Tubuh Perempuan

Oleh: Margaretha Rumayar

SEORANG perempuan penyanyi dangdut dengan gaya ngebor-nya menjadi perhatian banyak orang. Inul, sang penyanyi itu, menimbulkan kehebohan pro dan kontra di masyarakat sehubungan gayanya ketika menyanyi.



Buat Inul, itu adalah haknya sebagai artis, atau sebut saja entertainer. Dia harus bisa menyajikan sesuatu yang dapat menghibur. Inul sama sekali tidak mencari sensasi berlebihan, kecuali menampilkan figurnya sebagai entertainer.

Selain Inul, ada hal menghebohkan lain yaitu beredarnya VCD beberapa artis, di antaranya Sarah Azhari, Femmy Permatasari dan Rachel Maryam yang sedang berganti pakaian di kamar mandi. Para artis tersebut mengetahui hal itu justru dari redaksi sebuah media massa.

Baru-baru ini ada kejadian menimpa kelompok vokal Moluccas. Tiga personilnya adalah perempuan. Semuanya berjalan lancar sampai salah seorang di antara mereka hamil dan harus keluar (atau dikeluarkan?) karena (dianggap) telah melanggar kontrak. Ketahuanlah ternyata kelompok ini menandatangani kontrak yang salah satu isinya menyatakan, selama kontrak mereka tidak boleh menikah.

Terlepas dari mereka adalah entertainer, artis, atau apa pun istilah dan sebutan yang mereka dapat, nyata sangat mereka mewakili gambaran kehidupan perempuan yang menjadi sosok penderita dan obyek eksploitasi.

Dalam hubungannya dengan tiga kasus di atas bolehlah dikatakan perempuan tidak punya otonomi atas dirinya sendiri, termasuk tubuhnya sendiri.

Ada budaya yang sangat melekat dalam budaya Indonesia yang meminggirkan perempuan, yaitu budaya patriarki atau budaya bapak atau budaya laki-laki yang menjadikan perempuan sebagai warga kelas dua, subordinat. Perempuan dalam dominasi laki-laki atau yang tua mendominasi yang muda. Posisi perempuan yang rentan dan sudah dipinggirkan makin terpinggir sehingga kehilangan otonomi atas dirinya.

Budaya, ideologi, norma, bukanlah turun dari langit (given), melainkan hasil ekspresi, karya, dan kreativitas manusia yang tersosialisasikan dari generasi ke generasi. Itulah warisan budaya yang secara bersamaan atau pada berikutnya melahirkan ketimpangan jender.

Menghasilkan kekerasan

Perempuan dalam masyarakat sekarang hanya dinilai dari tubuhnya. Upaya mengokohkan gambaran perempuan dari tubuhnya saja, menghasilakn banyak kekerasan terhadap perempuan. Pornografi, aborsi, pelecehan seksual, perkosaan, dan perdagangan perempuan, merupakan kekerasan terhadap perempuan dalam hubungannya dengan eksploitasi tubuh perempuan.

Teori politik tubuh mau melihat kekuasaan dan kontrol politik terhadap tubuh perempuan. Politik di sini diartikan dalam hubungan dan sebagai pengambil keputusan, jabatan, dan kekuasaan; relasi individu dengan negara dan masyarakat dengan negara. Kekerasan terhadap perempuan di daerah konflik, terutama daerah operasi militer sangat jelas mendukung teori ini. Perkosaan dan pelecehan seksual dijadikan alat intimidasi dan teror.

Politik tubuh sebenarnya mau mengembalikan esensi manusiawi perempuan dan menolak tindakan yang menjadikan perempuan sebagai obyek. Singkatnya, politik tubuh ingin mengembalikan kemanusiaan perempuan secara utuh, melihat berbagai unsur dalam relasi dengan obyektivitas seimbang.

Bila perempuan menjadi korban pemerkosaan, di sini tidak dilihat sebagai penyebab, tetapi melihat telah terjadi relasi personal tidak wajar dan berikutnya upaya advokasi terhadap perempuan korban. Hal ini bukan sesuatu yang baru, melainkan karena budaya patriarki ada di mana-mana, maka terkesan mengada-ada. Kalaupun menampakkan realitas yang tengah terjadi dan gambaran peta kekerasan terhadap perempuan di negeri ini, persoalan eksploitasi tubuh perempuan akan tersembunyi karena tampilnya isu baru.

Isu tabu misalnya, ketika berbicara tentang tubuh perempuan terkait erat dengan seksualitas yang dianggap sesuatu yang tidak pantas dibicarakan, apalagi perempuan yang membicarakannya. Kalaupun boleh, terbatas pada dinding perkawinan.

Tampaknya orang sulit mengartikan seksualitas itu sendiri. Pemahaman tradisional tentang seksualitas dikonseptualisasikan sebagai dorongan insting yang harus dipenuhi lewat aktivitas seksual. Seksualitas selalu dihubungkan dengan kegiatan seksual dalam fungsi reproduksi. Dalam konsep seperti inilah terjadi ketimpangan jender, di mana posisi perempuan dalam aktivitas seksual dipandang dari kemampuannya bereproduksi dan melahirkan konsep baru bahwa perempuan hanya berhak atas nilai kemanusiaannya sebagai perempuan bila ia mampu menjalankan fungsi sebagai mesin reproduksi.

Pemahaman seksualitas harus dilihat secara baru, yaitu merupakan cara merespons atau bereaksi terhadap suatu situasi dengan pikiran, ekspresi, dan kepribadian termasuk di dalamnya spiritualitas. Jadi ketika perempuan tereksploitasi secara seksual, maka sebenarnya yang terjadi tidak hanya apa yang tampak secara fisik dan psikis, tetapi merusak spiritualitas diri perempuan. Keutuhan hidup perempuan yang adalah identitas dirinya, pada saat bersamaan menjadi rusak bahkan hancur.

Politik seksual

Inul, Sarah Azhari, Femmy Permatasari, Rachel Maryam, dan trio Moluccas cuma sebagian kecil dari korban yang tidak menyadari mereka bukan hanya obyek dan korban eksploitasi, melainkan lebih dalam lagi mereka adalah korban politik seksual.

Kehidupan pribadi, yaitu seksualitas dan tubuh perempuan dipolitisir untuk kepentingan kekuasaan atau laki-laki. Politisasi dilakukan mulai dari ranah privat sampai publik. Mulai dari permainan peran dalam keluarga sampai kehidupan itu berjalan di wilayah publik seperti pendidikan.

Politik seksual itu sendiri merupakan penyembunyian fakta yang diaplikasikan dengan cara mengontrol individu lewat indoktrinasi dan tindak kekerasan baik yang terekam maupun tersembunyi. Politik seksual dan politik tubuh lahir dan tumbuh subur di negeri ini saat berhadapan dengan teologi agama-agama yang berkembang.

Masyarakat Indonesia yang menyerap paham teologi Barat dan Timur disuguhi sebuah fragmen berita penciptaan. Laki-laki diciptakan terlebih dahulu dan perempuan kemudian karena ia diciptakan dari rusuk laki-laki. Perempuan ada karena dan dari laki-laki. Namun, berita penciptaan dengan peran utama laki-laki tergantikan saat berita pelanggaran terhadap perintah Sang Pencipta. Pemeran utama diambil alih perempuan dalam kapasitas sebagai pendosa, pembuat masalah, ditambah lagi dengan beban yang dilemparkan laki-laki yang menganggap perempuan adalah penggoda, sumber dosa, dan malapetaka.

Berita penciptaan seperti ini diakomodasi dalam tafsiran dan ajaran teologi agama. Budaya yang di dalamnya ada tradisi, adat istiadat, tidak mampu menjadi filter masuknya hal baru tersebut. Padahal, banyak adat yang meninggikan perempuan dan sangat menghargai kehidupan dan kemanusiaan perempuan. Alhasil, perempuan dipandang sebagai makhluk sumber masalah dan tanpa disadari pula terbentuk persepsi misogini, membenci perempuan. Proses peminggiran perempuan dihubungkan dengan akibat dari yang dilakukan nenek moyangnya, Hawa, maka perempuan harus membayar semua itu dengan perendahan kemanusiaannya.

Sesuatu yang sangat ironis ternyata institusi religius yang oleh perempuan pemeluknya dianggap menjadi sarana penyampaian aktivitas ekspresi spiritual pun turut melegitimasi eksploitasi tubuh dan seksualitas perempuan. Lebih ironis lagi ternyata ketika berbicara tentang perdamaian, keteduhan hati, dan sebagainya institusi religius sangat pandai memberikan jawaban, tetapi ketika berhadapan dengan fakta realistis penindasan terhadap perempuan ia menjadi arogan dan cenderung tertutup.

Apa yang harus dilakukan dalam mengembalikan tubuh dan seksualitas perempuan pada pemiliknya, yaitu perempuan? Mencitrakan ulang perempuan dalam ajaran dan tafsiran teks kitab suci, bila memang institusi religius merupakan konteksnya. Entah hasilnya destruktif atau konstruktif tidak perlu dicurigai. Bukan persoalan dosa atau tidak dosa ketika membaca ulang kitab suci dengan mata baru yang obyektif dengan menampilkan metode dialektis. Toh otoritas yang menentukan dosa atau tidak dosa cuma Sang Pencipta.

Bukan tidak ada hubungannya ketika berbicara tentang otonomi perempuan atas dirinya tidak terkait dengan pengambil keputusan. Dalam banyak pertemuan yang dilakukan dalam hubungan dengan institusi religius, perempuan kurang mendapat tempat. Akibatnya penentu kebijakan adalah laki-laki, sementara kebijakan itu sendiri berpengaruh atas diri perempuan. Pengalaman laki-laki tentunya yang menjadi porsi utama dan perempuan kembali menjadi kaum marjinal.

Sementara itu, dalam konteks kehidupan sosial maka perlu dilakukan revolusi yang memudarkan tabu sosial dalam memandang seksualitas. Bukan persoalan mudah memang, perlu waktu lama karena konstruksi sosial yang tercermin dalam sistem dan mekanisme keseharian lewat perilaku dan penilaian makna hidup telah mendukung patriarki. Dalam hal ini perempuan adalah korban.

Perempuan punya hak dan otonomi terhadap dirinya dan tahu apa yang lebih baik bagi dirinya. Perempuan sebagai artis bukan sekadar korban, melainkan mereka adalah para survivor yang menjaga integritas dirinya sebagai manusia.

Margaretha Rumayar Sarjana teologi, penggiat dan peduli pada isu pluralisme dan kekerasan terhadap perempuan. []


Kompas, Senin, 5 Mei 2003

0 tanggapan: