BERJUANG MELALUI BUKU


Tanggal 18 Desember adalah Hari Buruh Migran Sedunia. Di Indonesia, para aktivis, pemeduli, dan para buruh sendiri memeringatinya di Wonosobo (Jawa Tengah), Malang (Jawa Timur), dan di kota-kota lain hingga Jakarta dengan berbagai kegiatan. Ada pawai, pemutaran film, diskusi, dan peluncuran buku.

Di Malang (kawasan yang tergolong banyak mengirimkan tenaga kerjanya ke luar negri) ada peringatan yang dikemas lebih sebagai acara kesenian: baca puisi, monolog, orasi budaya, dan peluncuran buku, di Pendopo Dewan Kesenian Kota Malang (Jl Majapahit) malam itu (18/12).

Buku yang diluncurkan adalah Sebongkah Tanah Retak yang dilabeli sebagai ’’novel inspiratif.’’ Penulisnya, Rida Fitria, ialah ibu tiga orang anak, istri Aak Abdullah Al Kudus yang penyair dan pendiri SBMI (Serikat Buruh Migran Indonesia) itu. Sebongkah Tanah Retak bercerita tentang seorang tokoh, Ijah, yang menjadi petarung kehidupan dengan menjadi pekerja migran. Bekerja 2 tahun di Arab Saudi, pulang, dan terpaksa kembali menjadi pekerja migran. Kali kedua ini tidak kembali ke Arab, melainkan ke Hong Kong.
Rida Fitria tentu tidak hanya mau bergagah-gagah menjadi penulis novel dengan terbitnya Sebongkah Tanah Retak ini. Jika novel ini kemudian lebih melambungkan namanya yang kini sudah dikenal sebagai aktivis itu, tentu hanyalah sebagai efek samping saja. Yang lebih terasa adalah betapa penulis meniatkan penulisan novel ini sebagai sebentuk perjuangan. Rida Fitria telah berjuang dengan senjata: pena. Begitulah.

Kalau berbicara soal gairah penulisan, BMI-HK pasti tak kalah kenceng-nya dibanding para penulis di Indonesia. Cobalah hitung, berapa sudah buku diterbitkan oleh BMI-HK di tahun 2010 yang baru saja lewat?

Jangan bicara soal amatir dan professional dulu. Gairah penulisan yang makantar-kantar di antara para pekerja migran di HK ini sudahlah merupakan api perjuangan itu sendiri. Perkara bagaimana membuat kobaran api itu kelak menjadi lebih indah dari letusan magma dan lebih tinggi derajat panasnya daripada wedhus gembel, itu urusan lain.

Apalagi kalau sudah bicara soal buku. Lho, baru menulis, itu saja: m e n u l i s , itu sudah bisa bernilai perjuangan, lho! Kandhani, kok! [bon]

Menggagas Festival Pekerja Migran 2012


Setelah sukses dengan Festival Sastra Buruh 2007 (Blitar, Jawa Timur) FLP-HK sudah menggelar Festival Sastra Migran 2010 dan akan disusul acara serupa 2012 ini, di Hong Kong. Di Indonesia, masih sepi. Padahal, penerbitan buku-buku karya BMI/Mantan BMI semakin marak. Perhatian dari kalanhgan akademik pun semakin terlihat. Seorang dosen Unesa (Surabaya) yang kini sedang menyelesaikan program S-3-nya juga berniat menjadikan karya-karya BMI untuk bahan disertasinya.

Acara internasional sebergengsi UWRF Ubud Writers and Readers Festival 2011 pun mulai memperhitungkan dan mengundang penulis dari kalangan BMI.

Namun demikian, semaraknya dapur produksi penulisan di kalangan BMI ini tetap saja terasa kurang diimbangi oleh kegiatan-kegiatan pendukungnya. Seolah-olah hanya didorong-dorong untuk berproduksi, setelah itu selesai. Buku terbit, masuk pasar, dan didiamkan. Sungguh eman jika acara yang sudah dimulai dengan baik dan susah-payah bernama Festival Sastra Buruh itu tidak dilanjutkan dengan baik.

Baiklah, setidaknya di HK sudah ada FLP yang meneruskan tradisi yang baik itu. Dan di Indonesia, jika tidak ada aral melintang, Mei 2012 nanti kita akan menggelar Festival Pekerja Migran. Bukan hanya untuk sastra, tetapi juga untuk merayakan segala produk baik yang benda maupun takbenda, yang dihasilkan oleh para BMI. Karena itulah, yang akan digelar bukan hanya sastra dan seputarnya, melainkan juga hal-hal lain, bahkan termasuk bakti sosial menanam pohon. Yang sudah diangankan adalah: bedah buku, pameran/bursa buku, pameran foto, pemutaran film, sarasehan sastra, sarasehan budaya, bakti sosial tanam pohon, telekonference, pentas sastra, pentas seni.

Buku yang akan dibedah, diusahakan adalah karya puncak para pekerja migran (BMI) yang mulai saat ini dihimpun. Caranya, para BMI penulis, diharapkan mengirimkan karya terbaiknya (yang belum dibukukan), baik yang baru, yang pernah dimuat di media cetak maupun elektronik, berupa puisi, cerpen, opini, features, memoar, ke pos-el: forumburuhmigran@gmail.com. Jangan lupa melengkapinya dengan biodata dan foto penulis. Ditunggu oleh panitia, selambat-lambatnya hingga 30 Maret 2012.

Partisipasi BMI di seluruh dunia akan sangat menentukan keberhasilan kegiatan ini. Selain mengirimkan karya, menyebarkan informasi ini melalui akun Facebook, milis, atau media lain, adalah bagian dari ujud partisipasi itu. Di Indonesia, sudah ada pihak yang bersedia memfasilitasi agar dapat digelar teleconference-nya. Jika ternyata tidak ada penyandang dana yang sanggup mencukupi kebutuhana acara ini, para penulis juga akan diminta bergotong-royong untuk membayar iuran penerbitan buku. Berdasarkan pengalaman menerbitkan buku Pasewakan setebal 500-an halaman (September 2011), sudah cukup jika masing-masing penulis, tanpa memandang apakah karyanya berupa puisi, cerpen, atau opini, menyumbangkan Rp 100.000 (seratus ribu rupiah).

Itu pun baru dapat diputuskan nanti. Yang terpenting sekarang, segeralah kirimkan karya Anda melalui alamat yang sudah disebutkan tadi. Dan sebarkan informasi ini ke rekan-rekan penulis dari kalangan BMI lainnya. Setuju?


BONARI NABONENAR

SAPI DAN MANUSIA

Belum berbilang bulan, Australia menghentikan ekspor sapi ke Indonesia, karena mengetahui (melalui rekaman video) sapi-sapi itu disembelih dengan cara yang tidak wajar, dengan disakiti terlebih dulu. Maka, penghentian ekspor itu adalah sebentuk protes terhadap para penjagal yang tidak ’berperikehewanan’. Protes kepada Indonesia. Ini soal sapi.

Dan ini soal manusia, dari kelompok yang sering disebut-sebut, juga oleh pejabat, sebagai pahlawan devisa. Ialah Ruyati, pekerja migran asal Bekasi, dihukum pancung di Arab Saudi, Sabtu (18/6) lalu, setelah pengadilan setempat memvonisnya sebagai pelaku pembunuhan atas majikannya. Jika faktanya Ruyati (almarhumah) memang membunuh, apakah motivasinya? Jangan-jangan justru sesungguhnya ia sekadar membela diri? Itu pertanyaan-pertanyaan yang pasti akan menggoda kita. Parahnya, Pemerintah Arab Saudi tidak mengkomunikasikannya dengan Pemerintah Indonesia, melalui Kedubes setempat misalnya, sehingga seperti dilansir detik.com, BNP2TKI merasa kecolongan dan Kemenlu RI pun melayangkan protes atas kejadian ini.

Itu berarti, tidak ada yang dilakukan Pemerintah RI hingga Ruyati menemui ajalnya. Padahal, 12 tahun silam, hukum pancung itu nyaris saja menimpa Zaenab, dan dapat dibatalkan setelah Raja Saudi ditelepon Presiden RI (Gus Dur) saat itu.

Ya, Kemenlu RI sudah melayangkan surat atau nota protes. Cuma itu. Sayang, kita belum dapat ikut membaca bagaimana bunyi kalimat nota protes itu. Maka, saya menulis status di Facebook, ’’Pahlawane dibunuh kok ora nantang perang? --ngono kuwi yen angger nggambleh ngarani pahlawan. Mung lelamisan…’’ Artinya lebih-kurang, ’’Pahlawannya dibunuh mengapa tidak menantang untuk berperang? Begitulah jika asal saja menyebut ’pahlawan’, hanya sebagai pemanis bibir.’’

Apakah benar saya menyetujui perang? Oh, tidak. Pasti tidak. Tetapi, saya mengangap penting untuk bersitegang. Ini menyangkut nyawa manusia yang dibunuh dengan sengaja, betapa pun atas nama hukum. Wong arep mateni anake uwong kok kulawargane dikabari wae ora, sadurunge!’’ Mau membunuh manusia kok memberi kabar keluarganya pun tidak, sebelumnya! Adalah penting untuk bersitegang. Bersitegang seperti apa? Ya, entahlah. Tetapi, setidaknya, jangan hanya sekadar mengirimkan surat, bagaimana pun bunyinya surat itu. Pasti saya tidak tahu cara paling tepat untuk meningkatkan ketegangan itu, sebab jika saya tahu, bisa jadi sayalah Ketua BNP2TKI atau bahkan Menakertrans-nya.

Nah, hal lain yang ingin saya ingatkan lagi adalah, janganlah seenaknya –terutama para pejabat itu-- menyebut-nyebut para pekerja migran kita sebagai Pahlawan Devisa. Sebab dari situlah saya tarik logika ke arah ’’peperangan’’ tadi itu. Jadi penalarannya begini. Pahlawan adalah kata yang sering digunakan untuk menyebut para kusumaning bangsa yang gugur di medan perang. Mereka dibunuh oleh pihak musuh di dalam peperangan. Pahlawan adalah mereka yang menakar harga kehormatan bangsa persis sama dengan jiwa dan raganya sendiri. Maka, mereka rela mati demi kehormatan bangsanya. Dan negara yang dijalankan oleh pemerintah, pun menghormatinya, antara lain dengan memakamkan di pemakaman istimewa, yang sering disebut sebagai Makam Pahlawan. Nah, ketika sang pahlawan sudah mempertaruhkan jiwa-raganya, dan kalah dalam pertaruhan itu, negara hanya mengeluarkan sepucuk surat? Ya, karena memang sebatas itulah yang bisa dilakukan sebagai reaksi. Sampai di sini, kita sudah dapat kesimpulan: ’’Janganlah terlalu mudah menyebutkan kata: pahlawan.’’

Memberikan komentar pada status FB seperti saya sebutkan tadi, seorang Dosen Teater dari Universitas Negeri Surabaya menulis, "Ora isin karo Australia sing Sapine ora "disapikan" oleh para jagal, memilih menolak melakukan ekspor sapi ke Indonesia..." yang lebih-kurang berarti, ’’Tidak malu dengan Australia yang ketika sapi-sapinya tidak ’’disapikan’’ oleh para jagal lalu memilih menolak melakukan ekspor sapi ke Indonesia.’’

Jadi, rasa hormat Pemerintah kita terhadap jiwa manusia, jiwa rakyatnya, lebih rendah daripada rasa hormat Pemerintah Australia terhadap para sapinya? Duh Gusti…!*

Komunitas per Kabupaten/Kota

Sudah ada banyak situs jejaring soSial dalam format Grup di Facebook atau mungkin juga di situs lain yang mengundang orang-orang, para pihak, untuk peduli pada para pekerja migran. Termasuk, tentu saja, para pekerja migran itu sendiri. Dan, ketika dalam pekan-pekan terakhir Februari 2011 ini terbetik gagasan dan kemudian dengan segera dilakukan, membuat grup-grup untuk mengumpulkan balung pisah, atau menjalin silaturahmi berdasarkan pekerjaan (sebagai pekerja migran) dan daerah asal (berdasarkan kabupaten/kota) ternyata ada yang khawatir bahwa grup-grup seperti itu berpotensi memecah belah. Oh, tidak!

Saya, memang, yang selama ini ikut menggawangi majalah ini, sering berhadapan dengan pertanyaan begini: ’’Saya mau pulang kampung terus nih, apa ya bisnis yang paling bagus sekarang?’’ Pertanyaan seperti itu, berkaitan dengan si penanya yang mau pulang kampung, pastilah mengundang pertanyaan balik: ’’Lha, Anda pulang kampungnya ke mana?’’

Kalau sudah menyangkut peluang usaha/bisnis, apa pun bidangnya, pastilah berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Bahkan, ambil contoh saja misalnya: Trenggalek, antara kecamatan yang satu akan berbeda dengan kecamatan lainnya. Karena itulah, sesungguhnya berbagai lembaga yang peduli pada pekerja migran, baik lembaga pemerintah meupun nonpemerintah, sesungguhnya penting untuk memiliki data berdasarkan dsaerah asal ini.

Ketika data itu ada, misalnya lagi, seandainya Bupati Tuban hendak bertemu/mengunjungi warganya yang ada di Hong Kong, atau Taiwan, untuk membicarakan program apa yang seharusnya diprioritaskan pemerintah untuk membantu para pekerja migrannya menginvestasikan dana yang mereka dapat dari membanting tulang di negri lain itu, secara teknis akan sangat gampang.

Dan begitulah seharusnya, memang, kalau sudah menyangkut birokrasi pemerintahan. Segala bantuan, kerjasama, atau apa antara lembaga pemerintah di Indonesia, jika dari kabupaten tertentu atau provinsi tertentu, seharusnya secara langsung menyentuh warga kabupaten/provinsi yang bersangkutan. Kecuali program dari pemerintah pusat, yang, tak perlu memandang asal daerahnya selama masih warga Negara Indonesia. Adalah tidak mathuk, misalnya, Bupati Wonosobo, datang ke Hong Kong mengajak berdiskusi pekerja migran di sini yang sebagian besar berasal dari luar Wonosobo, sedangkan lebih banyak lagi warga Wonosobo jusrtru tidak kebagian kursi. Dalam hal-seperti itulah dibentuknya grup/komunitas per daerah kabupaten/kota menjadi penting.

Terlebih lagi, misalnya, ketika ikatan persaudaraan sudah semakin erat sejak di perantauan, bukan tidak mungkin ketika sama-sama memutuskan pulang kampung kemudian sepakat membangun usaha bersama. Alangkah indahnya, bukan?

Jadi, mengapa harus dikhawatirkan adanya potensi memecah-belah itu? Barangkali di sinilah pentingnya mengingat kata-kata ini: ’’Yang penting adalah niatnya.’’ Selama diniatkan untuk kebaikan, percayalah, potensi-potensi negatif akan cepat terdeteksi, dan dengan begitu bisa diantisipasi bersama-sama. Semoga!

BONARI NABONENAR