Membumikan Dewan Pendidikan

Oleh: B. SUPRAPTO

Kiprah Dewan Pendidikan (DP) dalam memasuki usianya yang ke lima nyaris tak terdengar. Kemitraan antara DP dan Dinas Pendidikan belum berjalan sebagaimana yang diamanahkan undang-undang. Tak heran jika terjadi silang pendapat ketika pembentukan pengurus DP Jawa Timur yang baru (Jawa Pos 28/1/08).



Sebagian besar masyarakat belum mengetahui keberadaan DP, siapa yang membentuk, dan apa peran serta fungsi DP. Guna menghindari terjadinya multi tafsir terhadap keberadaan DP, maka penulis mencoba memaparkan kronologi keberadaan DP, kedudukan, fungsi, dan perannya.

Otonomi Pendidikan.

Tuntutan dunia pendidikan di era reformasi ialah otonomi, konkretnya otonomi sekolah. Artinya bahwa sekolah baik negeri maupun swasta diberi kewenangan untuk mengelola penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tugasnya. Gagasan tersebut diapresiasi oleh Malik Fadjar yang pada waktu itu menjabat Mendiknas. Implementasinya adalah Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Secara spesifik, MBS meliputi serangkaian upaya berupa: (1) desenralisasi organisasi manajemen dan penyelenggaraan pendidikan dari birokrasi pemerintah pusat kepada sekolah; (2) pemberdayaan infra struktur sekolah sesuai dengan kebutuhan peserta didik; (3) penciptaan peran dan tanggung jawab bagi para pelaku sistem MBS di sekolah; dan (4) transformasi proses belajar mengajar secara optimal (Malik Fadjar, 2002).

Esensi otonomi pendidikan dalam MBS adalah pendidikan berbasis masyarakat, yakni pemberdayaan sistem pendidikan di masyarakat. Caranya antara lain, pertama, memobilisasi masyarakat untuk ambil bagian lebih besar dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi penyelenggaraan pendidikan. Kedua, meningkatkan rasa pemilikan masyarakat terhadap sekolah dengan ikut bertanggung jawab atas pelaksanaannya lewat kemitraan, toleransi, dan kesediaan menerima keragaman.

Ketiga, mendorong peran serta masyarakat dalam mengembangkan inovasi kelembagaan untuk mempertegas peran sekolah, meningkatkan mutu, relevansi, dan efisiensi manajemen pendidikan sekolah, serta membuka kesempatan yang lebih besar untuk bersekolah dalam rangka pelaksanaan wajib belajar.

Sebagai paradigma baru pengelolaan pendidikan sekolah, MBS bertujuan "mengembalikan" sekolah kepada pemilik atau stakeholder asli, yaitu masyarakat (Ace Suryadi, 2004:360). Namun demikian, dalam pelaksanaan otonomi di bidang pendidikan kerap menimbulkan konflik antara kepala daerah dan kepala dinas pendidikan. Ini terjadi karena besarnya kekuasaan yang dimiliki oleh bupati/walikota, sehingga pemerintah daerah bisa dengan mudah mengganti kepala dinas hanya karena dianggap tidak bisa bekerja sama.

Dewan Pendidikan

Wujud pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan adalah keterlibatan masyarakat sebagai stakeholder secara langsung sesuai dengan kompetensi mereka. Dalam penyelenggaraan pendidikan pada umumnya dan pendidikan sekolah khususnya, fungsi stakeholder diwakili dua badan, yaitu Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah (Keputusan Mendiknas No 044/U/2002).

Mengacu pada Kepmendiknas tersebut, maka Dewan Pendidikan merupakan badan yang mewadahi peran serta masyarakat dalam rangka meningkatkan mutu, pemerataan, dan efisiensi pengelolaan pendidikan di daerah otonom, yaitu kebupaten atau kota. Badan ini bersifat mandiri (independen) dalam arti tidak mempunyai hubungan hirarkis dengan dinas pendidikan.

Pada awalnya, badan ini dibentuk dengan keputusan bupati atau wali kota, dan selanjutnya diatur dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART). Artinya, dalam menentukan kepengurusan berikutnya tidak perlu menunggu pengesahan dari birokrat. Keberadaan DP tidak terbatas pada daerah kabupaten/kota, tetapi juga bisa dibentuk pada tingkat provinsi. Anggotanya terdiri dari berbagai unsur masyarakat, seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM) bidang usaha/industri/asosiasi profesi, serta dapat ditambah unsur birokrasi/legislatif.

Dengan komposisi semacam itu, Dewan Pendidikan diharapkan mampu menjalankan peran sebagai pemberi pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengontrol (controlling agency), serta mediator antara eksekutif dan legislatif dengan masyarakat menyangkut penyelenggaraan pendidikan di daerah otonom kabupaten atau kota.

Dalam banyak hal, peran tersebut tidak bisa dijalankan sebagaimana mestinya dan belum ada satu pun kebijakan pendidikan yang berasal dari inisiatif DP. Pertama, perumusan tujuan pembelajaran dan pengembangan kurikulum; pengembangan sarana pembelajaran, material, yaitu pengadaaan fasilitas, buku pelajaran, dan alat-alat; pengembangan kompetensi dan profesionalitas guru, pengaturan kalender kegiatan, dan pengalokasian dana, semuanya berasal dari birokrat (top down).

Kedua, fungsi kontrol seperti pengawasan Ujian Nasional (UN), Penerimaan Siswa Baru di Sekolah Negeri, sertifikasi guru, bantuan operasional sekolah (BOS), dan bagaimana membangun iklim berlajar yang baik di sekolah, lebih banyak dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan orangtua siswa.

Untuk membumikan DP, sekurang-kurangnya ada enam persyaratan yang harus dipenuhi, pertama, hendaknya melibatkan semua komponen penyelenggara pendidikan yang ada, termasuk kalangan yayasan penyelenggara pendidikan swasta di dalam kepengurusan DP yang baru. Kedua, perlu diperjelas kedudukan, uraian tugas, dan wewenang DP baik terhadap pemerintah daerah maupun terhadap satuan pendidikan atau sekolah yang dilayani.

Ketiga, penyampaian informasi kepada masyarakat mengenai program kerja dan persoalan pendidikan harus dilakukan secara proaktif. Keempat, karena DP merupakan lembaga yang bersifat voluntir, kinerja DP amat dipengaruhi anggotanya. Oleh karena itu, perlu dibangun kemitraan yang harmonis antara DP dengan kepala daerah, kepala dinas pendidikan, dan kepala sekolah.

Kelima, antara pemerintah (Dinas Pendidikan), DP, dan sekolah tidak saling mengintervensi. Keenam, kalangan pelaksana pendidikan selayaknya memandang positif kehadiran DP sebagai instrumen untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan mutu pendidikan di daerah. Semoga. []



Jawa Pos

0 tanggapan: