Haruskah Indonesia menggunakan Tenaga Nuklir?

Gary Dean

Keinginan Indonesia untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) menimbulkan kegelisahan di seluruh kawasan Asia Tenggara dan Australia. Pemerintah Indonesia sudah memesan beberapa studi kelayakan untuk pembangunan PLTN berkapasitas 1.800 MW yang mungkin akan dibangun di desa Ujungwatu di Semenanjung Muria. Menurut laporan Kompas 31 Januari 1996, Pembangunan PLTN di sana akan dimulai tahun 1998 dan diharapkan mulai berproduksi tahun 2003.


Kepulauan Indonesia — terutama pulau Jawa — dikenal mempunyai ketidakmantapan geotektonik. Oleh karena ini banyak orang di negara-negara tetangga Indonesia prihatin akan akibat-akibat yang mungkin timbul kalau ada kecelakaan yang disebabkan oleh gempa bumi atau letusan gunung berapi.

Kecelakaan PLTN Chernobyl beberapa tahun lalu membuktikan bahwa debu radioaktip dari suatu kecelakaan PLTN bisa menyebar hingga beribu-ribu kilometer jauhnya dari tempat kecelakaan. Beribu-ribu orang meninggal dunia akibat kecelakaan itu, dan berjuta-juta orang lainnya menderita karena lingkungan hidup mereka dicemari debu radioaktip.

Pulau Jawa sendiri adalah salah satu tempat yang terpadat penduduknya di dunia. Debu radioaktip dari suatu kecelakaan PLTN di Jawa, selain merusak lingkungan setempat, pasti akan mempengaruhi setiap tetangganya: Australia, Singapura, Malaysia, Brunei, Muang Thai, Papua Nugini, Pilipina, Vietnam dan Kamboja. Tergantung arah angin pada waktu kecelakaannya sebuah awan radioaktip mungkin bisa menyebar sejauh Selandia Baru!

Dalam kasus Australia, akibat ekonomi dari kecelakaan PLTN akan merupakan bencana besar untuk seluruh wilayahnya. Lebih dari 15% pendapatan ekspor Australia diperoleh dari produksi pertanian. Nama baik Australia sebagai leveransir makanan yang sehat dan besih dengan segera akan dirusakkan dan tidak dapat diperbaiki. Akibatnya ketegangan akan mucul dalam hubungan Australia dan Indonesia.

Apakah Menteri Negara Riset dan Teknologi BJ Habibie sudah bulat tekad dengan proyek ini? Sampai sekarang dia masih mengeluarkan beberapa pernyataan yang melukiskan kebimbangannya akan proyek ini.

Walaupun kami sadar bahwa keputusan itu adalah hak otonomi pemerintah Indonesia, sebagai seorang warga Australia, saya yakin bahwa sebagian besar penduduk Australia sungguh-sungguh berharap bahwa pada akhirnya kesadaran atas besarnya resiko PLTN, yang tidak mengenal batas negara, akan menjadi cukup kuat untuk membatalkan rencana proyek PLTN ini.

Indonesia mempunyai sangat banyak sumber tenaga yang belum dikembangkan, tetapi sayang sekali bahwa sedikit pikiran saja diberikan ke cara-cara alternatif untuk menghasilkan tenaga listrik. Misalnya di Indonesia tenaga listik bisa dibangkitkan dari panas bumi, atau tenaga geotermis. Bertahun-tahun Pembangkit Listrik Tenaga Geotermis dijalankan di Alaska dan Selandia Baru dengan memakai teknologi yang tidak membahayakan kehidupan manusia atau lingkungkan alam kita.

Indonesia juga mempunyai cadangan gas alam besar sekali yang bisa dipergunakan untuk menghasilkan tenaga listrik. Gas alam merupakan bahan bakar yang jauh lebih bersih dibandingkan minyak bumi atau batu bara, dan menghasilkan jauh lebih seditkit polutan udara.

Teknologi yang dipakai untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas Alam sudah lama didirikan, agak murah, dan aman dipakai. Selain itu masih banyak sumber tenaga lain seperti air, angin dan sinar matahari.

Kita harap debat umum di Indonesia tentang usul PLTN di Muria akan memberi lebih banyak perhatian ke alternatif-alternatif pembangkit listrik tenaga nuklir. Juga kita harapkan bahwa pemerintah Indonesia, dalam mengambil keputusan tentang PLTN, akan memperhatikan keprihatinan banyak orang, baik tentang linkungan alam maupun keberatan tetangga-tetangga dan sekutu-sekutu Indonesia. []

Gary Dean, Nopember 1996

Sumber: Gary Dean

Novelis Ratna Indraswari Kena Stroke

MALANG - Novelis Kota Malang Ratna Indraswari Ibrahim sejak Rabu (2/12) lalu tergolek lemah di RSSA Malang. Wanita kelahiran Malang 24 April 1949 itu terkena serangan stroke. Hasil CT-scan menunjukkan pembuluh darah di atas otak pecah. Diprediksi, pemecahan pembuluh darah ini akibat penyempitan otak karena faktor usia.

Saat Radar menjenguknya di Pavilliun RSSA ruang Bougenville kamar 206, wanita yang konsisten melajang itu tampak sedang tidur. Beberapa aktivis dan penggemar sastra Kota Malang kemarin tampak menjenguk wanita yang telah melahirkan hampir 100 karya novel itu. Bahkan istri Wali Kota Malang Heri Pudji Utami Peni Suparto secara khusus datang menjenguk. Heri datang sekitar pukul 13.00 ditemani sang ajudan. Sedangkan kerabat dekat Ratna, yakni adik-adik dan kakak-kakaknya belum tampak karena terhalang jadwal pesawat.

Ruhadi Rarundra, kerabat yang selama ini merawat Ratna, mengungkapkan sebelumnya tidak ada tanda-tanda bahwa novelis yang menderita kelumpuhan sejak usia 11 tahun itu bakal terkena stroke. Meski selama ini sering sesak nafas, namun Ratna tidak pernah dirawat di rumah sakit. Hanya saja, pada Selasa (1/12) lalu Ratna terserang flu.

Lalu Rabu pagi merasa kedinginan dan sedikit pusing. Itu terjadi sekitar pukul 09.00. Dan tiba-tiba saja tangan kanan Ratna mengalami tremor atau kejang. ''Saya begitu khawatir dan langsung saya lari ke RSSA sambil mendorong kursi roda. Saat itu tremor pada tangan Mbak Ratna sudah tak terkendali," kata laki-laki yang akrab disapa Siro itu.

Untungnya, jarak rumah Ratna di kawasan Jl Diponegoro 3 tak jauh dari RSSA. ''Mau naik taksi saya pikir terlalu lama. Karena butuh naik dan turun. Maka saya putuskan untuk lari saja," tambah dia.

Begitu tiba di RSSA, Siro mengaku masih menggunakan Jamkesda. Namun karena Jamkesda khusus untuk pasien kelas III, maka langsung diputus dan pindah ke Pavilliun. ''Mbak Ratna sempat dirawat di unit stroke. Baru pindah ke kamar 26 pagi tadi (kemarin pagi)," bebernya.

Hingga kemarin siang, belum ada tanda-tanda kondisi Ratna pulih. Namun, menurut Siro, perdarahan akibat pecahnya pembuluh darah itu akan diserap dengan obat. Jika tak memungkinkan dengan obat, maka alternatif terakhir adalah operasi pembedahan. ''Kata dokter yang merawat begitu. Jadi kami tetap menunggu perkembangan selanjutnya," tandas Siro. (nen/war)


jawa Pos Radar Malang, Jum'at, 04 Desember 2009

detikcom : Apriana Chrisnawati Siap 24 Jam untuk TKI di Hong Kong

title : Apriana Chrisnawati Siap 24 Jam untuk TKI di Hong Kong
summary : Tanyakan tentang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Hong Kong pada Apriana Chrisnawati. Maka dengan sangat detail dan bersemangat gadis berkacamata ini akan menjawabnya. (read more)

detikcom : Kejaksaan Negeri Kediri Sarankan KUHP Direvisi

title : Kejaksaan Negeri Kediri Sarankan KUHP Direvisi
summary : Kasus pencurian satu buah semangka dengan ancaman hukuman 5 tahun penjara, tidak hanya mendapatkan kecaman dari masyarakat. Kejaksaan Negeri Kediri pun turut bersuara. Mereka mengusulkan agar KUHP direvisi. (read more)

detikcom : Sempat Bayar Rp 1 Juta, Basar Tetap Tidak Dibebaskan

title : Sempat Bayar Rp 1 Juta, Basar Tetap Tidak Dibebaskan
summary : Kemalangan Basar (40), salah seorang terdakwa kasus pencurian satu buah semangka tidak sebatas penganiyaan. Keluarganya juga mengaku menjadi korban penipuan oleh oknum anggota kepolisian, dengan dalih uang damai. (read more)

detikcom : Penahanan Manisih dan 2 Anaknya Akhirnya Ditangguhkan

title : Penahanan Manisih dan 2 Anaknya Akhirnya Ditangguhkan
summary : Nasib baik akhirnya hinggap pada Manisih dan dua anaknya. Setelah sekian lama ditahan karena dituding mencuri 12 kg buah randu, mereka akhirnya bisa pulang ke rumah. Penahanan Minasih sekeluarga ditangguhkan. (read more)

detikcom : Pencuri Satu Semangka Sempat Mengalami Penganiayaan

title : Pencuri Satu Semangka Sempat Mengalami Penganiayaan
summary : Kemalangan yang dialami Basar (40) dan Kholil (51), terdakwa kasus pencurian 1 semangka tidak sebatas pada ketidakadilan hukum. Sebelum akhirnya diajukan ke meja hijau, keduanya sempat mengalami penganiyaan. (read more)

200 TKI Ditambahi Tugas Jadi Duta Wisata

Rabu, 25 November 2009 | 11:20 WIB
MATARAM, KOMPAS.com - Menakertrans Muhaimin Iskandar melepas 200 TKI asal Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai duta wisata ke Malaysia. Pelepasan calon TKI sekaligus sebagai duta wisata tersebut dirangkaikan dengan pembukaan beberapa kegiatan Gerakan Penanggulangan Pengangguran (GPP) di Mataram yang dihadiri Gubernur NTB KH.M. Zainul Majdi di Mataram, Rabu.


Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi NTB M. Agus Patri para TKI akan bekerja di Malasia selama dua tahun sekaligus sebagai duta wisata untuk melakukan promosi pariwisata. Untuk 2009 terdapat sekitar 30 TKI yang diberangkatkan ke Malaysia untuk bekerja baik di perkebunan kelapa sawit, sopir maupun pertukangan dan mereka rata-rata berhasil.

"Minat masyarakat NTB untuk bekerja ke luar negeri cukup tinggi sehingga NTB menjadi daerah terbesar kedua setelah Jawa Timur dalam pengiriman TKI ke berbagai negara terutama Malaysia," katanya.

Sementara itu, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata NTB Drs Lalu Gita Ariadi mengatakan para tersebut TKI menjadi duta wisata bukan berarti hanya bekerja mempromosikan NTB selama berada di luar negeri.

Menurut dia, duta wisata ialah selama berada di luar negeri, para TKI tersebut dapat bercerita kepada siapa saja terutama penduduk setempat tentang NTB yang dengan berbagai obyek wisata. Selain itu, selama berada di luar negeri, TKI harus memberi contoh dengan bertingkah laku baik, rajin, dan jujur dalam bekerja serta tidak membuat onar sehingga banyak wisatawan akan berkunjung ke NTB.

Selama 2009 NTB menargetkan kunjungan sekitar 400.000 wisatawan, sementara sejuta kunjungan wisatawan ditargetkan pada 2012. Ia mengatakan target tersebut pasti akan tercapai karena NTB berada pada segi tiga emas yakni sebelah barat Pulau Bali, sebelah timur Pulau Komodo, NTT dan sebelah selatan Tana Toraja, Sulawesi Selatan.[]

detikcom : Nenek Rastuti Menangis Jika Ingat Nasib Anak dan 2 Cucunya

title : Nenek Rastuti Menangis Jika Ingat Nasib Anak dan 2 Cucunya
summary : Pasrah. Begitulah sikap Rastuti (60), ibu dari Manisih (45), mengenai nasib anak dan cucunya yang ditahan gara-gara memungut buah randu di perkebunan milik PT Segayung. Wanita renta ini tak tahu apa yang mesti dilakukan agar orang-orang yang disayangi itu bebas. (read more)

Dewan Kesenian Keluar Jalur Sejarah

Autar Abdilah

Membaca Ngaji Kesenian di Surya (1/4), memberi kesan Dewan Kesenian (DK) seolah-olah menjadi alat politik dan (kekuasaan) birokrasi. Kedua, DK menjadi rebutan kalangan seniman. Ketiga, DK menjadi tumpuan aktivitas seni masyarakat. Kajian ini seperti mengulang kembali perdebatan tentang Dewan Kesenian Surabaya pada Agustus 2004.


Hingga kini, tidak ditemukan DK yang menjadi alat politik dan (kekuasaan) birokrasi. Yang terjadi adalah angan-angan seseorang untuk menjadikan DK sebagai alat untuk mendekatkan diri pada eksponen politik dan birokrasi. Melalui angan-angan itu, seseorang juga berharap mendapatkan kue politik yang dibayangkan akan turut serta jatuh kepadanya sebagai pengurus DK. Sedangkan masyarakat memiliki harapan, melalui DK mereka akan berkesempatan tumbuh lebih sehat dan tentunya juga tambahan rezeki.

Faktanya, sebagian besar DK hanya menjadi pelengkap kekuasaan birokrasi untuk menjaga performanya, agar disebut turut menjaga kelangsungan kesenian maupun kebudayaan. Bisa pula DK sebagai mata anggaran khusus bagi beberapa pejabat daerah yang ikut terlibat di dalamnya. Dengan alasan demikian, maka mereka ingin orang-orang atau seniman tertentu yang mereka kenal menjadi pengurus DK. Indikasi ini lebih kuat dibandingkan dengan seniman yang berebut SK (surat keputusan) pengukuhan DK. Jadi, logika yang dibangun dalam empat tulisan Ngaji Kesenian itu terbalik atau salah arah.

Kasus yang dialami seniman Jember adalah permainan dan ketidaktahuan birokrasi di Jember tentang DK. Saya pernah bersitegang dengan Samsul Hadi Siswoyo -yang pada waktu itu menobatkan dirinya sebagai ketua DK, ketika saya menjadi salah seorang tim sosialisasi DK se-Jawa Timur. Semula saya mengira Samsul hadir sebagai kepala daerah yang ingin mengetahui pembentukan DK. Samsul menyatakan bahwa dirinya dikehendaki seniman. Sementara, kebanyakan seniman, termasuk Gatot dan Faturrahman tidak dapat berbuat apa-apa. Samsul seharusnya berposisi sebagai penerima masukan dari seniman dan budayawan.

Sejarah Panjang
DK lahir melalui sejarah panjang dengan berbagai tafsir dan cara memperlakukannya. Setidaknya, terdapat tiga periode tafsir terhadap DK.

Pertama, periode awal berdirinya di Jakarta yang melibatkan (seperti yang disebutkan Bisri Effendy), Ali Sadikin, Salim Said, dan Goenawan Mohammad. Pada periode ini, DK menjadi salah satu benteng pertahanan pemerintah untuk menangkal kaum sosialis-komunis.
Lebih jauh dan lebih penting, DK menjadi pusat komunikasi antar seniman. Pusat komunikasi ini berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan seniman. Selanjutnya, didirikan pula Pusat Kesenian Jakarta-Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM) sebagai wadah penampilan karya-karya seni para seniman.

Pada masa-masa sebelumnya (tahun 1960-an), lembaga pendidikan seni sudah terlebih dulu berdiri, terutama di Jogjakarta dan Surakarta berupa konservatori yang akhirnya berbentuk akademi. Sejak akhir 1980-an, lembaga seni ini berkembang menjadi Institut Seni, selanjutnya berkembang di Solo, Bandung, Denpasar, hingga Padang Panjang (Sumatera Barat), dan menjadi lembaga pendidikan seni negeri di bawah Depdiknas.

Hubungan antara seniman dan lembaga pendidikan seni ini berjalan sinergis. Artinya, para empu seni pada masa itu diberi kesempatan mengajar. Namun demikian, sebagian empu yang turut membidani kelahiran DK berubah menjadi pemberi legitimasi kesenimanan. Maka, jadilah PKJ-TIM dan Dewan Kesenian Jakarta tempat pembabtisan bagi para seniman. Hal ini kemudian berimbas pada seniman di luar Jakarta.

Periode kedua, memunculkan pemikiran moderat dari Umar Kayam. Dalam periode ini, DK berperan sebagai perantara yang bonafide (meminjam istilah Umar Kayam) untuk mempertemukan para maecenas kepada seniman dan seni. DK menjelaskan dan mengingatkan para maecenas dalam memandang kesenian di tengah cairnya proses migrasi-kebudayaan. Proses itu telah menumbuhkan embrio kapitalisasi dalam kesenian, sehingga proses ideologis bertarung ketat dengan proses sosial dan ekonomi (Umar Kayam: 1981).

Dalam dua periode ini (awal 1970-an hingga 80-an), pemerintah terlibat dalam pemberian SK pengangkatan pengurus DK. Hal ini dilakukan semata-mata guna melindungi kepentingan pemerintah. Dalam aspek seninya, pemerintah tidak ikut campur. Semuanya diserahkan pada seniman. Hubungan seniman dan pemerintah pun cukup harmonis karena banyak kepala daerah memiliki kepedulian. Kepedulian tersebut terutama dalam membendung arus modernisasi. Memasuki 1990-an, kondisi sosial politik mulai berubah. Demokratisasi semakin kuat dikumandangkan.

Pada periode 1990-an yang berujung pada reformasi 1998 cukup menentukan bagi DK. Periode tafsir ketiga ini diawali oleh kesediaan Rudini sebagai Mendagri yang mengeluarkan berbagai instruksi dan SK. Di antaranya disebutkan bahwa DK berperan sebagai pemikir dan konseptor kebijakan pemberdayaan pengembangan seni dan budaya.

DK juga dikukuhkan oleh kepala daerah melalui SK. Perlu diingat bahwa peran pemerintah hanya mengukuhkan dan membiayai pelaksanaan program DK melalui APBD. Bersamaan dengan itu, Salim Said menyosialisasikan berdirinya DK di tingkat provinsi. Salim Said menemui sejumlah gubernur. Kemudian lahirlah kepengurusan Dewan Kesenian Jawa Timur (1998), diikuti oleh sejumlah daerah.

Langkah pelaksanaan peran DK adalah melalui peningkatan aktivitas dan kualitas kesenian, peningkatan apresiasi seni masyarakat, peningkatan kesejahteraan seniman, peningkatan kesadaran terhadap pemberdayaan seni dan seniman menuju peningkatan produktivitas kinerja kesenian (SK Mendagri tentang Petunjuk Pelaksanaan Inmendagri 5 A/1993). Selanjutnya masing-masing daerah dipersilakan menafsirkan sesuai karakteristik daerah.

Dewan Kesenian dan Pemerintah
Keterlibatan pemerintah sempat memunculkan kekhawatiran terhadap independensi DK. Kekhawatiran ini bisa dipahami karena pembiayaan DK dilimpahkan kepada daerah yang disetujui oleh kepala daerah setempat. Di samping itu, DK bukan lembaga yang mengontrol atau mengawasi kebijakan pemerintah tentang kesenian dan kebudayaan, tetapi memberikan masukan pada pemerintah melalui kepala daerah setempat.
Jadi, kekisruhan -bila hendak disebutkan demikian- muncul karena ketidaktahuan seniman sekarang terhadap makna historis berdirinya DK di hampir seluruh daerah di Indonesia sehingga memunculkan berbagai interpretasi terhadap keberadaannya. SK kepala daerah bukan sebagai surat sakti tetapi sebagai kontrak kerja dalam memberikan masukan pada pemerintah melalui kepala daerah setempat, di antaranya tentang bagaimana membangun seni dan budaya ditumbuh-kembangkan berdasarkan karakteristik seni di daerah tersebut.

Memperkuat relasi DK dengan pemerintah, sekaligus mempertegas debirokratisasi DK hanya dapat dilakukan melalui dialog yang intensif. Pemda setempat tidak memperlakukan DK seperti mereka memperlakukan partai politik. DK merupakan mitra kerja pemerintah. Untuk itu, para senimannya juga tidak perlu berebut SK (Surat Keputusan pengukuhan DK).

Berkesenian tidak bergantung pada SK pemda. Yang perlu diperjuangkan adalah bagaimana pemda memiliki komitmen terhadap pengembangan kesenian di daerah dengan atau tanpa DK. Bila tidak bersedia, maka hak seniman sebagai anggota masyarakat untuk memberikan pernyataan menarik dukungan politiknya pada kepala daerah tersebut.

Faturrahman misalnya, lebih baik menyatakan menarik dukungan politik terhadap bupati Jember, ketimbang terlibat dalam mempersekutukan DK dalam tarik-menarik politik dan kekuasaan birokrasi jika memang bupati Jember tidak kondusif bagi tatanan berkesenian dan berkebudayaan di Jember. Hal yang sama bisa dilakukan seluruh DK. Dengan demikian, DK kembali memasuki jalur sejarahnya.

Autar Abdilah
Sekjen Dewan Kesenian Surabaya 2004-2007

Tulisan ini diterbitkan atas kerjasama Harian Surya, Yayasan Desantara, dan Tantular Institute

Sumber: SURYA, Selasa, 24 November 2009

detikcom : Gara-gara Sebuah Semangka, Kholil dan Basar Terancam di Penjara

title : Gara-gara Sebuah Semangka, Kholil dan Basar Terancam di Penjara
summary : Kasus Nenek Minah yang dihukum gara-gara mencuri 3 kakao terjadi di Kediri. Kholil (51) dan Basar (40) menjadi pesakitan karena mencuri 1 buah semangka dan diancam lima tahun penjara. (read more)

Tidur Berpayung Langit di Rumah Majikan

Mega Vristian

Ulah majikan yang tidak baik memang aneh-aneh saja, seperti yang dialami Suparm Binti Supardi Marto (39) ,BMI asal Kedungdowo, Solo. Ranjang tidurnya kasur tipis yang di letakkan di teras rumah majikan, tempat menjemur baju, asik memang jika dibayangkan bisa memandang langit luas yang kadang berbulan atau berbintang, tapi jika hujan turun dan badai tanpa ampun menghantam Hong Kong, Suparmi harus berbasah-basah hingga esok harinya tubuhnya demam, begitu berulang terjadi, majikan sedikit pun tak punya rasa kasian, majikan sengaja menidurkan dia diluar dengan alasan pembantu itu manusia kotor.


Supami bekerja di Ny. Lau, yang beralamatkan di Vision City Yeung Road , Tsuen Wan, mulai (4/10/08) melalui PJTKI, Sofia Sukses Sejati, Pegandong, Semarang, Agen di Hong Kong, Sky, Prince Edward. Tapi baru menjalani kerja ke rumah majikan (12/11/2008) karena disuruh agen membantu pindahan kantor agen. Ibu dari dua orang anak ini selama kurang lebih satu tahun bekerja di Ny. Lau, kenyang penganiayaan, ketika dilaporkan ke agen , selalu saja agen menasehatkan suruh sabar, akhirnya dia pasrah.

“Saya terpaksa mencoba bertahan menerima siksaan dari majikan karena agen selalu menyuruh sabar dan mengingat himpitan ekonomi keluarga, tapi akhirnya saya kabur sebab sikap majikan kian brutal,” katanya sambil memperlihatkan luka bekas penganiayaan yang menyebar di tubuhnya.

Diakuinya majikan berkarakter keras suka membanting barang-barang dan emosian, Suparmi melakukan sedikit kesalahan saja dia akan teriak marah-marah kemudian melakukan pemukulan. Baru separuh hari bekerja dengannya Suparmi, sudah dilempar sumpit dengan keras ke mukanya, karena kesalahan memotong sayuran. Hari berikutnya dianggap mencuci ikan kurang bersih, disuruh memakan kotoran kerokan sisik ikan kemudian air cucian ikan dibayurkan ke tubuhnya. Saat air panas melepuhkan kedua belah tangannya akibat ulah majikan, agen yang dilapori baru datang menjenguknya setelah dua minggu dan agen menasehati suruh sabar, lama-lama juga akan sembuh.

Kebengisan majikan makin bertambah, Suparmi sering dihukum tidak dikasih masuk rumah sampai beberapa jam, baru dimasukkan ke rumah ketika Suparmi lapor ke satpam setempat. Majikan melakukan itu karena menuduh Suparmi, pergi main-main setelah membersihkan rumah satunya. Jelasnya, majikan memiliki dua rumah yang ditempati anaknya, jatah membersihkan seminggu dua sampai tiga kali. Padahal menurut Suparmi tak mungkin dia pulang telat, karena majikan selalu memantau saat dia membersihkan rumah satunya itu.

Urusan makan pun, majikan sangat pelit, tidak pernah diberi sarapan dan makan siang, jadi beli sendiri sedang makan malam dijatah dengan menu tetap, 3 sendok nasi dan 3 helai rebusan sayur Choi Sam. Jadi setiap liburan yang cuma dua kali dalam satu bulan itu dia tak lupa belanja kebutuhan makanan.

Kontan gajinya tak bisa utuh, tapi walau didera siksaan majikan, dia tak mau menyerah begitu saja, dia berharap sekolah kedua anaknya tidak putus ditengah jalan, anak pertama kuliah semester 6 di sebuah perguruan tinggi negeri di Semarang dan yang kedua di SMU. Suparmi memang type wanita pekerja keras, menurut penuturan tetangganya dia adalah mantan orang terkaya didesanya, tapi karena suami tak tahan cobaan, terhanyut perempuan lain, mengakibatkan harta suparmi ludes. Hal yang patut diacungi jempol, Suparmi memaafkan kesalahan suaminya, dan sekarang mencoba membangun ekonomi keluarganya lagi.

Pada (5/03/09), Suparmi lari ke agen karena sebelah tangannya dimasukkan kemudian di jepit pintu mesin pengering piring yang panas oleh majikan. Tapi sesampai di agen, malah dia dimarahi dan disuruh menulis perjanjian yang isinya, harus menurut ke majikan dan tidak boleh membantah serta dia disuruh kembali bekerja lagi.

Kembali menjalani rutinitas kerja dengan siksaan yang dan amarah yang tiada henti membuat membuat Suparmi stress, hari kian hari rambut kepalanya rontok, kepalanya terlihat botak. Untuk kali keduanya, Suparmi disiksa menggunakan mesim pemanas, kepalanya dibenturkan ke mesin cuci hingga menimbulkan bengkak, saat ulah majikan di laporkan ke anaknya, anak majikan itu malah mengusirnya pergi, Suparmi kemudian melapor ke agen, tapi agen bilang majikan tidak mau memberi one month notice, malah menyuruh Suparmi bekerja satu bulan lagi.

Sudah dua kali Suparmi meminta berhenti bekerja, dan majikan berusaha menahannya tapi sikap majikan tidak berubah baik. Siksaan dan makian terus menimpa dirinya, bekas-bekas luka penganiayaan kian bertambah banyak ditubuhnya. Pada hari Kamis (15/10/2009) ketika majikan marah besar karena dianggap tidak becus masak sup, majikan mengusir dan mendorong Suparmi keluar rumah, tapi Suparmi mencoba menahan pintu agar tak tertutup karena tidak ingin keluar rumah, karena dia berpikiran majikan pasti akan membiarkan dia berjam-jam lagi diluar rumah. Akibatnya majikan tambah marah dan membanting daun pintu dengan keras dan terkena ke jidat Suparmi. Kesabaran Suparmi hilang sudah, dia nekad lari ke menemui satpam untuk meminta tolong dipanggilkan polisi, satpam segera menolongnya, karena melihat benjolan lebam di jidat suparmi. Dengan pertolongan polisi Suparmi bisa kabur dari rumah majikan tanpa berurusan dengan agen lagi

“Saya mengirim sms ke agen saat kabur, bahwa saya bisa sabar saat majikan melukai tubuh saya, tapi jika ulah majikan kelewatan membahayakan nyawa saya, keluarga saya akan menuntut agen” ungkap Suparmi dengan nada geram.

Kini Suparmi berada di shelter Kolisi Organisasi Tenaga Kerja Indonesia di Hong Kong (KOTKIHO), untuk penyelesaian kasusnya yang dibantu oleh Christian Action, ketika ditanya oleh Suara, apa masih mau bekerja di Hong Kong lagi, sehubungan anaknya belum selesai sekolah. Dia menjawab dengan gelengan kepala, raut mukanya tiba-tiba terlihat sedih matanya menerawang jauh keluar jendela shelter.[]

detikcom : Kuasa Hukum Usman Minta Kapolri Tindak Tegas Kapolda Metro Jaya

title : Kuasa Hukum Usman Minta Kapolri Tindak Tegas Kapolda Metro Jaya
summary : Tim kuasa hukum Usman meminta agar Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri menindak tegas Kapolda Metro Jaya Irjen Pol Wahyono yang telah menetapkan Usman Hamid sebagai tersangka. (read more)

detikcom : <B>Pidato Lengkap SBY Sikapi Kasus Century dan Bibit-Chandra</B>

title : Pidato Lengkap SBY Sikapi Kasus Century dan Bibit-Chandra
summary : Dalam kasus Century, sikap SBY jelas, yaitu meminta kasus itu dibedah. Sedangkan dalam kasus Bibit dan Chandra, SBY meminta agar polisi dan jaksa tidak melanjutkan kasus itu. Berikut pidato SBY selengkapnya. (read more)

Kode Etik Koruptor

Oleh: Budi Darma

DULU ada kecenderungan, profesi dan pendidikan itu sejalan. Karena itu, seseorang bisa menjadi pengacara karena mendapatkan pendidikan hukum. Dengan demikian, jangan heran kalau dulu ada ungkapan ''by training and by profession'' karena pekerjaan seseorang tidak jauh amat dari pendidikannya.


Namun, karena perkembangan zaman, seorang dokter bisa menjadi politikus, seorang sarjana sastra bisa menjadi diplomat, dan seorang psikolog bisa menjadi pegawai bank yang tidak ada hubungannya dengan psikologi. Tapi, tentu saja, ''by training and by profession'' pada profesi-profesi tertentu tetap berlaku. Misalnya, pendidikan seorang dokter pasti juga ilmu kedokteran.

Profesi membawa konsekuensi. Yaitu, kode etik seperti kode etik dokter, kode etik wartawan, atau kode etik pengacara.

Karena zaman makin kompleks, jangan heran manakala makelar pun sekarang menjadi profesi seperti ''markus'' alias makelar kasus dalam proses pengadilan. Makelar kasus bisa merupakan profesi tunggal, bisa juga merupakan profesi sampingan. Karena itu, seseorang yang berprofesi pedagang bisa juga mempunyai profesi sampingan sebagai makelar kasus.

Banyak pejabat dan politisi yang juga memiliki profesi lain, yaitu menjadi koruptor. Karena itu, jangan heran, sekian banyak mantan bupati, anggota dewan, dan pejabat-pejabat penting lain ditendang ke bui karena sewaktu melaksanakan tugas-tugas resmi ternyata juga mempunyai profesi lain, yaitu koruptor.

Bukan hanya itu. Ada pejabat dan politikus-politikus aktif yang juga tertangkap basah waktu mencuri. Tidak bisa diragukan lagi, mereka juga punya profesi sampingan, yaitu koruptor.

Tentu, akan ada yang tidak setuju bila koruptor dianggap sebagai profesi karena, antara lain, secara resmi tidak ada pendidikan korupsi. Dengan demikian, tidak ada ungkapan ''he is by training a corruptor and by profession a corruptor''. Pendapat tidak setuju itu sebaiknya tidak perlu dipertimbangkan. Sebab, ''by practice corruption is anyhow a profession''. Koruptor bukan profesi itu das sollen, bukan das sein (kenyataannya koruptor adalah profesi sampingan).

Kendati koruptor hanya profesi sampingan dan harus dilakukan secara sembunyi-sembunyi, seharusnya koruptor juga mempunyai kode etik dan menjunjung tinggi kode etik itu, yaitu:

a. Salah satu butir penting konsep filosofi Rene Girard adalah kambing hitam. Jadi, untuk jaga-jaga kalau ketahuan, siapkanlah kambing hitam lebih dulu. Jangan khawatir dosa. Sebab, sebelum mati, pasti koruptor sempat bertobat, sehingga tidak akan masuk neraka.

b. Beramallah sebanyak-banyaknya dari hasil korupsi untuk menutupi perbuatan korup dan untuk mendapat pahala. Sebab, diyakini, beramal pasti mendapat pahala.

c. Kalau merasa kuat, bersikaplah kurang ajar. Misalnya, di hadapan aparat merokok sambil pegang handphone dan kaki bersilang. Bahkan, kalau perlu suruhlah aparat untuk mengambilkan asbak, apalagi kalau sedang disorot TV. Jangan lupa, kalau perlu, gebrak-gebraklah meja. Sangkallah semua tuduhan dengan mempergunakan nama Tuhan Yang Mahaesa.

d. Menangislah untuk meyakinkan bahwa Tuhan Yang Mahaesa bersama koruptor karena koruptor telah mempergunakan nama Tuhan Yang Mahaesa. Inilah yang dalam kamus kepura-puraan dinamakan ''air mata buaya''.

f. Kepura-puraan sangat penting. Karena itu, pura-puralah lupa. Sebab, lupa adalah sifat kodrati manusia. Tapi, jangan pura-pura gila karena harkat koruptor akan jatuh tanpa harga.

g. Kenakanlah pakaian dengan simbol-simbol agama. Sebab, manusia memang mudah terkecoh dengan simbol-simbol agama. Karena itu, publik akan yakin tidak mungkin orang suci menjadi koruptor.

h. Pura-puralah sakit dengan mimik disakit-sakitkan supaya publik merasa iba dan mengutuk aparat: ''Sakit kok digelandang''.

Dalam drama sejarah Shakespeare, Henry VI, ada sebuah ungkapan terkenal. Yaitu, ''the first thing we do, let's kill all the lawyers''. Sebuah ungkapan multitafsir, antara lain, kebencian publik karena dengan pura-pura memperjuangkan kebenaran, sebetulnya pengacara membela penjahat demi kepentingan uang.

Tapi, semua orang tahu, pengacara adalah orang-orang lihai, pandai bersilat lidah, mampu meyakinkan siapa pun bahwa yang benar adalah tidak benar dan yang salah sebenarnya bukanlah salah. Karena itu, koruptor harus menyewa pengacara andal dan mengabaikan keinginan publik untuk berteriak: ''Bunuhlah semua pengacara''.

Lazimnya, kode etik itu imperatif. Misalnya, (harus) menjunjung tinggi nama korps, (harus) siap melayani masyarakat setiap saat, dan (harus) melaksanakan profesi dengan baik. Tapi, karena koruptor adalah profesi sampingan dan harus dilakukan dengan sembunyi-sembunyi, kode etiknya juga berbeda. Yaitu, bersifat semi-imperatif, semi-imbauan.

Ingat pula, seperti halnya gerombolan bajingan Bill Sykes dalam kisah Oliver Twist, koruptor juga mempunyai komunitas dan masing-masing komunitas mempunyai aturan. Dalam kalangan akademisi, sementara itu, ada yang dinamakan ''gaya selingkung''. Yaitu, bagaimana mengutip seorang sumber, bagaimana menulis judul artikel dalam sebuah jurnal, bagaimana menyapa rekan sejawat, dan sebagainya. Koruptor pun mempunyai ''gaya selingkung''.

Seorang markus (makelar kasus) wanita, misalnya, harus dipanggil ''bu guru'', seorang penyogok harus dipanggil ''bos'', dan lain-lain sesuai komunitas, situasi, serta kondisi masing-masing koruptor.

Kalau semua koruptor bisa melaksanakan kode etik koruptor dengan konsekuen, dijamin mereka akan bebas. Aparat yang akan menangkapnya justru bisa kena pecat atau penurunan pangkat. Makan korban pada hakikatnya identik dengan salah satu butir kode etik koruptor, yaitu ''carilah kambing hitam''. ''Kambing hitam'' bisa juga diterjemahkan menjadi ''korban''. (*)

*). Budi Darma , sastrawan, guru besar Pascasarjana Unesa


Jawa Pos, Selasa, 17 November 2009

Redesain Seni-Budaya Jatim

Seni dan budaya memang erat dan senapas dengan pengembangan pariwisata daerah. Terlebih untuk simbol kebudayaan yang selama ini menjadi ikon utama Jawa Timur, semisal seni ludruk, tari topeng dan sapeh sono’ Madura, hingga reog Ponorogo.

ADA sejumlah agenda krusial yang harus segera direalisasikan, baik di sektor ekonomi, politik, keamanan, hingga sosial-budaya. Publik Jatim masih ingat dengan jargon strategis yang pernah digencarkan pasangan cagub-cawagub dalam kampanye mereka.

Slogan itu adalah “APBD untuk Rakyat”, menjadi cita perubahan yang wujud nyatanya masih dinanti oleh warga. Apakah itu hanya jargon statis yang berbau lips service atau benar-benar rencana program dan gerakan yang kongkret. Semua masih sumir dan butuh waktu serta aksi pembuktian.

Seni dan budaya adalah salah satu simbol keunggulan Jatim di kancah nasional. Beragam khazanah dan latar kultur yang ada di Jatim merupakan modal kekayaan serta potensi besar bagi terciptanya tatanan kebudayaan yang kondusif. SDM Jatim membentang melintasi sekat kesukuan, agama, bahasa, serta entitas kultural lainnya.

Di sini terdapat sedikitnya empat ragam suku dominan (Jawa, Madura, Tengger, dan Osing). Belum lagi eksistensi komunitas Cina dan Arab peranakan yang tersebar merata. Khazanah plural itu bukan sekadar data populasi penduduk, melainkan kekuatan yang amat besar dengan kandungan potensi kebhinnekaan bahasa, adat istiadat, seni-budaya, hingga pola hidup yang kaya warna dan saling melengkapi.

Tiarap dan Mandul
Sudah selayaknya bila slogan ‘APBD untuk Rakyat’ juga disalurkan untuk menghidupkan bidang seni-budaya. Selama ini, bidang tersebut terkesan tiarap dan mandul, jika diukur dengan melimpahnya khazanah budaya dan seni rakyat yang ada. Padahal potensi dan kekayaan seni-budaya di Jatim sangat potensial untuk dikemas sebagai komoditas unggulan.

Aribowo (2008), salah seorang tokoh seni Jatim, pernah memetakan pluralitas potensi seni-budaya ke dalam beberapa varian sub-kultur, antara lain budaya Arek, Pandalungan, Mataraman, Panaragan, Osing, Tengger, Madura, Madura Kepulauan dan Madura Kangean.

Sudah saatnya mengoptimalkan database seni dan budaya sebagai jembatan terciptanya iklim keseniaan dan kebudayaan yang dinamis. Anggaran dana pelat merah milik daerah yang di setiap kampanye selalu dijanjikan untuk kembali ke rakyat, akhirnya bisa benar-benar tepat sasaran.

Setidaknya, pengembangan dan modernisasi di bidang seni-budaya dapat melengkapi sektor-sektor yang selama ini dianggap paling vital bagi pemenuhan hajat publik, yakni ekonomi, pendidikan, dan kesehatan.

Dengan demikian, pelbagai aktivitas kebudayaan, agenda kesenian, serta kreasi kesusasteraan dapat menjadi kekuatan yang padu, sinergis, dan holistik. Semua karakteristik tradisional yang dimiliki setiap entitas kultur sebisa mungkin dipertahankan dan jika bisa didesain ulang dengan sentuhan modern yang selaras dinamika zaman.

Bagaimanapun, pemerintah dengan segala kebijakan dan rencana kerjanya, juga turut menentukan masa depan seni-budaya di masa yang akan datang. Pemilahan pada tingkat departemen, yang kemudian menyebabkan bidang kesenian-kebudayan berada pada satu payung dengan bidang pariwisata, bukanlah kendala yang harus dipersoalkan.

Sebaliknya, ditinjau dari sisi historis-filosofis, seni dan budaya memang erat dan senapas dengan pengembangan pariwisata daerah. Terlebih untuk simbol kebudayaan yang selama ini menjadi ikon utama Jawa Timur, semisal seni ludruk, tari topeng dan sapeh sono’ Madura, hingga reog Ponorogo, serta-merta harus lebih diperhatikan denyut eksistensinya, sehingga tidak mati suri.

Kasus klaim negara jiran Malaysia yang beberapa waktu silam pernah menganggap reog sebagai produk budaya milik mereka, mesti disikapi sebagai sinyal serius di balik mulai melemahnya detak kebudayaan dan kesenian tradisonal.
Di tengah impitan snobisme budaya modern, kebudayaan tradisional seolah terpinggirkan karena mulai berkurangnya peminat terhadap seni dan budaya kedaerahan, lebih-lebih di kalangan kawula muda.

Ingar-bingar kehidupan anak muda modern yang selalu menginginkan hal-hal instan dan eskapis, selayaknya dibaca sebagai tantangan berat bagi kehidupan dan masa depan kebudayaan daerah.

Sastra Pesantren
Satu lagi komitmen pasangan cagub-cawagub saat kampanye adalah janji untuk senantiasa dekat dan siap memberdayakan komunitas keagamaan di Jatim. Kantong-kantong keagamaan, semisal pondok pesantren, telah menjadi basis utama bagi kemenangan. Tekad untuk mengembangkan potensi pesantren kerap disuarakan. Wajar apabila komitmen ini ditagih guna direalisasikan. Bila pendidikan di pesantren sudah dianggap cukup maju, lain halnya dengan kesenian dan sastra pesantren.

Kedua bidang ini terkesan stagnan dan miskin kreasi. Sejumlah kegiatan kesenian pesantren yang selama ini rutin digelar lebih tampak sebagai perayaan seremonial ketimbang jenjang pembinaan yang simultan. Padahal kita tahu, Jatim adalah lumbung pesantren dengan jumlah populasi ponpes terpadat di Indonesia.

Sudah saatnya seni dan sastra pesantren digagas sebagai wacana, gerakan, maupun aktivitas kebudayaan dalam wujud yang kongkret. Sayang, apabila potensi kepesantrenan yang begitu besar hanya kelihatan bak sebuah oksimoron: pesona yang tak terawat.

Pada aras ini, pesantren juga dapat dijadikan agen strategis dari dinamika wacana keagamaan yang lebih plural, semisal dialog dan kerja sama lintas agama pada tataran praktis.

Kita berharap duet gubernur dan wakil gubernur sekarang mampu berbagi peran menjembatani aspirasi kesenian masyarakat Jatim. Pakde, dengan karakter nasionalisnya bisa menyapa rakyat, antara lain lewat jalur kesenian dan kebudayaan bernuansa tradisi kerakyatan. Sedangkan Gus Ipul, dengan identitas kesantriannya, mampu berkonsentrasi demi peningkatan kuantitas dan kualitas kesenian pesantren yang tampak mandul. []

Mohamad Ali Hisyam
Pemerhati sosial budaya, dosen Universitas Trunojoyo Madura


Surya, Rabu, 18 Maret 2009

PIDATO ANAK 12 TH YANG MEMBUNGKAM PARA PEMIMPIN DUNIA DI PBB

Cerita ini berbicara mengenai seorang anak yg bernama Severn Suzuki, seorang anak yg pada usia 9 tahun telah mendirikan Enviromental Children's Organization ( ECO ). ECO sendiri adalah sebuah kelompok kecil anak yg mendedikasikan diri untuk belajar dan mengajarkan pada anak" lain mengenai masalah lingkungan.

Dan mereka pun diundang menghadiri Konfrensi Lingkungan hidup PBB, dimana pada saat itu Severn yg berusia 12 Tahun memberikan sebuah pidato kuat yg memberikan pengaruh besar ( dan membungkam ) beberapa pemimpin dunia terkemuka.

Apa yg disampaikan oleh seorang anak kecil ber-usia 12 tahun hingga bisa membuat RUANG SIDANG PBB hening, lalu saat pidatonya selesai ruang sidang penuh dengan orang terkemuka yg berdiri dan memberikan tepuk tangan yg meriah kepada anak berusia 12 tahun. Inilah Isi pidato tersebut: (Sumber: The Collage Foundation):

Halo, nama Saya Severn Suzuki, berbicara mewakili E.C.O – Enviromental Children Organization
Kami adalah kelompok dari Kanada yg terdiri dari anak-anak berusia 12 dan 13 tahun, yang mencoba membuat perbedaan: Vanessa Suttie, Morga, Geister, Michelle Quiq dan saya sendiri. Kami menggalang dana untuk bisa datang kesini sejauh 6000 mil untuk memberitahukan pada anda
sekalian orang dewasa bahwa anda harus mengubah cara anda, hari ini di sini juga. Saya tidak memiliki agenda tersembunyi. Saya menginginkan masa depan bagi diri saya saja.

Kehilangan masa depan tidaklah sama seperti kalah dalam pemilihan umum atau rugi dalam pasar saham. Saya berada disini untuk berbicara bagi semua generasi yg akan datang.

Saya berada disini mewakili anak-anak yg kelaparan di seluruh dunia yang tangisannya tidak lagi terdengar.

Saya berada disini untuk berbicara bagi binatang-binatang yang sekarat yang tidak terhitung jumlahnya diseluruh planet ini karena kehilangan habitatnya. Kami tidak boleh tidak di dengar.

Saya merasa takut untuk berada dibawah sinar matahari karena berlubangnya lapisan OZON. Saya merasa takut untuk bernafas karena saya tidak tahu ada bahan kimia apa yg dibawa oleh udara.

Saya sering memancing di Vancouver bersama ayah saya hingga beberapa tahun yang lalu kami menemukan bahwa ikan-ikannya penuh dengan kanker. Dan sekarang kami mendengar bahwa binatang-binatang dan tumbuhan satu persatu mengalami kepunahan tiap harinya - hilang selamanya.

Dalam hidup saya, saya memiliki mimpi untuk melihat kumpulan besar binatang-binatang liar, hutan rimba dan hutan tropis yang penuh dengan burung dan kupu-kupu. Tetapi sekarang saya tidak tahu apakah hal-hal tersebut bahkan masih ada untuk dilihat oleh anak saya nantinya.

Apakah anda sekalian harus khawatir terhadap masalah-masalah kecil ini ketika anda sekalian masih berusia sama serperti saya sekarang?

Semua ini terjadi di hadapan kita dan walaupun begitu kita masih tetap bersikap bagaikan kita masih memiliki banyak waktu dan semua pemecahannya. Saya hanyalah seorang anak kecil dan saya tidak memiliki semua pemecahannya. Tetapi saya ingin anda sekalian menyadari bahwa anda sekalian juga sama seperti saya!

Anda tidak tahu bagaimana caranya memperbaiki lubang pada lapisan ozon kita. Anda tidak tahu bagaiman cara mengembalikan ikan-ikan salmon ke sungai asalnya. Anda tidak tahu bagaimana caranya mengembalikan binatang-binatang yang telah punah.

Dan anda tidak dapat mengembalikan hutan-hutan seperti sediakala di tempatnya, yang sekarang hanya berupa padang pasir. Jika anda tidak tahu bagaima cara memperbaikinya. TOLONG BERHENTI MERUSAKNYA!

Disini anda adalah delegasi negara-negara anda. Pengusaha, anggota perhimpunan, wartawan atau politisi - tetapi sebenarnya anda adalah ayah dan ibu, saudara laki-laki dan saudara perempuan, paman dan bibi - dan anda semua adalah anak dari seseorang.

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa kita semua adalah bagian dari sebuah keluarga besar, yang beranggotakan lebih dari 5 milyar, terdiri dari 30 juta rumpun dan kita semua berbagi udara, air dan tanah di planet yang sama - perbatasan dan pemerintahan tidak akan mengubah hal tersebut.

Saya hanyalah seorang anak kecil namun begitu saya tahu bahwa kita semua menghadapi permasalahan yang sama dan kita seharusnya bersatu untuk tujuan yang sama.

Walaupun marah, namun saya tidak buta, dan walaupun takut, saya tidak ragu untuk memberitahukan dunia apa yang saya rasakan.

Di negara saya, kami sangat banyak melakukan penyia-nyiaan. Kami membeli sesuatu dan kemudian membuang nya, beli dan kemudian buang. Walaupun begitu tetap saja negara-negara di Utara tidak akan berbagi dengan mereka yang memerlukan. Bahkan ketika kita memiliki lebih dari cukup, kita merasa takut untuk kehilangan sebagian kekayaan kita, kita takut untuk berbagi.

Di Kanada kami memiliki kehidupan yang nyaman, dengan sandang, pangan dan papan yang berkecukupan - kami memiliki jam tangan, sepeda, komputer dan perlengkapan televisi.

Dua hari yang lalu di Brazil sini, kami terkejut ketika kami menghabiskan waktu dengan anak-anak yang hidup di jalanan. Dan salah satu anak tersebut memberitahukan kepada kami: " Aku berharap aku
kaya, dan jika aku kaya, aku akan memberikan anak-anak jalanan makanan, pakaian dan obat-obatan, tempat tinggal, cinta dan kasih sayang " .

Jika seorang anak yang berada dijalanan dan tidak memiliki apapun, bersedia untuk berbagi, mengapa kita yang memiliki segalanya masih begitu serakah?

Saya tidak dapat berhenti memikirkan bahwa anak-anak tersebut berusia sama dengan saya, bahwa tempat kelahiran anda dapat membuat perbedaan yang begitu besar, bahwa saya bisa saja menjadi salah satu dari anak-anak yang hidup di Favellas di Rio; saya bisa saja menjadi anak yang kelaparan di Somalia ; seorang korban perang timur tengah atau pengemis di India .

Saya hanyalah seorang anak kecil, namun saya tahu bahwa jika semua uang yang dihabiskan untuk perang dipakai untuk mengurangi tingkat kemiskinan dan menemukan jawaban terhadap permasalahan alam, betapa indah jadinya dunia ini.

Di sekolah, bahkan di taman kanak-kanak, anda mengajarkan kami untuk berbuat baik. Anda mengajarkan pada kami untuk tidak berkelahi dengan orang lain, untuk mencari jalan keluar, membereskan kekacauan yang kita timbulkan; untuk tidak menyakiti makhluk hidup lain, untuk
berbagi dan tidak tamak. Lalu mengapa anda kemudian melakukan hal yang anda ajarkan pada kami supaya tidak boleh dilakukan tersebut?

Jangan lupakan mengapa anda menghadiri konperensi ini, mengapa anda melakukan hal ini - kami adalah anak-anak anda semua. Anda sekalianlah yang memutuskan, dunia seperti apa yang akan kami tinggali. Orang tua seharus nya dapat memberikan kenyamanan pada anak-anak mereka dengan
mengatakan, " Semuanya akan baik-baik saja , 'kami melakukan yang terbaik yang dapat kami lakukan dan ini bukanlah akhir dari segalanya.”

Tetapi saya tidak merasa bahwa anda dapat mengatakan hal tersebut kepada kami lagi. Apakah kami bahkan ada dalam daftar prioritas anda semua? Ayah saya selalu berkata, “Kamu akan selalu dikenang karena perbuatanmu, bukan oleh kata-katamu”.

Jadi, apa yang anda lakukan membuat saya menangis pada malam hari. Kalian orang dewasa berkata bahwa kalian menyayangi kami. Saya menantang A N D A , cobalah untuk mewujudkan kata-kata tersebut.

Sekian dan terima kasih atas perhatiannya.

[]

Servern Cullis-Suzuki telah membungkam satu ruang sidang Konperensi PBB, membungkam seluruh orang-orang penting dari seluruh dunia hanya dengan pidatonya. Setelah pidatonya selesai serempak seluruh orang yang hadir diruang pidato tersebut berdiri dan memberikan tepuk tangan
yang meriah kepada anak berusia 12 tahun itu.

Dan setelah itu, ketua PBB mengatakan dalam pidatonya:

" Hari ini saya merasa sangatlah malu terhadap diri saya sendiri karena saya baru saja disadarkan betapa pentingnya linkungan dan isinya disekitar kita oleh anak yang hanya berusia 12 tahun, yang maju berdiri di mimbar ini tanpa selembarpun naskah untuk berpidato. Sedangkan saya maju membawa berlembar naskah yang telah dibuat oleh asisten saya kemarin. Saya ... tidak kita semua dikalahkan oleh anak yang berusia 12 tahun "

*Tolong sebarkan tulisan ini ke semua orang yang anda kenal, bukan untuk mendapatkan nasib baik atau kesialan kalau tidak mengirimkan, tapi mari kita bersama-sama membuka mata semua orang di dunia bahwa bumi sekarang sedang dalam keadaan sekarat dan kitalah manusia yang membuatnya seperti ini yang harus bertindak untuk mencegah kehancuran dunia. *(Copyright from: Moe Joe Free)*

Kesunyian Siter di Kaki Senja

Oleh: Teguh Budi Utomo

Baginya berkesenian bagai memintal helai kehidupan. Jika memanggul siter di tengah terik pun dia anggap garis takdir. Pasrah dalam kaffah Rukini menyusuri lorong waktu yang bernama kehidupan. “Saya ya begini ini, Mas,” demikian ungkap Rukini. Kalimat-kalimatnya tak panjang. Sakleg tanpa pemanis. Tanpa basa basi ketika mengungkapkan perjalanan melakoni seni siter. Pemain kecapi berusia 53 tahun yang sejak perawan keliling kampung mengamen.

Bermain siter telah menjadi bagian tak terpisahkan dari Ibu dua putra ini. Apalagi seni tradisi yang biasanya menjadi pasangan dari gelaran pertunjukan Cokekan ini, telah menemani perjalanan hidupnya. Dari siteran pula ia merasakan hitam putihnya perjalanan.

Posturnya memang tak tinggi, namun istri Asmuji demikian kuat. Sekuat jemarinya ketika memetik dawai siter. Kuat dan keras suaranya, namun lembut terasa. Serenada yang dihasilkan menjadikan burung kutilang di hutan wisata Dander, Bojonegoro, enggan terbang.

“Menjadi pemain siter memang susah, jarang yang mau nglakoni” kata Rukini usai manggung dalam Kemah Budaya Jawa di tempat wisata Dander, Kabupaten Bojonegoro, siang di penghujung Oktober 2009.

Bisa jadi di wilayah Kabupaten Bojonegoro dan Tuban, hanya seorang Rukini yang masih bertahan. Sulit menemukan generasi baru yang rela menggeluti siter. Terlebih sampai melakoni ngamen hingga njajah deso milangkori. Sebagaimana yang dilakoni seorang Rukini. Sebagai pemetik senar dan sindhen (vokal) perhelatan siter.

Terkadang Rukini tak sendiri ketika mengamen. Jika muncul di kantor-kantor pemerintah, hotel, perempatan jalan, Pasar Kebo Bojonegoro atau bahkan sampai di Pantai Boom Tuban bersama pemain kendang, gong bumbung, bukan lagi siteran tetapi Cokekan. Kalau sudah pentas Cokekan biasanya dia menyertakan seorang sindhen. Tentunya di samping dia sendiri sebagai vokalisnya.

Gending-gendingnya pun tak sebatas gending klasik, semacam, Asmorodono, Sinom Parijoto, atau Perkutut Manggung. Tapi juga gending kasaran, sebangsa, Ali-ali, Caping Gunung, Sri Huning bahkan Kembang Kemangi.

“Kalau cokekan, biasanya ditanggap orang sampai Rp 2 juta semalam,” ungkap Rukini menyoal honor yang dia terima ketika pentas Cokekan. Duit sebesar itu, dibagi berempat bersama dua penambuh gamelan dan seorang Sindhen. Mereka bukan satu grup, namun sesekali sepakat pentas bersama dalam gelaran tikar pandhan di sembarang tempat dan waktu berbeda.

Jika sepi tanggapan Cokekan, Rukini ngamen di jalanan. Bahkan sampai ke wilayah Solo, Yogjakarta, Surabaya hingga sampai merambah ke Jakarta.

“Teman saya banyak, makanya bisa ngamen sampai Jakarta.”

Ngamen dengan honor seiklasnya dari penikmatnya biasa ia lakoni hingga sebulan baru pulang. Ia terbiasa tidur di emperan toko dan lapak-lapak pasar yang ditinggal pedagang di malam hari. Dan terkadang jika mendapat rejeki besar juga tidur di losmen murah.

Pekerjaan ngamen, bagi warga Desa Kuncen, Kecamatan Padangan, Bojonegoro ini, bukanlah pekerjaan mudah. Ia musti memanggul sendiri siter. Perangkat musik tradisi yang biasa menjadi pelengkap pertunjukan gamelan Jawa. Kotak seukuran 50 Cm x 1 meter itu, telah menemani Rukini sejak lajang.

Panjang pula goresan hidup yang dijalani putri dari pasutri almarhum Saeran dan almarhumah Diyem asal Solo (Jawa Tengah), selama menjadi pengamen siter. Dia mengenal dunia siter bukan dari seorang guru. Buta huruf yang dialaminya menjadikan rasa dan daya serap suara di telinganya demikian kuat. Ia hanya mendengar dari lantunan siter yang dimainkan almarhum orangtuanya Saeran, untuk kemudian diterjemahkan dalam petikan jemari lentik gadis Rukini semenjak usianya 11 tahun.

“Saya belajar dari alam,” ujar perempuan yang selalu tersenyum sebelum berkata-kata ini. Suaranya renyah ketika tertawa. Halus tutur katanya. Khas seniman tradisional Jawa. Namun, begitu indah dalam nada tinggi ketika melantun.

Bagi seorang Rukini, bergulat dengan siter tak ubahnya memahami perjalanan hidup. Perjalanan nan panjang berkelok. Dari ngamen siter pula ia mengenal beragam sifat orang. Terkadang dilecehkan. Terkadang disanjung. Sering pula dianggap perempuan tak benar, karena dimana dia berpijak disitu pula merebahkan tubuh ringkihnya karena lelah.

Dia sadari tak memiliki tempat berteduh pasti ketika mengamen. Pasrah melakoni hidup berkesenian, tak membuat hatinya kelu. Baginya setiap makluk sudah memiliki takdir. Kalaupun takdir dia sebagai seniman, telah dia terima dengan ikhlas. Dan totalitas seorang Rukini melakoni profesi pengamen siter, telah menjadi khasanah tersendiri para pelaku seni tradisional di Bumi Angling Darmo dan sekitarnya.

Sekalipun begitu, perempuan berumur ini masih terlihat brigas. Nada bicaranya tegas. Setegas cengkok sindhen berpengalaman kala melantunkan gending. Rambutnya yang andan-andan disanggul jatuh ke belakang. Gurat di wajahnya yang sawo matang demikian tegas, menyimbulkan sikap yang kuat menjalani hidup berkesenian.

Baju kebaya merah jambu berornamen lobang, demikian pas memadu kain jarik parang. Sandalnya yang merah muda dan tas perempuan warna serupa, tergeletak di samping kanan dan kiri agak ke belakang siter. Perempuan seniman tradisi ini pun terlihat anggun di atas panggung. Panggung yang dikemas menyatu dengan alam.

Dan dawai asmara pun mengalir seiring bait demi bait gendhing. Dari bibir titis berginju Rukini. Sesekali tampak tersenyum ketika syair gendingnya disenggak para penonton. Ratusan pegiat budaya Jawa pun hanyut dalam ritme petikan siter. Naik turun mengombang-ambingkan emosi jiwa.

Manuk manyar ...
Cucuke dawa...
Entuk anyar ...
Sing tuwa disiya-siya ...


Penggalan bait tembang kasaran dari Gending Sambel Kemangi ini, yang bisa berarti burung manyar paruhnya panjang, dapat yang baru istri tua disia-siakan, begitu ngelangut dan memelas. Iramanya pelog pathet enam demikian kuat. Senggakan para pengunjung pun kian menghidupkan perhelatan. Dan Rukini pun demikian asyik mencandakan nasibnya melalui petikan dawai siternya. (*)

*Naskah ini termuat di rubrik Humaniora, Duta Masyarakat (www.dutamasyarakat.com) 1 November 2009.

WIS DAKTINGGAL

Suripan Sadi Hutomo

wis daktinggal bojo lan anak
lunga menyang Hong Kong
geneya kowe kok ngomong sengak
apa wong wadon ora oleh nginger bokong?


aku lunga golek sandhang lan pangan
awit negaraku wis ra nduwe pengayom
marang rakyate kang uripe kecingkrangan
awit subur lan makmur mung mitose tetembungan

nek aku meteng ing Hong Kong
kowe arep apa?
kuwi darbekku, darbekku dhewe
apa gunane kowe anyaruwe?

aku pancen barisane tekawe
nanging aku nyambutgawe
apa kuwi ora luwih mulya kahanane
tinimbang bapak pemimpin sing rakus watake?

[Suripan Sadi Hutomo]

bojoku wis ra nyambutgawe
apa aku dikon nekem weteng luwe?
anakku wuda
apa kuwi perangane negara merdika?

aku lunga nyambung nyawa
awit kebangeten negaraku Indonesia
awit produksine negara
mung ngekspor manungsa kanggo tumbale negara

Bogor, 20 Agustus 1998

[saka majalah Panjebar Semangat]

Membangun Rumah dari Para Penyumbang

Yainem, Janda Termiskin di Kecamatan Ngrayun

Mbok Yainem, janda miskin di Desa Mrayan, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, yang hidup bersama 2 orang anak [dari keempat anaknya] lumpuh itu ternyata kini sudah membangun rumah baru. Inilah laporan Bonari Nabonenar yang ditugasi BI mengantarkan sumbangan barang-barang dan uang dari para pembaca BI di HK untuk keluarga janda termiskin itu.


Malam itu belum terlalu larut. Masih sekitar pukul 20.00. Malam lebaran 1427 H (Minggu 22 Oktober 2006). Tetapi, suasana Dusun Krajan, Desa Mrayan, Kecamatan Ngrayun, Ponorogo, Jawa Timur, sudah tampak senyap. Sepanjang perjalanan sejak Kecamatan Bungkal, sekitar 25 km sebelum Ngrayun, hanya sesekali berpapasan dengan kendaraan lain, motor atau truk. Jalan berkelok-kelok, cenderug terus menanjak. Bahkan ada salah satu tanjakan yang disebut-sebut sebagai tanjakan 23, rasanya nyaris tegak lurus dengan langit. Jika pengendara tak berpengalaman di pegunungan, sekali salah oper kendaraan sebagus apapun dijamin mogok di tengah-tengah tanjakan. Jurang di sisi kiri jalan yang tertusuk lampu motor, menawarkan kengerian.

Kami berdua [Bonari Nabonenar dan Purwo Santoso, Red] baru kali ini melintasi jalan ini, apalagi dengan mengendarai motor sendiri. Beras 50 kg ada di motor yang dikendarai Purwo, sedangkan barang-barang lain [semuanya dibeli dari sumbangan para pembaca BI untuk diteruskan kepada keluarga Yainem] ada di motor yang saya kendarai. Ditambah uang kontan Rp 300 ribu, nilai total bantuan itu Rp 1 juta.

Setelah dua kali bertanya, sampailah juga akhirnya kami di Desa Mrayan. Karena dingin membuat otot-otot kami seolah mengkerut, kami memutuskan mampir dulu di sebuah warung kopi, persis di sebelah masjid kecil. Ada puluhan anak agaknya baru menyelesaikan pelajaran mengaji. Tetapi samasekali tidak terlihat tanda-tanda bahwa mereka akan merayakan Lebaran keesokan harinya. Belum ada takbir berkumandang. Sambil menikmati kopi, kami mendengar dari RRI [Radio Republik Indonesia] Menteri Agama menyiarkan bahwa Hari Raya Idul Fitri 1427 H jatuh pada hari Selasa, 24 Oktober 2006, dengan tambahan kalimat bahwa Pemerintah tetap menghormati mereka yang merayakannya pada hari Senin, 22 Oktober 2006.

Pemilik warung memberi cukup banyak informasi mengenai Desa Mrayan, kehidupan mayarakatnya yang sebagian besar petani, dan tanahnya yang cukup tandus. Bahkan hutan pun banyak yang gundul, dan kalaupun ada tanamannya adalah pinus. Tetapi, saat ditanya di mana persisnya alamat rumah Mbok Yainem, pemilik warung [suami dan istri] tidak bisa memberikan jawaban yang tepat. Mereka hanya mengatakan bahwa memang ada nama Mbok Yainem, bahkan beberapa orang dari luar daerah, yang bermaksud mengantarkan sumbangan kepada janda miskin itu sempat mampir di warung mereka.

Untuk tidak memperpanjang kebingungan dan keburu malam melarut, kami memutuskan untukmampir saja ke rumah Kepala Desa. Tak susah mencari alamat rumah Kepala Desa, karena semua orang di sini pasti bisa menunjukkannya. Lebih dari itu, Purwo Santosa pernah menemui Pak Bandi [Kepala Desa itu] di rumahnya beberapa waktu lalu saat meliput pemakaman jenasah Suprihatin [almarhumah] TKI yang meninggal karena jatuh dari apartemennya di HK.

Rumah Baru
Pak Bandi pas ada di rumah. Takut keburu malam larut, kami tidak berlama-lama, dan segera minta alamat rumah Mbok Yainem. Pucuk dicinta ulam tiba. E, ternyata kami malah diantar bersama beberapa orang tetangga yang malam itu sedang nonton [TV] bareng di kelurahan [sebutan mereka untuk rumah Kepala Desa]. Lhadalah, ternyata rumah Mbok Yainem hanya beberapa meter [sekita 50 m] dari rumah Kepala Desa.

’’Ini, Mas, rumahnya,’’ kata Pak Bandi.

Maka, kami memarkir motor dan beberapa orang membantu menurunkan barang-barang bawaan kami.

’’Oh, rumah baru!’’ batin saya hampir memekik. Memang terkejut, tiba-tiba mendapati pemandangan rumah baru itu, walau sangat jauh dari sebutan megah. Sebab, gambaran yang ada di dalam benak sebelumnya jauh lebih buruk daripada kenyataannya sekarang.

Seolah membaca keterkejutan kami, Pak Bandi segera menjelaskan, bahwa rumah ini memang belum lama dibangun.

’’Ini semua berkat para dermawan yang menyumbang, Mas.’’

’’Dari warga desa, para tetangga sini ya, Pak?’’

’’O, begini, Mas. Para tetangga di sini hanya bisa membantu menyumbang tenaga saja. Yang mengerjakannya memang mereka. Tetapi biayanya, dananya, ya dari para penyumbang, ada yang dar Singapura, ada yang dari Malaysia, dari Hong Kong juga ada. Mereka kebanyakan mengantarkan sendiri sumbangan itu ke sini,’’ demikian penjelasan Pak Bandi.

Lalu, Pak Bandi seolah dapat kesempatan untuk semacam curhat, mengadu [karena tahu setelah perkenalan bawa kami mewakili media: Grup Berita Indonesia].

’’Terus terang, Mas, saya kadang jadi terharu, melihat orang-orang dari jauh berbondong-bondong ke sini untuk menunjukkan simpatinya kepada warga desa kami khususnya, memberkan sumbangan, sedangkan Pak Bupati baru belum lama ini menyematkan datang setelah sekian tahun seolah desa ini tidak pernah bisa melihat siapa Bapak [Bupati]-nya. Dan itu tampaknya berkat gencarnya media. Penderitaan Mbok Yainem ini, misalnya, pernah dimuat di Majalah Liberty, lalu di tayangan Kejamnya Dunia [Trans TV]. Tapi mereka kadang salah menyebut nama, ada yang Yatinem, ada yang Yaitem, padahal yang benar Yainem.’’

Lalu, Pak Bandi untuk kesekian kali mengucapkan terima kasih kepada para penyumbang dan kepada pihak media yang telah menampilkan potret nyata [walau sebegitu buramnya] kehidupan masyarakat pedesaan yang selama ini nyaris luput dari jangkauan penguasa.

Lumpuh
Rumah baru itu berukuran 7 x 5 m, beratap seng, berdinding papan, dan masih berlantai tanah. Tidak ada kamar tidur di dalamnya. Yang ada hanyalah sekat dinding papan yang memisahkan ruang dapur dengan ruang utama.

Di ruang dapur ada berbagai perabotan dapur sederhana, kemudian tungku pembakaran untuk memasak dengan bahan bakar kayu, dan sebuah amben. Di ruang utama ada sebuah meja dan beberapa kursi. Jika ada tamu melebihi kapasitas kursi yang tersedia, digelarlah tikar.

Di rumah itu Mbok Yainem hidup bersama dua orang [dari 4 orang] anaknya. Keduanya lumpuh karena [sepertinya folio –karena belum ada keterangan resmi dari dokter] sejak kecil dan samasekali tidak bisa bekerja. Anak Mbok Yainem seharusnya ada 5 orang, tetapi anak pertama meninggal saat usia belasan tahun. Anak pertama ini seandainya bisa terus hidup hingga sekarang, akan menambah berat beban, sebab ia juga penderita folio.
Anak kedua, yang kemudian menjadi paling tua adalah perempuan bernama Tumini, ia sudah menikah, sudah membangun rumah sendiri persis di depan rumah Mbok Yainem. Tumini sendiri bekerja di Kota Ponorogo, dan rumahnya ditunggu suami bersama 2 orang anaknya yang masih kecil.

Anak kedua Wijiyanto [lihat fotonya yang sedang di amben di ruang dapur]. Ia lumpuh. Anak ketiga Jaswadi, sudah menikah dan dikaruniai seorang anak yang sehat. Sedangkan si bungsu, Supriyanto, lumpuh juga.

Jadi, Mbok Yainem, janda tua itu harus hidup bersama 2 orang anaknya yang tidak bisa bekerja, yang makan pun masih perlu disuapi.

Terharu
Menerima bantuan teman-teman pembaca BI, Mbok Yainem tampak nyaris menitikkan air mata. Suaranya bergetar ketika berucap, ’’Maturnuwun sanget nggih, Mas, mugi Gusti Allah ingkang maringi ganjaran.’’ [Terima kasih sekali ya, Mas, semoga Tuhan memberikan balasannya.]

Pak Bandi, sebelum kami berpamitan juga tak lupa ikut menyampaikan rasa terima kasih kepada para pembaca BI, kepada BI yang membantu mengimpun dana sumbangan, dan berdoa semoga kawan-kawan lancar bekerja, dan kelak bisa pulang ke tanah air dalam keadaan selamat dengan membawa hasil seperti yang mereka cita-citakan.

Di banyak tempat yang kami lewati sepanjang perjalanan pulang, ternyata takbir sudah sebegitu ramai, pertanda bahwa esok [Senin, 23 Oktober 2006] mereka akan merayakan Hari Lebaran. [BI]

Memerintah Tanpa Budaya (Lagi)

Saifur Rohman

Kabinet Indonesia Bersatu II 2009-2014 secara mengejutkan tidak lagi menempatkan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata di bawah koordinasi Menko Kesejahteraan Rakyat sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tetapi kini berada di bawah Menko Perekonomian. Jika strukturisasi kabinet adalah sebuah refleksi dari sistem pemikiran tentang idealitas pemerintahan, dengan kebijakan itu, unsur ”kebudayaan” tampaknya telah dianggap sebagai substruktur yang tak jauh berbeda dengan ”pariwisata”.


Dalam kacamata kuantitatif, konsepsi kebudayaan itu hadir sebagai entitas mikro dalam desain pembangunan nasional. Bacalah, anggaran belanja yang tertuang dalam RAPBN tahun 2010, memberikan alokasi dana kepada kebudayaan sekitar Rp 300 miliar (0,028 persen) dan kesenian sekitar Rp 78 miliar (0,0074 persen). Bisa dikatakan sama dengan tahun sebelumnya.

Jika pembangunan kebudayaan merupakan bagian kecil dalam desain pembangunan nasional, penting kiranya menanyakan kembali orientasi pemerintahan masa kini. Bagaimana rupa pemerintah tanpa budaya? Bagaimana mungkin sebuah pemerintahan dibangun tanpa fondasi strategis terkait dengan kebudayaan?

Budaya sebagai alas
Penelusuran di dalam rumpun ilmu sosial, khususnya sebuah teori ekonomi, akan didapat istilah corporate culture sebagai titik orientasi kinerja seorang karyawan dalam praksis kerjanya sehari-hari. Demikian pula, teori kepemimpinan memberikan istilah transformational leadership dalam setiap organisasi untuk mewarisi semangat yang dibentuk para pendiri perusahaan.

Teori politik yang dikembangkan Hannah Arendt dalam The Origin of Totalitarianism (1976: 89) memperlihatkan integrasi sosial di dalam sebuah pemerintahan haruslah diikat dengan ”sebuah ketundukan terhadap identitas yang terus diperkuat oleh penguasa”.
Ikatan-ikatan inilah yang menjadikan sebuah negara-bangsa bisa didirikan. Eksplisitasi di dalam anggaran dasar yang disebut dengan undang-undang dan semboyan yang disebut dengan falsafah bangsa adalah orientasi kultural yang didesain sejak awal pembentukan negara. Oleh karena itu, pelestarian dan pengembangan falsafah ini sesungguhnya lebih penting dari kebutuhan apa pun di republik ini.

Tinjauan pembangunan kultural dari masa ke masa memperlihatkan adanya upaya yang sangat luar biasa membangun kebudayaan sejak awal. Nagara Krtagama karya Mpu Prapanca pada abad ke-12 memperlihatkan konsepsi kebudayaan melalui dharma sebagai pengabdian kepada Syiwa Buddha. Raja Hayamwuruk sebagai pelindung negeri dan abdi yang menyejahterakan rakyat selalu menetapkan waktu-waktu tertentu untuk ”menyembah Syiwa Buddha”.

Demikian pula, Kerajaan Islam pada 1478 dalam chandra bumi sirna ilang kertaning bumi (1400 Saka atau 1478) meninggalkan kebudayaan intangible bagi generasi-generasi sesudahnya. Istana kerajaan Raden Fatah tidak ditemui, tetapi Masjid Demak membawa ikon tentang kebudayaan Islam masa lampau yang terpelihara hingga kini.

Fotokopi budaya kolonial
Di bagian lain, pemerintahan Hindia Timur Belanda, yang berada di bawah Kementerian Tanah Jajahan, telah membawa kultur baru dalam pembentukan sistem kebudayaan. Sebagaimana garis kebijakan Kementerian Kolonial di The Haque (Den Haag), penerapan kebijakan di tanah jajahan haruslah dilandasi oleh hadirnya kekuasaan ”misterius” yang mampu memaksa para warga koloni untuk tunduk dan patuh.

Sistem cultuurstelsel (tanam paksa), landrente (pajak tanah), sistem onderneming (perkebunan), dan poenali sanctie (hukum buruh) dalam kebijakan perburuhan yang diterapkan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 itu telah memengaruhi pola pikir masyarakat kolonial tentang idealitas-idealitas sebuah kebudayaan. Artinya, kebudayaan haruslah di bawah kendali sistem perekonomian yang memiliki orientasi jelas, yakni orientasi kapitalistik yang menghamba terhadap keuntungan.

Kita berada pada sebuah masa ketika gerakan angka-angka dalam statistik ekonomi dimaknai sebagai pertumbuhan. Dan kesejahteraan masyarakat Indonesia hanyalah masalah kuantifikasi Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index).

Persoalan-persoalan identitas keindonesiaan, semangat kebersamaan, keadilan sosial, dan pelestarian filsafat bangsa pun tertinggal sebagai bagian dari kurikulum tua yang tidak pernah diperbarui di dalam sistem pendidikan kita.

Lebih dari itu, pembangunan kebudayaan dalam strategi pemerintahan seperti barang apak yang disimpan di gudang tua tak tersentuh. Sampai lima tahun lagi. Setidaknya.

Saifur Rohman Pengamat Seni dan Budaya, Alumnus Doktor Filsafat Universitas Gadjah Mada, menetap di Semarang

Kompas, Sabtu, 14 November 2009 | 03:47 WIB

Teori Resepsi dan Korupsi

Budi Darma

Terceritalah, pada tahun 1929 seorang pemikir bernama IA Richards menganalisis kekeliruan para mahasiswa dalam memahami teks. Dari sini kemudian lahir berbagai teori tentang sikap pembaca terhadap teks.


Teori demi teori terus berkembang, sampai akhirnya terbentuk Reader Response Criticism, dan kadang dinamakan Teori Resepsi, yaitu pemaknaan pembaca terhadap teks.

Teori ini berangkat dari sebuah postulat bahwa teks baru mempunyai makna manakala teks itu dibaca dan, dalam menghadapi teks, pembaca pasti menyikapi teks itu sesuai dengan kemampuannya menangkap makna teks. Kemampuan ini ditunjang berbagai faktor, antara lain pengalaman pembaca dalam membaca berbagai teks, perjalanan hidup, dan pandangannya terhadap kehidupan.

Pada mulanya teks sastra
Awalnya pengertian ”teks” ini terbatas pada teks sastra, tetapi tidaklah mustahil manakala pengertian awal ini bisa berkembang ke mana-mana. Karena itu, jangan heran manakala teks bisa juga identik dengan kehidupan.

Membaca teks, dengan demikian, bisa identik dengan membaca kehidupan dan, karena membaca kehidupan menyangkut berbagai aspek, setiap orang memiliki hak memaknai kehidupan sesuai dengan daya tangkapnya.

Karena teori resepsi lahir melalui proses panjang, dengan sendirinya nama tokohnya juga banyak. Meski demikian, pada hakikatnya semua pendapat menjurus pada muara yang lebih kurang sama: dimensi empiris, dimensi foregrounding, dimensi harapan, dimensi ketidakmengertian, dan dimensi keterkaitan teks dengan realitas. Keterkaitan antara satu dimensi dan dimensi lain dengan sendirinya amat kuat.

Dalam dimensi empiris, pembaca dituntut punya pengalaman membaca teks alias kehidupan. Dalam dimensi foregrounding, pembaca dianggap dapat menangkap makna kehidupan dan apa kiranya yang akan terjadi kemudian. Karena diharapkan dapat melihat apa yang kira-kira akan terjadi, muncul dimensi harapan, yaitu harapan mengenai penyelesaian apa yang akan terjadi selanjutnya.

Lalu, muncul dimensi ketidakmengertian karena baik dalam menghadapi teks maupun kehidupan, kemungkinan adanya sambungan yang hilang selalu ada. Akhirnya, agar tervalidasi, semua dimensi ini harus dikaitkan dengan realitas, yaitu kehidupan yang benar-benar terjadi lengkap dengan dinamika perkembangannya.

Dinamika perkembangan perlu dipertimbangkan karena teks alias kehidupan tak lain adalah sebuah dunia yang tak mungkin statis. Ketidakstatisan ini bisa menjadi lebih rumit karena setiap pembaca punya daya tangkap sendiri dan daya tangkap ini bisa berkembang karena berbagai faktor, baik internal maupun eksternal. Faktor internal dalam hal ini identik dengan pengalaman dan kematangan pembaca yang tentunya tak akan selamanya statis. Faktor eksternal terkait dengan dinamika realitas di luar pembaca.

Komisi III DPR
Satu contoh dinamika realitas bisa kita simak lewat fakta dalam acara dengar pendapat Komisi III DPR beberapa waktu lalu. Dalam acara ini, Kapolri tampak sangat gagah dan sangat percaya diri. Terasa benar bahwa Komisi III mendukung Kapolri. Fakta ini menunjukkan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK harus segera diadili karena bukti untuk mengadili mereka sudah cukup kuat. Fakta ini juga mengacu pada dugaan bahwa pemimpin (nonaktif) KPK ini sangat pantas dilemparkan ke penjara.

Makna teks alias kehidupan mengalami perubahan karena ada kekuatan eksternal yang bisa, paling tidak untuk sementara, menggerakkan perubahan. Pembaca dengan sendirinya paling tidak untuk sementara bisa pula terpengaruh dan, karena itu, pemaknaannya terhadap teks alias kehidupan juga bisa berubah.

Namun, apa pun yang terjadi, pembaca tetap memiliki berbagai dimensi, antara lain dimensi empiris, dimensi foregrounding, dan dimensi harapan. Dengan berbekal tiga dimensi ini, pembaca dapat menyimpulkan bahwa pola-pola yang lebih kurang sama pasti akan dipertontonkan oleh pihak-pihak yang diduga terkait masalah rumit ini.

Pola ini selalu muncul dalam bentuk itu-itu saja, antara lain bantahan telah melakukan perbuatan tertentu, penyebutan nama Tuhan dan sikap religius, pemerasan air mata, dan ketersekonyong-konyongan terserang penyakit. Semua perwujudan ini, dalam berbagai versi, sudah ”diharapkan” oleh pembaca pasti akan muncul. Atau, apabila seseorang yang diduga tersangkut perkara merasa mempunyai kekuatan besar, sikap-sikap jumawa pasti akan dipertontonkan oleh orang semacam ini. Aparat pun akan ragu-ragu memprosesnya.

Ketidaktahuan
Ada lagi dimensi yang penting: ketidaktahuan. Ketidaktahuan bisa terjadi karena derajat rantai hilang dalam satu kasus dengan kasus lain mungkin saja berbeda dan mungkin pula perbedaannya sangat mencolok. Jangan heran, dengan demikian, manakala Tim 8 pernah bingung dan, karena itu, mengancam akan mengundurkan diri.

Pembaca, dalam hal ini masyarakat, juga bingung. Namun, karena masyarakat, menurut istilah Carl Gustav Jung, diikat oleh kesadaran bersama, hati nurani masyarakat akhirnya akan berbicara tanpa kepura-puraan.

Budi Darma, Sastrawan

Kompas, Sabtu, 14 November 2009 | 02:49 WIB

Hapus Terminal Khusus TKI

Nurani Lawan Keangkuhan

Oleh Ahmad Syafii Maarif

Wartawan senior Kompas menilai, membeludaknya dukungan terhadap kasus penahanan Bibit-Chandra oleh kepolisian menunjukkan nurani rakyat belum mati. ”Bagi rakyat, nurani inilah harta yang tersisa,” tutur wartawan itu melalui SMS kepada saya.


Meski rakyat telah lama menjadi bulan-bulanan dan tertipu bermacam retorika politik, baik dalam format janji-janji muluk saat pemilu maupun dalam corak pencitraan diri, toh dalam masa-masa kritikal nurani mereka yang terdalam tidak dapat dilumpuhkan. Itulah milik terakhir rakyat di tengah penderitaan yang belum teratasi sejak proklamasi, lebih dari 64 tahun lalu.

Sejarah Indonesia
Sebagai seorang peminat perjalanan sejarah Indonesia, dengan prihatin saya membaca, hanya sedikit di antara pemimpin kita yang benar-benar serius mengurus masalah bangsa ini demi mencapai tujuan kemerdekaan: keadilan dan kesejahteraan bagi semua. Sebagian besar adalah petualang yang tidak merasa malu mengatakan bahwa mereka adalah Pancasilais sejati.

Dengan kemajuan yang telah diraih di sana-sini dalam berbagai sektor kehidupan—dan capaian itu perlu disyukuri bersama—bangsa ini tetap dilingkari gurita budaya kumuh yang dapat membawa kita pada ketidakpastian masa depan.

Hingga detik ini, kita sedang membau aroma busuk tentang kemungkinan adanya kaitan antara kasus Bibit S Rianto- Chandra M Hamzah dan perampokan (istilah Jusuf Kalla) yang menimpa Bank Century, tetapi kita tidak tahu sampai di mana benarnya serba dugaan itu.

Saya mendapat informasi dari salah seorang pengacara Bibit-Chandra, keduanya berniat melakukan pengusutan terhadap megakasus Bank Century, akan mereka teliti, selama ini, ke mana dana haram itu mengalir. Namun, segala kecurigaan ini akan tetap menggantung di langit tinggi selama keangkuhan kekuasaan masih mendominasi sistem perpolitikan kita, meski sering dibungkus dalam jubah kesopanan lahiriah. Pragmatisme politik amat terasa dalam kultur kita, sebuah kultur tunamoral dan tunavisi.

Namun, sekiranya Bibit-Chandra tak diperlakukan dengan cara kasar melalui penahanan paksa, reaksi publik tentu tidak akan sedahsyat seperti terjadi pada hari-hari terakhir ini. Presiden yang semula terkesan tak mau campur tangan karena menilai kasus itu sebagai kasus biasa, akhirnya ”dipaksa” kenyataan untuk membentuk apa yang disebutnya sebagai Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum (TIVFPH) dengan masa kerja dua minggu, mulai Selasa (3/11/2009).

Apakah tim ini akan berhasil melakukan tugasnya, mari kita tunggu. Namun, ungkapan independen agak sedikit terganggu oleh masuknya dua pakar hukum yang sudah sedikit menempel dengan kekuasaan, meski di kawasan pinggiran.

Sebagai seorang demokrat yang tak ingin melihat demokrasi menggali makamnya sendiri untuk sekian kalinya sejak kita merdeka, prasangka semacam ini harus saya tekan sambil menanti hasil kerja tim yang baru dibentuk. Siapa tahu, semua anggota tim adalah manusia merdeka yang hanya terikat dengan filosofi, demi tegaknya kebenaran dan keadilan, tidak peduli siapa yang membentuknya.

Sulit ditaati
Seterusnya keangkuhan kekuasaan dalam masalah Bibit-Chandra ini juga disampaikan seorang petinggi Polri dalam formula ”cicak lawan buaya”, meski Kapolri telah minta maaf agar istilah itu tidak lagi digunakan. Larangan penggunaan ungkapan keangkuhan ini sulit ditaati karena orang tidak mungkin melompat ke depan dalam satu kevakuman. Mohon saya dimaafkan Pak Kapolri jika istilah ini masih saya pakai dalam artikel ini. Cicak tidak lain adalah KPK yang kecil, berhadapan dengan Polri yang kuat, yang langsung berada di bawah payung presiden yang berkuasa, sebuah posisi yang perlu dipertanyakan kembali dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.

Akhirnya, saya berharap agar pertarungan antara Polri melawan KPK akan dapat diselesailan secara baik, jujur, dan adil. Jangan sampai kehebohan ini membawa kita pada krisis kepercayaan pada demokrasi yang sungguh berbahaya.

Sebagai catatan kecil di ujung artikel ini, saya perlu menyebut bahwa perhatian publik demikian besar tersita oleh kasus Bibit-Chandra ini sehingga gaungannya jauh melampaui ingar-bingarnya perhelatan Dialog Nasional (National Summit) ala Obama yang digagas presiden pada awal masa jabatan keduanya.

Ahmad Syafii Maarif Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah


Kompas, Rabu, 4 November 2009

Dari Penggusuran hingga Kekerasan terhadap Istri

Menjadi pengacara sebenarnya bukanlah cita-cita Puji Utami. Saat masih kuliah di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, ia justru berkeinginan menjadi notaris. ’’Aku dulu mau jadi notaris,’’ katanya. Keinginan tersebut mulai berubah ketika pada tahun 1987 terjun sebagai relawan di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta.

Di LBH inilah ia banyak bersinggungan dengan kasus-kasus yang menghadapkan pemerintah dengan rakyat yang biasa disebut sebagai kasus struktural, seperti penggusuran. ’’Tanah dibeli dengan harga murah sekali. Bagaimana mungkin mereka bisa memulai hidup baru dengan uang sekecil itu,’’ kenang Utami.

Tahun 1989 Utami mengundurkan diri dari LBH dan menjadi asisten pengacara Artidjo Alkostar yang saat ini menjabat sebagai hakim di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tak lama kemudian, tahun 1993, Utami kembali bergabung dengan lembaga sosial yaitu Rifka Annisa Women’s Crisis Center Yogyakarta (yang sekarang berubah nama menjadi Pusat Pengembangan Sumber Daya Rifka Annisa). Sebuah lembaga yang memiliki kepedulian akan masalah kekerasan terhadap perempuan.

Keterlibatannya di lembaga ini semakin mengukuhkan pilihan hidupnya sebagai pengacara. Tahun 1996, ia pun mengantongi izin untuk beracara di wilayah hukum DI Yogyakarta. Empat tahun kemudian, ia mendapatkan sertifikat advokat sehingga bisa beracara di wilayah hukum yang lebih luas.

Merasa sudah cukup belajar dan berkiprah di lembaga sosial, tahun 2004 Utami mengundurkan diri dari Rifka Annisa. Terhitung sejak tahun 2005, ia memilih membuka kantor pengacara secara mandiri. Meski demikian, persinggungannya dengan lembaga-lembaga sosial di mana ia pernah berkiprah tetap mewarnai kerja-kerjanya.

Utami mengaku tak mau mengambil keuntungan dari kasus yang dihadapi oleh orang yang tak mampu. Sehingga ia memilih merujukkan klien dengan kondisi tersebut ke lembaga non-profit yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, seperti LSM atau lembaga independen lainnya. Termasuk di dalamnya kasus yang menimpa buruh migran. ’’Tidak tega minta ongkos transport. Seperti PRT (pekerja rumah tangga) itu gajinya berapa, kan kasihan,’’ katanya.

Diakui Utami bahwa dengan beracara mandiri seperti sekarang ini, keragaman kasus yang ditangani tidak lagi seperti saat dirinya masih terlibat dengan lembaga-lembaga sosial. Saat di LBH Yogyakarta, ia banyak terlibat dengan kasus yang ia sebut, ’’Kasus serius, (klien) tidak punya banyak uang, melibatkan banyak orang.’’ Sedangkan ketika di Rifka Annisa ia memiliki pengalaman berharga, berhadapan dengan perempuan yang mendapatkan kekerasan dari pasangannya. Hal ini benar-benar membukakan mata Utami bahwa, ’’Isteri dipukuli benar-benar terjadi.’’

Saat ini lebih banyak menangani masalah keluarga seperti perceraian, gono-gini, warisan, dan sejenisnya. Dibantu dua orang staf, Utami mengerjakan tugas kesehariannya. Pendekatan yang tidak melulu dari aspek hukum, melainkan juga sosial dan personal yang dilakukannya pada setiap kasus menjadikan hubungan Utami terjalin tak hanya dengan klien tetapi juga dengan lawan hukumnya. Bahkan tak jarang di belakang hari, lawan hukumnya justru merujukkan klien padanya.[am]

Ketika Perempuan Menjadi Buruh Migran


Keutuhan Rumah Tangga Dipertaruhkan

Memiliki keluarga bahagia dan hidup bersama sepanjang masa merupakan harapan semua orang ketika mulai membina rumah tangga. Namun dalam perjalanan, tak jarang sebagian di antara mereka terpaksa menjadikan perpisahan sebagai pilihan karena kebersamaan berubah menjadi siksaan. Ironisnya, pada sebagian kasus hal ini justru terjadi ketika salah satu pihak tengah menegakkan pilar rumah tangga yang ambruk karena salah satu sendinya tak tercukupi: ekonomi.


Itulah yang menimpa sebagian buruh migran perempuan Indonesia. Saat mereka mengadu nasib di negeri asing demi keberlanjutan rumah tangga, sang suami justru menghamburkan uang yang mereka kirimkan. Bahkan, tak sedikit dari suami-suami tersebut yang kemudian hidup bersama perempuan lain.

Menurut pengacara dan advokat Puji Utami, SH yang ditemui pertengahan Mei lalu di Yogyakarta, kasus seperti itu banyak dijumpai di wilayah di mana angka buruh migran cukup tinggi. Perempuan yang memiliki perhatian pada masalah-masalah perempuan ini menuturkan kondisi tersebut membuat buruh migran perempuan berada dalam kondisi sulit. Beban mereka sebagai pencari nafkah dalam rumah tangga harus ditanggung bersama dengan beban lain, menjaga keutuhan keluarga.

Dalam kondisi dimana perempuan ini tak dapat menanggungkannya lagi, perceraian kemudian menjadi pilihan. Utami mengilustrasikan salah satu kliennya, sebut saja N, seorang buruh migran Indonesia di Hong Kong yang akhirnya memilih bercerai karena suaminya tak bisa dipercaya. Menurutnya, selain sebuah rumah yang berhasil dibangun, uang yang dikirimkan N kepada suami tak berbekas lagi. Termasuk uang yang sedianya dimaksudkan sebagai modal usaha.

Ternyata proses perceraian N dengan suaminya tak semulus yang dibayangkan. Suami N berkeras mempertahankan keutuhan rumah tangga dengan alasan yang bisa dikatakan egois, menurut bahasa Utami. ’’Bagaimana ya Bu, dia itu cantik dan bisa cari uang,’’ kata Utami menirukan keberatan suami N atas gugatan cerai yang dilayangkan isterinya. Proses menjadi lebih alot lagi karena suami merasa berhak terhadap harta mereka sekalipun N-lah yang selama ini bekerja.

Pengguna jasa bantuan hukum atau pengacara belakangan memang tidak hanya dimonopoli kaum laki-laki. Seperti kata Utami, perempuan kini semakin banyak yang memiliki kesadaran hukum dan keberanian untuk menyelesaikan persoalan lewat jalur hukum. Meski mengaku 95% kasus yang ditangani merupakan persoalan keluarga bukan berarti Utami menutup diri terhadap kasus lain.

’’Mungkin karena perempuan dianggap lebih telaten,’’ jawabnya ketika ditanya mengapa sebagian besar kliennya datang dengan kasus rumah tangga. Jawaban ini bisa saja benar mengingat perempuan pengacara tak banyak jumlahnya. Apalagi pengacara yang membuka kantor secara mandiri seperti dirinya.

Meski demikian, tak semua kasus yang ditanganinya berlanjut hingga proses hukum. ’’Kalau bisa musyawarah, ya kita musyawarah,’’ kata Utami. Dalam kondisi demikian, Puji memposisikan dirinya sebagai mediator bagi dua pihak yang tengah berseteru.[am]

Krisis Global Jadi Alasan, Nasib Buruh Dipertaruhkan

Sepanjang 2009 perhatian, pikiran, dan tenaga bangsa Indonesia seolah tercurah untuk dua pemilihan umum yang digelar pada tahun ini. Setelah pemilihan umum legislatif April lalu, kini bangsa Indonesia tengah bersiap-siap menghadapi pemilihan presiden yang akan digelar Juli mendatang.

Di tengah berbagai janji yang ditebar para calon legislator dan calon presiden/wakil presiden akan perubahan dan perbaikan, berbagai keprihatinan masih tetap dirasakan oleh banyak kalangan. Tak terkecuali para buruh, terutama buruh perempuan. Pergantian pimpinan di pucuk pemerintahan, tak banyak berpengaruh terhadap kondisi mereka. ’’Kondisi perempuan belum berubah,’’ kata Amin Mufityanah, Direktur Yayasan Annisa Swasta, sebuah lembaga yang berkonsentrasi pada persoalan buruh perempuan, mengomentari keadaan ini akhir April lalu. ’’Malah tidak terdengar. Kalah dengan isu lain, terutama politik.’’

Menurutnya belakangan kondisi buruh perempuan justru semakin memprihatinkan. Sejak dulu buruh memang terkena imbas langsung dari jaringan bisnis internasional. Maka saat terjadi krisis global seperti sekarang, imbas ini tak bisa dielakkan. Terlebih di Indonesia banyak perusahaan yang merupakan investasi asing.

Amin menjelaskan bahwa sebenarnya tidak diketahui dengan pasti bagaimana kondisi perusahaan-perusahaan tersebut saat ini. Sebagian di antanya tiba-tiba berhenti beroperasi tanpa alasan pasti. ’’Pindah atau ke mana tidak jelas,’’ kata Amin.

Krisis global juga menjadi alasan berbagai perusahaan untuk tidak memberikan hak buruh sesuai ketentuan. Perusahaan yang mempekerjakan mayoritas buruh perempuan memiliki kecenderungan lebih besar melakukan hal demikian. Sebab biasanya perempuan akan lebih maklum dan bisa menerima alasan tersebut.

Apa yang terjadi di sebuah perusahaan garmen di sebelah barat Yogyakarta membuktikan hal ini. Dengan alasan krisis global, pihak perusahaan menunda pembayaran terhadap para buruhnya yang hampir semuanya perempuan. ’’Padahal belum ada bukti (kalau perusahaan terimbas krisis global) karena perusahaan tetap berproduksi,’’ papar Amin. Dalam kondisi demikian buruh tersebut tetap setia datang ke perusahaan. Menjalankan tugas mereka sambil mengharap upah mereka dibayarkan. Menurut ketentuan hukum, perusahaan terkena denda sebesar 5% per hari untuk keterlambatan pembayaran. Namun, hampir tak ada perusahaan yang memenuhi ketentuan ini.

Tak hanya soal kesejahteraan yang tidak diberikan sesuai ketentuan, sebagian besar perusahaan saat ini juga tidak mau mengangkat buruh tetap. Mereka memilih mempekerjakan buruh yang dikontrak untuk masa tiga hingga enam bulan, sehingga kewajiban dan beban yang harus ditanggung perusahaan lebih ringan. Hal ini menjadikan gerakan buruh yang menuntut kenaikan upah tidak signifikan. ’’Setelah upah naik, mereka keluar,’’ jelas Amin.

Persoalan lain yang muncul adalah semakin tingginya jumlah perusahaan yang memilih mempekerjakan tenaga outsource (biasa disebut sebagai buruh informal) dalam proses produksinya. Terutama industri-industri padat karya. Bagi sebagian buruh terutama perempuan hal ini dirasa memudahkan karena mereka dapat memperolah penghasilan sementara pekerjaan rumah tangga tetap bisa mereka lakukan.

Mengenai hal ini Amin berpendapat bahwa sebenarnya posisi buruh informal hanya menguntungkan perusahaan dan agen yang merekrut jasa para pekerja lepas ini. Bukan hanya tidak mendapatkan informasi mengenai perusahaan mana yang menggunakan jasa mereka, buruh informal sering kali juga tidak tahu berapa sebenarnya upah yang seharusnya mereka terima. Sistem kerja yang diterapkan di sini bisa disebut sistem sel karena para buruh hanya mengenal pihak yang secara langsung memberi order pada mereka. Sebaliknya perusahaan juga tidak mengetahui siapa saja yang terlibat dalam proses produksi mereka. [sa]

Mei 2009

Sebulan, Ratusan Pasutri Cerai di Ponorogo

Tertinggi Selama Tiga Tahun Terakhir

PONOROGO - Harta berlimpah belum tentu menjamin keluarga bahagia. Sebaliknya, bertambahnya harta acap menjadi pemicu retaknya keharmonisan rumah tangga. Tak jarang, berujung perceraian. Fenomena seperti itu, kini ngetren di Ponorogo.


Dari bulan ke bulan, angka perceraian meningkat signifikan. Puncaknya bulan ini yang menembus angka 174 kasus. Jumlah pasangan suami istri (pasutri) yang mengajukan cerai diperkirakan masih akan terus bertambah hingga akhir bulan mendatang. ''Bulan ini yang paling tinggi selama tiga tahun terakhir,'' terang Misnan Maulana, humas Pengadilan Agama (PA) Ponorogo, kemarin (22/10).

Menurut dia, biasanya dalam satu bulan menangani pengajuan perceraian sekitar 80 hingga 100 kasus. Namun, usai lebaran kemarin, pengajuan perceraian meningkat drastis. Dikatakan, kondisi seperti ini seperti sudah jadi kebiasaan. ''Saat lebaran banyak TKI/TKW yang pulang. Selain membawa uang, waktu pulang digunakan mengurus perceraian,'' paparnya.

Masih menurut Misnan, dari sekitar 800 kasus perceraian yang ditangani paling banyak melibatkan pasutri (tenaga kerja Indonesia) TKI. Baik yang pria jadi TKI atau yang perempuan jadi tenaga kerja wanita (TKW) di luar. ''Ada beberapa faktor yang mereka ungkapkan saat sidang perceraian,'' ujarnya.

Di antaranya faktor ekonomi. Biasanya, perempuan yang jadi TKW setelah status ekonominya meningkat menjadi tidak cocok dengan suami yang di kampung. Begitu pula dengan TKI yang istrinya di rumah. Merasa tinggal di luar negeri, si suami sudah kerasan dan gandeng dengan perempuan lain. ''Tapi ada juga perceraian itu disebabkan perselingkuhan. Baik yang dilakukan kaum pria maupun pihak wanita,'' jelasnya.

Dijelaskan, pihaknya sudah berusaha maksimal mencegah perceraian itu. Caranya dengan mengusulkan rujuk dan menyelesaikan persoalan keluarga melalui persidangan. Namun, kebanyakan pasutri yang datang ke PN sudah bulat ingin cerai. Sehingga berbagai saran yang di usulkan pihak pengadilan tidak diikuti. ''Kami sudah berusaha maksimal, tapi apa boleh buat kalau memang keinginan mereka seperti itu,'' pungkasnya.(dhy/sad)

Radar Madiun, Jum'at, 23 Oktober 2009

Kebijakan Pertanian yang Pro-Petani

Oleh Muslimin Nasution, Ketua Presidium ICMI

Para pelaku ekonomi dalam masyarakat berbeda-beda keadaannya. Ada kelompok 'kuat', mereka yang menguasai akses kepada teknologi, permodalan, jaringan pasar, dan pembuat kebijakan. Amy Chua, pengarang buku terkenal World on Fire, menyebutnya market dominant. Yang termasuk kelompok ini jumlahnya hanya sedikit, tetapi sangat berkuasa. Market dominant akan menikmati kue ekonomi paling banyak dalam pasar bebas. Semakin bebas, semakin banyak yang mereka dapatkan. Sejarah menunjukkan, jika dibiarkan, mereka akan berubah menjadi tiran.


Dalam sektor pertanian global, keberadaan market dominant ini telah menimbulkan kekhawatiran. Pada 2005, FAO melaporkan bahwa nilai total bisnis komoditas pertanian dunia, khususnya komoditas yang bernilai tinggi dan produk-produk olahannya, semakin didominasi perusahaan-perusahaan transnasional. Misal, hampir 40% nilai total bisnis kopi dikuasai empat perusahaan, sedangkan 455 industri pengolahannya dikuasai hanya oleh tiga perusahaan. Enam industri cokelat terbesar menguasai 50% nilai total bisnis cokelat dunia. Hanya tiga perusahaan yang menguasai 80% pasar kedelai di Eropa dan tiga perusahaan menguasai 70% pasar di AS.

Di tingkat pengecer, dominasi supermarket telah meningkat amat pesat baik di negara maju maupun di negara berkembang. Di seluruh dunia, lima ritel terbesar mengendalikan 30% hingga 96% bisnis eceran produk pangan dan pertanian.

Market dominant saat ini mungkin lebih besar dan lebih berkuasa jika dibandingkan dengan pada 2005. Lalu bagaimana dengan market dominant di sektor pertanian di Indonesia? Keadaannya ternyata sejalan dengan temuan FAO. Nilai tambah bisnis perdagangan kedelai sebagian besar hanya dinikmati lima perusahaan. Harga ubi kayu dan tapioka sangat 'patuh' kepada instruksi sebuah perusahaan, padahal industri tapioka rakyat ratusan jumlahnya. Apalagi pasar terigu yang dimonopoli sebuah perusahaan sejak dahulu. Komoditas lain yang bernilai tinggi, situasinya kurang lebih sama.

Persoalan ini jika terus dibiarkan, tentu mengusik rasa keadilan masyarakat. Untuk mengatasinya, kita memerlukan 'kebijakan yang berpihak' kepada petani. Berikut adalah beberapa contoh bagaimana yang disebut 'kebijakan yang berpihak' itu.

Di zaman Orde Baru pernah dikeluarkan kebijakan Bukti Serap Susu, yakni industri pengolahan susu diwajibkan membeli susu segar dari peternak dalam negeri dengan harga yang sangat menguntungkan peternak, yaitu dua kali lipat daripada harga sebelumnya. Pada awalnya industri menolak dengan berbagai alasan: susu dari peternak bau nangka karena sering diberi makan daun nangka, kandungan bakterinya banyak, harga terlalu tinggi sehingga pabrik akan bangkrut jika membeli susu dari peternak, dan berbagai alasan lainnya. Industri juga tidak mau menerima susu pada Minggu, padahal sapi memproduksi susu tidak mengenal hari sehingga jika industri tidak mau menerima, sebagian besar susu yang dihasilkan pada Minggu akan terbuang.

Namun demikian, pemerintah waktu itu tetap bergeming dengan kebijakannya yang propeternak. Jika ada industri menolak, industri itu tidak diberi izin untuk mengimpor produk tertentu yang menjadi bahan baku produknya. Kebijakan itu kemudian membuat usaha peternakan dalam negeri bangkit dan peternak menjadi lebih sejahtera. Di sisi lain, ternyata tidak ada industri pengolahan susu yang bangkrut akibat membeli susu dari peternak. Malah peternak dapat memperbaiki kualitas susu yang mereka produksi sehingga memenuhi standar industri.

Di negara lain, kebijakan yang berpihak kepada pertanian dan petani sangat lumrah. Presiden Nigeria mengeluarkan kebijakan yang mewajibkan industri produsen terigu mencampur 10% terigu dengan tepung singkong. Nigeria adalah salah satu negara produsen utama singkong di Afrika. Adanya kebijakan itu otomatis menciptakan captive market sebesar 200 ribu ton tepung singkong per tahun untuk industri singkong dalam negeri yang banyak dimiliki para petani.

Pemerintah Malaysia tidak segan membebaskan Pajak Ekspor CPO ketika dirasa perlu, dan ketika Pajak Ekspor diberlakukan, 100% pungutan itu dikembalikan lagi ke industri dalam bentuk riset dan pengembangan (48%), marketing atau promosi (13%), penegakan hukum (12%), dan safety net fund (26%) yang digunakan untuk mengendalikan harga minyak goreng dalam negeri. Pemerintah Malaysia juga membuka akses kredit bagi petani dengan mereformasi aturan kredit sehingga sesuai dengan kondisi petani. Misalnya, ada yang disebut Must (modal usahawan tani), yang menyediakan kredit dengan ketentuan di antaranya: 1) pembiayaan untuk semua kegiatan pertanian mulai dari on-farm, processing hingga pemasaran; 2) mengusahakan kegiatan yang kurang dari dua tahun; 3) tidak diperlukan kolateral; 4) tidak ada biaya proses.
Bagaimana dengan Indonesia? Apakah pemerintah bersedia mewujudkan berbagai kebijakan yang berpihak itu? Jika ya, PR yang perlu segera diselesaikan adalah merumuskan berbagai bentuk kebijakan yang berpihak itu, mulai dari reformasi agraria, credit reform, jaminan harga, jaminan pasar, teknologi, dan persoalan lainnya yang mendasar. []


Media Indonesia, Rabu, 14 Oktober 2009 00:01 WIB