Kuota Perempuan 30%, Jangan Cuma untuk Cari Suara

Hari Perempuan Sedunia 8 Maret


JAKARTA – Separo dari 6,1 miliar penduduk dunia adalah perempuan. Namun, berapa banyak perempuan yang terlibat dalam pengambilan keputusan panggung politik maupun kehidupan ekonomi?



Di seluruh dunia, perempuan padahal melakukan sebagian terbesar pekerjaan (mulai dari membereskan rumah, merawat anak-anak dan orang tua, tak jarang mencari penghasilan). Malangnya, ketika laki-laki menghabiskan waktu untuk pekerjaan yang dibayar, hanya 1/3 pekerjaan yang dilakukan perempuan yang dibayar. Jadi, kalau tanggal 8 Maret seluruh perempuan di dunia memperingati Hari Perempuan Internasional atau yang lebih dikenal dengan Women Day, itu berbeda dengan Hari Ibu yang selama ini kita kenal.

Menurut sejarahnya, 8 Maret dijadikan Hari Perempuan karena pada 8 Maret 1917, untuk pertama kalinya perempuan di Rusia diberikan hak suaranya oleh pemerintah negara tersebut.
”Sangat salah jika Women Day diartikan sama dengan Hari Ibu. Women Day bukan merupakan peringatan bagi ibu-ibu yang berperan di sektor domestik, tapi merupakan peringatan bagi kaum perempuan di seluruh dunia,” kata Deputi II Bidang Kesetaraan Gender Kantor Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan, Yusuf Supiandi.

Berkaitan dengan itu, Wowen Day tahun 2003 mengedepankan empat agenda yang diperjuangkan oleh kaum perempuan di dunia.

Pertama masalah keadilan terhadap perempuan. Kedua penegakan dan keadilan hukum. Ketiga persamaan perempuan dan laki-laki, dan keempat perempuan dalam politik.
Agenda keempat itu agak relevan pada saat ini buat kita karena pada UU Pemilihan Umum yang baru disahkan pekan lalu di DPR menyetujui kuota 30% untuk perempuan di legislatif.
Fenomena itu cukup untuk menggambarkan bahwa kaum perempuan memang besar dalam kuantitas dan bebannya, namun tak punya cukup suara untuk memperjuangkan kepentingannya.
Lihat saja Human Development Report (HDR) UNDP tahun 2002, hanya 14,7 persen andil perempuan dalam pengambilan keputusan di seantero dunia. Bahkan di Indonesia hanya 8 persen perempuan yang duduk di parlemen dan 5,9 persen saja yang berhasil mencapai kursi menteri.

Itu artinya berbagai keputusan yang menyangkut hajat hidup dunia dibuat oleh para laki-laki yang menguasai lebih dari 90 persen posisi penting. Artinya, berbagai keputusan penting sangat boleh jadi mengabaikan kepentingan separo warga dunia yang berjenis kelamin perempuan.

Kekerasan Rumah Tangga

Sebagai contoh konkret, tengok saja perlindungan perempuan terhadap kekerasan dalam rumah tangga. Karena kaum laki-laki dominan sebagai pelaku kekerasan, para laki-laki pengambil keputusan politik tidak bersedia membicarakannya. Ada tren peningkatan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia, dari tahun ke tahun.

Menurut Yusuf Supiandi, faktor pemicu kekerasan terhadap perempuan di Indonesia salah satunya adalah masih didominasi oleh struktur budaya yang kuat, di mana dalam struktur budaya tersebut laki-laki diberikan kekuasaan.

Karena itulah diharapkan Rancangan Undang-Undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU KDRT) yang juga merupakan sumbangsih dari sejumlah LSM perempuan bisa segera disahkan DPR untuk kemudian diundangkan pada tahun ini.

Sejumlah upaya untuk mengatasi kekerasan terhadap perempuan sudah dilakukan, seperti membuka ruang pelayanan khusus (RPK) perempuan bekerja sama dengan Polri.
Saat ini sudah ada 177 RPK baik yang ada di Polda maupun di Polres. Selain itu didirikan pula crisis center baik secara hospital base seperti yang terdapat di RS Cipto Mangunkusumo, RSAL Mintoharjo, dan RS Polri Kramat Jati, maupun community base yang dikelola oleh LSM perempuan seperti yang ada di Yogyakarta.

Juga ada Surat Keputusan Bersama Meneg PP, Menteri Kesehatan, Polri, Menteri Kehakiman dan HAM dan Menteri Sosial untuk melakukan tindakan-tindakan guna mengurangi, melindungi korban kekerasan terhadap perempuan sesuai dengan bidang masing-masing. Hal ini juga merupakan salah satu tindakan guna mendorong berdirinya pusat-pusat krisis di rumah sakit.

Namun meski begitu, diyakini kekerasan terhadap perempuan itu bermuasal pada struktur dasar yang timpang tadi, yakni perempuan besar dalam jumlah namun kecil dalam suara. Maka pemberdayaan perempuan di masa depan adalah bagaimana membuat kaum Hawa mengambil bagian dalam proses-proses pengambilan keputusan pada segala tingkatan.

”Affirmative Actions”

Ibarat sebuah perlombaan marathon, kaum Adam telah berlari sejak awal karena sejarah yang patriarkal. Mungkinkah perempuan menyusul dengan jarak yang sedemikian timpang tadi?
Jelas ini bukan hal alami yang merupakan sebuah keniscayaan. Perempuan sulit menyusul karena beban pekerjaan domestik bahkan publik (double burden) yang ditanggungnya, aspek sosial budaya yang mengungkung perannya, di samping ketertinggalan dalam hal pendidikan dan kesempatan.

Untuk mengatasi hal itu memang perlu tindakan sementara (affirmative actions) yang lebih dikenal dengan kuota perempuan. Tujuanya untuk mengoreksi rendahnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan hajat hidup dunia. Sehingga, jika 50 persen penduduk dunia adalah perempuan, maka angka 30 persen merupakan angka minimal sebagai critical mass yang diperlukan untuk menjamin kepentingan perempuan.

Dicantumkannya kuota 30 persen bagi perempuan untuk menjadi calon di parlemen segera disikapi partai politik dengan berlomba-lomba membentuk atau mengaktifkan kembali departemen perempuan dalam partainya. Kesatuan Perempuan Partai Golkar Bali misalnya, baru dibentuk beberapa waktu lalu dan langsung memulai kiprahnya dengan melakukan kegiatan karitatif yang diharapkan dapat mengundang simpati masyarakat.

Ketua Umum Kesatuan Perempuan Partai Golkar Bali, AA Sagung Anie Asmoro, mengatakan, wadah ini dibentuk untuk meningkatkan peranan perempuan di bidang politik dan kemasyarakatan. Tradisi ‘sayap perempuan’ dalam Nahdlatul Ulama (NU) tampak menjiwai Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Kalau NU memiliki Fatayat, maka ada Perempuan PKB (PPKB).

Asal tahu saja, Ketua PPKB adalah Khofifah Indar Parawangsa yang pada zaman Presiden Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan (Menneg) PP. Dengan menjadi ketua ‘sayap perempuan’ Khofifah menjadi salah satu ketua dalam Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PKB.

Sementara itu, selang beberapa hari pengesahan Undang-undang Pemilu yang meloloskan soal kuota perempuan, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta langsung membentuk Departemen Wanita dan Sosial pada tanggal 20 Februari 2003.

”Tentu kita tidak ingin belas kasihan untuk duduknya kita di legislatif. Tentunya prestasi ibu-ibu yang mendudukkan. Kita tunjukkan kemauan dan kemampuan, jangan karena belas kasihan,” ajak Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PDIP DKI Jakarta, Sumiati Sukarno, ketika melantik Departemen Wanita dan Sosial di Kebagusan Jakarta, Selasa (4/3) lalu.

Potensi perempuan untuk diajukan partai politik peserta Pemilu sebagai calon anggota legislatif sebetulnya sangat banyak tersedia, tetapi selama ini tidak ada keinginan dari parpol untuk menggunakan akses tersebut.Klausul yang menyetujui agar ada kuota 30 persen bagi calon anggota legislatif perempuan merupakan kemajuan politik yang cukup radikal dalam kondisi bangsa Indonesia saat ini.

Hak Warga Negara

Dalam UU Pemilu pasal 65 ayat (1) yang berbunyi Setiap partai politik peserta Pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR,DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/kota untuk setiap daerah pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.
Kata-kata ‘dapat’ dalam Undang-undang Pemilu tidak perlu disikapi dengan pesimis. Kata tersebut mengacu pada DPR pusat, provinsi atau kabupaten/kota. Partai politik bisa saja hanya memenuhi kuota tersebut untuk legislatif di tingkat pusat.

Konsekuensi dengan diterimanya kuota 30 persen bagi perempuan untuk dapat dicalonkan sebagai anggota parlemen mempunyai konsekuensi partai mempunyai kewajiban untuk menyediakan alokasi dana untuk pendidikan politik bagi perempuan yang akan menjadi kadernya. Penguatan perempuan tidak hanya dilakukan oleh LSM tetapi paling pokok justru berada di pundak partai.

Sementara itu Jaringan Perempuan dan Politik (JPP) yang terdiri sejumlah LSM menegaskan meskipun pasal ini tidak mengikat partai politik karena tidak ada sanksinya, tetapi dapat dijadikan pegangan dalam mengukur kesungguhan partai dalam meningkatkan dan merekrut lebih banyak perempuan dalam daftar calon tetap partai.

Kuota ini menurut JPP bukan merupakan hadiah gratis atau minta belas kasihan. ”Ini hak warga negara yang perlu ditegakkan. Kuota ini merupakan koreksi dan kompensasi dari perlakukan diskriminatif terhadap perempuan yang berkibat tidak tercapainya de facto equality antara laki-laki dan perempuan. Padahal hak ini dijamin dalam undang-undang,” ujar Titi Sumbung, Koordinator Kelompok Kerja JPP.

Dalam hitung-hitungan matematis, dari 550 kursi di DPR, sekurang-kurangnya 165 orang nantinya perempuan calon anggota legislatif. ”Kendalanya bukan pada sumber daya perempuan, tetapi terletak pada nilai-nilai budaya patriarki dan kendala struktural. Antara lain masih berlakunya larangan berpolitik bagi PNS serta belum demokratisnya sistem perekrutan dalam parpol.

JPP mempunyai gagasan pertama, mengintensifkan pendidikan politik bagi perempuan (human capacity) di semua tingkatan hingga akar rumput. Kedua, mendesakkan parpol untuk melaksanakan pasal 65 ayat (1) tersebut dalam daftar calon tetap partai dan mengembangkan sistem rekruitmen yang menjamin keterwakilan perempuan. ”Antara lain dengan melakukan kaderisasi perempuan dalam partai, mencantumkan kriteria seleksi caleg secara transparan dengan metode zigzag atau selang-seling,” ujar Titi.

Ia juga mengatakan, agar perekrutan perempuan anggota parpol sebagai caleg jadi, tanpa melalui penjenjangan dalam partai. Bila dipandang perlu dapat merekrut calon dari luar partai.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan Tuti Suntoro menegaskan agar bagi perempuan Indonesia memilih parpol yang sesuai dengan perjuangan kaum perempuan. Tuti menjelaskan, prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang diperjuangkan oleh kaum perempuan adalah perwujudan perdamaian, pembebasan utang, pemberantasan korupsi, penegakan hak asasi, penghapusan semua bentuk diskriminasi dan pengembalian kedaulatan rakyat.

”Menentukan pilihan di dalam Pemilu 2004 tidak hanya atas dasar daftar calon perempuan yang diajukan oleh setiap partai, tapi juga harus mempertimbangkan ada tidaknya program partai yang sesuai dengan prinsip, nilai-nilai dan aspirasi kehidupan bersama yang diperjuangkan kaum perempuan,” kata Tuti, yang didampingi Ketua Solidaritas Perempuan Angin Mamiri, Utji Diana Daud, dan Ketua Solidaritas Buruh Migran Indonesia Jatim, Misbah.

Tuti mengkhawatirkan klausul ini hanya akan membuka peluang bagi partai-partai untuk menempatkan perempuan hanya sebagai pengumpul suara. (SH/emmy kuswandari/mega christina/stevani elisabeth)

Persentase Perempuan Asia dalam Pengambilan Keputusan

Negara Total Kursi di Parlemen Tingkat Menteri
China 21,8% n.a
Kamboja 9,3% 7,1%
Korea Selatan 5,9% 6,5%
Indonesia 8,0% 5,9%
Jepang 10,0% 5,7%
Laos 21,2% 10,2%
Malaysia 14,5% n.a
Filipina 17,2% n.a
Singapura 11,8% 5,7%
Thailand 9,6% 5,7% Vietnam 26,0% n.a

Sumber: HDR UNDP 2002 []

Dikopi dari Sinar Harapan

Copyright © Sinar Harapan 2003

0 tanggapan: