Dari Penggusuran hingga Kekerasan terhadap Istri

Menjadi pengacara sebenarnya bukanlah cita-cita Puji Utami. Saat masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, ia justru berkeinginan menjadi notaris. ’’Aku dulu mau jadi notaris,’’ katanya. Keinginan tersebut mulai berubah ketika pada tahun 1987 terjun sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Di LBH inilah ia banyak bersinggungan dengan kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah dengan rakyat yang biasa disebut sebagai kasus struktural, seperti penggusuran. ’’Tanah dibeli dengan harga murah sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa memulai hidup baru dengan uang sekecil itu,’’ kenang Utami.

Tahun 1989 Utami mengundurkan diri dari LBH dan menjadi asisten pengacara Artidjo Alkostar yang saat ini menjabat sebagai hakim di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tak lama kemudian, tahun 1993, Utami kembali bergabung dengan lembaga sosial yaitu Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta (yang sekarang berubah nama menjadi Pusat Pengembangan Sumber Daya Rifka Annisa). Sebuah lembaga yang memiliki kepedulian akan masalah kekerasan terhadap perempuan.

Keterlibatannya di lembaga ini semakin mengukuhkan pilihan hidupnya sebagai pengacara. Tahun 1996, ia pun mengantongi izin untuk beracara di wilayah hukum DI Yogyakarta. Empat tahun kemudian, ia mendapatkan sertifikat advokat sehingga bisa beracara di wilayah hukum yang lebih luas.

Merasa sudah cukup belajar dan berkiprah di lembaga sosial, tahun 2004 Utami mengundurkan diri dari Rifka Annisa. Terhitung sejak tahun 2005, ia memilih membuka kantor pengacara secara mandiri. Meski demikian, persinggungannya dengan lembaga-lembaga sosial di mana ia pernah berkiprah tetap mewarnai kerja-kerjanya.

Utami mengaku tak mau mengambil keuntungan dari kasus yang dihadapi oleh orang yang tak mampu. Sehingga ia memilih merujukkan klien dengan kondisi tersebut ke lembaga non-profit yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti LSM atau lembaga independen lainnya. Termasuk di dalamnya kasus yang menimpa buruh migran. ’’Tidak tega minta ongkos transport. Seperti PRT (pekerja rumah tangga) itu gajinya berapa, kan kasihan,’’ katanya.

Diakui Utami bahwa dengan beracara mandiri seperti sekarang ini, keragaman kasus yang ditangani tidak lagi seperti saat dirinya masih terlibat dengan lembaga-lembaga sosial. Saat di LBH Yogyakarta, ia banyak terlibat dengan kasus yang ia sebut, ’’Kasus serius, (klien) tidak punya banyak uang, melibatkan banyak orang.’’ Sedangkan ketika di Rifka Annisa ia memiliki pengalaman berharga, berhadapan dengan perempuan yang mendapatkan kekerasan dari pasangannya. Hal ini benar-benar membukakan mata Utami bahwa, ’’Isteri dipukuli benar-benar terjadi.’’

Saat ini lebih banyak menangani masalah keluarga seperti perceraian, gono-gini, warisan, dan sejenisnya. Dibantu dua orang staf, Utami mengerjakan tugas kesehariannya. Pendekatan yang tidak melulu dari aspek hukum, melainkan juga sosial dan personal yang dilakukannya pada setiap kasus menjadikan hubungan Utami terjalin tak hanya dengan klien tetapi juga dengan lawan hukumnya. Bahkan tak jarang di belakang hari, lawan hukumnya justru merujukkan klien padanya.[am]

0 tanggapan: