“Chaos” Goyang Inul “Ngebor”

MOCHTAR W OETOMO

Pro-kontra tentang Inul belum juga usai. Tanpa kita sadari kita telah membuat adonan mendung yang melahirkan hujan badai wacana Inul, wacana goyang “ngebor”-nya. Ada semacam chaos wacana Inul, chaos wacana goyang “ngebor”. Betapa tidak, tiba-tiba saja kita begitu akrab, begitu dekat, dan begitu lekat dengan Inul. Begitu melek, bahkan dengan segala puspa ragam dan warna identitas biduan dangdut dari kampung Gempol Pasuruan ini.



Menyambangi, menari-nari, meliuk-liuk, dan tertawa-tawa hingga ke tempat kita yang paling pribadi. Menyusup ke rumah kita, ke ruang keluarga, bahkan ke kamar pribadi kita. Melalui kuasa mediasi media massa (terutama televisi dan VCD) goyangan “ngebor” Inul yang begitu panas dan sensual menggelitik mata kita untuk melirik, melihat, dan memelototi.

Sebulan terakhir hampir semua media cetak dan televisi memberikan ruang coverage spesial pada pemilik nama asli Ainul Rokhimah ini. Beberapa stasiun televisi bahkan memberikan blocking time-nya untuk sebuah tajuk acara dengan nama dan bersama Inul.

Tentu saja dengan berbagai eksplorasi mediasi teknologi terhadap goyang dan sensualitas Inul. Melalui berita dan infotainment, berbagai laporan tentang kontroversi goyang Inul cukup mengemuka.

Disadari ataupun tidak, melalui berbagai artikel dan sumber berita, Inul mendapat pembelaan yang cukup argumentatif dan ilmiah dari berbagai serangan, kecaman dan bahkan cekal dari beberapa komponen masyarakat. Di media Inul menjelma menjadi sebuah fenomena kultural. Di mana penilaian hitam putih tak lagi mencukupi.

Patriarkhisme media tampak sekali dalam coverage kontroversi ini. Suara-suara kaum perempuan yang menolak dan mengkritik keras penampilan Inul mendapat ruang yang kecil berbanding suara-suara pembelaan dari kaum cerdik pandai dan budayawan yang umumnya laki-laki.

Dalam liputan media, penolakan terhadap aksi Inul menjelma menjadi rajukan anak kecil yang tak perlu ditanggapi, ketika argumen-argumen orang terdekat Inul dan para pengamat yang rata-rata laki-laki melimpah ruah dalam eforia. Dalam konteks ini diskursus tentang Inul sesungguhnya tidak seimbang dan tidak komunikatif.

Inilah buah titik pijak pemikiran McLuhan, medium is the message, media adalah pesan itu sendiri. Media yang ada di hadapan, di ruang keluarga, di kamar kita tanpa kita sadari adalah serangkaian senarai pesan yang setiap saat, setiap waktu memberondong imaji kita dengan berbagai nilai, budaya, dan gaya hidup.

Dalam konteks ini media dengan secara dingin bersifat netral terhadap posisi-posisi moral, kultural, dan spiritual. Maka tidak heran jika kemudian goyang Inul yang oleh beberapa kalangan dianggap tabu dan asusila justru mendapatkan ikon-nya di media.

Goyang Inul bahkan menjadi kredo baru bagi universum dangdut. Dalam mediasi media, lenyap batas-batas antara keterkenalan dan ketercemaran. Lenyaplah batas antara yang tercela dan yang terpuji. Goyang Inul tinggalah menjadi tanda-tanda kultural yang nikmat untuk diselami.

Seperti kata Martin-Barbero, media memproduksi dan mereproduksi tata bahasa kultural untuk menjadikan sebuah gaya hidup (kultural) menjadi universal. Media sering kali menginterpretasi dan mensintesiskan idea-idea sesuai dengan asumsi-asumsi hukum produksi dan reproduksi.

Ketika idea-idea itu disimbolisasikan secara terus-menerus atau bahkan fanatik, maka pada saat bersamaan sesungguhnya media telah mendefinisikan dan “menunjukkan” satu budaya, satu pola kultural. Maka, ketika idea-idea kultural tentang Inul disimbolisasikan dengan kostum yang seksi dan goyangan yang sensual, simbol-simbol itulah yang membantu kita untuk memahami domain Inul. Inilah problem ideasi kultural media.

Maka, ketika simbol kultural Inul yang fisikel itu berseliweran di medan perbincangan publik (media), jadilah ia perbincangan sosial, dengan begitu jadilah ia pelajaran sosial. Sedang menurut konsep habitus Bourdiu, ekspresi idea dan pengetahuan kultural khalayak cenderung dipelajari secara sosial.

Inilah bagian dari kedahsyatan mediasi kultural media. Ini berlaku karena cara yang dipakai dalam sistem perbincangan sosial (media) akan sangat menentukan gagasan macam apa yang akan kita temukan.

Kata “perbincangan” di sini bersifat metaforis untuk tidak menunjukkan hanya pada percakapan namun juga pada segala bentuk teknik dan teknologi yang memungkinkan umat manusia dari satu peradaban tertentu untuk melakukan pertukaran pesan. Dalam pengertian ini semua pola kultural, nilai pandangan adalah suatu “perbincangan”.

Ketika satu pola kultural bersenyawa dengan kompetisi industri media dan satu pola perbincangan sosial yang diruhi oleh nadi produksi dan reproduksi komoditas, maka seperti kata Baudrilard yang kita saksikan tinggalah simulasi.

Baterai simulasi adalah “kecepatan”, logika kecepatan adalah pergeseran dan pembenaman makna. Idea tentang Inul, tinggalah idea tentang goyangannya, idea tentang pakainnya, idea tentang birahi. Bagi patriarkhisme media, apa yang terpenting pada Inul, pada perempuan, tetap saja performen-performen fisiknya. Pada pinggulnya, pada (maaf) pantatnya. Tak lebih.

Inilah wujud proses produksi dan distribusi patriarkhis. Ketika goyang Inul dikomodifikasikan, yakni diproduksi sebagai komoditas, maka lahirlah konsumsi terhadap goyang dan performen fisikel Inul.

Dalam konteks ini sesungguhnya Inul mengalami keterceraiberaian identitas. Perjalanan panjang Inul dalam menggapai kesuksesan. Keringat dan air mata yang mengucur dalam seluruh rentang kariernya. Upaya-upaya produktif dan eksploratif yang ia tempuh punah dalam permainan tanda media, birahi, dan kapitalisme lanjut yang patriarkhis.

Segala latar belakang sosio-kultural dan humanis Inul yang barangkali mengandung banyak pelajaran musnah di telan mentah-menah oleh komodifikasi goyangannya. Identitas Inul tinggallah pada goyangannya yang seksi, desahan dan senyuman yang sensual, celetuk-celetuk hot-nya, serta kerling mata yang mengundang.

Identitas Inul tinggalah identitas birahi. Inul menjadi komoditas patriarkhis, yang konsumen utamanya laki-laki.

MOCHTAR W OETOMO, Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo, dan Direktur Surabaya Media School


Kompas (Jatim) Senin, 10 Maret 2003

0 tanggapan: