Kepak Sayap Buruh Migran

Begitu banyak pengorbanan buruh migran agar bisa hidup layak di negeri sendiri. Banyak kisah kelam menyertai kepergian mereka ke luar negeri. Meski begitu, ada pula yang berhasil memberdayakan diri sambil meraup rezeki.


Subianti (28), buruh migran dari Desa Braja Gemilang, Lampung Timur, adalah salah satu yang berhasil keluar dari impitan kemiskinan. Setelah bekerja selama 4,5 tahun di Singapura, Subianti bisa menabung untuk masa depannya, memperbaiki rumah orangtuanya, serta membeli tanah dan sawah.

”Sekarang ayah sudah punya sawah sendiri. Meskipun kecil, tetapi milik sendiri,” kata Subianti yang digaji 340 dollar Singapura (setara Rp 2.142.000) per bulan. Subianti bekerja sebagai pekerja rumah tangga dan sudah berganti majikan dua kali.

Rabu (24/9) siang lalu, Subianti baru mendarat di Jakarta dengan pesawat Singapore Airlines. Ia kemudian hendak melanjutkan perjalanan ke Lampung dengan pesawat lain.
”Pesawat ke Lampung baru berangkat besok. Jadi saya menginap dulu semalam di sini,” kata Subianti yang sedang beristirahat di ruang peristirahatan gedung pendataan kepulangan TKI di Tangerang.

Di dekat Subianti, beberapa buruh migran perempuan juga sedang menunggu pesawat ke Lampung. Mereka baru pulang dari Arab Saudi, Malaysia, Taiwan, dan Hongkong untuk berlebaran.

Sementara itu, Dina Nuriyati (30) tahun ini tak bisa berlebaran dengan suaminya di Indonesia. Mantan buruh migran yang menjadi pendiri Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) ini tengah menempuh pendidikan master di Jerman. ”Aku ambil jurusan Program Kebijakan Perburuhan dan Globalisasi,” kata Dina melalui chatting di internet.

Berdayakan diri

Dina, perempuan dari Desa Patuksari, Malang, Jawa Timur, berhasil mengenyam pendidikan tinggi seperti yang ia cita-citakan. Setelah bekerja menjadi buruh migran di Hongkong selama empat tahun, Dina yang tadinya hanya lulus sekolah menengah atas (SMA) bisa melanjutkan kuliah.

Ia pun bisa membebaskan keluarganya dari lilitan utang rentenir. Setelah itu, Dina membeli truk dan membuat usaha angkutan kecil-kecilan dengan almarhum Mat Ngatemin, ayahnya. Belakangan dia mulai membuka kafe di Yogyakarta bersama teman mantan buruh migran lainnya.

Dina menjadi tahu seluk-beluk persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia karena aktif bergabung dengan Serikat Buruh Migran Internasional (IMWU) di Hongkong. Meski bekerja sebagai pembantu rumah tangga, Dina tak mau menyia-nyiakan dirinya.

Pada hari kerja, Dina mencuci baju, bersih-bersih rumah, atau mengasuh anak majikannya. Pada saat libur akhir pekan, ia manfaatkan waktu untuk berserikat, les komputer, dan kursus bahasa Mandarin.

Dina, anak petani miskin dan sopir angkutan kota, bersyukur nasibnya bisa berubah setelah ia bekerja menjadi buruh migran. Namun, ia juga prihatin karena tidak banyak buruh migran lain yang punya kesempatan untuk memberdayakan diri.

”Jangankan dikasih libur. Banyak teman yang ditindas dan dianiaya ketika bekerja. Pulang ke Tanah Air mereka jadi korban pemerasan,” kata Dina. Bersama teman-teman di SBMI, Dina berupaya memberdayakan dan mengangkat nasib buruh migran.

Selain perlindungan hukum, SBMI terus mengupayakan agar buruh migran Indonesia diberi pembekalan keterampilan secara profesional.

”Buruh migran harus bisa bekerja secara profesional dan mengerti hak-haknya. Mereka juga harus mengerti hukum,” kata Dina.

Mega Vristian (44), pekerja rumah tangga yang sudah 16 tahun di Hongkong, juga berusaha memberdayakan dirinya di sela-sela waktu luangnya. Ketika sedang mengantar anak majikannya sekolah, Mega menyempatkan diri menulis puisi atau cerpen di bus.

”Saya bawa buku tulis untuk menulis. Kalau sudah sore, setelah pekerjaan beres, saya pinjam komputer majikan untuk menyebarkan puisi atau cerpen saya ke milis sastra,” kata Mega.

Mega melek teknologi karena pendidikannya lumayan tinggi. Ia sempat kuliah di IKIP Negeri Malang sebelum menjadi buruh migran. Setelah menikah, Mega pergi bekerja di Hongkong. Salah satu alasannya adalah agar punya uang untuk menerbitkan puisi dan karya sastranya.

Dengan gaji setara Rp 4 juta per bulan, Mega sudah bisa mendirikan penerbitan. Ia lalu menerbitkan kumpulan cerpen yang ditulis teman-teman buruh migran di Hongkong.

Buku

Bicara soal pemberdayaan diri, buruh migran di Hongkong termasuk yang paling aktif memberdayakan diri. Dengan waktu libur empat hari dalam sebulan, sesuai peraturan perburuhan di Hongkong, para buruh migran bisa memanfaatkan waktunya untuk mengembangkan diri.

Salah satunya adalah dengan membuat kegiatan penulisan karya sastra. Dari tangan buruh migran di Hongkong telah lahir 16 buku.

Buku karya buruh migran itu antara lain berjudul Tertawa Ala Victoria Park, Indonesia Merdeka, dan Negeri Elok Nan Keras di Mana Kami Berjuang (Denok K Rokhmatika); Catatan Harian Seorang Pramuwisma (Rini Widyawati); Penari Naga Kecil (Tarini Sorita); Perempuan di Negeri Beton (Wina Karni); dan lain-lain.

Buku ini mengangkat kehidupan dan persoalan buruh migran. Selain ditulis dalam bentuk puisi dan cerpen, para buruh migran ini juga mengungkap persoalan hidupnya dalam pentas teater.

”Harapannya, aktivitas positif kami bisa mengilhami dan merangsang buruh migran Indonesia di negara lain untuk lebih memanfaatkan waktu libur atau istirahat. Daripada bengong dan nelangsa sendiri dihajar rindu pada keluarga, lebih baik memanfaatkan waktu untuk mengekspresikan diri,” kata Mega. Karya sastra Mega sudah dibuat satu buku dan bulan Oktober ini ia akan meluncurkan antologi puisi bersama teman buruh migran lainnya.

Inilah kepak sayap buruh migran di perantauan. Mereka mengubah citra dari pekerja kasar menjadi intelektual.[]



Kompas

Menganyam Tali Rindu dari Jauh*


(Sekedar Komentar)

Oleh: Mashuri**


’’Berpuisilah agar kamu tidak gila!’’ Itu bukan kredo, manifesto atau sebuah pernyataan yang beraroma doktrin. Itu hanya imbauan sederhana. Di tengah derap kehidupan saat ini, di mana sisi manusia kerap terlindas, maka tetap waras adalah karunia nan bernas. Tentu waras di sini adalah waras yang bersifat mentalitet, dan bukan hanya waras lahiriah. Dengan kata lain, puisi dekat dengan terapi jiwa.



Saya salut dengan beberapa rekan BMI di Hong Kong yang menyempatkan diri berpuisi, meski kesibukan mereka menggunung. Meski hidup ibarat mendorong batu ke atas gunung, dan esok batu itu menggelinding lagi dan didorong lagi: yakni rutinitas yang menjemukan. Rutinitas kalau tidak dihayati memang akan menghilangkan sisi manusiawi. Bahkan, pada taraf tertentu sangat rentan pada kesadaran. Oleh karena itu, akan menjadi sesuatu yang berharga pada seseorang bila mampu berkelit dari rutinitas dan membangun sebuah dunia lain di alam pikiran dan perasaannya.

Ini kiranya yang ingin diperangi oleh saudari-saudari TKW yang penyair itu. Mereka pun mengangankan sebuah kebahagiaan dalam melakoni hidup, membangun sebuah rumah pulang di kalbu mereka sendiri untuk menawarkan kerinduan, mendirikan sebuah negeri cinta di hati mereka sebagai tempat ‘bercinta’ dengan Sang Terkasih, tak jarang juga membangun kalimah-kalimah suci agar hidup tak terkebiri dan menjauh dari Sang Maha Rahim. Mereka melakukannya meski siapa pun tahu bagaimana beban kerja yang disandang oleh mereka.

Kelima kawan BMI ini memiliki gaya yang berbeda-beda dalam mengungkapkan puisinya. Tema yang digarap pun beragam. Meski demikian, ada benang merah yang menghubungkan mereka, yakni perihal kerinduan dan ihwal pulang. Hal itu bisa dimaklumi karena bagaimana pun puisi adalah ungkapan terdalam dari batin manusia. Puisi adalah sebuah cara untuk mengenali keinginan dan hasrat terpendam dari seseorang. jika apa yang diangankan adalah masalah rindu pada yang terkasih, pada rumah, juga keinginan untuk ’bebas’ maka itu pun akan terjelma dalam puisi. Bila diibaratkan, berpuisi adalah mengenal hasrat dasar yang tersimpan di lubang hitam ketaksadaran, yang kerap dipangkas dan direpresi agar tidak mengganggu rutinitas sehari-hari.

Saya di sini hanya sebagai komentator pada puisi kawan-kawan BMI ini. Sekedar komentar. Saya berusaha menikmati puisi-puisi, dengan diselingi celometan. Seperti seorang penonton sepakbola. Masing-masing person menyimpan gelisah dan daya renungnya sendiri. Pun menyimpan gaya berpuisi masing-masing. Ada yang cukup mahir dalam menggunakan diksi, membangun metafora, tapi ada di antaranya yang terjebak dalam lubang klise. Namun soal ini bukanlah hal utama, yang terpenting adalah kemauan mereka untuk berekspresi dan menuangkan pikiran dan perasaannya dalam puisi. Sebab bagaimana pun dengan berpuisi/berkesenian, ada semacam keinginan untuk menghias perasaannya dan luapan jiwanya, agar tidak telanjang dan bisa menakutkan, bila diungkap dalam bahasa/gestur yang kelewat verbal. Mari kita tengok beberapa puisi mereka.

Puisi-puisi Tarini berbicara banyak hal. Mulai dari sesuatu yang serius tentang ungkapan pada Tuhan, Kartini, juga masalah yang berbau lelucon dan keseharian. Soal lelucon itu juga menarik, karena ada hasrat untuk menertawakan diri dan hidup. Dan, tertawa adalah obat mujarab agar tetap bisa melanjutkan hidup lebih enjoy. Tetapi ia tak bisa melupakan kerinduan hatinya pada orang yang dikasihi, baik buah hati, orang tua atau kekasih pujaan.

Bait puisinya berikut ini adalah bukti, bahwa kerinduan itu tetap bersarang di palung jiwanya, meski ia sudah terlelap, meski mata lahirnya tertidur, tapi mata batin kerinduannya masih terjaga, sebuah impian:

Ketika mataku tertidur
Hanya ada mimpi yang akan kurasa
Yang tak seorangpun kan peduli
Yang tak seorangpun kan mengerti

Ketika mataku tertidur
Hanya satu yang kudamba dalam doa
Temukan aku dengan buah hatiku
Temukan aku dengan orangtuaku

Puisi tersebut adalah ungkapan hati dan tak berbau humor. Sebenarnya, jika Tarini bisa mengasah kepekaan humornya, maka ia bisa menghasilkan puisi humor yang bagus. Membuat puisi humor itu sangat sulit, namun jika dilakukan dengan kesabaran dan memiliki sense humor hidup, maka akan bisa memunculkan puisi humor yang bernas. Puisi humor di sini bisa saja mengacu pada tradisi puisi mbeling dalam majalah Aktuil (puisi Remy Silado), atau puisi Joko Pinurbo.

Sedangkan puisi-puisi Tanti seperti cermin sang penyairnya: serius dalam hidupnya. Saya melihat ini bentuk penghayatan untuk mengenali dirinya kembali, agar ia bisa mencari hidup yang lebih bermakna. Ia berbicara tentang kesedihannya dan impian atau keinginannya. Perihal bunda, malaikat kecil, juga tentang pandangannya pada orang-orang yang malang. Memang ada nada skeptis dalam puisi-puisinya, tentang sepi dan kondisi stagnan.

Aku hanya ingin berjalan lintasi birunya awan
Buang sgala keinginan yang hanya terpendam
lepas angan dan penat yang slalu temani
Namun, aku tetap disini

Mungkin yang perlu dibangun adalah bagaimana membangun pralambang atau metafora dalam puisi. Juga mencipta suasana dalam puisi. Ungkapan perasaan memang tidak harus verbal. Bisa menggunakan simbol, lambang atau tanda. Klisenya: cinta dengan mawar, luka dengan darah, atau sebagainya-sebagainya. Jika dipercanggih pun lebih bagus dan berbinar. Kelebihan menggunakan bahasa prismatis adalah puisi memiliki potensi makna yang kaya dan lebih bisa menggambarkan ‘ruang dalam’ meski beda ruang dan waktu. Juga beda pengalaman. Meski begitu, puisi-puisi sepi Tanti telah membuat sebuah rumah dalam batinnya, yang selalu membuat dia bisa pulang, curhat dan meluapkan kepenatan diri.

Sementara itu, puisi-puisi Mega tampak lebih utuh dan lebih jadi sebagai puisi. Bangunan metafor, diksi, serta elemen penopang struktur puisinya sudah cukup baik. Bangunan puisinya bisa dikatakan sudah canggih. Ia berbicara banyak hal, dalam beberapa bentuk ungkapan, mulai dengan lirik, elegi, bahkan balada. Ia berbicara tentang dunianya, juga kepeduliannya pada sesama BMI. Jika ditingkatkan sedikit lagi, puisi-puisi Mega akan sangat menarik dan memiliki pertaruhan sastra yang menjanjikan. Di sisi lain, saya mencatat selalu saja ada kerinduan di sana. Rindu yang memang telah menjadi fitrah manusia. Ini kutipan puisinya dalam ‘Bulan Berpayung Awan’.

rindu kami menjelma bunga randu
putih diterbangkan angin
melayang-layang menjemput angan

Sementara itu, puisi-puisi Kristina lebih bernuansa liris. Ia berbicara tentang perasaan dirinya yang terdalam. Ia berusaha melukiskan suasana batinnya dengan lajur-lajur kesepian, kerinduan dan lain-lainnya. Yah, lagi-lagi kerinduan menjadi topik yang tak habis-habisnya, karena itu memang luapan hati mereka yang paling jujur dan murni.

Detik ini kerinduan menghantam jiwa
Semakin kuat mencengkeram sudut benak
Tak mampu, sungguh tak mampu
Menanti sapamu dihari kelabu

Andai kau ada disini temani perjalanan ini
Tak mungkin air mata kerinduan jadi penghias hari hari

Secara umum puisinya sudah tertata. Namun tak jarang bisa ditemui ungkapan-ungkapan verbal yang sering terjebak pada klise atau pengungkapan perasaan yang bisa dikatakan oleh banyak orang. Coba kalau Kristina mampu membuat kesepian, kerinduan dan cintanya itu dengan ungkapan yang khas Kristina, akan lebih menarik. Sebagaimana pedangdut Kristina yang selalu dianggap sebagai trade mark lirik: ‘jatung bangun aku mengejarmu’.

Puisi-puisi Adepunk mengeksplore tema cinta, baik itu cinta jingga maupun cinta pada orang tua. Cinta adalah tema yang tak pernah kedaluwarsa untuk digali dan dipasu ilhamnya. Sepertinya Adepunk memang seorang pemuja cinta, sehingga puisi-puisinya bertema cinta. Alangkah indahnya cinta itu, jika Adepunk lebih memoles puisinya dengan lebih ketat dan lebih memperhatikan setiap pilihan katanya. Perasaan indah jika disertai dengan pilihan kata yang indah akan menjadi mutu manikam lisan/tulisan berharga. Demikianlah, cinta juga menyimpan rindu dalam jejaring rasanya. Adepunk juga menangkapnya. Lihatlah puisi ini.

Walau aku jauh dinegeri seberang,
Kulantunkan lagu rinduuntukmu,
Selalu kudendangkan lagucinta,
Hanya untukmu...

Demikianlah, berpuisi/bersastra atau berkesenian adalah jalan tengah paling aman untuk mengungkapkan perasaan terdalam, karena bagaimanapun semua orang butuh saluran pelampiasan. Sebagai bentuk ungkapan hati terdalam, sebagai upaya untuk menyampaiakan pemikiran, simpati, bahkan juga kebencian. Di sisi lain, terlebih bersastra/berpuisi adalah jalan menuju kebenaran ---mencari wosing beras, di antara belantara kehidupan, karena sastra, menurut para ahli waskita sastra, adalah jalan kebenaran setelah agama dan filsafat.

Oleh karena itu, agar kita tidak gila maka mari berpuisi! Yeah, seperti slogan penyanyi dangdut: untuk melepas penat dan kesulitan hidup, mari kita berjoget! Tentu dengan berjoget kata-kata, dengan lekuk pinggul diksi dan senggol metafora yang aduhai!

* Tulisan pengantar buku 5 Kelopak Mata Bauhinia, disamping penganatar lain yang ditulis Saut Situmorang
**penulis puisi dan novel, pengampu blog: www.mashurii.blogspot.com

FOTO: diambil dari blog-e Kristina Dian Safitry

Persentase Anggaran Lingkungan Hidup di Jatim Kurang dari Satu Persen


Komitmen anggaran lingkungan hidup pemerintah kabupaten-kota di Jawa Timur (Jatim) masih rendah. Rata-rata hanya 0,03 persen dari total belanja langsung APBD. Apa dampaknya terhadap pengelolaan lingkungan hidup di daerah? Berikut ulasan Hariatni Novitasari dari The Jawa Pos Institute of Pro-Otonomi (JPIP).


Dalam dua tahun terakhir, lingkungan hidup menjadi salah satu bidang yang dimonitor dan dievaluasi JPIP. Temuannya sangat bervariasi. Baik program pengelolaan lingkungan hidup maupun kebijakan penganggaran. Kategori itu kaya inovasi. Di antara lima parameter, lingkungan hidup memiliki inovasi terbanyak kedua setelah pelayanan publik. Pada Otonomi Award 2008 (OA 2008), 15 daerah bersaing ketat untuk menjadi yang terbaik.

Alokasi anggaran merupakan salah satu bentuk komitmen pemerintah daerah (pemda) terhadap pengelolaan lingkungan hidup. Anggaran pengelolaan lingkungan merupakan bagian belanja langsung daerah. Angka di bawah satu persen menunjukkan rendahnya komitmen pemda di Jatim. Belum semua pemda menjadikan lingkungan hidup sebagai isu utama pembuatan kebijakan di daerah.

Dalam OA 2008, Kabupaten Probolinggo menjadi daerah dengan persentase anggaran lingkungan hidup tertinggi. Kabupaten di kawasan tapal kuda itu mengalokasikan 0,13 persen dari total belanja langsung, atau Rp 43,7 miliar. Peringkat kedua sampai kelima ditempati Kabupaten Nganjuk (0,12 persen); Kabupaten Trenggalek (0,11 persen); Kabupaten Sidoarjo (0,09 persen); dan Kota Probolinggo (0,07 persen). Anggaran terbesar dialokasikan Kota Surabaya (Rp 114,9 miliar).

Kabupaten Tuban berada di posisi juru kunci dengan alokasi anggaran Rp 1,6 miliar di antara jumlah belanja langsung APBD Rp 320 miliar. Disusul Kabupaten Sampang, Kabupaten Ngawi, Bangkalan, dan Kabupaten Tulungagung (lihat grafis).

Anggaran lingkungan hidup biasanya dialokasikan untuk pengelolaan sampah, konservasi lahan kritis, pembuatan energi alternatif, pembangunan ruang terbuka hijau (RTH), atau pembangunan infrastruktur yang mendukung lingkungan hidup seperti gorong-gorong dan saluran drainase.

Karena nomenklatur di daerah yang tidak sama, anggaran lingkungan hidup tersebar di berbagai institusi. Tidak saja dikelola institusi yang secara khusus menangani lingkungan hidup seperti dinas lingkungan hidup. Tapi, institusi lain juga melakukan konservasi terhadap lingkungan hidup dan sumber daya alam. Misalnya, dinas perkebunan dan kehutanan serta dinas kebersihan dan pertamanan.

Anggaran Besar Rajin Inovasi

Besarnya alokasi anggaran berkorelasi terhadap inovasi daerah. Kabupaten-kota dengan komitmen anggaran yang tinggi akan cenderung berinovasi. Sebaliknya, daerah-daerah yang mengalokasikan anggaran rendah berinovasi rendah.

Program yang dibuat hanya program rutin. Daerah-daerah yang berinovasi tinggi akan berada di peringkat atas kategori lingkungan hidup OA 2008. Sebaliknya, daerah-daerah yang minim anggaran dan inovasi akan berada di posisi bawah.

Kabupaten Probolinggo sebagai daerah dengan persentase anggaran lingkungan tertinggi berada di peringkat ketiga parameter lingkungan hidup OA 2008. Hanya kalah peringkat dari Kota Surabaya dan Kota Probolinggo. Anggaran di daerah itu tersebar di lima insitusi. Yaitu, dinas PU ciptakarya; kebersihan dan pertamanan; badan perencanaan pembangunan daerah; kantor pengendalian lingkungan hidup; dinas pertanian, tanaman pangan, kehutanan, dan perkebunan; serta dinas peternakan, kelautan, dan perikanan.

Program yang diunggulkan daerah tersebut, antara lain, perbaikan sarana dan pasarana tempat pemprosesan akhir (TPA) sampah, pembuatan pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) di Kecamatan Tiris, penanganan lahan kritis, serta pembuatan energi alternatif.

Sebagai daerah yang memiliki anggaran terbesar di Jatim, Kota Surabaya memiliki program yang variatif. Program yang dilakukan pemkot, antara lain, memperbanyak RTH, pengelolaan sampah bersama dengan masyarakat, dan penegakan Peraturan Daerah (Perda) No 7/2002 tentang Ruang Terbuka Hijau. Dengan upaya tersebut, pada OA 2008 ini, Surabaya berhak menyandang predikat pemenang kategori pengelolaan lingkungan hidup (kolom Pro-Otonomi, 26/05/2008).

Kabupaten Trenggalek yang memiliki persentase anggaran terbesar ketiga merupakan pemenang kategori lingkungan hidup pada OA 2007. Pengelolaan lingkungan di kabupaten itu ditekankan pada konservasi wilayah pesisir yang menjadi potesi besar daerah tersebut.

Kota Probolinggo menempati peringkat kelima untuk besarnya persentase anggaran lingkungan hidup, menduduki peringkat kedua kategori lingkungan hidup. Daerah itu juga berinovasi tinggi. Program yang dilakukan dinas kebersihan dan lingkungan hidup (DKLH), antara lain, memperbanyak RTH, hotline kebersihan 24 jam, pengelolaan sampah bersama masyarakat, penyelesaian TPA, serta pendirian dewan pembangunan berkesinambungan.

Kabupaten Tuban sebagai daerah dengan persentase anggaran terendah berada pada peringkat ke-37 kategori lingkungan hidup OA 2008. Dari hasil monev, daerah di pesisir utara Jatim itu minim inovasi. Program yang dilakukan kantor lingkungan hidup, antara lain, pengembangan sistem pengelolaan persampahan dengan anggaran Rp 220 juta dan program Adipura. Kabupaten Sampang yang mengalokasikan persentase anggaran terendah kedua menduduki peringkat ke-35 kategori lingkungan hidup OA 2008. (mk/e-mail: hnovitasari@jpip.or.id)


Jawa Pos [Senin, 13 Oktober 2008]

FOTO: "Hutan" dan salah satu sumber air yang selama ini masih selalu mengalir pun di musim kemarau panjang, di Desa Cakul, Kecamatan DOngko, Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur [bon]

Le Clezio, Suara bagi Si Lemah


Siapakah sejatinya seorang sastrawan? Di mata Jean-Marie Gustave Le Clézio (68), peraih Hadiah Nobel Sastra 2008, sastrawan, secara khusus novelis, bukanlah filsuf, bukan pula teknisi bahasa tutur. ”Dia adalah seseorang yang menulis, tentu saja, dan melalui novel dia bertanya,” katanya.


Pandangan itulah yang membawa Le Clézio menekuni dunia sastra sepanjang hidupnya. Sejak masih belia, usia 8 tahun, Le Clézio sudah menulis. Hingga kini, lebih dari 50 novel, esai, cerita pendek, telah lahir dari tangannya.

Konsistensi Le Clézio membuahkan Hadiah Nobel Sastra 2008 yang diumumkan oleh Svenska Akademien (Akademi Swedia) pada 10 Oktober lalu di Stockholm. Saat mengumumkan penghargaan itu, Horace Engdahl, Sekretaris Tetap Akademi Swedia, menyebut Le Clézio sebagai ”pengarang angkatan baru dengan petualangan puitis dan ekstasi sensual, serta penjelajah kemanusiaan di luar kekuasaan peradaban.”

Engdahl juga menggambarkan Le Clézio sebagai seorang pengarang kosmopolitan, seorang musafir, seorang warga dunia, dan seorang nomaden.

”Dia tidak secara khusus seorang penulis Perancis, kalau Anda melihat dia dari pandangan kultural. Dia melampaui berbagai fase berbeda dalam perkembangannya sebagai penulis dan telah melibatkan peradaban lain, juga cara hidup lain, dalam karyanya,” ujar Engdahl, seperti dikutip The New York Times.

”Saya senang dan sangat terharu karena tidak mengira sama sekali. Ini kehormatan besar. Saya tidak percaya, kemudian merasa kagum, dan akhirnya merasa gembira,” kata Le Clézio kepada wartawan dalam konferensi pers di Paris, seusai namanya diumumkan sebagai penerima Hadiah Nobel Sastra 2008.

Kendati tidak dikenal di Amerika Serikat, Le Clézio dipandang sebagai figur besar dalam kesusastraan Eropa. Lahir di Nice, Perancis, 13 April 1940, dia enggan mengidentifikasi dirinya secara kaku sebagai seorang Perancis.

”Saya memulai di Perancis, tetapi ayah saya seorang warga negara Inggris yang lahir di Mauritius. Jadi, saya memandang diri saya sebagai sebuah campuran, seperti banyak orang di Eropa sekarang ini,” tuturnya seperti dikutip The Guardian.

Le Clézio adalah penulis Perancis pertama yang menerima Hadiah Nobel Sastra sejak penulis keturunan Perancis-China, Gao Xinjiang, menerima penghargaan prestisius itu tahun 2000. Selain menulis dalam bahasa Perancis, Le Clézio juga menulis dalam bahasa Inggris, Jerman, dan Swedia.

Evolusi

Debut Le Clézio di dunia sastra adalah novel berjudul Le Procès-Verbal (1963), diterjemahkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Interrogation (1964). Novel ini langsung menyedot perhatian dibandingkan dengan karya Jean-Paul Sartre, Nausea, dan karya Albert Camus, The Outsider.

Novel yang berkisah tentang seorang laki-laki muda yang berakhir di rumah sakit jiwa itu memenangi penghargaan Prix Renaudot. Novel itu pula yang memperkenalkan keasyikan utama Le Clézio, yaitu pelarian dari norma ke dalam cara pikir yang ekstrem.

Le Procès-Verbal segera disusul serangkaian karya lain yang menggambarkan situasi krisis, termasuk kumpulan cerita pendek La Fièvre (1965) dan Le Déluge (1966). Kisah-kisah di dalamnya menuturkan tentang kesulitan dan ketakutan yang menghantui kota-kota besar di Barat.

Gaya bertutur Le Clézio kemudian berevolusi dalam karya- karya berikutnya, menjadi lebih liris. Ia berbicara banyak soal lingkungan. Itu terlihat dari karya semisal Terra Amata (1967), Le Livre des Fuites (1969), La Guerre (1970), dan Les Géants (1973).

Terobosan besar Le Clézio sebagai novelis adalah Désert (1980). Novel ini berkisah tentang kebudayaan yang hilang di gurun Afrika Utara, dan dikontraskan dengan Eropa yang dilihat melalui kacamata seorang imigran. Lalla, sang tokoh utama, adalah pekerja asal Aljazair yang menjadi antitesis utopis atas keburukan dan kebrutalan masyarakat Eropa. Désert meraih penghargaan Grand Prix Paul Morand yang dianugerahkan Académie Française.

Faktor yang menentukan karya-karya Le Clézio adalah waktu yang dihabiskannya di berbagai belahan dunia. Ketika berusia delapan tahun, keluarganya pindah ke Nigeria di mana ayahnya bertugas sebagai dokter bedah di angkatan bersenjata Inggris. Ia menuntut ilmu di Inggris dan Perancis, kemudian bekerja sebagai guru di Amerika Serikat.

Tahun 1967 Le Clézio ditugaskan ke Thailand untuk tugas militer. Oleh karena protes menentang prostitusi anak, dia dipindahkan ke Meksiko. Tahun 1970-1974 dia tinggal bersama suku Indian Embera di Panama. Dari tempat itu, dia menghasilkan Haï dan Voyage de l’autre Côté. Ia juga menerjemahkan beberapa karya besar tradisi Indian, seperti Les Prophéties du Chilam Balam.

Tahun 1975 Le Clézio bertemu istrinya, Jemima, seorang Maroko. Berdua, mereka membagi waktu antara Nice, Mauritius, dan Albuquerque di New Mexico sejak tahun 1990.

Suara ”underdog”

Mendekati era 1990-an, karyanya bergerak ke arah eksplorasi dunia dan sejarah keluarga. Perkembangan itu dimulai dengan novel Onitsha (1991) yang dilanjutkan dengan La Quarantaine (1995). Pergerakan itu berpuncak pada Révolution (2003) dan L’Africain (2004). Révolution menyimpulkan tema paling penting dari karya-karyanya, yaitu kenangan, pembuangan, reorientasi masa muda, dan konflik budaya.

Karya Le Clézio yang terhitung baru adalah Ballaciner (2007), sebuah esai personal tentang sejarah seni film dan pentingnya film dalam kehidupan dia. Karya terbarunya, Ritournelle de la Faim, baru saja diterbitkan.

”Ada dua fase dalam karier Le Clézio,” kata Adrian Tahourdin, editor Times Literary Supplement. ”Ada karya awal yang eksperimental hingga pertengahan 1970-an, kemudian beralih ke dalam gaya yang lebih liris, naratif tradisional, dan mulai mengeksplorasi budaya lebih banyak,” ujarnya.

Alison Anderson, salah satu penerjemah karya Le Clézio ke dalam bahasa Inggris, menyebut Le Clézio sebagai pendukung kaum underdog, orang yang tidak memiliki suara sendiri.

”Dia adalah suara mereka,” ujar Anderson.

”Saya kira Komite Nobel telah membuat pilihan bagi suara kasih sayang dan empati, yang tidak perlu sesuai dengan mode paling mutakhir, tetapi sangat penting,” tuturnya.

Le Clézio yang tidak menyangka akan mendapat penghargaan Nobel Sastra hanya mengatakan, ”Saya merasa menjadi bagian kecil dari planet ini. Sastra memungkinkan saya untuk mengekspresikannya.”

Lalu, apa yang dia inginkan setelah menerima penghargaan bergengsi itu?

”Pesan saya jelas, kita harus terus membaca novel karena novel adalah sarana bagus untuk mempertanyakan dunia saat ini, tanpa mendapat jawaban yang terlalu sistematis, terlalu otomatis,” ujar Le Clézio. (FRO)

Kompas, Selasa, 21 Oktober 2008 | 00:59 WIB

Nobel Sastra 2008 untuk Novelis Perancis Le Clezio

STOCKHOLM, KAMIS - Novelis Perancis Jean-Marie Gustave Le Clezio terpilih menjadi penerima hadiah Nobel untuk bidang sastra tahun 2008 yang diumumkan di Stockholm, Swedia, Kamis (8/10). Ia diganjar penghargaan atas novel-novel, esai, dan cerita anak yang penuh petualangan.


Akademi Swedia yang mendapat hak memilih peraih Nobel Sastra 2008 menyebutnya sebagai seorang penulis dengan gaya-gaya baru, petualangan yang puitis, dan "sensual ecstasy", penjelajah kemanusiaan di atas dan di bawah batas peradaban. Di awal debutnya sebagai novelis, ia sangat lihai bermain kata dan menggunakan kata-kata kiasan, namun beralih ke bahasa yang lebih membumi untuk mengangkat kehidupan nyata hingga cerita bertema anak-anak.

Le Clezio menjadi sangat terkenal saat menulis novel berjudul Desert pada tahun 1980. Novel tersebut juga mendapat penghargaan dari Akademi Perancis sebagai penulis terbaik Perancis. Komite penilai Nobel menilai karya tersebut mengandung gambaran yang sempurna sekali mengenai suku terasing di kawasan gurun Afrika Utara yang kontras dengan gambaran dari sudut pandang orang Eropa, imigran yang tidak diinginkan.

Kompas [Kamis, 9 Oktober 2008 | 20:22 WIB]

Pengendalian Kerusakan Ozon

Abdul Rohim Tualeka

Persoalan semakin rumit ketika pemerintah menjadikan industri sebagai lahan mencari keuntungan (pendapatan asli daerah) sehingga industri semakin menunjukkan egonya. Saat ini lapisan ozon telah berada pada titik yang mengkhawatirkan. Wilayah yang paling berdampak adalah kutub utara dan selatan.



Hal ini karena di atas kedua kutub tersebut ( di lapisan ozon ) terjadi reaksi antara ion chlor dan brom dengan ozon. Ion chlor dan brom sendiri dihasilkan dari reaksi antara zat-zat kimia perusak lapisan ozon ( BPO ) dengan sinar ultraviolet.

Akibat paling buruk pada lingkungan adalah terjadinya perubahan suhu secara global. Gunung-gunung es di kutub utara akan mencair mengakibatkan naiknya permukaan air laut, dan secara perlan-lahan hilanglah daratan.

Sejumlah prediksi tentang Indonesia di antaranya kenaikan permukaan air laut akan menggenangi daratan sejauh 50 m dari garis pantai kepulauan Indonesia sepanjang 81.000 km. Lebih dari 405.000 Ha di daratan Indonesia akan tenggelam, artinya ribuan pulau kecil terancam terhapus dari peta.

Radiasi ultraviolet juga akan berpengaruh pada kesehatan manusia. Untuk setiap penipisan satu persen lapisan ozon diperkirakan sebanyak 2 persen radiasi ultraviolet sampai ke permukaan bumi, dan menyebabkan peningkatan kanker kulit sampai 5 persen.

Sekitar 12-15 juta orang di seluruh dunia menderita kebutaan akibat katarak dan diperkirakan makin lama jumlahnya makin meningkat bila kerusakan lapisan ozon tidak cepat ditanggulangi. Ini adalah proses pemusnahan bumi secara cepat, mungkin dalam periode 100 tahun mendatang menurut Stephen R.Covey dalam bukunya The 7 Habbits of Highly Effective People dan ramalan komputer World 3 USA.

Pengendalian BPO

Untuk mengendalikan kerusakan lapisan ozon yang diperlukan saat ini adalah peran serta semua pihak, baik pemerintah, industri maupun masyarakat. Namun, saat ini, sulit mengharapkan industri untuk tidak memproduksi bahan perusak lapisan ozon (BPO) seperti CFC, halotan, metil bromida. Karena, kecenderungan industri mengejar keuntungan demi kelangsungan hidup perusahaan dan karyawannya.

Contoh industri-industri besar di Amerika Serikat seperti Exxon, melobi pemerintah Amerika Serikat agar menolak Protokol Kyoto yang mengatur penurunan konsentrasi gas-gas rumah kaca (termasuk freon) di atmosfer yang menyebabkan perubahan iklim. Dan efeknya, pemerintah AS menolak Protokol Kyoto.

Di Indonesia? Kita sering melihat “main mata” antara pemerintah dan industri. Ada beberapa industri di Jawa Timur yang terus menerus diprotes masyarakat sekitar namun mendapat penghargaan label hijau, sebagai industri yang ramah lingkungan dari pemerintah.

Kita juga bisa mengamati, sudah berbagai peraturan yang dikeluarkan pemerintah, mulai kewajiban bagi industri membuat dokumen AMDAL, UKL-UPL, program langit biru, Prokasih, namun kenyataannya tingkat pencemaran lingkungan semakin tinggi, masih ada industri yang bebas menjual bahan ( BPO ).

Persoalan semakin rumit ketika pemerintah menjadikan industri sebagai lahan mencari keuntungan (pendapatan asli daerah) sehingga industri semakin menunjukkan egonya. Banyak limbah industri dibiarkan begitu saja oleh pemerintah, banyak produk freon dan sejenisnya dijual begitu saja walaupun sudah berulangkali diprotes masyarakat.

Untuk melindungi industri pemerintah sering membuat kebijakan yang mereka sebutkan sebagai “ramah lingkungan” namun salah arah karena tidak menyentuh akar persoalan lingkungan.

Program Insentif

Program insentif adalah memberikan penghargaan kepada industri pembuat freon. Penghargaan yang diberikan berupa sertifikat ISO atau pun penghargaan lingkungan hijau, yang memberikan gelar bahwa industri tersebut telah mensubstitusi produk freon dengan produk lain yang tidak merusak lapisan ozon.

Terdapat beberapa lembaga, seperti Sucofindo yang memberikan sertifikat ISO kepada industri yang ramah lingkungan. Sertifikat diberikan setelah dilakukan proses peninjauan dan telaahan serta evaluasi terhadap industri tersebut berdasarkan komponen-komponen ISO.

LSM juga bisa memberikan penghargaan kepada industri. Walhi Jawa Timur misalnya beberapa kali memberikan penilaian terhadap industri di Jawa Timur. Klub Tunas Hijau dari Surabaya setiap tahun memberikan penghargaan kepada industri-industri di Jawa Timur. Dengan program insentif tersebut akan menjadi referensi bagi masyarakat tentang industri-industri mana yang produknya ramah terhadap lapisan ozon. Juga industri yang produknya layak dibeli.

Program Disinsentif


Program disinsentif adalah perilaku menolak produk yang tidak ramah terhadap lapisan ozon. Upaya ini dilakukan oleh masyarakat, antara lain dengan :
Pertama, bagi konsumen diharapkan membeli produk, misalnya aerosol dalam kaleng, lemari es, pemadam kebakaran, dan lain-lain yang berlabel ozone friendly atau Free CFC. Label tersebut menunjukkan produk-produk tersebut tidak mengandung BPO seperti CFC atau halon.

Kedua, bagi pemilik rumah, diharapkan menjadwalkan penggantian bahan pendingin lemari es dan perabot rumah tangga lainnya yang masih menggunakan bahan pendingin CFC dan HCFC dengan non-CFC.

Ketiga, bagi petani, mempertimbangkan mengganti bahan pestisida yang merusak ozon ini dengan bahan yang efektif dan aman. Keempat, bagi teknisi, memperbaiki peralatan rumah tangga seperti kulkas atau AC, meyakinkan bahwa bahan pendingin dari AC, lemari pendingin, atau freezer tersebut tidak ”bocor” atau terlepas ke atmosfer. Dan membantu memulai mengganti bahan pendingin dengan yang non-CFC .

Kelima, bagi pegawai kantor, mengidentifikasi peralatan dan produk yang dibeli, busa untuk bantalan alas duduk, larutan untuk mengoreksi tulisan di kertas, dan lain-lain yang menggunakan BPO, membuat rencana untuk mengganti alat atau bahan tersebut dengan bahan alternatif yang tidak merugikan.

Keenam, bagi guru, menginformasikan kepada murid-murid pentingnya melindungi lapisan ozon. Mengajari murid bahaya pengaruh bahan perusak ozon terhadap atmosfer, kesehatan, langkah-langkah yang dilakukan secara nasional, maupun dunia internasional untuk memecahkan masalah ini. Ketujuh, bagi wartawan, secara intensif menginformasikan dampak-dampak kerusakan lingkungan, menyadarkan masyarakat terhadap bencana akibat perilaku yang tidak ramah ozon dan ikut mengawasi pelaksanaan bebas ozon yang dimulai sejak tahun 2008 ( Uptlin, 2008 ).

Dengan kegiatan pemberian insentif dan disinsentif seperti di atas maka industri akhirnya akan tahu diri dan berupaya mencari substitusi pengganti BPO. Berarti, masyarakat telah berpartisipasi aktif dalam pengendalian kerusakan lapisan ozon. Dan, ikut membantu mencegah kecepatan kepunahan kehidupan di bumi.

Abdul Rohim Tualeka

Konsultan AMDAL, Pengajar Toksikologi Industri dan Pengolahan Limbah Industri di FKM Unair

SURYA [Wednesday, 24 September 2008 ]

Dilema RUU Pornografi

Oleh Agus Sudibyo *

"Tak ada ranah publik yang tidak mengandaikan kebijakan publik". Statemen Simon Reich (2001) itu dapat menjadi titik-pijak untuk membahas kontroversi RUU Pornografi yang marak belakangan. RUU Pornografi di satu sisi adalah upaya menciptakan ruang publik yang steril dari berbagai materi dan representasi yang dianggap bermuatan pornografis, berikut dampak-dampaknya terhadap moralitas publik. Porsi terbesar dalam RUU Pornografi adalah pengaturan tentang batasan-batasan pornografi dalam ruang publik media.



Cita-cita tentang ruang-publik yang "steril pornografi" itu hendak diwujudkan dalam kebijakan publik melalui proses legislasi perundang-undangan. Persoalannya, proses legislasi itu sendiri sebagai mekanisme politik sering berjalan di luar agenda dan kendali publik. Dalam berbagai kasus legislasi, publik nota bene hanya menjadi outsider.

Perumusan kebijakan sepenuhnya dideterminasi partai politik, para politisi, dan birokrat wakil pemerintah dengan sudut-pandang dan kepentingan yang kurang-lebih partikular. Di tangan mereka pula tak pelak bentuk final UU Pornografi akan ditentukan.

Aspirasi publik mungkin tetap dipertimbangkan dalam proses legislasi, namun jelas bukan satu-satunya pertimbangan. Masih ada politik kepentingan yang jalin-menjalin dan kompleks. Aspirasi publik sering diabaikan sebagian atau seluruhnya ketika DPR harus berkompromi dengan pemerintah, ketika partai-partai politik harus mengambil "jalan tengah".

Persoalan lain, aspirasi publik mana yang dimaksudkan? Tidak semua unsur mempunyai akses dan kedekatan dengan partai-partai atau Pansus RUU Pornografi. Di sini muncul potensi reduksi representasi publik pada kebijakan-kebijakan DPR yang sesungguhnya hanya mencerminkan kepentingan kelompok tertentu.

Potensi Disintegrasi

Selain masalah akseptabilitas politik legislasi terhadap keberagaman aspirasi publik, perlu dilihat pula seberapa jauh kesadaran para perumus undang-undang terhadap risiko percepatan pengesahan UU Pornografi tanpa menenggang kontroversi yang terjadi. Tak ada yang membantah pornografi dapat merusak moralitas masyarakat.

Tak ada yang tidak setuju pornografi harus diperangi. Namun, persoalannya bukan perkara yang mudah merumuskan batasan-batasan pornografi untuk suatu bangsa yang demikian pluralistik dan multikultur. Jika tidak hati-hati, regulasi yang bertujuan baik itu dapat menegasikan hal-hal lain yang tak kalah penting bagi konsep berbangsa dan prinsip keadaban publik.

Dalam hal ini mengundang kembali intervensi pemerintah dalam urusan-urusan pornografi, juga sama artinya dengan mengundang intervensi pemerintah dalam urusan ruang publik dan privat yang jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi.

Realitas pluralisme dan multikulturalisme bangsa adalah sumber inspirasi dan kebanggaan nasional yang tiada habisnya. Namun, realitas tersebut juga selalu menyimpan "bahaya-laten" disintergasi. Maka kita sesungguhnya selalu membutuhkan momentum, kebijakan, dan kearifan yang bisa menjadi perekat kesatuan bangsa, bukan sebaliknya.

Dalam konteks inilah, para perumus RUU Pornografi tidak boleh menganggap remeh reaksi penolakan dari beberapa daerah terhadap RUU Pornografi. Logika mayoritas-minoritas juga tidak tepat digunakan di sini, dan hanya akan menimbulkan kesan UU Pornografi adalah sebentuk pemaksaan kehendak suatu komunitas terhadap komunitas lain yang mempunyai nilai dan budaya yang berbeda. Selain itu, bukankah hukum harus adil kepada -dan harus mempertimbangkan kebahagiaan- semua pihak?

Rebirokratisasi

Yang juga patut disadari pendukung RUU Pornografi ialah gejala substansialisasi negara. Dengan rumusan yang ada sekarang, RUU Pornografi cenderung menempatkan negara sebagai substansi yang lebih tinggi daripada warganya, sehingga berhak mengatur apa saja dalam domain publik dan privat. Negara secara sepihak dianggap berhak melakukan kriminalisasi atas tataran moralitas dan kesopanan, dan menentukan apakah suatu tindakan dikategorikan bermoral atau tidak.

Di sini ternegasikan prinsip bahwa negara sesungguhnya secara hakiki berfungsi melengkapi apa yang kurang dalam kemampuan masyarakat untuk memecahkan masalah. Negara berfungsi subsider dan tidak semestinya terlalu jauh mengatur segi-segi moralitas warganya. Namun, inilah yang tecermin dalam batang-tubuh RUU Pornografi, sebagaimana juga didapati dalam RUU KUHP.

Dalam konteks ini, yang terjadi dengan RUU Pornografi jangan-jangan adalah, "melalui kebijakan publik, dengan menggunakan jargon moralitas publik, pemerintah hendak meneguhkan kembali otoritasnya atas ruang publik sosial, khususnya ruang publik media".

RUU Pornografi perlu dilihat sebagai satu paket dengan agenda pemerintah mengajukan RUU Pers, RUU Rahasia Negara, dan berbagai RUU lain yang mencerminkan tendensi reorganisasi kekuatan birokrasi untuk melakukan "rebirokratisasi" ruang publik. Yakni, upaya-upaya pelembagaan kembali otoritas pemerintah untuk mengontrol ruang publik sosial, dengan mementahkan upaya-upaya kelompok prodemokrasi untuk mendemokratisasikan dan mendeliberasi ruang publik.

Dengan memanfaatkan prosedur legal-demokratis legislasi, kekuatan birokrasi menelikung gerakan demokratisasi, dan berusaha mengembalikan ruang-publik sosial Indonesia kepada kondisi-kondisi otoritarian. Tujuannya adalah negara penyelenggara: negara yang meskipun kurang otoriter, tetap mengatribusi pemerintah dengan otoritas yang eksesif untuk mengintervensi ruang publik (dan ruang privat) dengan menegasikan pentingnya prinsip subsideritas negara serta check and balances kekuasaan.

* Agus Sudibyo , deputi direktur Yayasan Sains Estetika dan Teknologi (SET) Jakarta.

Jawa Pos [Selasa, 21 Oktober 2008]

Pengemis Konvensional Diburu, Pengemis Kontemporer Menyerbu

Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro
Pengajar di FAI Universitas Muhammadiyah Gresik

Era pengemis konvensional, tampaknya, segera berakhir. Mereka bakal menjadi objek buruan petugas Satpol PP yang seakan tidak kenal lelah menjebloskan mereka ke "penjara" Liposos. Lebih dari itu, mereka juga bakal kalah bersaing dengan pengemis "kontemporer" dalam berebut rezeki cuma-cuma dari kaum dermawan. Bahkan, kaum dermawan pun seakan terjebak rasa tidak berdaya manakala berhadapan dengan pengemis modern itu.



Selama ini, pengemis konvensional dipandang sebagai "sampah" yang dapat mengotori pemandangan kota. Penampilan mereka yang kumuh, dekil, dan bau tubuh yang tidak sedap dinikmati hidung kerap dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Belum lagi wilayah operasi mereka tidak pandang bulu. Umumnya, mereka tersebar di terminal, pasar, atau door to door dari rumah ke rumah.

Pendek kata, pengemis "konvensional" itu lebih mengedepankan kepapaan dan ketidakberdayaan mereka untuk mengekspresikan diri sebagai orang miskin. Mereka tidak pernah lelah menyusuri jalan. Pengemis ini tidak terlalu berharap pemberian lebih dari dermawan. Selaras dengan kesederhanaan alat yang mereka gunakan, yakni kaleng dan batok kelapa, uang receh pun mereka terima dengan ekspresi syukur melalui ucapan terima kasih kepada pemberinya.

Seiring dengan kian berkurangnya pengemis konvensional, sekarang marak kemunculan pengemis kontemporer. Penampilan mereka benar-benar berbalik 180 derajat jika dibandingkan dengan penampilan pengemis konvensional. Mereka tidak lagi bersenjata kaleng atau tempurung kelapa. Mereka membawa amplop berlabel nama yayasan pendidikan, panti asuhan, atau panitia pembangunan masjid, lengkap dengan alamat dan nomor telepon.

Pengemis model baru ini juga melengkapi diri dengan penampilan yang modis, berdasi, berbaju rapi, dan bersepatu. Yang perempuan umumnya memakai busana muslim (berjilbab). Pengemis kontemporer seakan memberikan pesan kepada calon dermawan bahwa mereka bukan "pengemis", melainkan pekerja sosial yang sedang menjalankan tugas mulia. Karena itu, memberikan bantuan kepada mereka sama artinya dengan menyalurkan bantuan yang tepat sasaran.

Pengemis gaya baru ini juga relatif lebih cerdas dalam membidik sasaran. Mereka umumnya nongkrong di tempat anjungan tunai mandiri (ATM), SPBU, kantor pos, dan fasilitas pelayanan publik lain. Mereka tidak perlu berkeringat dan ber-capek-capek menyusuri jalan. Mereka juga tidak perlu mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil sekadar untuk meminta sedekah ala kadarnya. Sebagian di antara mereka memang ada yang bergerilya ke kompleks perumahan atau ke kampung/desa. Namun, mereka melengkapi diri dengan proposal, kuitansi, dan daftar penyumbang.

Penampilan mereka cukup menarik calon donatur untuk memberikan bantuan relatif banyak dibandingkan yang biasa diberikan kepada pengemis konvensional. Umumnya, para donatur menyumbang minimal seribu. Tidak sedikit pula yang memberikan lima atau sepuluh ribu rupiah. Itu, sepertinya, sebanding dengan beban psikologis yang memancar dari amplop kosong yang mereka terima sebelum masuk ATM untuk diisi uang sekeluar dari ATM. Sang donatur seakan tersandera oleh "kekuatan" amplop tersebut dan menganggap tidak pantas bila harus memasukkan uang receh ke dalam amplop. Meski ada pula yang akhirnya mengembalikan amplop itu dalam kondisi tetap kosong.

Kemunculan pengemis kontemporer itu dapat dijadikan indikasi kian kompleksnya penyakit sosial di masyarakat. Tidak saja kemiskinan masih menggurita di kehidupan masyarakat, mentalitas miskin juga kian mengkristal pada sebagian individu yang masih berada dalam usia produktif. Dengan begitu, menjadi pengemis "gaya baru" itu menjadi pilihan untuk mendapatkan dana segar dalam waktu singkat. Dengan sedikit memermak penampilan diri dan menyamar sebagai pekerja sosial (dari yayasan, panti asuhan, atau masjid), mereka bisa dengan enjoy mengemis tanpa merasa kehilangan harga diri.

Menghilangkan penyakit sosial memang tidak mudah. Dibutuhkan langkah-langkah sistematis dengan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Pertama, pemerintah harus berani bertindak tegas terhadap para pekerja sosial "gadungan" atau tidak jelas identitasnya. Penegakan aturan harus dijalankan dengan konsisten. Bila mereka terbukti berbohong (mencatut nama lembaga sosial tertentu atau bahkan membuat identitas palsu), sudah sepantasnya mereka dijerat pasal penipuan.

Kedua, masyarakat umum seyogianya tidak mudah tergerak hati untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak jelas latar belakangnya, baik pribadi maupun lembaga yang dibawanya. Sebab, memberikan amal sejatinya tidak semata-mata berlandasan aspek keikhlasan semata. Asas manfaat bagi peruntukannya juga perlu dipertimbangkan. Niat baik saja tidak cukup, bahkan bisa menjadi mudarat kalau salah sasaran. Misalnya, mengakibatkan seseorang menjadi kian tergantung pada profesi pengemis.

Lebih bijaksana dan bermanfaat bila masyarakat yang berniat beramal menyalurkan hartanya ke lembaga-lembaga yang diketahui identitasnya dengan jelas dan memang sedang membutuhkan bantuan keuangan. Atau, bantuan bisa juga diarahkan ke badan-badan amil zakat, infak, dan sodaqoh yang sudah mengantongi izin dari pemerintah dan punya reputasi positif.

Ketiga, lembaga-lembaga sosial, baik yayasan pendidikan, panti asuhan, maupun masjid, tidak selayaknya menggerakkan jamaahnya untuk menjalani profesi sebagai pengemis. Meski (andai kata) hasil dari mengemis itu seluruhnya untuk kepentingan lembaga. Apalah artinya membangun lembaga sosial kalau ujung-ujungnya hanya memproduksi pengemis-pengemis profesional. (soe)

Jawa Pos [Jum'at, 17 Oktober 2008]

Laskar Pelangi Jiwa tentang Wajah Indonesia

* Tomy Su

Sama seperti novelnya, Laskar Pelangi karya Andrea Hirata yang laku setengah juta eksemplar itu, ketika difilmkan -digarap Riri Riza dan Mira Lesmana- juga sama larisnya. (Jati Diri Jawa Pos 15 Oktober 2008).



Bahkan, para tokoh negeri ini ikut nonton dan memberikan apresiasi. Mantan aktivis mahasiswa ITB dan Ketua Lembaga Pengkajian Demokrasi dan Negara Kesejahteraan M. Fadjroel Rachman memuji Riri, Mira, dan Andrea Hirata dengan memberi sebutan kepada mereka sebagai seniman dan filsuf politik.

Menurut Fadjroel, apa yang disuguhkan ini suatu kritik politik yang cukup berhasil terhadap kehidupan bangsa ini. Sultan Hamengku Buwono X tertarik kepada relasi antara Ikal (tokoh utama) dan A Ling. Namun, Sultan juga melihat Laskar Pelangi sebagai pelajaran tentang panggilan hidup masyarakat plural (Kompas, 8 Oktober 2008).

Tanggapan Sultan itu boleh jadi benar. Sebab, SD (Sekolah Dasar) Muhammadiyah Gantong, Belitung, yang menjadi seting cerita, ternyata tidak terjebak dalam primordialisme. Sebab, SD itu mau menerima A Kiong, salah satu siswa yang menjadi salah satu tokoh dari 10 Laskar Pelangi. Padahal, jelas dia itu beretnis Tionghoa dan berlatar belakang Konghucu.

Saudara sepupu A Kiong, yakni A Ling, anak pemilik Toko Sinar Harapan yang membuat Ikal (Andrea Hirata) jatuh cinta, juga membuat Laskar Pelangi mengajarkan bahwa perbedaan itu indah dan layak disyukuri.

Saat merenungkan interaksi antara A Kiong atau A Ling dengan Ikal dkk, misalnya, saya jadi teringat sejarah harmonis ketika antara Tionghoa dan Islam tidak dibenturkan, seperti di era awal penyebaran Islam di tanah air.

Kita tentu ingat bagaimana peran Wali Songo atau Raden Patah, raja Islam pertama di Jawa yang beretnis Tionghoa, di tengah rakyatnya yang tentu banyak beretnis Jawa atau Madura.

Saat melihat sepak terjang A Kiong saya juga tiba-tiba ingat pada era 1930-an ketika banyak bermunculan gerakan muslim Tionghoa di luar Jawa. Di Sulawesi, Ong Kie Ho (kelahiran Toli-toli) mendirikan Partai Islam. Penguasa Belanda takut aktivitasnya dan dia dibuang ke Jawa pada 1932.

Di Medan pada 1936, seorang Tionghoa totok, Yap A Siong dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Islam Tionghoa. Pada 1933 di Makassar berdirilah Partai Tionghoa Islam Indonesia (PITII). Setahun kemudian PITII mendirikan suatu "Sekolah Melayu" dan pada 1936 menerbitkan media bernama Wasilah (Makalah 'Tionghoa dalam Dinamika Sejarah Indonesia Modern' oleh sejarawan peranakan Didi Kwartanada).

[]

Tidak heran bila dikatakan bahwa Laskar Pelangi sebagai panggilan jiwa untuk mengapresiasi dan mensyukuri realita Indonesia yang serbamajemuk. Kemajemukan yang heterogen, alami, dan "given" sifatnya merupakan kenyataan Indonesia yang tak mungkin bisa dihindari. Artinya, kita tidak mungkin meminta kepada Sang Pencipta agar kenyataan Indonesia itu homogen atau monokultur, seperti hanya berisi orang sesuku atau seagama. Keberagaman itu merupakan keniscayaan yang harus diterima dan disyukuri sebagaimana para tokoh dalam Laskar Pelangi saling menerima diri mereka.

Karena itu, fakta keberagaman atau pluralitas menuntut respons atau sikap yang tepat pula. Profesor Diana Eck, pemimpin program "Pluralism Project" dari Harvard Divinity School AS mengungkapkan, sikap yang tepat terhadap fakta pluralitasi ialah mengembangkan pemahaman pluralisme, yakni upaya bersama lintas etnis, agama, dan budaya untuk mengupayakan terciptanya common society.

Jujur harus diakui, Andrea berhasil menciptakan common society itu dalam novelnya. Indahnya keragaman dalam common society itu digambarkan dengan sangat natural dalam film Laskar Pelangi.

[]

Oleh sebab itu, Andrea Hirata layak dijuluki sebagai mahaguru multikulturalisme, meski kisahnya berangkat dari lokalitas Belitung. Memang, secara implisit Laskar Pelangi mau menekankan pentingnya pendidikan multikulturalisme ditumbuhkembangkan, karena potensi yang dimiliki Indonesia secara kultural, tradisi, adat, dan lingkungan geografi serta demografis sangat luar biasa.

Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme harus menjadi dasar bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial sehingga bisa menjamin rasa aman bagi masyarakat untuk kemudian menjamin kelancaran tata kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat.

Laskar Pelangi adalah tantangan multikulturalisme bagi setiap pembaca atau penontonnya untuk bisa menjadi pribadi yang bisa menerima dan menghargai perbedaan. Orang lain sungguh dihargai martabat dan eksistensinya. Keunikan personalitasnya, ekspresi keyakinan beragama, serta asal-asul etnisnya harus dihormati.

Tak ada satu pembenaran apa pun untuk segala macam anarki atas kelompok lain. Sudah bukan zamannya lagi menerapkan paradigma sesat atau keliru berdasar ukuran agama atau kebenaran kita sendiri.

Juga segala bentuk diskriminasi, baik oleh negara maupun perseorangan atas kelompok suku atau etnis tertentu di tanah air, baik Tionghoa atau bukan juga harus segera diakhiri.

Pesan yang diusung Laskar Pelangi sungguh mencerahkan dan menantang segala pandangan dangkal, entah fundamentalisme agama atau superioritas ras yang hanya menyekat-nyekat manusia dalam bilik sempit.

* Tomy Su , koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia.

Jawa Pos [Senin, 20 Oktober 2008]

NU Menyikapi "Trafficking"

Oleh: Nur Rofiah

Musyawarah Nasional Ulama yang digelar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama di Surabaya pada 28- 31 Juli 2006 menyisakan beberapa agenda penting, salah satunya perdagangan manusia (trafficking).



Pembahasan dilanjutkan pada Selasa (15/8). Kali ini, fatwa NU mengenai trafficking layak dicatat dalam sejarah gerakan perempuan di Indonesia karena disertai rekomendasi PBNU beserta seluruh badan otonom dan lembaganya dari pusat hingga daerah untuk melakukan gerakan bersama menolak trafficking.

Ada dua fatwa tentang trafficking. Pertama, mengharamkan eksploitasi selama proses perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang itu, baik yang dilakukan dalam negara maupun antarnegara. Kedua, mewajibkan semua pihak, pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat, mencegah trafficking dan melindungi korban.

Problem dalam trafficking sehubungan dengan agama sama sekali tidak terletak pada hukum trafficking, tetapi pada tindakan apa yang dapat disebut trafficking. Ini penting karena trafficking banyak diwarnai aksi penipuan berkedok agama. Misalnya, penyelundupan tenaga kerja ilegal melalui umroh, penjaringan calon korban melalui pernikahan, dan pemanfaatan tokoh agama sebagai perantara penjaringan calon korban dengan dalih mencari tenaga kerja.

Fatwa pertama NU menegaskan, trafficking tak hanya mencakup perdagangan itu sendiri, tetapi seluruh rangkaian prosesnya. Karena itu, fatwa ini merupakan peringatan keras bagi umat beragama, khususnya tokoh-tokohnya, agar tak melakukan apa pun yang dapat menyebabkan orang lain menjadi korban trafficking dan mewaspadai upaya penipuan berkedok agama sebagai modus operandi trafficking.

Upaya perlindungan

Problem penting lainnya menyangkut trafficking dan agama adalah belum munculnya komitmen umat beragama terhadap pencegahan trafficking dan perlindungan korban. Padahal, trafficking merupakan kejahatan yang langsung menantang agama apa pun yang mengemban misi menjaga kehormatan manusia. Di samping itu, tak sedikit korban trafficking yang taat beragama.

Jika unsur terpenting trafficking adalah eksploitasi, maka trafficking tak lain adalah perbudakan jenis baru. Islam tak hanya melarang perbudakan, tetapi juga memberi solusi konkret. Misalnya memasukkan budak (riqab) dan orang yang dililit utang (gharimin) sebagai berhak menerima zakat. Dengan dukungan dana yang sangat besar ini, upaya pemberantasan perbudakan dapat berjalan efektif.

Trafficking adalah bisnis ketiga paling menguntungkan di dunia setelah senjata dan narkoba. Sebagaimana perbudakan pada masa lalu, trafficking kini melibatkan pemodal kelas kakap. Karena itu, upaya pencegahan trafficking jelas membutuhkan dana yang juga besar.

Dalam konteks sekarang, budak sangat mungkin diartikan sebagai korban trafficking. Mereka tak lagi mempunyai kuasa atas dirinya sendiri karena ada orang lain yang mengendalikan, mengancam, dan memaksa. Tak jarang korban dipaksa melacurkan diri, bahkan diambil organ tubuhnya untuk dijual.
Sementara gharimin dalam konteks kekinian juga sangat mungkin diartikan sebagai orang yang karena terlilit utang lalu menjadi korban trafficking. Ini banyak terjadi di tempat penampungan tenaga kerja, terutama mereka yang karena sesuatu hal tak dapat diberangkatkan. Dengan dalih mengganti biaya yang telanjur dikeluarkan perusahaan, mereka disekap dan dipekerjakan paksa sampai utang yang jumlahnya ditetapkan sewenang-wenang oleh perusahaan dianggap lunas.

Meneladani apa yang dilakukan Rasulullah SAW, umat Islam saat ini dapat melakukan hal sama. Setiap badan yang mengelola zakat semestinya mengalokasikan pos riqab dan gharimin untuk membiayai gerakan antitrafficking. Dengan dukungan dana ini, masyarakat lebih mudah merealisasikan sistem pencegahan trafficking secara menyeluruh.

Lebih realistis

Trafficking mesti dibedakan dari persoalan buruh migran. Unsur pokok trafficking adalah eksploitasi. Karena itu, trafficking bisa terjadi pada tenaga kerja kita, baik di dalam maupun luar negeri. Sebaliknya, menjadi buruh migran tak selalu mengalami trafficking, yaitu ketika proses bekerja secara keseluruhan tak diwarnai eksploitasi.

Pada saat pekerjaan masih sangat sulit didapatkan di dalam negeri, menjadi buruh migran bagi jutaan rakyat Indonesia menjadi satu-satunya pilihan membiayai hidup. Dalam kondisi seperti ini, fatwa perlindungan korban trafficking jelas lebih realistis daripada pengharaman perempuan bekerja di luar negeri tanpa muhrim.

Namun, fatwa baru efektif jika dibarengi aksi nyata. Karena itu, melalui pengurusnya dari pusat hingga daerah, NU diharapkan dapat melakukan gerakan bersama antitrafficking dengan membangun sistem pencegahan, perlindungan, dan pemulihan terpadu.

Dr Nur Rofiah, Bil Uzm Litbang PP Fatayat NU, Dosen Institut PTIQ Jakarta

sumber: Harian Kompas, Senin, 04 September 2006

dkopipaste dari sini

TKW Digebuki Depan Menteri


Dalam Acara Pertemuan TKI di Hongkong
Jakarta - Surya, Sembilan Tenaga Kerja Wanita (TKW) di Hongkong digebuki aparat keamanan di Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Hongkong, Minggu (7/9). Empat wanita mengalami luka memar dan berdarah, sedangkan dua TKI lainnya dilarikan ke rumah sakit



Ironisnya, peristiwa kekerasan itu terjadi di depan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Suparno ketika hadir dalam pertemuan dengan para TKI di gedung Queen Elizabeth, Hongkong.

Duta Buruh Migran, Franky Sahilatua, saat dihubungi Minggu malam mengatakan, peristiwa pemukulan itu terjadi sekitar pukul 11.00 waktu setempat. Saat itu, puluhan TKW yang bekerja di Hongkong mengadakan pertemuan dengan Menakertrans. Namun sembilan orang TKW kemudian menggelar spanduk bertuliskan "Stop Underpayment" (hentikan pembayaran upah di bawah standar) saat berhadapan dengan menteri.

"Tiba-tiba saja mereka langsung diseret dan dipukuli oleh aparat keamanan sampai luka-luka, padahal mereka hanya menggelar spanduk. Wajar dong mereka mengutarakan aspirasi kepada menteri," ujar penyanyi lagu balada ini. Franky menambahkan, peristiwa itu terjadi di depan Menakertrans, namun sang menteri hanya diam dan tidak berusaha melerai aksi pemukulan tersebut. Petugas keamanan yang jumlahnya lebih dari dua orang itu juga merupakan Warga Negara Indonesia.

"Mereka itu lebih sok kuasa dibanding polisi Hongkong. Mereka harus diberi sanksi tegas," tandas Franky.Dikatakan, para TKW tersebut hanya mengutarakan aspirasi mereka bahwa masih terjadi adanya penggajian di bawah standar upah yang ditentukan pemerintah Hongkong.

Upah minimum pekerja di Hongkong, lanjutnya, yakni 3.450 dolar Hongkong. Namun para pekerja asal Indonesia hanya mendapat sekitar 2.000 dolar Hongkong."Itu pun banyak yang belum dibayarkan selama berbulan-bulan. Ada yang sejakpertama datang tidak pernah menerima upah sedikitpun," jelasnya. Menurut Franky, gaji mereka dipotong oleh PJTKI (Perusahan Jasa Pengerah Tenaga Kerja Indonesia) dan agen-agen tenaga kerja di Hongkong.

Ia sangat menyesalkan tindakan pemukulan petugas keamanan tersebut. Ia berharap Menakertrans lebih cerdas memimpin, sehingga tidak terjadi lagi peristiwa seperti ini.
Dalam pertemuan itu, sejumlah pejabat Depnakertrans dan beberapa anggota DPRD Jawa Timur ikut serta. Namun tak ada yang melerai pemukulan itu. "Sudah wanita, lagi puasa, belum digaji, dipukuli bangsa sendiri lagi, ini kan jahanam sekali," tegasnya. Hingga semalam, baru diketahui beberapa nama dari TKW tersebut, antara lain Luluk dan Ganis.

Dikatakan oleh Franky bahwa Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) akan melayangkan protes kepada Menakertrans dan Departemen Luar Negeri (Deplu) atas
arogansi para aparat keamanan di Konjen RI tersebut.

Sementara itu, juru bicara Deplu, Teuku Faizasyah hingga tadi malam belum dapat dimintai konfirmasi. Telepon genggamnya tidak aktif saat dihubungi.

Sedangkan Komisioner Komnas Anti Kekerasan Terhadap Perempuan, Sri Wiyanti Eddyono saat dihubungi semalam juga mengaku belum mendengar kabar tersebut. Namun demikian, ia menyayangkan tindakan kekerasan tersebut. "Apapun alasannya, kekerasan bukan jalan yang terbaik, mengapa tidak melakukan dialog saja," ujarnya.

Ia mengatakan, ekspresi para TKW dengan spanduk merupakan pernyataan yang wajar, dan memang benar-benar dirasakan oleh para buruh migran ini. Siapapun, lanjutnya, harus menghindari kekerasan. "Itu tindakan yang tidak bijaksana, padahal TKW sedang berada dalam keadaan tidak menguntungkan," imbuhnya. Jumlah TKW Indonesia yang bekerja di Hongkong mencapai 100.000 orang lebih.

Umumnya, mendapatkan gaji sekitar 2.700 dolar Hongkong (sekitar Rp 3 juta per bulan). Di Indonesia, tidak ada undang-undang yang mengatur upah minimal bagi PRT. Berbeda dengan di Hongkong, pemberian upah TKW diatur oleh negara tersebut dan ditegakkan oleh aparat hukum. Bagi siapapun yang melanggar aturan, maka akan dihukum, baik pekerja ataupun majikannya.

Libur kerja juga diberikan pada TKW sehari selama seminggu. Mereka biasanya menikmati libur dengan berbagai aktivitas di luar rumah, kebanyakan para TKW Indonesia berkumpul di taman untuk bertemu dengan teman-teman sesama warga Indonesia. sab/wk

dari SURYA

Kesenian makin Elitis, makin Egaliter

Dari Pembukaan Joglo Seni Art Sociates (JSAS)

MIFTAHUDIN, Bantul



Wadah menampung kreativitas berkesenian di DIJ semakin marak. Munculnya galeri-galeri, rumah seni dan museum seni memberi ruang kebebasan bagi para pekerja (art worker) seni untuk mengekspresikan diri.


BANYAKNYA galeri-galeri baru membuat para penikmat seni, kurator dan masyarakat mendapatkan ruang berapresiasi. Kini, bertambah lagi tempat seni. Ya, Joglo Seni Art Sociates (JSAS)yang berlokasi di Desa Jurug RT 02 Bangunharjo Sewon Bantul semakin menyemarakkan kegiatan seni.

Kehadiran rumah ini tidak hanya ditujukan untuk pameran kesenian. "Tapi juga dapat digunakan sebagai media mendiskusikan perihal seni dan budaya antar-seniman, penulis kesenian, kolektor dan penikmat seni," terang Andonowati.

Andonowati adalah pemilik JSAS. Dia berharap JSAS dapat menambah nilai diantara berbagai ruang kesenian yang telah eksis. Karena itu, kehadiran JSAS tidak memosisikan diri sebagai kompetitor. Melainkan sebagai pelengkap.

Kurator yang juga dosen ISI Jogja Drs Suwarno Wisetrotomo M Hum menilai pembangunan JSAS bukan sekadar larut dalam perkembangan kesenian.

"Ini juga sebagai sebuah investasi jangka panjang," terangnya pada acara pembukaan kemarin.

Kehadiran JSAS diharapkan bisa mendukung rumah seni atau galeri sebelumnya. Kata Suwanro, JSAS juga sebagai media bertemunya pekerja seni, pecinta seni, kurator dan masyarakat.

Semua harus ikut memiliki. Masyarakat sekitar harus dilibatkan. Alasannya, kesenian hari ini semakin elitis. Tapi juga semakin egaliter. Pembukaan rumah seni ditandai pameran sejumlah seniman.

Mereka kebanyakan pernah tinggal di rumah ini pasca gempa tektonik 27 Mei 2006. Karena itu, tema yang diambil adalah Nostalgia.

"Terima kasih, telah diberi ruang dan kesempatan untuk kembali ke rumah ini dengan karya-karya kami," terang AT Sitompul mewakili seniman lain.

Selain AT Sitompul, ikut memamerkan karyanya adalah Afdhal, I Gusti Ngurah Arya Udianata, I Made Adinata Mahendra, I Made Widya Diputra, Mirza Al Rasyid, Rendra CO dan Sulistya Hadi Joko Atmaja. Pameran berlangsung hingga 30 Oktober mendatang.[]

radar jogja Sabtu, 18 Oktober 2008

BNP2TKI Lembaga yang Tak Bertaji

Oleh Muhammad Iqbal *

Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebenarnya memiliki keinginan kuat untuk memperbaiki sistem penempatan dan perlindungan TKI. Setelah ada UU No 39/2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI -diundangkan semasa pemerintahan Presiden Megawati-, pemerintah mulai menjalankan amanat UU tersebut.



Salah satunya, membentuk Badan Nasional Pengawasan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) langsung di bawah presiden untuk menjalankan regulasi penempatan serta perlindungan TKI secara terpadu.

Dilema

Dalam perjalanannya, BNP2TKI belum sesuai harapan. Meski menurut UU No 39/2004 BNP2TKI memiliki wewenang penuh dalam menjalankan regulasi penempatan dan perlindungan TKI, dalam praktiknya lembaga tersebut masih mandul. Belum punya taji. Padahal, itu merupakan model yang digunakan pemerintah Filipina dalam mengelola penempatan dan memberikan perlindungan kepada pekerjanya di luar negeri.

BNP2TKI merupakan gabungan berbagai unsur dalam satu badan -mulai Imigrasi, Depnaker, Depdagri, Depsos, hingga kepolisian- untuk memberikan pelayanan terpadu dan perlindungan menyeluruh kepada TKI. Kenyataannya, setelah dua tahun berjalan, badan yang memiliki akses kepada presiden itu masih berjalan tertatih-tatih.

Menurut saya, ada beberapa permasalahan yang menghambat BNP2TKI menjalankan kebijakannya. Pertama, anggaran terbatas. Karena pemerintah belum memberikan anggaran dalam porsi di APBN, mereka belum bisa memberikan pelayanan maksimal kepada TKI. Padahal, TKI merupakan salah satu penyumbang terbesar devisa negara. Remittance yang mereka kirimkan bisa menghidupi jutaan rakyat Indonesia di banyak pelosok tanah air.

Seharusnya TKI diperlakukan layaknya seorang investor yang selama ini mendapat tempat spesial di hati para pejabat. Pengangkutan ketika pulang ke kampung dan pembuatan dokumen keberangkatan yang seharusnya digratiskan pemerintah justru belum bisa diwujudkan.

Pemerintah juga harus menyediakan anggaran khusus untuk pemberdayaan TKI di luar negeri dengan memberikan program-program yang bisa menambah skill mereka secara gratis. Selama ini perwakilan RI di luar negeri jarang memberdayakan TKI dengan alasan terbatasnya anggaran. TKI memerlukan sebuah pengembangan diri dan tempat mencurahkan permasalahannya ketika libur.

Kedua, adanya tarik-menarik kepentingan. Selama ini penempatan TKI menjadi lahan basah bagi beberapa oknum pejabat, mulai jual beli job order, bisnis asuransi, bisnis pengangkutan, pelatihan, pungli pada surat rekomendasi, dan lain-lain. Karena itu, BNP2TKI seharusnya diberi wewenang penuh menjalankan regulasi penempatan serta perlindungan TKI. Yang terjadi, ada kesan kuat Depnakertrans tampaknya merasa tersaingi oleh kehadiran BNP2TKI.

Bahkan, Direktorat Jenderal Pembinaan dan Penempatan TKI (Binapenta) masih dipertahankan, padahal seharusnya Ditjen Binapenta dibubarkan. Dilebur ke BNP2TKI, sehingga kebijakannya tentang permasalahan TKI bisa dijalankan satu pintu. Anggaran menjadi satu dan bisa dimanfaatkan untuk kepentingan TKI.

Hal yang sama terjadi pada tenaga kerja di kantor-kantor perwakilan RI di luar negeri. Karena menjadi pejabat Depnakertrans, mereka tetap berinduk ke Ditjen Binapenta. Alasannya klasik, anggaran mereka masih berada di Depnakertrans, bukan di BNP2TKI.

Orientasi atase tenaga kerja seperti itu justru mempersempit ruang gerak BNP2TKI yang seharusnya bisa berbuat banyak di luar negeri dalam menerapkan regulasi penempatan TKI.

Departemen terkait lainnya seperti Deplu dan Imigrasi masing-masing juga memiliki kebijakan berbeda dalam menangani TKI. Bahkan, kalau ditanya data TKI, BNP2TKI tidak memilikinya karena berada di departemen lain seperti Deplu dan Imigrasi.

Ketiga, SDM yang terbatas. BNP2TKI yang merupakan gabungan berbagai departemen dan posisi-posisi pejabat eselon I dan II kebanyakan dijabat orang-orang baru untuk menangani TKI. Akibatnya, banyak di antara mereka yang tidak kompeten menangani permasalahan TKI.

Banyak program yang masih belum menyentuh permasalahan dasar TKI. Kebanyakan program masih bersifat jaminan sosial dan administratif. Padahal, aspek perlindungan di luar negeri merupakan hal yang paling mendasar. Perlindungan bukan hanya asuransi. Namun, yang juga penting dan urgen adalah perlindungan keamanan dan keselamatan TKI. Bukan memperlakukan TKI sebagai objek.

Keempat, buruknya sistem. Selama ini pemerintah terlalu memberikan porsi besar kepada pihak swasta dalam penempatan TKI, sehingga penempatan TKI di luar negeri sering tidak terkontrol. Malahan ada yang menjurus ke sistem perbudakan. Pemotongan gaji TKI sampai enam bulan atau jerat utang, penipuan, pemalsuan dokumen oleh oknum PJTKI (pengerah jasa TKI), ancaman, dan intimidasi sering menimpa TKI.

Karena itu, sudah saatnya pemerintah membatasi pihak swasta dalam menempatkan TKI. Proses pemberangkatan yang berbelit-belit dan memerlukan biaya besar membuat TKI mudah terjerat calo, bahkan bekerja secara ilegal menggunakan para tekong.

Sistem penempatan TKI harus dipermudah. Menggunakan satu pintu. Tes kesehatan, tes psikologi, dokumen keimigrasian, asuransi, dan biaya-biaya lain harus dipermurah. Sebab, semua itu menjadi beban TKI. Justru pemerintah seharusnya memberikan subsidi kepada TKI, sehingga mereka bisa menikmati hasil jerih payahnya secara utuh.

*. Muhammad Iqbal, peneliti masalah TKI dan migrasi internasional; kini kandidat doktor di Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur

Jawa Pos [Jum'at, 17 Oktober 2008]

Ketika Pembantu Rumah Tangga Menjadi Keniscayaan

Oleh H. Ainur Roziq AR
Pengabdi di Departemen Agama Kab. Sidoarjo

"Dalam nuraninya, PRT tentu tidak ingin selamanya menjadi PRT. Mereka tentu ingin suatu saat bisa mencukupi kebutuhan keluarganya tidak dengan "membantu" orang lain. Karena itu, adalah perbuatan mulia jika kita turut membantu mewujudkan cita-citanya. Misalnya, memberi kesempatan PRT mengikuti kursus-kursus keterampilan."



Tak terbantahkan, dewasa ini pembantu rumah Tangga (PRT) menempati bagian penting dalam sebuah keluarga. Kebutuhan PRT dalam sebuah keluarga saat ini merupakan suatu keniscayaan, terlebih keluarga yang berdomisili di kota besar seperti Surabaya. Ada beberapa alasan mengapa PRT saat ini menjadi sebuah kebutuhan. Salah satunya, kebanyakan profesi warga metropolis adalah pekerja perkantoran yang menuntut mobilitas tinggi, sehingga waktu kesehariannya habis dipergunakan untuk menyelesaikan urusan bisnis atau perkerjaannya. Lain halnya dengan warga yang berdomisili di desa (kampung), yang mobilitasnya sedang-sedang saja. Warga kampong yang berprofesi petani bahkan berangkat pagi hari dan sudah siang siang harinya.

Para wanita (isteri) di Metropolis juga banyak yang bekerja di luar rumah, setidaknya punya usaha sendiri di rumah. Sehingga, pekerjaan yang berkaitan dengan kerumah-tanggaan seperti mencuci, memasak, menyapu, merapikan perabotan rumah, menyeterika, dan lain-lain sering tidak terselesaikan dengan baik. Biasanya, PRT merupakan jalan keluar untuk menyelesaikan pekerjaan kerumah-tanggaan tersebut. Keluarga yang dari sisi ekonomi mapan bahkan tak jarang enggan mengejakan pekerjaan yang berkaitan dengan dapur dan sumur.

Warga metropolis, sepertinya, memang amat bergantung PRT dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga. Itu terbukti saat Lebaran tiba. Tidak sedikit mereka yang memilih menginap di hotel beberapa hari karena ditinggal mudik PRT-nya. Mereka rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membayar sewa hotel beberapa hari. Padahal, PRT umumnya bergaji sekitar Rp 500 ribu per-bulan. Ironis.

Bagi warga kota yang belum punya PRT, hari-hari pasca-Lebaran seperti saat ini sering diisi kelayapan ke sana kemari untuk mencari PRT. Ada yang rela blusukan ke kampung-kampung, ada yang memasang iklan di koran, ada pula yang mengandalkan jasa penampungan PRT. Intinya, saat ini kehadiran PRT dalam sebuah keluarga metropolis adalah kebutuhan yang tidak bisa ditawar.

Reposisi PRT

Sejauh ini, masyarakat umumnya mendudukkan PRT sebagai warga dengan strata lebih rendah daripada mereka yang berprofesi lain. Pandangan seperti ini tentunya harus segera dihilangkan. Sebab, ini warisan kolonial. Pandangan itu akan berpengaruh pada perlakuan majikan terhadap PRT. Sang majikan akan berlaku seenaknya tanpa mempetimbangkan keterbatasan kemampuan yang dimiliki PRT. Si PRT dipaksa mengerjakan hal-hal di luar tugas dan "jam kerja"-nya.

Padahal, mereka juga manusia, yang perlu dihargai hak-hak kemanusiaannya dan dimaklumi batas-batas kemampuannya. Orang-orang yang memperlakukan PRT di luar kewajaran umumnya menganggap PRT sebagai manusia "kelas bawah" yang harus patuh dan tunduk kepada majikan. Apa pun perintah majikan tidak boleh ditolak. Ketika diperintah majikan, seorang PRT tidak boleh berkata "tidak". Pendek kata, berprofesi PRT siap melayani sang majikan 24 jam penuh.

Persepsi seperti itu tentu tidak manusiawi. Sebab, PRT juga manusia, bukan robot. Ia punya rasa capek, punya batas kemampuan, dan butuh istirahat. Sudah saatnya kita mengangkat derajat PRT, memperlakukan PRT secara wajar, menyuruhnya sesuai batas kemampuannya, dan tidak memandang rendah (under-estimate) PRT. Tuhan menciptakan manusia berderajat sama.

Pada galibnya, orang yang berprofesi sebagai PRT berasal dari kalangan ekonomi lemah dan berpendidikan rendah. Kedua faktor itulah yang menyebabkan seseorang tidak punya daya tawar/saing di "bursa kerja" yang semestinya dan memilih menjadi PRT. Meski demikian, dalam hati nurani PRT itu tentu tidak ingin selamanya menjadi PRT. Mereka tentu ingin suatu saat bisa mencukupi kebutuhan keluarganya tidak dengan "membantu" orang lain tapi dengan membuka usaha sendiri atau beralih ke profesi lain yang lebih "terhormat."

Karena itu, jika kita kebetulan punya PRT, adalah perbuatan mulia jika kita turut membantu mewujudkan cita-citanya. Untuk itu, sebaiknya PRT diberi kesempatan mengikuti kursus-kursus keterampilan seperti menjahit, mengobras, membordir, memotong rambut, membuat kue, dan sejenisnya. Bisa juga dengan memberikan kesempatan untuk sekolah di lembaga formal yang diminatinya. Dengan upaya semacam itu, wawasan dan pengetahuan PRT menjadi bertambah dan akhirnya dapat mengubah nasibnya menjadi lebih baik.

Saat ini pun, kian sulit menemukan PRT yang baik. Dengan semakin pesatnya perkembangan industrialisasi di kota-kota besar, tenaga kerja yang terserap juga semakin banyak. Banyak masyarakat pedesaan/kampung eksodus ke kota untuk menjadi karyawan pabrik/perusahaan. Sebagai konsekuensinya, mencari PRT saat ini menjadi lebih sulit daripada 10 tahun lalu. Orang-orang kampung/desa lebih memilih bekerja di pabrik daripada sebagai PRT.

Kondisi semacam ini sering dimanfaatkan oleh orang-orang yang berniat jahat dengan berpura-pura menjadi PRT tapi punya tujuan kejahatan. Sering kita baca di koran ada PRT kabur dari majikannya dengan menggondol barang-barang berharga milik majikan. Karena itu, kita harus hati-hati jika ingin menghadirkan PRT dalam rumah kita. Ada beberapa langkah agar kita terhindar dari niat jahat PRT.

Pertama, kita harus tahu secara jelas identitasnya, khususnya alamat yang bersangkutan. Jangan sampai kita punya PRT seperti membeli kucing dalam karung, tidak jelas asal-usulnya. Ini penting. Sengan begitu, kalau ada kejadian apa-apa (bukan hanya tindak kejahatan), kita bisa mengontak keluarganya atau melacak ke alamat yang bersangkutan.

Kedua, berusaha menyimpan barang-barang berharga di tempat yang amat rahasia, yang hanya keluarganya saja yang mengetahuinya. Hal ini dilakukan agar tidak memancing niat jahat dari PRT.

Ketiga, mengawasi secara ketat PRT minimal selama satu bulan. Dalam satu bulan tersebut kita harus menilai tentang moral dan akhlaknya. Jika moralnya baik maka pengawasannya bisa diperlonggar.

Keempat, tidak memberikan kepercayaan 100 persen kepada PRT dalam menyelesaikan tugas-tugas kerumahtanggaan sebelum dia diketahui merupakan orang yang benar-benar terjaga kepercayaannya.

Kelima, diusahakan tidak meninggalkan sendirian PRT di rumah dalam waktu yang lama. Kalau pergi ke luar kota sekeluarga diupayakan si PRT diajak serta, hal ini untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. (*)

Jawa Pos, [Senin, 13 Oktober 2008]