Atas Nama Srintil

Oleh Triyanto Triwikromo

PERNAH membaca novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari? Dengarlah rerasan para perempuan yang berdiri di tepi arena saat Srintil menari.
“Nanti kalau Srintil sudah dibenarkan bertayub, suamiku menjadi laki-laki pertama yang menjamahnya,” kata seorang perempuan.



“Jangan besar cakap,” kata yang lain, “Pilihan seorang ronggeng akan jatuh pertama pada lelaki yang memberinya uang paling banyak. Dalam hal ini suamiku tak bakal dikalahkan.”

“Tetapi suamimu sudah pikun. Baru satu babak menari pinggangnya akan terkena encok.”

“Aku yang lebih tahu tenaga suamiku, tahu?”

“Tetapi jangan sombong dulu. Aku bisa menjual kambing agar suamiku mempunyai cukup uang. Aku tetap yakin, suamiku akan menjadi lelaki pertama yang mencium Srintil.”

“Tunggulah sampai saatnya tiba. Suami siapa yang bakal menang. Suamiku atau suamimu.”

Srintil atau ronggeng di lingkungan pentas memang tidak akan menjadi bahan percemburuan bagi perempuan Dukuh Paruk. “Makin lama seorang suami bertayub dengan ronggeng, makin bangga pula istrinya. Perempuan semacam itu puas karena diketahui umum bahwa suaminya seorang lelaki jantan, baik dalam arti uangnya maupun birahinya,” tulis Tohari.
Tetapi Rasus, pacar kecil Srintil, justru menampik menikah dengan Srintil. “Dengan menolak perkawinan yang ditawarkan Srintil, aku memberi sesuatu yang berharga bagi Dukuh Paruk: ronggeng!”

Ada persoalan menarik yang muncul saat Rasus menolak memiliki tubuh Srintil secara pribadi. Kepemilikan itu hanya akan menyangkari gerakan atau tarian Srintil. Srintil tak akan hadir ke hadapan publik secara eksploratif, karena ada motif-motif kepemilikan Rasus yang membekukan segala entakan dan gelora jiwa yang menggerakkan sang tubuh. Memberikan gelora dan gairah Srintil ke publik mengakibatkan tubuh sang penari seakan memiliki sayap kebebasan.

[]

Dalam tradisi Jawa ide yang langsung melibatkan tubuh bukanlah bararang baru. Ekspresi-ekpresi untuk mengungkapkan persembahan kepada alam jelas-jelas melibatkan tubuh. Dalam ritual-ritual menghargai kesuburan yang telah diberikan alam acapkali hadir sebagai tarian. Tubuh dalam konteks semacam itu bukan hanya sekadar ruang yang membungkus jiwa, pikiran, dan perasaan, melainkan telah menjadi bagian penting dari teriakan, ratapan, doa, keriangan tak terperi dari manusia.

Dan tubuh perempuan, paling tidak dalam pandangan Vargas Llosa, adalah “kekerasan, kekejaman atau naluri hewani dari sebuah dunia di mana satu-satunya hubungan yang mungkin seakan-akan hanya dominasi dan penghancuran.”
Begitulah gerakan tarian Srintil, misalnya, bukan saja menghadirkan dunia kudus yang diberikan Tuhan kepada manusia, namun sekaligus memberikan neraka bagi Srintil. Srintil akhirnya gila karena tubuhnya tak bisa lagi dilibatkan sebagai ide humanisme. Gerakan Srintil kemudian hanya direduksi sebagai hiburan. Padahal, pada mulanya, sebagaimana yang tergambar dalam Ronggeng Dukuh Paruk, kadang-kadang memang ada pentas ronggeng yang tanpa nyanyi dan tarian erotik. Ketika tarian itu memang merupakan bagian dari upacara sakral yang dipersembahkan kepada leluhur Dukuh Paruk, memang menyebabkan mulut Sakum yang biasanya melontarkan seruan-seruan cabul, jadi bungkam.

Itu berarti pada mulanya tubuh memang bersikap netral. Tarian atau gerakan yang seerotis mungkin jika memang merupakan bagian dari ritual persembahan kepada alam, ia tak layak dihancurkan.

[]

Kapan mulai muncul penajisan atas tubuh? Kapan mulai terbit aturan-aturan penertiban terhadap gerakan tubuh? Di Candi Borobudur, misalnya, ada relief di tahapan Karmawibangga yang disembunyikan (hidden foot), hanya karena menggambarkan ekplorasi seks dalam tubuh. Relief-relief bernuansa Kamasutra itu ditemukan dan disembunyikan oleh orang Barat. Barat barangkali bisa diidentikkan dengan moral, pendidikan, dan agama. Apakah reduksi atas kemerdekaan tubuh, terutama dalam tayuban, muncul lantaran orang-orang Jawa menganggap setiap gerakan penari menimbulkan kejijikan massal? Mungkin. Namun, bisa juga dijawab tidak. Ketika gerakan paling tak senonoh muncul di dalam ranah domestik, ia masih bisa dimaafkan. Namun, ketika ia menjadi konsumsi publik, eksplorasi tubuh atas ide-ide jiwa memang ditertibkan. Maka, wahai perempuan, menarilah di atas meja makan rumah, jika hanya suamimu yang akan engkau suguhi pesona tulang rusukmu. Menarilah di arena, kalau kau ingin menyatakan hak atas tubuh. Tubuhmu adalah tubuhmu. Ia bukan sesuatu yang harus disangkari oleh kemahanakalan mata lelaki.

Jadi, Srintil seharusnya tak gila jika menyadari betapa dia memang tak hanya membungkus tubuhnya dengan kenakalan mata Rasus. Srintil seharusnya merdeka sebagaimana Sakum mengungkapkan seruan-seruan cabul dalam dunia pertunjukan, dalam sandiwara abadi. Ah, tetapi kita, orang Jawa, terlalu ingin merumahkan dan memerkosa Srintil di rumah. Kita biadab kepada orang-orang yang memberikan cermin keliaran dan kebinatangan kita di ranah publik.*


Suara Merdeka (Pringgitan), ……[tanggal terbitnya ketlingsut]

0 tanggapan: