KELUARGA penyair Wiji Thukul akhirnya berlega hati setelah seseorang dari Jakarta memberi pinjaman uang untuk menutupi kekurangan pembayaran tanah yang ditempatinya selama ini di Kampung Kalangan, Solo.
”Saya merasa bersyukur sekali. Semula saya diliputi kebingungan bagaimana bisa mendapatkan uang Rp 8 juta lebih untuk membayar tanah tersebut,” tutur Ny Dyah Sujirah alias Sipon (35), istri Wiji Thukul, Senin (18/11). Sebagian uang adalah hasil jerih payahnya sendiri, hasil tabungan dan usaha kanan-kiri.
Menurut Sipon, uang tersebut akan digunakan untuk membayar tanah 84 m² yang di atasnya berdiri bangunan rumah petak, yang selama ini ditempatinya bersama dua anaknya, Nganti Wani (11) dan Fajar merah (7), serta ibu mertuanya,ibu Wiji Thukul. Wiji Thukul dinyatakan ”hilang” sejak 1998 dan sampai sekarang tidak ketahuan rimbanya. Sejak itu Sipon menghidupi keluarganya dengan menjahit baju.
Rumah petak yang ditempati keluarga Wiji Thukul beserta rumah petak milik 54 keluarga lain di Kampung Kalangan, RT 01 dan 02, RW 14, Kelurahan Jagalan, Solo itu sempat menjadi sengketa hukum. Rumah rumah yang ditempati warga miskin itu—buruh pabrik, penjahit, tukang kayu, tukang parkir, pengayuh becak—meliputi lahan seluas 6.000 m².
Tanah tersebut digugat oleh ahli waris keluarga Purwowidodo yang mengklaim sebagai miliknya. Keluarga Purwowidodo minta agar tanah tersebut dikembalikan, atau warga membeli kepadanya dengan harga Rp 200.000 per meter persegi. Warga keberatan, kemudian mencari keadilan melalui Kantor Bantuan dan Pelayanan Hukum (KBPH) Atma di Solo.
Dari penelusuran KBPH Atma diperoleh keterangan, tanah seluas 6.000 m² yang disengketakan itu semula milik Keraton Surakarta yang kemudian berubah jadi tanah negara tahun1945. Sejak tahun1960-an, lahan yang semula berupa tanah ”cekung” (ledhok) dan sering dilanda banjir,ditempati secara liarwarga miskin, dan jadi kampung yang kumuh.
”Antara tahun 1974-1978, keluarga Purwowidodo mengajukan permohonan sertifikat kepada Kantor Agraria. Keluarga Purwowidodo mengaku kepada polisi bahwa surat-surat tanah hilang akibat banjir. Anehnya, tanpa didahului proses pengukuran tanah serta persetujuan dari warga yang menghuni di sana,pihak Agraria setuju memberikan sertifikat,” papar Johny Simanjuntak dari KBPH Atma, Senin.
Kasus ini tak sempat sampai ke pengadilan karena kasusnya diselesaikan secara kekeluargaan di antara warga dan keluarga Purwowidodo. Menurut Simanjuntak, meskipun proses sertifikasi tanah itu bisa digugat ke pengadilan, namun warga tidak memiliki bukti hukum yang sah untuk menghaki tanah itu.
Atas fasilitasi Badan Pertanahan Kota Solo, Kantor Kelurahan Jagalan, serta KBPH Atma, diperoleh kesepakatan bahwa warga penghuni bersedia memberikan "uang kompensasi" kepada keluarga Purwowidodo Rp 60.000 sampai Rp 65.000 per meter persegi.
Persoalan muncul, mengingat kondisi ekonomi warga yang umumnya amat miskin. Apalagi menyediakan uang hingga berjuta-juta rupiah. KBPH Atma terketuk mencarikan dana guna membantu mereka. [ASA]
Kompas, Selasa 19 November 2002
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar