) sebagai potensi kebudayaan atau kesenian wilayah. Terus, nanti kalau penulisnya pulang disambutlah,’’ ungkap Bonari.

Jangan sampai kasus di Banyuwangi terjadi juga di daerah lain. Bonari menceritakan, di Banyuwangi ada mantan BMI Hong Kong yang namanya Eni Kusuma.

’’Eni Kusuma ini ketika pulang, terbit bukunya Anda Luar Biasa!!! Dan kemudian, ia juga jadi pembicara, bahkan ada yang menawari talkshow keliling Indonesia sebagai motivator. Tapi, Banyuwangi sendiri malah tidak mengenal Eni Kusuma,’’ kata Bonari prihatin.

Dalam pandangan Bonari, yang terjadi di Banyuwangi itu merupakan sebuah ’kesalahan lokal’. Artinya, ibaratnya orangtua, Banyuwanginya itu sendiri malah tidak menerima anaknya, Eni Kusuma.

’’Padahal, Eni Kusuma berbicara di Jogja, berbicara di Surabaya, berbicara di Jakarta. Dia berbicara di forum yang pembicara sebelumnya adalah Andre Wongso, Tung Desem Waringin, Hermawan Kertajaya,’’ kata Bonari prihatin. [KUS]