Dari Inul Daratesta ke Konser F4

MOCHTAR W OETOMO

TAK pelak lagi konser F4 di Pekan Raya Jakarta bertajuk "F4 Fantacy" pada tanggal 10-11 Januari lalu itu mendapatkan sukses besar. Sekalipun pertunjukan yang digandrungi anak muda ini memasang harga tiket setinggi langit, toh puluhan ribu pengunjung tetap saja menyerbu untuk bisa menyaksikan secara langsung aksi panggung para bintang Meteor Garden (MG) itu.



Ada semacam eforia yang luar biasa menjelang aksi F4 ini. Publikasi dilakukan besar-besaran, semua media memajang, memuat dan mendistribusikan informasi tentang segala hal-ihwal tentang pemuda-pemuda dari Taiwan ini.

Berminggu-minggu sebelum konser, hampir semua orang membicarakan, tak peduli laki-perempuan, tua-muda, besarkecil, kaya-miskin. Tak peduli, meskipun mereka tak hapal satu lagu pun dari F4, seperti yang diakui Marcella Zaleyanti, aktris sinetron itu. F4 dengan MG-nya memang sebuah fenomena.

Bahkan, anak-anak kecil pun begitu fasih menyebut namanama Jerry Yan, Vic Zhou, Ken Zu, dan Vanness Wu beserta perannya di MG. Mode rambut mereka mewabah. Tak peduli artis atau pengangguran di desa-desa beriring pergi ke salon dan meminta agar rambutnya diluruskan dan didesain seperti Tao Ming Tse.

Tak peduli wajahnya itu cocok enggak dengan mode rambut seperti itu. Tak peduli pula dengan warna kulitnya yang gelap dan dasar rambutnya yang keriting. Mainan anak-anak, berbagai desain undangan, boneka, dan segala macam artefak budaya bergambar F4 berhamburan menyesaki ruang kultural publik.

Tak mungkin dipungkiri, F4 dan MG adalah sebuah fenomena kultural yang menjejali ruang kultural publik Asia, tak terlepas ruang kultural Jawa Timur (Jatim).

Sama persis dengan Inul. Orang Jatim mana yang tak kenal Inul Daratesta. Biduan dangdut yang tak sekalipun rekaman, namun popularitasnya jauh melampaui artis dangdut Jatim mana pun yang pernah rekaman.

"Inul..! Inul& ," demikian sahut anak-anak Jatim di kampung-kampung saling bergumam bilamana melihat sebuah joget dangdut atau perempuan berpakaian seksi. Inul adalah sebuah simbol kultural. Diakui ataupun tidak, tak peduli anak-anak atau dewasa, laki atau perempuan, tukang becak atau mahasiswa, penjahat atau da_ i mengakui simbolisasi Inul dalam khazanah joget dangdut.

Dengan keerotikan jogetnya, Inul telah membaptiskan dirinya sebagai salah satu fenomena kultur terbesar di Jatim. Periksalah di setiap rumah yang memiliki pemutar VCD hampir bisa dipastikan di antara koleksi piringan VCD-nya terdapat piringan Inul Daratesta.

Seorang Ustad besar di Jatim ini bahkan mengaku, bahwa keberhasilan Inul karena mengikuti petunjuk dan arahannya. Ketika datang ke rumah dan meminta _ suwuk_ agar ia menjadi penyanyi sukses, Ustad itu malah memberi bathok (tempurung-Red) kelapa dan orong-orong (sejenis serangga pengebor tanah yang bisa membuat geli ketika menyentuh kulit).

Ketika Inul bingung, Ustad itu menjawab, "Ketika sedang menyanyi, letakkan orong-orong itu di pusar dan tutup dengan bathok ini& !" Ha..ha! Tapi benar juga, goyang Inul akibat gerayang orong-orong itu memang telah berhasil memukau seluruh Jatim.

Salon dan jalanan

Meski sama-sama menjadi fenomena kultural, F4 dan Inul adalah representasi dan simbol dua wilayah kultural yang amat berbeda dan kontradiktif. Seperti karakter budaya massa dan budaya pop lainnya, F4 dengan MG-nya adalah sebuah produk budaya _ salon_ . Sebuah produk kemasan, simulasi dan komodifikasi citra.

Representasi media massa dengan daya magis mediasi teknologi dan sosialnya menjadikan F4 dan MG sebagai komoditas citra budaya yang bisa dikonstruksi dan direkonstruksi hingga menjadi pahlawan-pahlawan peradaban. Citra F4 dan MG seperti yang sekarang ini adalah sebuah hasil kerja salon. Hasil kerja make-up budaya yang ditopang oleh jaringan kapitalisme global dan industri hiburan dunia.

Seperti komoditas pop pada umumnya. Relasi antara F4 dengan khalayaknya adalah sebuah relasi simulasi, sebuah relasi yang dicitrakan. Seolah-olah dekat, berhubungan, kenal, F4 adalah sandaran citra diri atau referensi diri khalayak.

Maka ketika realitas khalayak adalah sebuah realitas yang pahit, penuh tekanan hidup dan ketidakpastian masa depan akibat berbagai impitan ekonomi dan politik, F4 dengan MG-nya adalah sebuah medium khayali yang amat menghibur.

Dengan representasi F4 yang serba glamour, kaya, ganteng dan serba perfect, tanpa disadari khalayak telah meninggalkan realitasnya yang pengap untuk merepresentasikan dirinya dalam realitas F4. F4 dan MG dengan demikian adalah sebuah benua indah, bagi tempat menyembunyikan diri dari sebuah kenyataan yang menggiriskan.

Sebaliknya, jika F4 adalah medium untuk menyandarkan dan menyembunyikan diri, Inul dengan goyang erotisnya adalah medium untuk mengempaskan kenyataan yang pahit. Karena Inul, dalam bahasa James Lull, adalah simbolisasi budaya _ jalanan_ , budaya realitas.

Inul adalah simbol budaya _ jalanan_ , karena ia berkembang dan terkonstruksi di sepanjang jalan yang dilalui oleh pesanpesan tutur. Jika F4 adalah produk kedahsyatan komodifikasi media massa, maka Inul adalah produk alamiah kultur tutur.

Relasi Inul dengan khalayaknya pun adalah sebuah relasi nyata, dari panggung ke panggung, dari desa ke desa, citra Inul terbangun bebarengan dengan pelotot mata khalayak yang melahap goyang pinggulnya.

Kebesaraan Inul sekarang ini adalah hasil dari budaya tutur yang sambung-menyambung dalam menyampaikan pesan tentang dirinya. Dari satu warung kopi ke warung kopi lainnya. Dari satu terminal ke terminal lainnya. Dari satu kampus ke kampus lainnya. Dari satu jalan ke jalan lainnya, demikian seterusnya.

Kalaupun sekarang CD Inul berhambur di sepanjang jalan di Jatim ini, hal itu adalah ekses dari kebesaran Inul akibat konstruksi bahasa tutur.

Jika kemudian kedua produk kultural yang kontradiktif tersebut sama-sama berterima dan menjadi fenomena, barangkali inilah potret kultural kita. Sebuah masyarakat yang melakukan sebuah akrobat atau lompatan kultur komunikasi yang sangat tajam, dari kultur komunikasi tutur ke kultur komodifikasi audio-visual.

Inilah potret kultural kita, bangsa yang selalu mengempaskan kenyataan (simbolisasi Inul) dan menyandarkan diri dalam benua khayali yang indah (simbolisasi F4). Ayo...! Ayo...! Nonton Inul..! Nonton Inul...! Tapi jangan lupa nanti malam ada Meteor Garden ! Dan berbondong-bondonglah bangsa kita, selalu memilih _ jalan pintas_ .[]


MOCHTAR W OETOMO Staf Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dr Soetomo dan Direktur Surabaya Media School


Kompas-Jatim, Rabu, 15 Januari 2003

0 tanggapan: