ADA APA SIH, DENGAN "BABU"?

Oleh Eni Kusuma

Fenomena soal "genre babu" yang kian marak ditengah-tengah kekreatifan para BMI yang menulis sastra, mampu menarik perhatian saya yang notebene, babu juga, tetapi saya bukan penulis sastra, melainkan penulis "biasa".



Kata "babu", mungkin untuk sebagian orang julukan itu merendahkan martabatnya. Namun ada sebagian orang lagi yang menganggap bahwa martabat tidak berdasarkan sebuah "julukan", tetapi berdasarkan sifat atau karakter dari tiap pribadi yang ingin dipandang sebagai manusia yang bermartabat. Jadi tentu saja sebuah "martabak" eh salah, sebuah "martabat" adalah penghargaan orang lain atas diri kita. Bukan kita yang mengklaim sendiri lebel tersebut.

Jika Anda bertanya pada saya tentang julukan "babu" yang melekat pada saya. Secara pribadi malah senang, justru julukan itu nantinya akan membranding diri saya. Demikian juga dengan "sastra babu", lebel ini nantinya justru akan membranding para BMI yang doyan nulis untuk dikenal lebih luas. Bayangkan jika menulis sastra tidak ada lebel atau brand tertentu yang mudah dikenal. Dengan menamakan sastra saja atau sastrawan saja tidak akan membuat menjadi terkenal. Kenapa? Sastra itu banyak, sastrawan itu banyak, bagaimana caranya agar lebih dikenal? Spesifik. Itulah jawabannya. Sesuatu yang spesifik atau mempunyai ke"khas"annyalah yang akan membuat sesuatu itu bisa terkenal.

Mungkin julukan "babu" untuk para BMI bagi sebagian orang sangat memalukan untuk dipublikasikan, sehingga memandang itu sebagai sebuah eksploitasi. Atau menganggap itu sebuah penghinaan. Kecuali dijuluki sebagai BMI, agak "terhormat" katanya. Apakah sebuah julukan bisa berpengaruh pada kehormatan seseorang? Mungkin untuk sebagian orang ya, namun saya tidak demikian. Saya justru bangga dengan sebutan itu. Karena justru itu bisa menjadi kekuatan tersendiri bagi saya. Bisa mengubah kekurangan menjadi kelebihan adalah kecerdikan bagi saya. Sastra Babu adalah salah satunya.

Memang untuk menjadi penulis tidak perlu mengikutsertakan gelar babu, doktor, Phd dll. Tapi bagi saya penulis itu butuh genre yang bisa membuatnya spesifik untuk bisa dikenal oleh khalayak. Begitu bayak genre, kenapa harus keberatan dengan genre "babu", jika itu untuk membuat kita menjadi dikenal?

Salam,

Eni Kusuma ( seorang babu biasa aja).

Dari milis > kossakata@yahoogroups.com

Persisnya di sini

0 tanggapan: