Eksotisme, Kesederhanaan, dan Konsistensi

A. BAJURI

BALI DAN INUL DARATISTA ternyata ada "keterkaitan". Bukan karena Inul sering show ke luar negeri lewat bandara internasional Bali. Bukan pula karena ia sering menyanyikan lagu dangdut Bali Tersenyum (dipopulerkan Intan Ali). Tapi memang ada beberapa persamaan antara ledakan bom di Bali dan ledakan popularitas penyanyi dangdut asal Gempol, Pasuruan, ini.



Sebagaimana ledakan bom di Bali, popularitas Inul amat dahsyat. Terjadi tiba-tiba. Menjadi perhatian publik. Menimbulkan pro-kontra. Satu hal lagi, pelaku ledakan di Bali maupun pelaku ledakan popularitas Inul sama-sama "misterius". Bedanya, si misterius di Bali itu bernama teroris, sedangkan si misterius popularitas Inul adalah para pembajak kaset/VCD.

Popularitas Inul memang dahsyat pada dua tahun terakhir. Pada awal 90-an, Inul hanya penyanyi electone dari satu pesta ke pesta lainnya. Wajar jika ia dikenal sebagai penyanyi allround: bisa lagu pop, rock, dangdut, bahkan mandarin. Pada 1991 ia banting setir ke dangdut. Dan, sejak itu, Inul mulai diperhitungkan publik. Pada setiap pergelaran artis ibu kota, Inul selalu diikutkan sebagai artis pendukung.

Pada 1999, setelah Inul merambah dunia malam dan banyak orang terkesima dengan kepiawaian Inul di panggung, bintang terang mulai kelihatan. Harun Berghuis, pimpinan grup dangdut di Belanda (OM Dangdut Bule) mengundang Inul tampil pada pergelaran budaya Indonesia bernama "Tong-Tong". Inul dengan goyang khasnya mampu memukau publik Amsterdam, Belanda.

Setahun kemudian, Inul mendapatkan undangan dari Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) di Osaka, Jepang. "Saya mengundang Inul karena dia bisa menunjukkan jati diri dangdut Indonesia. Selama ini, artis dangdut ibu kota kurang maksimal mengapresiasikan dangdut di Jepang," ujar Bogi, musisi Bali yang ditunjuk KJRI menyeleksi seniman yang dikirim ke Jepang.

Pernyataan Bogi ternyata dibuktikan. Dua tahun berturut-turut, Inul diundang ke Jepang. Itu artinya, Inul telah mengalahkan rekor para seniornya yang cuma sekali diundang, seperti Rhoma Irama, Elvie Sukaesih, Hetty Sunjaya, Camelia Malik dan Fahmi Shahab. Di Jepang, Inul tinggal di wisma negara dan tampil pada jamuan makan malam para relasi bisnis Konsul RI di Jepang. Sebagaimana artis-artis ibu kota sebelumnya, sesekali Inul juga diundang oleh pengusaha restoran terkemuka di Kobe.

Yang kemudian menjadi pertanyaan, benarkah Inul sudah bisa mewakili jati diri dangdut, sehingga ia sampai diundang dua kali? Atau justru Inul tanpa sadar telah dieksploitasi untuk kepentingan orang-orang KJRI?

Kendati sering diundang ke luar negeri, Inul tak terlalu bangga. Penulis yang seringkali mengurus show Inul ke luar negeri, tak melihat sikap berlebihan pada diri Inul. Setelah datang lagi ke Indonesia, Inul tetap menghadiri show-show di kampung. Sikap "tepo selironya" sebagai orang Timur tak ditinggalkan. Misalnya, ada seorang anak yang nggak mau dikhitan kalau nggak nanggap Inul, maka Inul pun mendatanginya.
Ada juga seorang ibu yang mengaku anaknya usia 4 tahun sakit dan opname di rumah sakit. Konon anak itu ingin ketemu sama Inul. Akhirnya Inul datang membesuk. Dan, besoknya, anak itu sembuh dan keluar dari rumah sakit. Dan masih banyak lagi kejadian aneh yang mengiringi popularitas Inul. Bahkan ada ratusan anak muda yang kini menamakan diri sebagai FBI: Fans Berat Inul, yang selalu mengikuti show Inul di Malang.

Masih banyak peristiwa lain yang lebih membanggakan Inul daripada sekadar show di luar negeri. Peraih juara umum pada festival dangdut se-Jatim pada 1994 ini merasa lebih bangga di negeri sendiri. Bangga karena selain bisa lebih dekat dengan penggemarnya dan job show sehari 4-6 tempat, juga karena senang bisa membantu para PKL penjual kaset/VCD lewat VCD live-nya. Kendati sampai sekarang, Inul tak tahu siapa pembajak VCD-nya yang direkam secara live itu.

Selama ini, VCD resmi Inul hanya diproduksi oleh Perdana Record Surabaya. Tapi VCD yang beredar sudah puluhan bentuknya. Bahkan kadang hanya diganti covernya, isinya sama. Marahkah Inul? Tidak. Inul agaknya mengikuti sikap maestro pop Iwan Fals, yang tidak peduli dengan pembajakan. Inul merasa diuntungkan, promosi gratis, dan sekaligus bentuk keberpihakan Inul kepada rakyat kecil.

Goyang Kontroversial

"Kobong gedhe atau bokong gedhe…!" teriak Inul saat menyanyikan lagu dangdut Anoman Kobong dalam rekaman VCD-nya. Tak perlu dijelaskan kira-kira apa jawaban pengunjung. Yang harus diakui, selain modal suara dan fisik, Inul memang punya kelebihan yang luar biasa. Ya, karena organ tubuh itulah ia punya goyang (bukan joget, karena joget adalah bentuk irama dangdut semacam chalte, kuraca, joget, dll). Itu sebabnya, pada tulisan Beni Setia Menggugat Inulitas Dangdut (JP 13/10), goyang Inul disalahtafsirkan sebagai pornografi, menggugah insting binatang, memanjakan laki-laki, yang menyebabkan dangdut diapresiasi secara miring (kampungan), kelas bawah. Atau goyang yang dianggap kurang cerdas oleh Bonari Nabonenar (Mencerdaskan Dangdut, JP 6/10).

Si penulis agaknya lupa bahwa dangdut tanpa goyang, ibarat sayur tanpa garam. Goyang itu pun bukan di kaki, di kepala atau di dada, tapi di pinggul. Raja dangdut Rhoma Irama sendiri yang menjelaskannya pada lirik lagu Terajana/Dangdut pada 1975-an.

Kalau kemudian Rhoma dkk berbalik arah memerangi goyang dangdut, maka kita boleh menduga bahwa itu strategi marketing untuk menjalankan platform organisasi PAMMI (Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia). Atau kalau kita mau husnudh-dhon (baik sangka), itu adalah kesadaran agama seorang seniman sekaliber Rhoma (walaupun akhirnya justru menjadi bumerang, karena show-nya kini rata-rata hanya dihadiri 5.000-an orang, seperti show di Gresik belum lama ini).

Sekali lagi, sebuah seni bila dikaitkan dengan norma agama, maka akan timbul banyak pertentangan. Pertunjukan tayub, apa pun akan ditentang kaum agamawan, karena tledek-nya mengumbar aurat, gerakannya erotis, dan pestanya hura-hura. Apakah kita akan mengkritisi tayub sebagai tak berbudaya, menimbulkan kesan murahan, memanjakan laki-laki, dan memancing insting binatang?

Apakah kita juga akan mengkritisi tradisi sekelompok suku pedalaman yang menari-nari mengitari mayat sebelum dimakamkan? Apakah kita juga mau mengkritisi suku Asmat di Papua yang menari di depan pejabat dengan hanya menggunakan koteka? Sungguh, demikian itu warna-warni budaya, beda kepala, beda pula cara mengapresiasinya.

Sekali lagi, dangdut dan goyang pinggul, tak bisa dipisahkan. Dan, itulah cara Inul mengapresiasi dangdut. Bolehlah Evie Tamala mengapresiasi dangdut dengan lirik romantis dan notasi sederhana. Biarlah Reynold Panggabean mengapresiasi dangdut dengan musik rock dan sentuhan jazz. Ida Laila pun boleh berdakwah dengan Siksa Kubur-nya. Bahkan biarkan Mansur S. menjiplak habis lagu-lagu India. Atau biarkan Rhoma Irama berdakwah lewat lirik dan mengadopsi gitar Depp Purple ke dangdut.

Namun Inul tetaplah Inul. Seorang penyanyi lokal, penyanyi kampung, langganan hajatan, khitanan, arisan, pameran, keluar masuk hiburan malam, biasa ngamen ke luar negeri, nyanyi di depan menteri, pengusaha, di depan pejabat asing, dan sering nongol di televisi. Dan Inul pun punya hak yang sama untuk mengapresiasi dangdut dengan caranya, dengan goyang khasnya, dengan goyang kontroversialnya.

Risikonya, Inul dicaci, tapi sekaligus dipuji. Karena dengan cara itulah Inul bisa berkomunikasi dengan penggemarnya (termasuk, barangkali, Beni Setia sendiri). Siapa tahu goyang khas Inul menjadi ciri goyang dangdut koplo yang hanya dimiliki Surabaya. Siapa tahu goyang itu akan sejajar dengan goyang dangdut Cirebonan, goyang Karawang, dan goyang Jaipong. Kita tunggu Inul blast berikutnya. Siapa tahu!*

(A. Bajuri, pemerhati dangdut, manager Inoel Enterprises)

Jawa Pos, Minggu, 03 Nov 2002

0 tanggapan: