Muhammadiyah dan Ahmadiyah

Oleh Ahmad Khoirul Fata *

Tulisan Asvi Warman Adam Belajar dari Sejarah Ahmadiyah (JP, 24/04/08) patut dikritisi. Sebab, dalam tulisan itu, Asvi membuat kesimpulan bahwa sejak dulu Muhammadiyah tidak memiliki problem serius dengan Ahmadiyah, terutama Lahore. Resistansi Muhammadiyah baru muncul saat MUI mengeluarkan fatwa kesesatan Ahmadiyah pada 1984.



Kesimpulan tersebut tentu saja layak diperdebatkan. Beberapa literatur justru menunjukkan bahwa sikap resistan Muhammadiyah muncul jauh sebelum dekade 1980-an. Selain itu, tampaknya, Asvi hanya menyampaikan fakta sejarah yang sepenggal.

Buya HAMKA dalam buku Peladjaran Agama Islam (PAI) (terbit kali pertama pada 1956) menulis Ahmadiyah -baik Qadiani maupun Lahore- masuk ke Indonesia sejak 1920-an. Qadiani masuk melalui Tapak Tuan, kemudian ke Minangkabau pada zaman kejayaan Sumatera Thawalib di Padang Panjang sekitar 1923.

Awalnya, beberapa pelajar Sumatera Thawalib melanjutkan studi ke luar negeri. Di sana mereka secara intens dibina Qadiani hingga bisa bertemu dengan Khalifatul Masih II. Setelah dinilai matang dalam ajaran Ahmadiyah Qadiani, mereka pun disuruh pulang ke Minangkabau ditemani seorang dai Qadiani, Maulvi Rahmat Ali. Di tanah kelahirannya, mereka menggelar berbagai perdebatan tentang keyakinannya dengan ulama lokal.

Tentu saja, keyakinan menyimpang yang mereka bawa ditentang para ulama. Karena hanya memperoleh beberapa puluh pengikut di Sumatera, Rahmat Ali pindah ke Jawa dan mendapat beberapa orang pengikut. Namun, akhirnya usaha di Jawa juga mendapat tentangan keras, terutama, dari tokoh Persis, A. Hassan. Dalam sebuah perdebatan di Bandung, A. Hassan membuka semua kekeliruan Qadiani dan terbongkarlah semua kepalsuannya oleh pendebat ulung itu.

Hampir bersamaan dengan Qadiani, aliran Lahore juga hadir di Indonesia. Pada 1924, dua orang utusan Lahore datang ke Jogja, yaitu Maulana Ahmad dan Mirza Ali Ahmad Beig. Menurut HAMKA, ada dua tokoh Muhammadiyah yang mengikuti ajaran itu, yaitu M. Ngabehi Joyosugito dan M. Yunus Anis. Saat itu, belum ada sikap tegas dari Muhammadiyah atas kedua tokohnya itu.

Pada 1925, Syaikh Abdul Karim Amrullah datang ke Jogja dan sempat berdebat dengan Ahmad Beig di hadapan H Fakhruddin. Dari perdebatan itu, H Fakhruddin baru tahu bahwa Qadiani dan Lahore tidak jauh berbeda. Meski demikian, Muhammadiyah tetap belum bisa mengambil sikap tegas.

Selang dua tahun kemudian, mubalig terkenal dari India, Maulana Abdul Aleem As-Shiddiqi, datang ke Jogja dan berceramah tentang hakikat Ahmadiyah Qadiani dan Lahore. Baru setelah itu Muhammadiyah bersikap tegas dengan mengeluarkan kedua tokohnya yang terjangkit penyakit Ahmadiyah itu.

Agama Ahmadiyah

Ada satu kenyataan yang tidak disinggung Asvi dalam tulisan itu bahwa keluarnya fatwa MUI tentang kesesatan Ahmadiyah pada 1984 tidak lepas dari peran penting tokoh Muhammadiyah, yaitu Buya HAMKA yang saat itu menjabat ketua MUI.

Sikap itu sesungguhnya adalah akumulasi dari resistansi HAMKA dan Muhammadiyah terhadap Ahmadiyah. Dalam buku PAI tersebut, HAMKA secara panjang lebar membahas Ahmadiyah, mulai sejarah kemunculan, ajaran, hingga masuknya ajaran itu ke Indonesia.



Ada dua kesimpulan penting dalam buku itu; 1) lahirnya nabi palsu pada zaman modern (Mirza Ghulam Ahmad) tidak lepas dari dukungan kolonial Inggris untuk melemahkan perlawanan umat Islam. 2) Ahmadiyah lebih berbahaya daripada Bahai. Sebab, Bahai secara jantan menyatakan bahwa dirinya bukan bagian dari Islam, sedangkan Ahmadiyah tetap menempel pada Islam. Dengan status seperti itu, Kaum Ahmadi dinilai berpotensi merusak Islam dari dalam.

Karena itulah, HAMKA menulis Ahmadiyah sebagai "agama" bukan "aliran". Sebagai "agama", HAMKA melihat Ahmadiyah memiliki akidah dan syariat yang berbeda dengan Islam. Akidah Ahmadiyah berinti pada keyakinan akan kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Sedangkan syariatnya bertumpu pada upaya mengekalkan kolonialisme Inggris di India dengan menghapuskan ajaran jihad. Allahu a’lam

*. Ahmad Khoirul Fata, koordinator Jaringan KB Muda PII Jawa Timur

Jawa PosSenin, 28 Apr 2008

Membela Ahmadiyah yang Dizalimi

Oleh Imam Ghazali Said *

Satu jam setelah Forum Lintas Agama (FLA) memilih saya menjadi jubir dalam konferensi pers 24 April 2008, telepon dan ponsel saya terus berdering; mempertanyakan mengapa saya membela aliran sesat? Karena itu, perkenankan saya memberikan penjelasan berikut.



Pertama, Ahmadiyah, baik aliran Lahore, di Indonesia populer dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) maupun aliran Qodiyan, yang populer dengan Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), telah berkiprah dan berinteraksi dengan tokoh nasionalis Indonesia, baik yang muslim maupun yang sekuler sejak 1920-an sampai 1980-an.

Dalam rentang waktu itu GAI dan JAI telah berkiprah dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan ikut serta dalam mencerdaskan bangsa. Sayid Syah M. Muballig (ketua panitia pemulihan Pemerintahan RI dan penyusun program bahasa Urdu RRI Jakarta, 1950), Erfan Dahlan (putra pendiri Muhammadiyah, KH A. Dahlan), Abu Bakar Ayub, Abd. Wahid, dan masih banyak lagi, adalah tokoh-tokoh GAI dan JAI yang punya jasa besar dalam perjuangan dan mengisi kemerdekaan RI dengan cara bergabung dalam BKR, TKR, Kowani, dan KNI.

Dalam rentang waktu tersebut, mereka intens berinteraksi, baik sosial, politik, ekonomi, dan teologis dengan tokoh-tokoh dan organisasi Islam terpopuler di Indonesia, Muhammadiyah dan NU. Bahkan, dialog teologis pernah terjadi antara wakil GAI-JAI dengan A. Hassan (Persis) dan KH A. Wahid Hasyim (NU). Hasilnya? GAI dan JAI adalah saudara kita sesama muslim yang tinggal di negara tercinta Indonesia.

Lebih dari itu, tokoh GAI R. Sudewo Parto Kusumo (1905-1970) sangat berjasa secara intelektual dan spritual dalam mengader kaum muda muslim terpelajar yang tergabung dalam Jong Islamitenbond (JIB). Juga masih banyak tokoh GAI dan JAI yang kemudian berjuang dalam organisasi Syarikat Islam (SI) dan Masyumi. Beranikah kita menilai mereka itu "aliran sesat" dan "bukan muslim" hanya karena mereka punya teologi yang sedikit berbeda dengan mayoritas muslim Indonesia?

Kedua, setelah melakukan kajian mendalam, membaca dan memahami kitab-kitab tentang aliran-aliran dalam Islam, di antaranya al-farq baina al-firaq (al-Baghdadi), al-milal wa al-nihal (Syahrastani), al- fashl baina al-milal wa al-nihal (Ibn Hazm), al-iqtishad fi al-i’tiqad (al-Ghazali), maqalat al-islamiyyin wa ikhtilaf al-mushallin (al-Asy’ari), dan lain-lain, bersama kiai pesantren yang mewakili seluruh provinsi di Indonesia yang difasilitasi Komunitas Mata Air pimpinan Gus Mus dan Wahid Institute pimpinan Gus Dur, pada 22-25 Maret 2008 di Jakarta menyimpulkan, "bahwa manusia yang berucap dua kalimah syahadat, melaksanakan rukun Islam dan rukun iman, sekaligus tidak menentang satu pun dari dua rukun iman dan Islam itu, wajib dianggap dan dinilai sebagai saudara kita sesama muslim, yang hak-hak sipilnya harus kita lindungi".



GAI dan JAI, setelah saya melakukan studi terhadap kitab Tadzkirah, testimoni, interogasi, dan dialog dengan para tokoh dan kaum awam pengikut JAI, ternyata mereka tidak keluar dari kriteria muslim dan mukmin di atas. Karena itu, saya konsisten mengikuti nurani dan kajian ilmiah untuk "Membela JAI" tanpa mempertimbangkan akan dibenci kelompok muslim yang menyesatkan Ahmadiyah atau tidak.



Ketiga, fatwa penyesatan dan penilaian di luar Islam oleh MUI terhadap Ahmadiyah Qodiyan, 1 Juni 1980, dan diperkuat fatwa MUI 15 Juli 2005, itu muncul setelah aliran tertentu yang mengaku paling Islam, menyerang kantor pusat JAI di Parung, Bogor.

Selanjutnya, tindak kekerasan menyebar ke berbagai daerah, kantor-kantor JAI diserang, sehingga menimbulkan korban. Saya menilai fatwa MUI tersebut telah memberi legitimasi diperkenankannya tindak kekerasan terhadap JAI yang tak pernah mengganggu secara fisik -apalagi menyerang- kelompok Islam lain yang berbeda.

Realita ini menggugah nurani saya untuk menyatakan bahwa JAI telah dizalimi dan hak-hak sipilnya digangu. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi kita UUD ’45 pasal 29, ayat 1 dan 2, di samping mengabaikan bahkan melanggar hak asasi manusia (HAM).

Keempat, status ormas JAI yang sudah berbadan hukum dengan SK Menkeh RI No JA 5/23, tanggal 13-3-1953 tidak dengan mudah akan dibatalkan melalui SKB Menag, Mendagri, dan Jaksa Agung, hanya berdasarkan tekanan kelompok yang merasa "paling Islam" dan rekomendasi fatwa MUI dan Bakorpakem. Sebab, eksistensi MUI dan JAI itu sejajar dan keberadaan Bakorpakem tidak punya landasan hukum dan konstitusi yang kuat.

Kelima, MUI mestinya mengeluarkan fatwa bagi penyerang (pelaku pidana), bukan menyesatkan pihak yang diserang (korban pidana). Hemat penulis, MUI tidak adil dalam klarifikasi data. Yang menjadi pedoman MUI banyak berdasarkan yang dikemukakan Amin Jamaluddin (LPII) dalam bukunya: Ahmadiyah Membajak Alquran, dan buku Hartono Ahmad Jaiz berjudul Ahmadiyah Punya Nabi dan Kitab Suci Baru.

Mengapa MUI -sebelum mengeluarkan fatwa- tidak mengklarifikasi tentang isi dan substansi dua judul buku tersebut pada PB JAI?

Keenam, MUI dan organisasi-organisasi Islam yang lain mestinya menyadari bahwa vonis "luar Islam" akan berakibat tindak kekerasan dan mengurangi secara drastis persentase umat Islam Indonesia.

Menurut data JAI, jumlah pengikutnya secara nasional antara 2-3 juta jamaah, yang di sensus KTP tertulis Islam. Itu selain umat Konghucu yang dalam KTP-nya juga mencantumkan Islam. MUI-lah yang paling bertanggung jawab atas penurunan persentase umat Islam Indonesia.

Ketujuh, pembatalan badan hukum JAI hanya bisa diterima lewat keputusan pengadilan. Karena itu, jika SKB pembubaran JAI terbit, saya menganjurkan agar JAI menempuh jalur hukum. Menggugat SKB tersebut ke pengadilan. Dengan demikian, SKB itu belum punya kekuatan hukum tetap.

Kasus JAI ini akan menjadi tolok ukur tahannya konstitusi kita menghadapi gelombang makin menguatnya kelompok muslim "Kanan" yang menginginkan formalisme syariah dalam kehidupan negara. Menurut saya hal itu menjadi ancaman serius bagi eksistensi NKRI dengan semua perangkat konstitusinya.

*. Imam Ghazali Said, pengasuh Pesma "An-Nur" dan ketua FKUB Surabaya

Jawa Pos, Senin, 28 Apr 2008,

Tanggapan untuk Khotimatul Husna

Patriarki Islam dalam AAC

MEMBACA telaah Khotimatul Husna, Ayat-Ayat Cinta: Pro atau Anti-Pe-rempuan? (JP Minggu, 20/4), saya teringat akan dua model pembacaan teks. Pertama, model dasar, yang cuma mengandaikan kemauan untuk mengapresiasi dengan memobilisasi empati, yang menghasilkan rasa simpati pada protagonis dan antipati pada antagonis cerita --atau pemujaan dan penyesalan yang berlebihan pada tokoh sampingan, yang menghasilkan klaim pada si penulis.



Kedua, model lanjutan, yang memerlukan kerangka teori sastra untuk menelaah teks, dengan mengandaikan teks bukan lagi milik dan tanggung jawab si penulis dan tergantung sepenuhnya dari kemampuan si pembaca untuk memaknai teks dengan teori sastra yang dipakai menganalisis. Khotimatul Husna (KH) melakukan keduanya ketika membaca dan menganalisis Ayat-Ayat Cinta (AAC). Ada empati, yang tak hanya ke pusat tampilan protagonis tapi juga ke sosok tokoh sampingan teks, dan dengan kehadiran sosok sampingan di pusat telaah, maka teori sastra feminis yang dipakai KH menganalisis menjadi tenaga untuk mengklaim pengarang (Habiburrahman El Shiraazy -HES).

Sebuah inkonsistensi saya pikir, karena kebebasan merayaan pembacaan (resepsi) bermakna pemaknaan teks tergantung kaca mata telaah (teori sastra feminis) yang sepenuhnya tanggung jawab KH dan bukan tanggung jawab HES yang telah dilepas keterikatannya dengan teks. Tragedi misresepsi serupa terjadi dalam pemaknaan "sastra seputar selangkangan" yang dilontarkan Taufiq Ismail dan ditentang Hudan Hidayat, yang menyatakan kalau teks sastra selangkangan tak seharusnya dibaca dengan kaca mata moral tapi kaca mata feminisme --bagaimana perempuan merayakan pilihan bebas dalam menghayati dan mengekspresikan keberadaan tubuhnya dengan sadar dan tanpa dikooptasi apa pun.

Lantas apa nada dasar dari AAC?

[]

KEBERADAAN AAC tidak lepas dari fakta, HES adalah santri yang sedang belajar di Al-Azhar, Kairo; dan ia belajar menulis lewat forum kelas menulis Forum Lingkaran Pena (FLP) yang tegas acuan Islam-nya. Dan, motivasi kemengarangannya pun tak bisa lepas dari setting Kairo, kecenderungan berdakwah yang normatif menyampaikan nash-nash Islam dengan nyaris menghindari tafsir yang mengungkap kehendak (free will) pribadi --acuan yang selalu menghindari jebakan sorga filsafat antroposentris Mutazilah. Karena itu eksistensi Fahri yang dominan harus dikaitkan dengan fakta sejarah kehadiran awal dakwah Islami di Arab, saat moral begitu longgar dan ikatan kepentingan dagang (kabilah), via per-nikahan atau persaudaraan angkat, dianggap lebih tinggi dari ikatan sedarah.

Fakta Islam datang untuk merentangkan tali silsilah sedarah yang bermula dari seorang ayah, patriarkial, dan merelatifkan ikatan persaudaraan angkat selain persaudaraan seiman dalam agama. Konsekuensi dari itu adalah keberadaan lingkaran dalam (keluarga inti) dan lingkaran luar yang bertolak dari konsep muhrim. Yang diperluas konsepnya dengan keberadaan saudara sepenyusuan, baik berdasar fenomena ibu tiri (bila tidak mengikuti garis patriarki ayah) atau cuma sepengasuhan. Di antara yang muhrim haram terjadi pernikahan, tak boleh ada garis silsilah baru karena semuanya sudah terkait ke satu pusat silsilah dari ayah yang patriarki, sedang dengan yang tak muhrim halal terjadi pernikahan. Sehingga nama dan konsep diri dalam Islam selalu merunut garis silsilah ayah, bin atau binti.

Otomatis relasi sosial selalu bermula dari mengamalkan konsepsi muhrim. Jilbab, pada dasarnya, adalah jarak tertipis yang memisahkan seorang perempuan dari lelaki lain yang bukan muhrimnya, dipertahankan oleh perempuan yang berada di luar lingkaran keluarga dan harus dihargai oleh lelaki yang bersosialisasi dengannya. Jadi, tak terlalu mengherankan kalau Fahri mendakwahkan Islam pada Maria yang bukan Islam tapi tetap bukan-muhrim, dalam dialog dalam bis yang penuh penumpang di tengah siang bolong. Sebuah pengadeganan yang tak romantis, sekaligus sangat dogmatik, meski gagah dari kaca mata fundamentalistik Islam. Dan, konsep muhrim itu semakin jelas ketika Fahri menolak menyembuhkan Nurul yang sakit hanya dengan sentuhan, hal yang tak mungkin karena itu melanggar konsep muhrim dan harus dengan melalui peleburan konsep bukan-muhrim lewat perkawinan --yang menyebabkan HES tampak dogmatis, kehilangan aspek humanisme situasi darurat dakwah rachmatan lil alamim.

Ketika konsep muhrim dikaitkan dengan keberadaan dan rentangan tali silsilah yang amat patriarki, maka posisi lelaki utama selalu mengedepan dan jadi tujuan untuk pembentukan garis silsilah baru. Nurul, lewat ayah yang salah satu kewajiban hidupnya adalah mengawinkan putrinya dengan lelaki genah, berupaya mencari sandaran patriarki baru tapi tak berhasil. Maria, dengan alasan hidayah surga dalam masa sekarat, mencoba mencari sandaran patriarki agar punya iman (Islam) dan imam (Fahri) dalam kehidupan di akherat bisa memperolehnya. Sedang Noura, yang merindukan lelaki genah dan terjebak lelaki biadab, mencoba mengubah garis takdir dengan menunjuk (baca: memfitnah, tapi jadi lain bila kita tahu motif patriarki Islaminya) Fahri, dan terhina karena salah bergaul dan tak menyadari garis nasib.

[]

ADA sinyalemen yang menunduh AAC mendakwahkan poligami. Saya pikir itu tidak tepat. Karena yang diceritakan itu keteguhan Fahri untuk belajar, tolabul ilmi, sebagai manifestasi jihad di tengah godaan iruk-pikuk duniawi yang bisa menyebabkannya terdegradasi hanya mengempati eksistensi lelaki ideal yang dikelilingi oleh perempuan. Ia menolak jadi si pejantan dan tetap teguh memegang niat awal datang ke Mesir, dan sekaligus mulai berdakwah di setiap kesempatan meski dengan pengetahuan yang agak terbatas. Casting karakter Fahri dalam kaca mata HES ada di kisaran itu. Poligami belum jadi porsi, belum dipertimbangkan sebagai cara untuk mengekspresikan bertindak adil di dunia bagi beberapa wanita sebagai cabang pohon silsilah yang satu. Karena HES belum punya pengetahuan tentang itu --mungkin juga kapasitas adil bagi si penerima keadilan yang bahkan tak dipunyai oleh kiai sekaliber Aa Gym.

Meski kerangka AAC mengharuskan HES melakukan penulisan novel lain yang bercerita tentang poligami, dengan tetap berpedoman pada kerangka tali silsilah patriarki, konsep muhrim dan keadilan yang sebanding bagi setiap istri --yang hidup dan bukan mati seperti Maria. Tapi, apa poligami itu wajib bagi setiap lelaki ideal? Kenyataannya, anjuran untuk kawin dan juga berpoligami berkaitan dengan kemampuan si lelaki dengan dibatasi anjuran untuk intropeksi: apakah mampu berbuat adil pada semua istri dan anaknya. Bila tidak, ya dianjurkan dan bahkan sangat dianjurkan-Nya untuk monogami saja. Dan, HES sepertinya memilih kemungkinan terakhir. Dogmatis, tak avonturistik emang. (*)

Beni Setia, pengarang tinggal di Madiun

Jawa Pos Minggu 27 Apr 2008

Dibalik Peluncuran Buku Cerpen dan Puisi Indonesia Terbaik 2008

Karya Etik Juwita, Paling Seru Diperdebatkan

Sebuah buku berjudul 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 dan 100 Puisi Indonesia Terbaik diperkenalkan oleh publik Surabaya 5 April lalu di Toko Buku Gramedia, Delta Plasa, Surabaya. Buku ini merupakan kumpulan cerpen dan puisi yang dipilih dari karya-karya yang telah terbit di 15 surat kabar seluruh Indonesia. Yang menarik, karya Etik Juwita (BMI asal Hong Kong, Red) berjudul Bukan Yem menjadi salah satu karya terpilih yang paling seru untuk diperdebatkan. Mengapa?



Bukan tanpa sebab bila cerpen karya Etik Juwita tiba-tiba dinobatkan sebagai salah satu cerpen terbaik dari 20 cerpen pilihan 7 dewan juri yang ditunjuk oleh PT Kharisma pena Kencana, penggagas Anugerah Pena Kencana. Etik Juwita adalah BMI asal Blitar kelahiran 14 April 1982 yang bekerja di Hong Kong sejak 2003 yang belum lama menggeluti dunia sastra. Tapi, mengapa karyanya tiba-tiba saja mencuat masuk ke dalam jajaran cerpen terbaik yang dipilih dari karya yang pernah dimuat di 15 surat kabar di seluruh Indonesia?

Karya inilah yang diakui oleh para juri peling seru untuk diperdebatkan saat penilaian berlangsung. Bocorannya, 3 juri setuju karya Etik masuk ke dalam cerpen terbaik Indonesia namun 3 juri lainnya menentang, sedangkan seorang juri lagi abstain (tidak memberikan pendapat,Red). Sehingga, terjadilah perdebatan seru tersebut.

’’Sebagian juri yang setuju menganggap karya Etik merupakan sesuatu yang sangat langka dan sangat layak masuk karena menceritakan kisah para Buruh Migran Indonesia. Sedangkan juri lainnya yang tidak setuju menganggap bahasa dan cara bertutur Etik agak kasar disbanding karya sastra kebanyakan,’’ ungkap Triyanto Triwikromo, Direktur Program Anugerah sastra Pena Kencana.

Memang, cerpen yang pernah dimuat oleh Jawa Pos, 10 Juni 2007 tersebut memberikan ‘warna’ berbeda dalam dunia sastra cerpen lantaran penggalan-penggalan kalimat mengerikan (cenderung sadis, Red). Cerpen tersebut mengisahkan perbincangan uniknya bersama Mbak Yem saat pulang kampung. Inilah yang membuat karya tersebut menajdi kontroversial. Tapi, justru kontroversi itulah yang membuat karya Etik menajdi favorit para juri dan beberapa pembaca.

’’Dari segi strukturnya mulai plot, karakter, rangkaian cerita bagi saya ini yang paling menarik. Kalau soal bahasa dan cara bertuturnya saya rasa memang sudah seharusnya begitu. Kalau diubah lebih halus mungkin ceritanya akan lain, walaupun memang ada kalimat yang bisa lebih diperhalus,’’ lanjut Triyanto yang karyanya berjudul Cahaya Sunyi Ibu juga masuk dalam buku tersebut.

Hal senada juga diungkapkan oleh ketua Dewan Juri, Prof Budi Darma dan Aming Aminudin. ’’Semua karya yang terpilih disini baik. Tapi karya Etik menjadi favorit saya karena ceritanya cukup menarik karena membongkar kepedihan seorang BMI di Hong Kong. Kisah ini jarang ditemui dan enak dibaca. Sebuah cerita itu kan harus mampu menimbulkan rasa haru, lucu, sedih, atau bahagia untuk bisa menjadi sebuah karya menarik untuk dibaca,’’ sambung Budi Darma.

Sementara Soim Anwar menilai Etik Juwita sebagai pengarang yang alamiah dan orisinal. ’’Dia itu seorang BMI yang mungkin jarang terlibat dalam pembuatan sastra seperti ini, tapi dia mampu menulis dengan sangat alamiah. Background dia mungkin bukan dari sastra dan persoalan yang dia ungkapkan adalah persoalan otentik yang mungkin pengarang lain tidak mampu melihat seperti itu. Sehingga, ketika saya baca dia menyajikan cara pandangan yang sederhana tetapi menarik dan menyentuh,’’ ujar Soim yang juga Dosen fakultas Sastra Unair itu.

Dari segi gaya bahasa, ternyata Soim dan Aming tak menjadikannya masalah. ’’Bahasa itu juga berkaitan dengan tema atau tokoh yang diungkapkan. Karena di dalam jiwa si tokoh terjadi trauma dan mungkin sangat tersiksa dengan kekejaman yang dialami sebagai seorang pembantu, sehingga bahasa yang diungkapkannya itu menjadi logis. Jadi, meskipun ada yang mengatakan kasar, tapi itu cocok dengan karakter tokoh yang dibangun oleh Etik,’’ lanjut Soim.

’’Ketika itu bercerita tentang BMI, untuk gaya bahasa Etik itu sangat pas. Makanya ketika pemilihan dalam barisan 20 cerpen terbaik itu termasuk benar pak Budi,’’ sahut Aming Aminudin.

Buku 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 dan 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 memang telah diluncurkan 5 Maret lalu, tapi baru diperkenalkan pada publik Surabaya 5 April. Sekarang mereka sedang menggelar road show di 7 kota. Yaitu, Jakarta, Semarang, Jogjakarta, Surabaya, Denpasar, Bandung dan Lampung. ’’untuk cetakan pertama kita sedian 3.000 eksemplar. Dalam waktu dekat kita akan persiapkan cetakan berikutnya,’’ kata Yulie, Dwi Kurniasari, bagian promosi Gramedia Pustaka Utama, sang penerbit.

Berbeda dari buku kebanyakan, dalam buku ini akan dipilih sebuah karya untuk mendapatkan penghargaan melalui polling sms. Pemenang penghargaan ini bakal menerima hadiah berupa uang tunai senilai Rp 50 juta. ’’Ini adalah bentuk apresiasi kami untuk memberikan penghargaan yang layak bagi sastrawan Indonesia,’’ pungkas Triyanto Triwikromo. [NUY HARBIS/Intermezo edisi April 2008]

Oleh-oleh dari Diskusi Sastra di Surabaya

’’Lebih Sulit menemukan Penyair daripada cerpenis atau Novelis’’

’’Seorang pengarang besar dunia, Hemingway saja berprinsip ‘Dengan belajar banyak maka aku mendapatkan karyaku sendiri’. Dia berhasil mendapatkan nobel sastra setelah belajar banyak dengan cara mengikuti gaya berbagai pengarang lain sebelum akhirnya mengendap dan terbentuklah karya Hemingway dengan gayanya sendiri.’’



Kalimat itulah yang diungkapkan oleh Prof Budi Darma, sastrawan asal rembang yang kini tinggal di Surabaya, untuk menginspirasi dan memberi semangat pada penyair atau pengarang muda. ’’Seorang John F. Kennedy saja begitu mencintai puisi, sampai-sampai pada saat pelantikannya menjadi presiden pun dibuka dengan pembacaan puisi. Itulah yang membuat karya sastra di Amerika Serikta lebih berkembang daripada di Indonesia,’’ lanjut Budi darma.

Selain Aming Aminuddin, Soim Anwar dan Prof Budi Darma sebagai pembicara diskusi, berbagai penyair dan pengarang muda serta pecinta sastra memang hadir pada diskusi yang juga disiarkan langsung oleh salah satu radio di Surabaya tersebut. Tidak hanya pengarang-pengarang muda dari Unesa dan beberapa kota di Indonesia saja, tapi juga dihadiri oleh Dekan Fakultas Sastra Universitas Airlangga (Unair) Surabaya serta sastrawan asal Guangzhou dan daratan Tiongkok juga ikut hadir. Acara yang dimulai pukul 13.30 WIB tersebut menghadirkan Syirikit Syah sebagai moderator.

Dunia sastra Indonesia saat ini memang kembali menggeliat setelah novel Habiburahman berjudul Ayat-ayat Cinta mulai dicari lagi. Novel bernuansa Islami tersebut memang belakangan kembali digandrungi setelah film garapan Hanung Bramantyo yang mengangkat kisah dari novel tersebut menjadi box office dengan menyedot 3,5 juta penonton bioskop di seluruh Indonesia. Hal ini pula yang ramai diperbincangkan dalam Diskusi ‘Sastra Milik Pembaca : Siapa berhak Menentukan Kualitas Karya’ 5 April lalu.

Ya, kedua sastra inilah yang belakangan sedang populer. Novel Andrea Hirata diretas dari kisah nyata hidupnya bersama 9 kawannya yang diberinya julukan sebagai Laskar Pelangi oleh sang guru, untuk mengenyam pendidikan. Perjuangan gigih murid bersama dua ibu gurunya di pelosok Belitung ini berhasil terjual jutaan kopi. Sedangkan karya Habiburrahman belakangan dicetak ulang lantaran kesuksesan filmnya. Malah, dalam waktu dekat ia bakal merilis novel religi lain berjudul Ketika cinta Bertasbih.

Lantas, bagaimana kita tahu tema-tema karya sastra yang sedang diminati di suatu era?

’’Sastra itu sebenarnya mewakili sebuah simbol. Dan tema-tema sastra itu selalu bergulir dan berulang. Kita bisa lihat dari karya-karya yang sudah dimuat atau karya-karya yang saat ini sedang digemari. Nah, kalau sekarang karya Andre Hirata (novel berjudul Laskar Pelangi, Red) dan Habiburrahman yang sedang banyak dicari, maka tema-tema yang memiliki sense seperti itulah yang sedang bergulir saat ini,’’ jawab Soim Anwar, salah satu pembicara dalam diskusi tersebut yang juga seorang penyair.
Sayang, Indonesia termasuk Jawa Timur yang disebut-sebut banyak menghasilkan sastrawan rupanya sedang mengalami krisi penyair. Sepertinya menemukan penyair muda di era ini lebih sulit ketimbang cerpenis atu novelis yang belakangan populer. Hal ini juga diakui oleh Budi Darma.

’’Buktinya, dari 100 puisi terbaik yang kami pilih ternyata dibuat oleh hanya sekitar 50 sekian penyair. Mengapa? Ini karena tema-tema cerpen atau novel masih lebih banyak ketimbang tema-tema puisi. Satu hal yang mungkin bisa dipelajari untuk menjadi sastrawan hebat adalah banyak membaca sastra dunia. Sebab, dengan banyak membaca otomatis pikiran kita akan lebih berkembang,’’ pungkas Budi Darman. [NUY HARBIS/Intermezo, April 2008]

Save Our Planet [75 Cara Menyelamatkan Bumi]

Sebarkan Tip ini kepada tiap orang yang anda jumpai. Memang lidah tak bertulang, berbicara memang lebih mudah dibanding melakukannya. Padahal tanpa banyak bicarapun sebenarnya kita semua bisa ikut mengambil bagian dalam upaya pelestarian lingkungan


1.Jangan menggunakan listrik untuk penerangan atau peralatan kecuali jika anda benar-bnar sedang menggunakannya, jika tidak menggunakannya matikanlah !
2.Menggunakan lampu luorescent (neon) yang hemat energi.
3.Pergunakan penerangan, pembangkit listrik, unit-unit pemanas bertenaga surya.
4.Manfaatkan lebih banyak penerangan cahaya alam.
5.Pergunakan ventilasi yang struktural untuk penyejuk ruangan daripada menggunakan Air Condition (AC)
6.Pergunakan air dingin, bukan air panas.
7.Pastikan peralatan bertenaga listrik tetap efisien dan terawat dengan baik
8.Pengendalian penerangan, alat pendingin udara secara otomatis, misal dengan alat sensor cahaya
9.Pergunakan alat-alat pematul cahaya untuk menggantikan lampu penerangan.
10.Pergunakan film pelapis kaca atau rayban untuk mengurangi panas matahari.
11.Tanamlah tanaman sebanyak mungin di kebun anda untuk mengurangi karbondiosida.
12.Jangan membakar apa saja, bahkan rokok.
13.Lengkapi mobil atau motor anda dengan katalisator.
14.Jika anda menghentikan kendaraan dalam waktu yang tidak lama, jangan matikan mesin kendaraan anda.
15.Kurangi bawaan pada kendaraan anda untuk mengurangi beban, bahkan mengeluarkan sebatang pensil dari kendaraanpun akan membantu.
16.Jangan membuang sesuatu yang dapat di daur ulang, seperti kaleng aluminium dan kertas. Simpan dan berikan pemulung untuk dijual kembali.
17.Meminimalisir penggunaan styrofoam (gabus sintetik) untuk bungkus makanan.
18.Lihat dan periksa kembali jika anda menggunakan aerosol, cat, AC, apakah mengandung khlorofluorokarbon (CFC).
19.Jangan beli barang apapun yang langsung dibuang sesudah dipakai sekali, jika ada barang sejenis yang dapat dibeli sebagai investasi jangka panjang.
20.Belilah produk yang anda sukai sehingga produk tersebut tidak perlu diganti sampai benar-benar rusak dan tidak dapat dipakai kembali.
21.Cobalah untuk tidak memiliki barang yang hanya memiliki nilai estetika saja.
22.Berhati-hati dengan barang plastik yang anda beli karena ada beberapa jenis plastik tidak dapat di daur ulang.
23.Bawalah tas anda sendiri jika hendak berbelanja yang terbuat dari kain atau kanvas untuk mengurangi produk plastik.
24.Katakan pada seseorang jika anda melihatnya membuang sampah secara sembarangan.
25.Jangan sekali-sekali memotong tanaman atau menebang pohon karena tetumbuhan membantu menyelamatkan bumi.
26.Sirami taman anda dengan air hujan, buat sistem tadah hujan.
27.Pergunakan air sehemat mungkin untuk mencuci kendaraan dan menyiram kebun anda.
28.Pisahkan sampah yang dapat di daur ulang dan tidak.
29.Jangan membuang sampah kedalam saluran air, terusan air, sungai dan laut.
30.Jangan gunakan bahan kimia terutama bahan detergen dan bahan pembersih yang mengandung phospat.
31.Pakailah bahan pengganti zat kimia dalam rumah misal jus lemon dicampur dengan garam,cuka dan amoniak.
32.Jangan menggunakan air lebih dari yang anda perlukan.
33.Apabila mungkin, air di daur ulang.
34.Jangan menggunakan air untuk membersihkan halaman jika dapat dibersihkan dengan sapu.
35.Pastikanlah agar keran bekerja dengan baik dan pergunakan pancuran yang mengalir pelan.
36.Periksa pembilas toilet berada dalam keadaan baik untuk menghindarkan pembilasan yang tidak perlu.
37.Simpan air bekas dan mesin cuci pakaian untuk mencuci kendaraan anda.
38.Biasakan meminum air dengan tidak menyisakan air dalam gelas.
39.Jangan melakukan perjalanan, kecuali anda terpaksa melakukannya.
40.Jangan melakukan perjalanan dengan kendaraan pribadi, kecuali jika anda memang terpaksa.
41.Pergunakan kendaraan umum untuk mengurangi kemacetan, karbon monoksida dan ongkos parkir.
42.Pergunakan sepeda, jika jarak yang ditempuh relatif dekat.
43.Pergunakan bahan bakar yang bebas timah (unleaded fuel)
44.Pergunakan bahan bakar beroktan rendah.
45.Mengkonversi mesin kendaraan anda untuk memakai gas alam yang dipadatkan.
46.Merawat mesin dengan teratur.
47.Pilih kendaraan yang menggunakan bahan bakar paling efisien.
48.Jika hendak mencetak (nge-print) periksa setting print terlebih dahulu, pergunakan cetak draft untuk menghemat tinta.
49.Pergunakan dibalik kertas yang telah terpakai untuk kebutuhan intern.
50.Jangan pergunakan gambar-gambar yang yang tidak dibutuhkan dalam sebuah tulisan, karena gambar membutuhkan tinta yang lebih.
51.Pilih jenis dan ukuran huruf yang standart.
52.Jangan mempergunakan pupuk yang mengandung zat kimia atau penyalahgunaan pestisida.
53.Pergunakan bahan kimia untuk tanaman herbisida dan fungisida seefisien mungkin.
54.Mulailah menanam tanaman dengan teknik hidroponik (ditanam tanpa menggunakan tanah dan hanya memberi gizi secukupnya di dalam air.
55.Untuk pedagang keliling, jangan menghidupkan alat-alat yang menimbulkan suara bising, kecuali untuk memberikan demonstrasi kepada konsumen.
56.Menghindarkan musik pengiring ditempat-tempat publik.
57.Jangan mengoperasikan peralatan pada jam-jam puncak istirahat.
58.Hindari memperdengarkan musik bersuara keras, sehingga mengaburkan bunyi pengumuman yang penting.
59.Pastikan bahwa peralatan benar-benar kedap suara dan diservis untuk memperkecil suara bising.
60.Pakailah alat penutup telinga jika bekerja pada mesin yang bersuara bising.
61.Pastkan agar produk yag menimbulkan suara mengeluarkan suara sekecil mungkin atau diisolasi.
62.Gunakanlah alat-alat musik pada tingkat suara yang wajar dan tidak memekakkan telinga.
63.Jangan menempel poster,atribut organisasi atau hal-hal yang berbau promosi di dinding atau tembok di area publik.
64.Hindari pemasangan tanda penunjuk atau rambu lebih dari satu sehingga orang tidak dibingungan dengan rambu itu.
65.Pasanglah reklame atau baliho pada tingkat kewajaran.
66.Jangan bangun pabrik yang menimbulkan pencemaran di daerah pemukiman.
67.Pastikan adanya prasarana yang memadai untuk pembuangan seluruh limbah.
68.Meminimalisir tingkat asap beracun dan limbah cair yang rendah.
69.Cari informasi dari pemerintah mengenai standar pencemaran udara dan air yang dapat diterima.
70.Pergunakan bahan bakar yang paling sedikit menimbulkan pencemaran.
71.Pergunakan teknologi pembersih atau anti pencemaran yang ada untuk menjaga agar prosesing pabrik anda menjadi bersih.
72.Hindarkan pemakaian bahan-bahan beracun, kecuali jika hal tersebut sangat diperlukan sekali.
73.Jangan menanam limbah beracun tanpa nasehat ahli.
74.Jangan membuang limbah beracun di luar pabrik anda.
75.Jangan membakar limbah industri di tempat terbuka. (Berbagai Sumber)
Apapun yang anda lakukan dan apapun yang anda beli, pikirkan apakah anda merusak lingkungan kita []
Dikopipaste dari sini

KARTINI, PEREMPUAN MENULIS

Melalui tulisan-tulisan Kartini, pemikiran dan keadaan perempuan terbukukan dalam sejarah. Ini adalah sumbangan yang sangat besar bagi gerakan perempuan, serta menunjukkan betapa pentingnya budaya menulis, karena melalui menulis, sejarah perempuan tercatatkan. Jika selama ini, sejarah perempuan kurang tercatatkan dalam sejarah nasional bangsa, adalah karena sedikit perempuan yang menulis pada masa itu. Baik sejarah dunia ataupun sejarah nasional tampaknya masih menjadi wilayah laki-laki. Bila dilihat, sejarah jarang mengisahkan tentang perempuan (sepak terjang perempuan kurang/jarang terekam dalam sejarah).


Menulis tidak sekedar menulis. Melalui menulis, perempuan dapat menuliskan pengalamannya menjadi perempuan. Lewat proses ini, perempuan akan menemu-kenali persoalan yang dihadapinya. Menulis akan membawa pada proses observasi, sehingga dapat lebih memaknai berbagai realitas yang dialami oleh perempuan. Misalnya saja mengenai adanya ketidakadilan gender, yang telah membuat perempuan berada dalam posisi subordinat dan menjadi korban kekerasan. Akibatnya, lambat laun kesadaran kritis perempuan bisa dimunculkan. Jadi proses pemberdayaan perempuan tidak bisa dilepaskan dari upaya untuk mengembangkan kebiasaan perempuan untuk menulis.

Menulis adalah pembebasan dari segala kungkungan yang ada di masyarakat karena melalui menulis, segala pemikiran akan lebih bisa tertuang. Ini terlihat pula dalam surat yang ditulis oleh Kartini:

"Aku juga musuh formalitas. Apa peduliku soal peraturan-peraturan adat? Aku gembira sekali akhirnya dapat mengoyak peraturan adat Jawa yang konyol itu saat berbincang denganmu dalam tulisanku ini. Adat peraturan ini dibuat oleh manusia, bagiku itu menjijikkan."
Dari tulisan tersebut, kita bisa melihat Kartini mengungkapkan kebebasannya melalui tulisannya, meskipun dalam kenyataannya Kartini tidak bisa melepaskan diri dari aturan-aturan konservatif yang membelenggunya. Tulisan-tulisan Kartini ini mencerminkan cita-cita dan impiannya. [selengkapnya baca di sini]

CTKI Lebih Suka Jalan Tikus

Jumlahnya Tiga Kali Lipat dari Pendaftar Resmi

BLITAR- Warga Kabupaten Blitar ternyata lebih menyukai menjadi TKI ke luar negeri dengan jalan ilegal. Sebab, jumlah pendaftar yang melalui disnakertrans tidak sebanding dengan warga telah berangkat ke luar negeri. Jumlahnya yang ilegal itupun berlipat-lipat.



Menurut Muladi, kepala Seksi Perluasan Kerja dan Penyelenggara Bursa Kerja Khusus (PK dan PBK) Disnakertrans Kabupaten Blitar, pihaknya telah mendapat informasi dari pemerintahan desa bahwa banyak warganya yang berangkat ke luar negeri menjadi TKI. Tapi setelah dicek di dinas, jumlahnya tidak sebanyak yang dilaporkan tersebut. Selain itu, banyaknya TKI ilegal asal Blitar dari mereka yang telah dideportasi. "Kebanyakan mereka berangkat tidak dari Blitar," ujar Muladi.

Muladi pun menuturkan seperti pada Januari lalu ada 507 yang mendaftar sebagai calon TKI resmi atau legal. Sedang jumlah TKI ilegal, pihaknya memperkirakan mencapai 1.500 orang. Dalam Februari juga demikian. Yang TKI legal ada 390 orang, sementara yang ilegal diperkiarkan mencapai 1.000 orang.

Kondisi tersebut juga terjadi pada Maret, 300 TKI legal sedangkan ilegal 900 TKI. "Jadi bandingnya tiga kali lipatnya," kata Muladi.

Kondisi TKI yang suka jalan tikus itu disebabkan beberapa faktor. Di antaranya kelihaian para makelar atau calo TKI yang terjun ke desa-desa. Para calo biasanya mengiming-imingi calon TKI ketika berangkat secara ilegal maka gaji TKI tersebut tidak dipotong. "Ini tentu sangat menarik para calon TKI," ujarnya.

Selain itu, kurangnya sosialisasi Disnakertrans dan perangkat desa ke calon TKI yang berada di tingkat desa. Hal itu disebabnya dana sosialisasi atau penyuluhan yang tidak ada. "Sebenarnya tahun ini kami sudah menganggarkan Rp 69 juta, tetapi ternyata dipangkas oleh dewan tinggal Rp 29 juta, kami tidak tahu alasannya. Sehingga dana sekecil itu tak mungkin bisa maksimal memberi sosialisasi," katanya.

Dana Rp 29 juta itu bukan untuk penyuluhan saja, tetapi untuk kegiatan lain. Tak pelak, minimnya dana penyuluhan calon TKI itu tentu dinas tidak bisa mengcover semua calon TKI asal Kabupaten Blitar. "Jadi faktor TKI ilegal selain calo, juga minimnya penyuluhan," ujar Muladi.

Dia mengatakan, faktor yang tak kalah penting dalam menjadikan TKI ilegal adalah yakni masih ada Unit Pelayanan Pendaftaran Penyaluran Calon TKI (UP3CTKI) yang mbandel. Beberapa waktu lalu dinas telah mencabut izin satu cabang dari empat cabang UP3CTKI yang ada di Blitar. "Izinnya tidak beres jadi kami cabut," katanya. (and/cam)

Radar Tulungagung, Senin, 21 Apr 2008

Kartini Kini Kesrimpet Jarik

Dan apalah artinya perayaan Hari Kartini tanpa
mengetahui pemikiran-pemikirannya?

Dari tahun ketahun peringatan Kartini adalah sama. Yaitu wanita memakai kebaya dan jarik sedangkan yang laki-laki memakai blangkon dan beskap atau setidaknya baju batik dengan celana panjang warna gelap. Betapa membosankan, itu menurutku.



Selain dengan ditandainya pakaian adat yang njawani(menujukkan ke-jawa-annya) juga diadakan lomba-lomba seperti peragaan busana, merias, merancang busana, dan lainnya yang intinya adalah menunjukkan kemampuan kewanitaan.

Paduan suara juga kerap kita dengar melantunkan lagu Ibu Kita Kartini karangan WR Supratman. Lagu yang seharusnya ada tiga bait itu terpaksa dipotong hanya satu bait saja untuk dinyanyikan. Alasannya? Mungkin untuk menyingkat waktu atau mungkin karena bait pertama saja yang lebih mengena. Tapi akan ironis sekali kalau dikatakan dengan sejujurnya bahwa mereka(yang menyanyi itu ataupun Anda yang sedang membaca artikel ini) tidak hafal atau bahkan tidak mengetahui akan bait kedua dan ketiga dari lagu tersebut.

Terlebih kalau diadakan pertanyaan massal tentang segala hal yang menyangkut ke-Kartinian, tentang tanggal lahir atau nama bapa/ibunya, tentang pemikiran-pemikiran hebatnya seperti yang terangkum dalam “Door Duisternis Tot Licht” yang disusun oleh JH Abendanon yang kemudian diterjemahkan oleh Balai Pustaka, Armijn Pane yang lebih kita kenal dengan “Habis Gelap Terbitlah Terang. Adakah yang bisa menjawab dengan benar? Atau adakah yang bisa menjawabnya? Buku terkenal itu lho!!?? Ironis, tragis sekali khan? Berarti kekaguman itu atas dasar apa ya??? Lha wong ditanyai tentang itu aja ga bisa jawab. Jarik dan gelungan yang dipakai mereka itu atas dasar apa? Sebagai trend setter sehari mengingat Kartini dulu selalu berkebaya dan berjarik ataukah hanya karena ingin tampil ayu dan medoki(terlihat kefemininannya) atau acara seremonial saja? Wah lha nek kayak gitu, mending saya katakan pada Kartini buat pake kaos singlet plus rok mini saja. Ups, mungkin cara penilaian saya salah, ya....semoga saja.

Kartini yang katanya simbah saya yaitu mbah Pramudya Ananta Toer(karena sama-sama dari Blora-nya, hehehe...) lewat Panggil Aku Kartini Saja adalah sosok yang mempunyai pemikiran-pemikiran luhur yaitu mensetarakan kedudukan pria dan wanita ini adalah anak bupati. Dan itu juga yang menjadi ganjalan dihati saya. ANAK BUPATI !! Ya, bukankah kita telah terbiasa dengan melihat siapa yang ngomong bukan apa yang diomongkan? Dan kalau yang ngomong adalah anak bupati, ya tentu saja...sekali lagi anak bupati je!! Bukankah sesiapapun bisa memiliki pemikiran-pemikiran serupa?? Dalam hal ini Rie pribadi lebih cenderung untuk mengagumi Nyai Ontosoroh seperti dalam novelnya mbah Pramudya AT ataupun mbak Eni Kusuma seorang mantan TKW yang berhasil menjadi penulis hebat itu.

Jelasnya bagi saya, dan masih dalam versi saya, perayaan Kartini seharusnya adalah perayaan kebangkitan wanita, sebagai tonggak atas munculnya pemikiran-pemikiran dan kesadaran dari wanita Indonesia untuk mensetarakan dirinya dengan laki-laki. Pemikiran-pemikiran yang menjadi arus besar yang membawa gelombang jaman dengan semangat jaman bukan menoleh pada peradaban beku yang berkebudayaan masa lalu.

Wanita Indonesia yang menjadi pahlawan adalah wanita(siapapun dia) yang bisa membawa bangsanya ataupun sesiapa pada peradaban dunia yang lebih maju bukan dikekang demi sebuah arus kebodohan atau keuntungan politik.

Kepada pahlawan Indonesia saya ucapkan selamat merayakan hari Kebangkitan Wanita!!

dikopipaste dari cewek blora

Dina Menduga Polisi Salah Alamat

Kasus TKW Gelapkan Uang Majikan Rp 1 M

BANYUWANGI - Dituding menggondol uang majikan sebesar Rp 1 miliar membuat Dina Mariana mencak-mencak. Tenaga Kerja Wanita (TKW) yang tinggal di Dusun Simbar, Desa Tampo, Kecamatan Cluring, Banyuwangi menganggap semua tudingan itu fitnah.



Kemarin (18/4), Radar Banyuwangi (RaBa) mencoba menemui Dina dan suaminya, Agus, di rumahnya di Desa Tampo. Semua tudingan mulai membaw akabur uang majikan Rp 1 miliar hingga penyitaan barang-barang berharga dibantah keras oleh TKW berusia 28 tahun itu.

"Saya membangun rumah, dan membeli semua perabotan yang diberitakan mewah itu, semua dari jerih payah saya dan suami saat bekerja di Taiwan," jelasnya berapi-api.

Diberitakan sebelumnya, tim Bareskrim Mabes Polri bekerja sama dengan Interpol telah menangkap Dina. Wanita itu dilaporkan telah menggelapkan uang milik majikan Rp 1 miliar selama bekerja di Taiwan. Dalam penangkapan itu, aparat kepolisian juga menyita dua sepeda motor dan mobil L-300 milik Dina.

Usai ditangkap, Dina dibawa ke Mapolres Banyuwangi untuk menjalani pemeriksaan. Usai pemeriksaan, dia tidak sampai ditahan dan langsung dipersilakan pulang. Keterangan yang diperoleh koran ini menyebutkan, uang Rp 1 miliar itu adalah milik majikan. Sang majikan minta uang itu dibelikan tanah di Indonesia. Celakanya, uang diserahkan tapi tidak dibelikan tanah.

Kasatreskrim AKP Agung Setya Budi tidak menampik adanya penangkapan TKW asal Tampo tersebut. "Memang ada tim dari Jakarta. Mereka ke Banyuwangi untuk mencari salah seorang TKW asal Banyuwangi," kata Agung.

Menurut Agung, TKW tersebut membuat masalah dengan majikannya di Taiwan. "Jadi TKP-nya di Taiwan, bukan di Indonsia. TKW itu oleh orang Taiwan suruh beli tanah, tapi tidak dibelikan," kata Agung kala itu.

Benarkah demikian? Dengan suara keras, ibu satu anak itu mengaku bekerja di Taiwan selama sembilan tahun, bukan enam tahun seperti yang diberitakan koran ini. Sedang suaminya, jelas dia, bekerja di Taiwan dalam waktu enam tahun. "Saya bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tapi juga nyambi pada pekerjaan lain. Uang dari bekerja itu, kita kumpulkan," paparnya.

Uang dari hasil bekerja bersama suami itu, dikumpulkan dan dibuat untuk membangun rumahnya yang ada di Dusun Simbar, Desa Tampo. Bangunan rumah yang dikabarkan mewah ini, sebenarnya juga sudah ada sebelum dibeli. "Saya hanya merenovasi saja, terlihat mewah karena catnya juga masih baru," timpal Agus, suami Dina.

Lebih lanjut, Dina menjelaskan pulang ke Indonesia setelah lama bekerja di Taiwan itu, sebenarnya sudah ada satu tahun yang lalu. Sedang suaminya, pulang terlebih dahulu. "Saya bukan dua tahun pulangnya, tapi satu tahun. Kalau saya ini memang salah, khan sudah ditangkap sejak dulu. Saya juga tidak tahu menahu dengan pembelian tanah itu," tukasnya.

Hanya, Dina mengakui kalau beberapa hari lalu ada anggota polisi yang berpakaian preman datang ke rumahnya. Tapi, dirinya tidak tahu polisi itu berasal dari Mabes Polri, Polres Banyuwangi, atau dari Polsek Cluring. "Polisi itu mencari Lidya, katanya telah menggelapkan uang majikan sebesar Rp 800 juta," jelasnya.

Dina menduga, polisi mendatangi rumahnya karena tengah mencari TKW yang diduga telah menggelapkan uang milik majikannya sebesar Rp 800 juta, itu hanya salah alamat saja. Karena kenyataannya, dirinya tidak pernah melakukan semua kejahatan itu. "Yang dicari itu Lidya, sedang nama saya Dina. Beda khan," tandasnya.

Ibu muda berkulit putih ini mengaku, sangat terkejut saat namanya diberitakan telah dibekuk dan ditangkap polisi. Karena kenyataannya, hingga sekarang dirinya juga masih ada di rumah. "Kalau saya dibekuk, berarti ditangkap dan diamankan, buktinya sampean lihat sendiri, saya masih ada di rumah. Sekarang ini saya dan keluarga malu sekali sama tetangga," jelasnya kepada koran ini.

Selain itu, Dina juga membantah kalau beberapa kekayaannya seperti motor Honda Vario, motor Honda Mega Pro, mobil pikap L300, telah disita polisi karena diduga dibeli dari uang Rp 1 miliar milik majikannya tersebut. "Motor Vario masih ada di rumah, mobil pikkap L 300 sudah kita jual tiga bulan lalu, dan saya itu tidak pernah punya motor Honda Mega Pro," katanya.

Selama bekerja di Taiwan selama sembilan tahun itu, dirinya tidak pernah mengirim uang ke orang tuanya hingga mencapai Rp 450 juta. Tapi, dia mengaku pernah mengirim uang dengan jumlah sekitar Rp 200 juta. Uang yang dikirim dengan jumlah cukup besar itu, lanjut dia, milik suaminya yang bekerja di Taiwan selama enam tahun. "Uang Rp 200 juta itu, yang mengirimkan juga majikan," jelasnya. (abi/aif)


Radar Banyuwangi Minggu, 20 Apr 2008

Tahun 2007 Delapan TKI Blitar Tewas

BLITAR- Jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal Kabupaten Blitar yang meninggal di luar negeri selama tahun 2007 sebanyak 8 orang. Dari delapan TKI tersebut dua merupakan TKI ilegal dan enam TKI legal. Para TKI itu sebagian besar bekerja di sektor non formal yakni pembantu rumah tangga (PRT). "Mereka hanya mempunyai keahlian sebagai PRT ya ketika di luar negeri jadi pembantu," ungkap Muladi, kasi Perluasan Kerja dan Penyelenggara Bursa Kerja Khusus (PK dan PBK) Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Blitar.


Menurut Muladi, delapan TKI tersebut bekerja sebagai PRT di beberapa negera. Di antaranya, Malaysia, Taiwan, Arab dan Abu Dhabi. Kendati ada delapan TKI meninggal dunia karena kecelakaan kerja dan sakit, tetapi itu tidak menyurutkan masyarakat Blitar yang ingin menjadi TKI.

Indikasinya, tahun lalu berdasar data yang diterima dinas TKI yang berangkat ke luar negeri berjumlah 5.384 TKI dengan reminten sekitar Rp 12,5 miliar per bulan. Jika dibanding dengan kondisi 2006 lalu jumlah tersebut minim. Dua tahun lalu, TKI yang berangkat sebanyak 5.386 dengan reminten Rp 87,6 miliar per bulan.

Dengan kondisi seperti ini seharusnya kehidupan para TKI lebih dari cukup. Tapi kenyataanya tingkat perekonomian TKI belum memadai. Muladi menyatakan, hal ini karena pengetahuan TKI terkait pasca menjadi TKI sangat minim. "Para TKI lebih berorentasi konsumtif, artinya mereka lebih senang membelanjakan uangnya ketimbang dipakai usaha modal," katanya.

Muladi melanjutkan, seharusnya kondisi seperti tidak akan terjadi, jika seluruh masyarakat termasuk PT yang memberangkatkan memberikan pencerahan kepada TKI, agar ketika mendapat uang untuk dihemat. "Kondisi ini harus dipikirkan semua pihak,"ujarnya.

Dia menambahkan, untuk itu pihaknya berusaha memberikan kepada calon TKI ketika mereka ke disnakertrans. "Kami juga memberikan penyuluhan agar mereka bisa menghemat dan hati-hati di luar negeri," katanya. (and)

Radar Tulungagung Minggu, 20 Apr 2008

Ayat-ayat Cinta: Pro atau Anti-Perempuan?

Khotimatul Husna

Hampir semua kalangan memberikan apresiasi positif atas film Ayat-Ayat Cinta yang diangkat dari novel dengan judul yang sama karya Habiburrahman El Shirazy yang memang fenomenal itu. Termasuk juga tulisan Di Balik Buku Bramma Aji P. yang berjudul Novel dan Film AAC; Pukulan KO bagi SMS (JP, 30 Maret 2008). Untuk sekadar melengkapi tulisan Bramma mengenai novel AAC, hingga akhir 2007 saja buku ini telah dicetak ulang sampai 30 kali dan terjual 300.000 eksemplar. Suatu angka pencapaian yang fantastis untuk sebuah penerbitan buku karya anak negeri, karena biasanya oplah sebuah buku dalam negeri jarang menembus angka tersebut.



Puja-puji juga mengiringi ketika versi filmnya mulai diputar di bioskop-bioskop seantero negeri. Penonton harus antre dan bersabar untuk dapat melihat film Ayat-Ayat Cinta garapan sutradara Hanung Bramantyo tersebut. Bahkan, komunitas pengajian yang biasanya jauh dari gedung bioskop, tak ketinggalan meluangkan waktu untuk hadir di bioskop menyaksikan film itu. Bukan hanya mantan presiden B.J. Habibie saja, Ketua MPR Hidayat Nurwahid dan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla juga memberi perhatian dan turut menyaksikan film yang --konon-- sudah ditonton tiga juta pemirsa itu. Dan, terakhir, Presiden SBY beserta rombongan menteri dan diplomat asing tak mau ketinggalan juga meluangkan waktu untuk menonton film AAC.

Terlepas dari gegap gempita sambutan yang luar biasa itu, kita melupakan untuk memberi apresiasi terhadap unsur yang penting dan mewarnai hampir seluruh cerita AAC, yakni tokoh-tokoh perempuannya, seperti Nurul, Noura, Maria, dan Aisha. Setelah membaca atau menonton filmnya, publik akan segera terkesan dengan sosok Fahri yang digambarkan serba "putih" tak berlumur noda dan melupakan "ketidakberuntungan" yang menimpa tokoh-tokoh perempuannya. Padahal, ketidakberuntungan perempuan yang ditampilkan film ini digambarkan sangat kasat mata. Apakah hal ini menunjukkan bahwa publik sudah cukup imun dan terbiasa dengan ironi dan elegi yang menimpa perempuan sehingga tidak sensitif lagi?

Secara tersurat dalam cerita, saya melihat beberapa hal yang kontradiktif antara yang diidealkan (oleh penulis) dengan apa yang terjadi dalam alur ceritanya, terutama bila dikaitkan dengan tokoh-tokoh perempuan. Kalau tujuan semula untuk mengangkat dan membela kehormatan perempuan, mengapa terjadi alur yang sebaliknya?

Pertama, tentang pengorbanan Aisha. Sejatinya, penulis ingin menunjukkan bahwa Islam mengajarkan untuk menghormati dan menghargai perempuan. Tapi dalam alur cerita perempuan justru "diharuskan berkorban" untuk sebuah idealita tafsir keagamaan tertentu tentang poligami. Hal ini tergambar dari beban psikologis dan kecemburuan yang ditanggung Aisha ketika harus mengikhlaskan dan mendorong suaminya untuk menikahi Maria dengan alasan kemanusiaan (hlm. 381). Bagi kalangan yang pro-poligami, alasan dogma agama dan kemanusiaan memang sering digunakan untuk mengesahkan poligami dengan mengeliminasi tafsir keagamaan yang lain. Bahkan dengan mematikan rasa yang alami dan mengabaikan madlarat (bahaya)-nya bagi kemanusiaan itu sendiri, seperti dampak psikis dan sosial bagi perempuan, misalnya. Bukankah ini iklan poligami terselubung?

Bahkan, untuk pengorbanan Aisha yang merelakan Fahri tidak bekerja untuk sementara demi kelancaran studi, dikesankan sangat negatif. Pembaca dan penonton diajak melupakan kebaikan dan kecerdasan Aisha di awal cerita. Pada pasca-pernikahan dengan Fahri, Aisha dikesankan sudah tidak memerlukan materi karena memang sudah berkecukupan, sehingga niat baik Aisha untuk menghadiahi Fahri dengan sebuah laptop untuk kelancaran pengerjaan tugas akhir studi pun tidak disambut sebagai ketulusan Aisha, tetapi dituding sebagai bentuk pengagungan materi atau bentuk kecemburuan Aisha atas keberadaan komputer lama Fahri yang menyimpan banyak kenangan antara Fahri dan Maria. Hal ini sering memicu konflik antara keduanya. Akibatnya, Aisha terpaksa harus membuktikan lagi bahwa tidak ada kecemburuan dan berkorban untuk Fahri karena tidak ingin menjadi janda (hlm. 377).

Alih-alih pembaca mencoba melihat kepengecutan Fahri yang tidak menikahi Maria dari semula tanpa harus menikah dengan Aisha, tetapi pembaca justru digiring untuk percaya bahwa Fahri tetaplah mulia karena telah memilih Aisha, sosok muslimah yang taat. Bukankah dalam Islam, laki-laki diperbolehkan menikahi perempuan ahlul kitab (Kristen)? Toh, meskipun sudah menikah dengan Aisha, akhirnya dia tetap menikahi Maria yang notebene juga belum melafalkan syahadat (hlm. 378). Sebagai sosok yang peka dan lembut hati, seyogianya Fahri juga membaca tanda cinta Maria, tanpa harus menunggunya menjadi korban.

Kedua, tentang pengorbanan Nurul. Tokoh Nurul digambarkan oleh penulis sebagai tokoh aktivis yang cerdas, mandiri, baik hati, dan suka menolong. Tapi, karena Nurul seorang perempuan maka dia tetap distereotipkan sebagai "yang lemah", sehingga hanya karena patah hati, hidup Nurul digambarkan kehilangan "cahaya" dan tak bersemangat lagi. Dan "cahaya" itu adalah Fahri (yang laki-laki). Bahkan, orang tua Nurul pun perlu mendatangi Fahri dan memintanya untuk menikahi Nurul. Di sini dilukiskan betapa kemandirian dan kecerdasan perempuan tetap tidak ada artinya karena dibayangi keperkasaan laki-laki. Padahal, syarat sebuah cerita yang baik seyogianya mengandung unsur logis dan diterima nalar. Logiskah tokoh semandiri Nurul menjadi mudah putus asa dan merendahkan harga dirinya untuk cinta seorang laki-laki?

Ketiga, tentang pengorbanan Noura. Awalnya, Noura diceritakan sebagai gadis yang teraniaya dan membutuhkan pertolongan. Publik pun bersimpati dengan nasib malang gadis ini, sehingga Fahri pun membelanya. Tapi, lagi-lagi Noura sebagai perempuan yang korban perkosaan digambarkan sebagai pengkhianat yang menusuk Fahri dari belakang. Publik dibuat tidak berempati sama sekali terhadap Noura, meskipun akhirnya ia mengakui kebohongannya. Publik digiring untuk tidak bisa memaklumi dan melihat dampak psikologis yang sangat berat akibat perkosaan, sebaliknya lebih melihat Noura sebagai pihak "musuh". Meski begitu, satu pelajaran berharga dapat diambil dari kisah Noura, bahwa pemerkosa tidak mau peduli siapa korbannya, apakah berjilbab atau tidak. Selama ini, korban perkosaan sering dipersalahkan dan dianggap turut memicu terjadinya perkosaan karena sengaja mengundang nafsu syahwat laki-laki dengan tidak menutup aurat. Kenyataannya, Noura yang berbusana tertutup dan berjilbab tetap menjadi korban pelecehan dan perkosaan.

Keempat, tentang pengorbanan Maria. Maria digambarkan gadis beragama Kristen Koptik yang ceria, pintar, dan baik hati. Tapi, Maria berubah kehilangan daya hidup ketika mengetahui Fahri menikahi Maria dari informasi teman seapartemen Fahri. Sebagai teman dekat dan menghargai Maria, semestinya Fahri memberitahukan perihal pernikahannya kepada Maria, meskipun sekadar melalui layanan pesan pendek (SMS). Masih berkaitan dengan Maria, sikap penulis juga tidak konsisten dalam mengakui perbedaan (pluralisme) dengan menampakkan simplifikasi terhadap keyakinan orang lain. Digambarkan bahwa seakan perempuan non-muslim menjadi "lebih baik" ketika mengubah keyakinannya dengan Islam. Tokoh perempuan non-muslim, Maria dan Alicia (wartawati), "diseragamkan" dalam keyakinan penulisnya. Pluralis setengah hati?

Film dan novel ini juga memproduksi maskulinitas yang kental dengan mengedepankan dialog tentang pemberian sanksi berupa pukulan yang tidak menyakiti kepada istri yang dianggap durhaka. Menurut saya, dalam suasana konflik suami-istri, mana ada "pukulan" (keras atau lembut) yang tidak menyakitkan. Kekerasan dengan cara apa pun tetap tidak akan menyelesaikan masalah. Bagaimana kalau suami yang durhaka atau menyeleweng?

Demikianlah novel ini menjalankan perempuan dengan stereotip yang dibentuk oleh dunia maskulin. Bagaimana perempuan bersikap dan ciri perempuan yang baik ditentukan oleh laki-laki, bahkan untuk urusan tertawa dan penampilan sekalipun. (hlm. 25). Perempuan tetap diposisikan sebagai pelengkap penderita dalam cerita "kepahlawanan" laki-laki. Kalau orang lain merasa hatinya gerimis (sejuk) setelah membaca dan menonton AAC, sebaliknya mata dan hati saya menangis untuk ketidakberuntungan dan penderitaan yang menimpa tokoh-tokoh perempuannya. Bagaimana dengan Anda? (*)

*) Khotimatul Husna, editor freelance, alumnus Fakultas Syariah, UIN Sunan Kalijaga, Jogjakarta. Sekarang tinggal di Malang

Jawa Pos Minggu, 20 Apr 2008

Gagalkan Pengiriman TKI Ilegal

TULUNGAGUNG - Jajaran Polres Tulungagung kembali menggagalkan pengiriman TKI ilegal dini hari kemarin. Sebanyak delapan orang berencana akan dikirim ke Johor Bahru, Malaysia, lewat Batam. Dua tekong, yakni Madiono,37, dan Nursolah, 42, yang diduga sebagai pemasok TKI itu berhasil ditangkap.


Keduanya warga asal Desa Sukorejo kulon, Kecamatan Ngunut. Diduga mereka memiliki jaringan agen pengiriman TKI yang berada di Malaysia. Kini mereka diamankan di Polres dan ditetapkan sebagai tersangka.

Kaur Binops Satreskrim Polres Tulungagung Iptu Khairil menjelaskan, polisi mengendus rencana pemberangkatan delapan calon TKI yang semuanya laki-laki tersebut. Sekitar pukul 02.00 rombongan yang menumpang Isuzu Panther AG 603 AD tersebut kemudian dicegat di jalan raya Boyolangu.

Setelah diperiksa, baik Madiono dan Nursolah yang merekrut para calon TKI tersebut tidak dapat menunjukkan surat izin penempatan TKI di luar negeri. Curiga dengan kedua orang itu polisi menggelandangnya ke Mapolres Tulungagung. Hingga siang kemarin, baik tersangka maupun kedelapan calon TKI yang dijadikan saksi tesebut masih menjalani pemeriksaan.

Dari hasil pemeriksaan, diketahui modus operasi kedua tersangka tersebut dengan merekrut calon TKI dengan informasi dari mulut ke mulut. Para calon TKI dijanjikan sebagai kuli bangunan dengan bayaran 30 ringgit atau Rp 90 ribu per hari. Kedua tersangka tersebut akhirnya mendapatkan delapan orang. Tak tanggung-tanggung enam dari kedelapan orang itu berasal dari luar Tulungagung. Yakni empat orang dari Wonosobo, dua orang dari Lampung Tengah dan sisanya dari Desa Kepuh, Kecamatan Boyolangu, Tulungagung.

Kiyo, 50, salah satu calon TKI mengatakan, tertarik setelah mendapat informasi dari besannya. Dia mengaku mengeluarkan uang senilai Rp 3,9 juta untuk biaya pemberangkatan ke Malaysia. Uang tersebut sudah diserahkan ke Madiono. "Yang satu setengah juta rupiah katanya buat paspor. Sudah saya bayarkan sekali, lalu yang dua juta empat ratus untuk biaya terbang ke Malaysia juga sudah saya bayarkan sekali," ucap Kiyo dalam bahasa Jawa.

Kiyo mengaku telah tiga hari berada di Tulungagung. Warga Mergosari, Sukoharjo, Wonosobo ini menginap di rumah besannya yang berada di Desa Ngranti, Kecamatan Boyolangu. Bapak satu anak ini menunggu jemputan kedua tesangka tersebut. Namun apes belum sampai keluar dari kecamatan Boyolangu, niat mereka dihentikan polisi. Kiyo yang mengaku menyerahkan fotokopi KTP, kartu keluarga dan pas foto ini hanya bisa pasrah setelah niatnya merantau ke Malaysia gagal.

Sementara, dari hasil pemeriksaan kemarin, polisi juga mengamankan barang bukti berupa lima lembar KTP, satu lembar surat perjanjian, uang Rp 172 ribu dari tangan Madiono dan mobil panther AG 603 AD. "Kedua tersangka kami kenakan pasal 102 jo 2,4 UU 39 taun 2004 tentang Penempatan Perlindungan TKI di Luar Negeri dengan ancaman sepuluh tahun penjara," ucap Iptu Khairil. (tin/cam)

Radar Tulungagung Jumat, 18 Apr 2008

Polisi Gagalkan Pengiriman CTKI

SITUBONDO - Untuk kesekian kalinya, aparat Polres Situbondo berhasil menggagalkan pengiriman Calon Tenaga Kerja Wanita (CTKW) yang diduga ilegal. Malam kemarin, polisi kembali membatalkan rencana pengiriman dua CTKW asal Situbondo ke luar negeri. Masing-masing, Siti Fatima, 20, warga Desa Olean, Kecamatan Situbondo; dan Rukaiyah, 39, warga Desa Tanjung Glugur, Kecamatan Mangaran.


Sesuai rencana, keduanya akan dipekerjakan sebagai pembantu rumah tangga (PRT) di Negeri Jiran Malaysia. Keduanya akan diberangkatkan oleh seorang pria berinisal MG, warga Kelurahan Mimbaan, Kecamatan Panji, Situbondo. Mereka dipergoki polisi, saat sudah siap bertolak menuju Surabaya lewat terminal Situbondo.

Di tempat inilah, polisi berhasil menghentikan langkah ketiganya, sekitar pukul 04.00 dini hari kemarin. Karena tidak bisa menunjukkan surat-surat, ketiganya lalu digiring ke Polres Situbondo, untuk menjalani pemeriksaan. "Kita menduga, pengiriman CTKI ini dilakukan ilegal. Sebab, saat diperiksa di lapangan, mereka tidak dibekali surat-surat sah," kata Kasatreskrim Polres Situbondo AKP Sukari, kemarin.

Namun, dalam pemeriksaan lebih lanjut, polisi tidak menemukan bukti-bukti kalau MG adalah tekong yang merekrut kedua CTKW tersebut. Justru, MG bermaksud mengusulkan kedua wanita itu sebagai CTKW, hanya karena belas kasihan dan saling kenal. Keduanya akan didaftarkan MG sebagai CTKW, lewat sebuah PT pengerah tenaga kerja di Sidoarjo.

Dari tangan kedua wanita itu, pria ini juga mengaku tidak memungut biaya sepeser pun. "Belum ada indikasi yang menguatkan jika si pria itu adalah tekong ilegal. Dia mengajak keduanya karena hanya saling kenal dan rasa kasihan," imbuh Sukari.

Karena itu, untuk keperluan penyelidikan selanjutnya, polisi tidak sampai menahan MG. Pria ini hanya dikenakan wajib lapor ke Mapolres Situbondo. Sebab, meski belum mengantongi bukti-bukti, polisi sendiri berinisiatif untuk terus mengembangkan kasus dugaan pengiriman TKI ilegal itu. Dalam waktu dekat, polisi akan menyelidiki PT pengerah TKI di Sidoarjo yang disebut-sebut oleh MG. "Kita akan selidiki PT yang di Sidoarjo itu. Kita lihat saja perkembangannya nanti," tukasnya. (gaz/aif)

Radar Banyuwangi Jumat, 18 Apr 2008

TKW Cluring Ditangkap Bareskrim

Gondol Uang Majikan Rp 1 M (?)*

BANYUWANGI - Seorang Tenaga Kerja Wanita (TKW) asal Banyuwangi berurusan dengan Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri. TKW tersebut Dina Mariana, 28. Wanita itu ditangkap Bareskrim di rumahnya Dusun Simbar, Desa Tampo, Kecamatan Cluring sekitar pukul 19.00 kemarin malam (18/4).



Dina yang sudah empat tahun bekerja di Taiwan itu ditangkap Bareskrim karena dilaporkan telah menggelapkan uang majikan sekitar Rp sekitar Rp 1 miliar. Kasus ini tengah ditangani serius Bareskrim. Siang kemarin, Dina didampingi penasihat hukumnya Ani Indrijani menjalani pemeriksaan maraton di Mapolres Banyuwangi.

Dina tidak sampai ditahan. Polisi masih terus mengumpulkan bukti kuat terkait dugaan penggelapan uang majikan sekitar Rp 1 miliar tersebut. Informasi yang diperoleh koran ini menyebutkan, selain menangkap Dina, Bareskrim dibantu personel aparat Polsek Cluring dan Polres Banyuwangi juga menyita barang-barang berharga milik Dina yang diduga ada kaitannya dengan kasus penggelapan.

Barang-barang itu berupa dua sepeda motor jenis Honda Mega Pro, Vario, dan sebuah kendaraan pikap L-300. Ketika menggeledah rumah mewah milik Dina, petugas tidak menemukan dokumen-dokumen penting terkait keuangan milik majikannya. "Kami kaget. Ada apa di rumah Dina kok kedatangan banyak polisi. Ternyata polisi itu membawa Dina ke kantor polisi," kata beberapa warga Tampo kepada koran ini.

Kapolres Banyuwangi AKBP Ery Nursatari melalui Kasatreskrim AKP Agung Setya tidak menampik adanya penangkapan TKW asal Tampo tersebut. "Memang ada tim dari Jakarta. Mereka ke Banyuwangi untuk mencari salah seorang TKW asal Banyuwangi," kata Agung.

Menurut Agung, TKW tersebut membuat masalah dengan majikannya di Taiwan. "Jadi TKP-nya di Taiwan, bukan di Indonsia. Dia (Dina, Red) oleh orang Taiwan suruh beli tanah. Ternyata tidak dibelikan," ungkap Agung.

Kasus ini, lanjut Agung, ditekel langsung tim Bareskrim Mabes Polri. Pihaknya sebatas membantu kelancaran jalannya pengusutan. "TKW-nya masih terus diimintai keterangan. Dia sebatas saksi. Sampai sekarang belum ada penahanan," tandasnya.

Diperoleh keterangan, tim Bareskrim turun ke Banyuwangi setelah menerima informasi dari Interpol. Isi laporan itu menerangkan seorang TKW asal Banyuwangi telah menggelapkan uang majikan. Awalnya, TKW bernama Dina Mariana diminta majikannya untuk membelikan tanah yang lokasinya di Indonesia.

Setelah ditunggu lama ternyata Dina tidak juga memberi kabar perihal hasil pembelian tanah yang dimaksudkan oleh sang majikan. Bahkan, setelah dicek ke Indonesia ternyata sebidang tanah yang diharapkan oleh sang majikan tidak ada. Sementara, uang hamper Rp 1 miliar juga tidak dikembalikan kepada majikannya.

Malahan, sampai dua tahun berada di tempat tinggalnya di Simbar, Dina malah membeli barang-barang berharga. Bahkan, dia bisa membangun rumah mewah nan besar yang lokasinya di depan Puskesmas Simbar.

Warga di sana juga curiga dari mana wanita itu bisa mendapatkan uang membangun rumah sebesar itu. Usut punya usut, uang itu kiriman dari Dina ketika masih bekerja di Taiwan. Tahap pertama transfer Rp 450 juta lewat orang tua Dina. Tahap kedua diterima Agus (yang kini menjadi suami Dina). "Kita tahunya Dina bekerja di Taiwan. Sudah enam tahun dia jadi TKW," kata warga.

Penangkapan Dina di Desa Simbar memang sempat mengejutkan warga sekitar. Malahan Ketua RT setempat, Pak Selo, diminta Bareskrim untuk menyaksikan penggeledahan rumah Dina. Selo yang malam itu menghadiri selamatan warga terpaksa pulang lebih awal untuk mendampngi tim Bareskrim. "Pak Selo sengaja diajak untuk menyaksikan," ujar warga tadi.

Apa kata Dina dengan sangkaan membawa kabur uang majikannya? Dina Melalui penasihat hukumnya Ani Indrijani membantah tuduhan itu. Menurut dia, uang itu miliknya dari hasil bekerja selama 6 tahun di Taiwan. Selama bekerja di Taiwan, semua gaji itu dikirim ke orang tuanya. "Itu bukan uang milik majikan. Murni milik klien kami. Tidak benar juga kalau untuk beli tanah atas perintah majikan," jelas Ani.

Pengacara yang juga pemilik tempat Teraphy Nias Sauna itu membantah kalau kliennya ditangkap Bareskrim. Menurutnya, kliennya dipanggil baik-baik untuk datang ke kantor polisi. "Sekali lagi uang itu milik klien kami. Bukan untuk beli tanah atas permintaan majikan," tandas Ani. (aif/sms)

Jawa Pos Sabtu, 19 Apr 2008. *Tandatanya dari fbbmi

Ayam Mati di Lumbung Padi

OLEH Samsudin Adlawi

"INDONESIA adalah potongan surga," kata Syeikh Syaltut saat mengunjungi dan melihat keindahan Indonesia. Penilaian mantan Syeikh Akbar Al-Azhar Mesir itu tidaklah berlebihan. Terutama, bagi orang Timur Tengah yang sehari-hari hanya menyaksikan hamparan padang pasir.



Indonesia tidak hanya indah. Tapi, juga gemah ripah. Tanahnya subur. Apa saja bisa tumbuh di bumi pertiwi. Bukan hanya padi, tapi semua jenis tanaman palawija dan buah-buahan bisa tumbuh subur di sini. Tongkat ditanam saja langsung tumbuh jadi tanaman (mengutip penggalan syair lagu Koes Plus yang ngetop di era 70-an).

Dengan berkah kondisi alam yang sedemikian, seharusnya Indonesia menjadi negara makmur. Masyarakatnya hidup sejahtera. Kebutuhan pangan tidak hanya tercukupi, tapi tersedia melimpah untuk jangka waktu lama. Karena stok melimpah, harganya pun jadi murah dan terjangkau oleh semua lapisan masyarakat.

Tapi, yang terjadi saat ini sangat ironis. Di hamparan sumber daya alam (SDA) yang melimpah, banyak rakyat yang hidup dalam kemiskinan. Bahkan, sebagian di bawah garis kemiskinan. Mereka kesulitan memperoleh asupan makanan yang layak. Sungguh sangat sulit diterima akal sehat, di negeri yang memiliki kekayaan SDA seperti Indonesia, rakyatnya sakit busung lapar dan gizi buruk.

Lebih ironis lagi, sudah ada penduduk miskin yang menjadi korban kemiskinan. Di Yahukimo, Papua, beberapa waktu lalu terjadi kelaparan masal. Di Makassar ada ibu hamil dan anak balitanya meninggal akibat kelaparan. Di Serang, Jawa Barat, rakyat makan nasi aking yang sejatinya (maaf) lebih layak dimakan itik. Di Ronte Ndao, Nusa Tenggara Timur, kejadian luar biasa busung lapar mengintai rakyat di sana. Korban gizi buruk juga terus berjatuhan.

Beberapa waktu lalu, seorang balita di Mojokerto dan tiga di Temanggung, Tawa Tengah, meninggal setelah gagal melalui masa kritis akibat gizi buruk. Terakhir, Kabupaten Gorontalo menyatakan gizi buruk di daerahnya sebagai kejadian luar biasa (KLB) menyusul adanya lima pasien yang mendapat perawatan di RS MM Dunda (Jawa Pos, 16/4).

Dari hari ke hari, kehidupan jutaan rakyat bukannya makin sejahtera, melainkan semakin susah. Tidaklah berlebihan jika mengibaratkan kondisi mereka sekarang seperti ayam yang mati di dalam lumbung padi. Bagaimana mungkin di dalam lumbung yang berisi penuh padi, ayam bisa mati. Kalau matinya karena kekenyangan itu lumrah. Sebab, mereka bisa makan padi kapan pun mereka mau. Tapi, kalau di tumpukan padi siap saji mereka sampai mati kelaparan, itu benar-benar sulit dipercaya. Sulit dilogika. Namun, itulah fakta yang sedang terjadi di Indonesia.

Kehidupan demokrasi yang dideklarasikan sejak pecahnya reformasi 10 tahun silam tidak berbanding lurus dengan peningkatan kesejahteraan rakyat. Justru yang terjadi sebaliknya. Rakyat makin susah.

Pasti ada yang salah dengan negara ini. Telah terjadi salah urus (missmanagement) dalam penyelenggaraan negara ini. Potensi SDA melimpah -yang sebenarnya hanya membutuhkan sedikit sentuhan- tidak dikelola dengan baik. Akibatnya, limpahan rahmat Tuhan itu sama sekali belum bisa diandalkan untuk meningkatkan mutu kehidupan rakyat.

Pemerintah larut dan hanya asyik masyuk dalam politik pencitraan diri. Mereka hanya berpikir bagaimana mempertahankan citra kepemimpinannya agar terus terjaga. Program-program untuk orang miskin tak lebih hanyalah program sim salabim. Hanya memberi kepuasan sesaat. Tidak menyembuhkan. BLT (bantuan langsung tunai) dan program sejenisnya adalah contoh faktual. Program instan itu tidak berangkat dari hati nurani, tapi semata demi menjaga citra pemerintah. Biar seolah-olah dianggap peduli terhadap nasib rakyat miskin.

Saatnya pemerintah introspeksi. Jangan ada lagi ayam yang mati di lumbung padi. Pemerintah jangan membiarkan rakyat kelaparan lagi saat produksi beras melimpah. Jangan ada lagi korban gizi buruk dan busung lapar karena laut dan bumi kita merupakan sumber protein dan vitamin.

Ajaran Jawa, Tri Dharma, bisa dijadikan landasan untuk mencapai perubahan itu. Ajaran mulia tersebut adalah rumongso melu handarbeni, wajib hanggondeli, dan mulat sariro hangroso wani. Pertama, pemerintah harus menumbuhkan rasa ikut memiliki SDA. Kedua, pemerintah berkewajiban menjaga kekayaan SDA yang melimpah ruah dari Aceh sampai Papua itu. Lalu ketiga, pemerintah harus membuat prioritas pemanfaatan SDA tersebut untuk mengatasi kemelaratan dan mengentas rakyat dari jurang kemiskinan.

Samsudin Adlawi, wartawan Jawa Pos

Jawa Pos Jumat, 18 Apr 2008

Liku-liku Merealisasikan Buku Murah

Oleh Supriyoko

Ada hal menarik untuk kita simak ketika Mendiknas Bambang Sudibyo mengadakan silaturahmi dan diskusi tentang capaian kinerja Depdiknas 2005-2007 dengan pimpinan media massa di Solo, Sabtu 12 April lalu, yaitu tentang buku murah.



Pada kesempatan tersebut, Pak Bambang menyatakan masyarakat tidak perlu cemas terkait adanya pemangkasan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk pengadaan buku atau yang lebih dikenal dengan BOS Buku. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah telah membuat program buku murah bagi peserta didik. Pemangkasan BOS Buku tidak menjadi masalah dan tidak perlu dirisaukan karena sudah ada penggantinya, yakni program buku murah.

Dalam program buku murah tersebut, Depdiknas atau pemerintah membeli hak kopi (copyright) buku dari penulis secara langsung, selanjutnya mengizinkan siapa saja untuk menggandakannya, menerbitkannya, atau memperdagangkannya dengan syarat harga murah hingga dapat terjangkau oleh orang tua murid.

Dia pun menunjukkan angka konkret 2007, yakni Depdiknas membeli 37 judul buku teks pelajaran, dan tahun ini direncanakan membeli 250 lebih judul lagi.

Positif

Program buku murah yang dilontarkan menteri pendidikan tersebut memang penting. Sebab, selama ini tingkat kepemilikan dan keterbacaan buku di kalangan pelajar dan mahasiswa Indonesia relatif amat rendah. Pelajar SMA, misalnya, ketika menjadi siswa selama tiga tahun belum tentu mampu membeli 10 buku pelajaran. Bahkan, banyak yang tidak mampu membeli 1 judul buku pun. Hal itu juga berlaku pada mahasiswa kita yang nota bene sebagai calon pemimpin bangsa.

Atas realitas tersebut, maka program buku murah diharapkan mampu menjadi alternatif untuk memecahkan "kebuntuan" itu.

Pemerintah sendiri, tampaknya, tidak main-main atas kebijakannya tersebut. Setidaknya, sekarang sudah dikeluarkan Permendiknas No 2/2008 tentang Buku yang mengatur penyebarluasan buku secara murah, khususnya buku teks pelajaran untuk pendidikan dasar, menengah, dan tinggi.

Pasal 3 ayat (4) menyatakan departemen (Depdiknas), departemen yang menangani urusan agama, dan/atau pemerintah daerah dapat membeli hak cipta buku dari pemiliknya untuk memfasilitasi penyediaan buku bagi pendidik, tenaga kependidikan, dan peserta didik dengan harga yang terjangkau.

Selanjutnya, pasal 8 ayat (1) menyatakan departemen, departemen yang menangani urusan agama, dan/atau pemerintah daerah dapat mengizinkan orang-perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum untuk menggandakan, mencetak, memfotokopi, mengalih-mediakan, dan/atau memperdagangkan buku yang hak ciptanya sudah dibeli.

Dari sisi peraturan, sepertinya konsep penyediaan buku murah itu tidak ada masalah lagi. Ketentuan tersebut secara langsung memotong mata rantai industri perbukuan yang terkadang memang rumit dan melelahkan pihak industri buku itu sendiri.

Program buku murah yang diluncurkan pemerintah memang jadi tantangan tersendiri bagi pihak penerbit. Karena itulah, banyak penerbit yang mengkritik kebijakan pemerintah. Pihak IKAPI sendiri berharap agar kebijakan pemerintah tersebut jangan mematikan penerbit buku yang selama ini menunjukkan kontribusinya dalam penyediaan buku-buku pelajaran yang bermutu.

Harapan IKAPI tersebut realistis. Jadi, memang perlu perhatian dan tindakan nyata dari pemerintah. Sebuah win-win solution diperlukan. Artinya, program buku murah tetap berjalan tanpa harus mematikan penerbit yang selama ini sudah banyak jasanya.

Banyak cara untuk itu. Misalnya, pemerintah membebaskan pajak yang berlebihan, pemerintah menyubsidi kertas, dsb. Dengan cara ini, masyarakat tetap dapat menikmati harga buku yang murah, sementara pihak penerbit tidak mati karenanya.

Tidak Mudah

Meski program buku murah tersebut sangat positif dan bermanfaat, tidak akan mudah merealisasikannya. Meski peraturannya sudah diberlakukan, realisasinya belum diwujudkan.

Memang pembelian hak cipta dapat langsung dilakukan kepada penulis, dan ini akan memotong mata rantai industri perbukuan. Namun, itu tidak berarti menyelesaikan semua permasalahan.

Kiranya perlu diketahui bahwa untuk menjadi naskah buku yang siap terbit, maka naskah asli dari penulis masih memerlukan sentuhan banyak profesi, antara lain, editor untuk mengoreksi naskah, desain grafis untuk me-lay out naskah, penyunting untuk menyunting naskah, ilustrator untuk menyajikan ilustrasi naskah, dsb. Kalau dikaitkan dengan "doku", sudah tentu banyak profesi tersebut berbanding lurus dengan banyaknya biaya yang dikeluarkan.

Dari sisi penggandaan dan pemerdagangan, oplah buku di Indonesia pada umumnya relatif rendah hingga tidak semua orang, kelompok orang, dan badan hukum yang tertarik untuk menggandakan sekaligus memperdagangkan buku karena sulitnya mengais keuntungan yang berlimpah.

Itulah berbagai kendala yang akan dihadapi pemerintah untuk merealisasikan program buku murah. Meski demikian, karena buku murah memang sangat bermanfaat bagi masyarakat, khususnya pelajar dan mahasiswa, maka kita wajib mendukung dan menyukseskannya sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. (*)

Prof Dr Ki Supriyoko MPd adalah pamong Tamansiswa, wakil Presiden Pan-Pacific Association of Private Education (PAPE) yang bermarkas di Tokyo, Jepang

Jawa Pos, Jumat, 18 Apr 2008

Disiksa Majikan di Hongkong, Ditipu Calo Tuban

TUBAN - Sulistyowati, 27, tenaga kerja Indonesia (TKI) korban penyiksaan majikannya di Hongkong ternyata juga jadi korban penipuan calo tenaga kerja asal Tuban.


Warga Desa/Kecamatan Dlopo, Madiun, itu Senin (14/4) malam lalu melapor ke Mapolres Tuban. Dalam laporannya ke Unit Opsnal I Reskrim, dia menyatakan calo tersebut Herman dan teman wanitanya bernama Yanti. Alamat dua orang itu tak jelas.

Dua orang inilah yang mendatangi rumahnya di Madiun dan menjanjikan korban akan dipekerjakan sebagai tenaga kerja sebuah pabrik di Tuban. Untuk bisa bekerja di pabrik tersebut, wanita ini diminta membayar uang pelicin Rp 10 juta. Uang tersebut dibayar dari hasil penjualan dua ekor sapi orang tuanya. Setelah seluruh persyaratan dipenuhi, dua pekan lalu Sulistyowati disuruh berangkat ke Tuban. Tempat yang dijanjikan bertemu adalah Terminal Wisata Kambang Putih (TWKP) Tuban.

Selama dua pekan, wanita ini menunggu. Namun, kedua calo yang menjanjikan kerja tak menunjukkan batang hidungnya. Warga yang menemukan korban telantar di terminal akhirnya mengantar lapor ke Mapolres Tuban.

Sebelum jadi penipuan calon tenaga kerja asal Tuban, Sulistyowati juga jadi korban penipuan dan penganiayaan selama dua tahun bekerja di Hongkong. Dia berangkat ke Hongkong melalui seorang calo ilegal yang ditemuinya di Terminal Bungurasih, Surabaya.

Di bekerja Hongkong pun, korban tidak bayar sesuai kesepakatan awal. Bahkan, wanita ini diseterika wajah dan disiram air panas sekujur tubuhnya. Penganiayaan tersebut terjadi karena korban menolak diajak berhubungan intim oleh majikannya. "Saya berhasil kabur setelah melompat jendela rumah," tutur korban kepada petugas.

Setelah berhasil meninggalkan rumah majikannya, Sulistyowati lapor polisi. Dia pun diserahkan ke KBRI Hongkong dan kemudian dideportasi ke tanah air.

Kapolres Tuban AKBP Jebul Jatmoko melalui Kasatreskrim AKP Efendi Lubis menyatakan, pihaknya kesulitan menemukan calo ilegal yang menipu korban karena identitasnya tak jelas. "Identitas calo sangat minim. Kecil kemungkinan kita bisa menemukan," tandas dia.

Karena penipuan berlangsung di Madiun, lanjut Lubis, dia menyarankan kepada korban untuk melapor ke Mapolres Madiun.(ds)


Radar Bojonegoro Rabu, 16 Apr 2008

AAC Bisakah Jadi Ikon Baru Sastra?

Oleh Viddy A.D. Daery

Kang Abik (Habiburrahman El Shirazy), dai miliarder muda penulis novel Ayat-ayat Cinta (AAC), kali pertama bertemu saya justru di Malaysia pada acara sastra-budaya internasional beberapa tahun lalu sebelum dia menulis novel. Sebab, dia justru diundang sebagai penyair.



Tetapi, mungkin dia paham bahwa puisi tidak mudah menjadi jalan untuk sukses. Maka, dia menulis novel dan terbukti Ayat-ayat Cinta -novel fenomenalnya- mampu meroket menjadi ikon baru sastra Indonesia, yang berciri "sastra islami", mengubur fenomena sastra Indonesia yang baru saja boom, yakni "sastra seks"

Tentunya, bangsa Indonesia akan malu kalau dunia internasional tahu bahwa hanya novel seks yang bisa diandalkan dari Indonesia. Hal itulah yang memang kini terjadi. Satu atau beberapa novel seks Indonesia mendapat berbagai anugerah internasional. Tentunya, hal tersebut merupakan blunder bagi bangsa yang memang sedang kehilangan jati diri, bahkan salah satu novel seks itu baru-baru ini mendapatkan hadiah sastra dari lembaga pemerintah Indonesia yang membawahi bidang sastra.

Tentunya, rakyat Indonesia berhak mempertanyakan keputusan lembaga tersebut karena mereka ikut menyumbangkan pajak untuk mendanai lembaga itu.

Fenomena

Tetapi, tentu Tuhan tidak pernah tidur, sebagaimana bunyi salah satu ujaran Jawa "Gusti ora sare". Ketika sebagian besar bangsa yang sedang linglung nasional tidak pernah sadar kebobolan blunder sastra seks, Tuhan membimbing AAC mampu menerobos dan mematahkan semua prestasi sastra Indonesia.

Di toko-toko buku, novel AAC yang sedang beredar adalah cetakan ke-30. Namun menurut Kang Abik yang berjumpa untuk kali ketiga dengan saya (dua kali jika dimulai dari dia sudah miliarder), penerbit Republika mulai memproses cetakan berikutnya. Belum lagi peredaran di Malaysia, Brunei, Singapura, dan Thailand Selatan yang terdiri atas dua versi: langsung dikirim dari Indonesia (versi bahasa Indonesia) atau yang sudah diterjemahkan ke versi bahasa Melayu edisi Malaysia.

Selain itu, sedang dikerjakan penerjemahan ke bahasa Inggris untuk peredaran seluruh dunia. Histeria AAC semakin lengkap ketika AAC difilmkan. Sutradara Hanung Bramantyo secara luar biasa mampu membuat film AAC yang sangat dramatis dan mencampur unsur filmis, musik, dan sudut pandang kamera yang inkonvensional sehingga film AAC sangat layak dipertandingkan di forum-forum Festival Film Internasional.

Seorang kritikus film muda di salah satu koran Jakarta memang mengkritik dengan nyinyir bahwa formula AAC adalah gaya Hollywood dan karena itu wajar mampu menjadi box-office.

Yang dimaksud dengan formula Hollywood adalah cerita yang menyenangkan semua orang, yakni happy ending. Sebab, diceritakan bahwa dalam kasus poligami, istri kedua "dibunuh oleh pengarang". Pengarang dianggap tidak berani membuat cerita panjang, yang dua istri itu hidup terus dengan segala perjalanan konflik.

Tetapi sebenarnya, dalam novelnya, kematian istri kedua tidak secepat seperti dalam filmnya. Ada proses perjalanan konflik. Namun, film adalah film. Ia mempunyai kaidah dramatik sendiri sehingga penulis skenario atau sutradara mempercepat adegan kematian itu agar menjadi sangat dramatis.

Bagaimanapun, toh tidak semua film, apalagi film Indonesia, mampu sukses mengadopsi formula Hollywood dengan rapi dan karena itu berhasil menjadi box-office. Data terakhir menyebutkan, AAC sudah ditonton lebih dari 3 juta penonton.

Kelebihan AAC jika dibandingkan dengan film-film box-office Indonesia lainnya adalah kental dengan "dakwah Islamnya", mampu menyedot penonton dari segala usia, etnis, agama, kalangan, jabatan, bahkan ditonton presiden, wakil presiden, dan para menteri serta beberapa tokoh Indonesia lainnya.

Menkominfo (Menteri Komunikasi dan Informatika) Mohammad Nuh DEA, yang menonton AAC sampai dua kali, menyatakan bahwa kelebihan AAC daripada film lainnya tidak hanya berhenti sebagai hiburan, melainkan mampu memberikan pencerahan.

Bagi Menkominfo, film sebagai media yang paling mempunyai keunggulan seharusnya dimanfaatkan oleh kreator untuk dimuati misi pencerahan yang membangun bangsa. Jangan hanya berhenti sebagai sarana hiburan.

Film AAC mampu menjadi hiburan dengan H besar sekaligus memberikan pencerahan yang luar biasa. Tidak hanya dari segi dakwah moral dan agama, namun juga pada kebanggaan nasionalisme -dalam adegan kemenangan hukum di pengadilan-, pada pengorbanan anak bangsa bernama Fahri terhadap nasib perempuan yang teraniaya, pada kesabaran yang membuahkan kebahagiaan, dan sebagainya.

Tentunya, itu adalah hasil karya dan kerja keras kelompok, baik kelompok pembuat film maupun kelompok yang melahirkan buku AAC. Di sini bukan berarti novel AAC ditulis oleh kelompok, melainkan keandalan Habiburrahman El Shirazy yang ditunjang oleh dukungan keluarga dan dukungan para teman sesama penulis yang satu visi.

Selain itu, dukungan penerbit yang mampu membaca pasar dan dukungan atau sambutan pembaca serta penonton yang memang sudah rindu kepada karya-karya yang memberi pencerahan dan menumbuhkan optimisme kehidupan dan peradaban. Bukan karya-karya yang merusak moral bangsa dan membuat kehidupan menjadi tidak nyaman dan mengkhawatirkan.

Viddy A.D. Daery, penyair, anggota tim ahli analis media staf khusus Menkominfo RI


Jawa Pos, Kamis, 17 Apr 2008

Forum Baca Tulis untuk Penduduk Surabaya

UNTUK menumbuhkan minat baca warga kota tentu dibutuhkan juga para penggerak riil. Karena itulah, lahir sebuah kelompok independent bernama Forum Kerja Sama Peningkatan Baca Tulis. Forum yang didukung penuh Badan Arsip dan Perpustakaan Kota Surabaya tersebut akan di-launching 3 Mei mendatang.

Menurut Ketua Forum D. Litasari, forum itu akan bergerak aktif hingga ke kelurahan melalui sudut baca mulai dirilis nanti. "Kami akan menggerakkan kader-kader baca yang siap membantu masyarakat menemukan dan mengelola buku yang pas untuk dibaca," katanya saat berkunjung ke Redaksi Jawa Pos kemarin (15/4).

Dalam kunjungan itu, tampak juga Kepala Badan Arsip dan Perpustakaan Pemkot Arini Pakistyaningsih dan wakil forum Lan Fang. Menurut Lita, forum itu lahir karena keprihatinan pada minat baca warga Surabaya yang dinilai masih amat rendah.

Arini menambahkan, jumlah pengunjung perpustakaan dalam setahun hanya 400 ribu orang. Bahkan, data dari Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP) pada 2005 menyebutkan, soal minat baca Indonesia jauh tertinggal di urutan ke 96 dari 100 negara. "Data ini amat menyedihkan dan harus segera diperbaiki," katanya.

Melalui kebiasaan membaca, menurut dia, tentu akan sangat membantu mencerdaskan masyarakat. Pengetahuan warga soal apapun akan bertambah dengan membaca banyak referensi. Persoalan umum masyarakat yang sering terjadi sebetulnya dapat diatasi dari buku.

Dia lalu menyebutkan soal kesehatan. "Banyak hal bisa kita pelajari dari buku-buku kesehatan. Misalnya makanan sehat atau menanam sayuran di rumah," katanya.

Forum tersebut akan dibuka untuk umum. Seluruh anggota dapat meminjam buku di Sudut Baca atau Taman Baca di manapun. Sejauh ini, Arini mengatakan, terdapat 200 Taman Baca yang sudah ada hingga di kelurahan. Hanya, forum berencana memaksimalkan isi Taman Baca itu. Misalnya, dengan menambah koleksi taman baca dengan buku-buku anak, keluarga, kesehatan, serta novel-novel remaja yang mampu memberikan inspirasi.

Forum tersebut bukan sekadar forum yang mengikuti tren. Mereka meyakinkan, dengan dukungan penuh dari Badan Arsip dan Perpustakaan, serta beberapa instansi swasta, forum tersebut akan bekerja maksimal untuk meningkatkan minat baca masyarakat. Sebelum pembukaan, pada 26 April, forum akan turun dalam kegiatan Seribu Perempuan Menulis (Superlis).

Kegiatan yang diprakarsai istri wali kota Dyah Katarina itu akan mengajak 1.000 perempuan menulis karya, termasuk puisi. "Forum akan turun untuk mendampingi para penulis perempuan itu," tegas Lita. (ara)

Jawa Pos Rabu, 16 Apr 2008

Tunjukkan Perempuan Peduli

JOGJA - Ketoprak Kartini Mataram Yogya (KKMY) untuk kali kedua pentas di Concert Hall Taman Budaya Yogya (TBY) Sabtu (12/4) malam. Pentas ketoprak dengan cerita klasik China Sam Pek-Eng Tay ini dimainkan para kaum hawa dalam rangka menyambut Hari Kartini.


Nuansa unik tampak di pentas garapan tiga sutradara Ki Mario, M Sugiarto dan Marsidah BSc ini. Para pemain yang semuanya perempuan itu berusaha menampilkan tiap karakter, termasuk sosok-sosok kaum Adam.

"Kami hanya ingin menunjukkan bahwa kaum perempuan memiliki kepedulian membangun dan melestarikan kesenian dan kebudayaan ketoprak. Apa pun hasilnya, saya kira ini mampu memberikan wacana agar kesenian ini tetap ada," papar Yati Pesek, pimpinan KKMY.

Dua agenda tahunan menjadi milik KKMY bersama Komunitas Conthong Jogja, Hari Kartini (April) dan Hari Ibu (Desember). Dua momen perempuan itulah, kiprah para kaum Kartini berakting di atas panggung ketoprak ini.

Kisah cinta asal negeri Tirai Bambu itu memang tak asing di masyarakat. Namun pesan terkait hak perempuan untuk mengenyam pendidikan menjadi misi pentas ini. Monopoli kaum laki-laki atas pendidikan bukan lagi masanya.

Ada dua korelasi persoalan yang sama dari masa lalu dan sekarang di dalam cerita ini. Jika masa lalu persoalan adat budaya menjadi kendala seseorang untuk bisa bersekolah, di masa sekarang tingginya biaya pendidikan menjadi hambatan seseorang untuk menempuh pendidikan.

Termasuk persoalan yang sekarang sering terdengar tentang keputusasaan siswa karena tidak bisa meneruskan pendidikan atau tidak mampu membayar sekolah yang diselesaikan dengan cara bunuh diri.

"Soal cerita Sam Pek-Eng Tay memang semua orang tahunya seperti kisah cinta Romeo-Juliet. Tapi momen Kartini ini hak atas pendidikan juga dimiliki kaum perempuan. Wanita memiliki hak-hak yang sama dengan laki-laki, di luar kodratnya," tambah Khocil Birowo, pimpinan produksi pentas ini. (ayu)

Radar Jogja Senin, 14 Apr 2008

Rieke Baca Puisi di Riau

RIAU- Artis Rieke Diah Pitaloka tampil membaca tiga puisi di Pekan Seni Dewan Kesenian Riau (DKR) Sabtu (12/4) malam. Pada acara yang berlangsung di laman Bujang Mat Syam itu, Rieke juga berhasil membuat ketua umum DKR, Eddy Akhmad RM, meneteskan air mata haru. Malam itu Eddy yang berulang tahun ke-40 tersebut mendapat hadiah istimewa dari Rieke berupa sekuntum mawar dan sebuah puisi berjudul Adam dan Hawa Tak Mungkin Bersama.


"Ini puisi buatan saya sendiri," kata Rieke. Kehadiran Rieke ke Pekanbaru bukan hanya untuk membacakan puisi. Tapi juga sebagai tutor pelatihan seni, di Bandar Serai yang berlangsung selama tiga hari mulai Jumat (11/4). (fed/jpnn/ayi)

Jawa Pos, Senin, 14 Apr 2008

Jambi, Tuan Rumah Temu Sastrawan Indonesia 2008

Provinsi Jambi mendapat kepercayaan menjadi tuan rumah pelaksana Temu Sastrawan Indonesia Pertama pada 7-11 Juli 2008. Kegiatan itu juga dikaitkan sebagai salah satu program menyongsong Tahun Kunjungan Wisata Indonesia/Visit Indonesia Year (VIY) 2008 dan Visit Jambi Year (VJY 2009).


Ketua Umum Panitia Pelaksana Temu Sastrawan Indonesia, Mualimah Radhiana, seperti dikutip Antara di Jambi, Jumat lalu mengatakan, temu sastrawan Indonesia 2008 merupakan kegiatan yang amat penting bagi para sastrawan dalam rangka mengagendakan Kongres Sastrawan untuk membentuk forum bersama dengan melibatkan ekologi sastra (sastrawan, kritikus, media, dan penerbit) guna mencapai estetik sastra Indonesia.

Selain itu, akan dilaksanakan pula workshop penulisan esai/kritik sastra serta panggung apresiasi dan wisata budaya ke situs Candi Muarojambi, Kabupaten Muarojambi, Provinsi Jambi, penerbitan buku antologi, dan pameran/bazar.

Temu Sastrawan Indonesia 2008 di Jambi nantinya akan mengambil tema "Kemandirian, Kebersamaan, dan Keharmonisan". "Tema itu penting agar para sastrawan Indonesia bersama ekologi sastra Indonesia memiliki kekuatan dan mampu memberi solusi mengenai tidak sehatnya ekologi sastra Indonesia saat ini," kata Mualimah yang juga Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jambi itu.

Sementara itu, sastrawan Jambi Dr Sudaryono MPd yang juga ketua panitia pelaksana Temu Sastra Indonesia mengatakan, dasar pemikiran pertemuan sastrawan Indonesia di Jambi karena saat ini telah terjadi krisis multidimensi seperti politik dan budaya, termasuk sastra Indonesia.

Ekologi sastra Indonesia kini kian memudar, tidak seperti dulu yang banyak menghasilkan karya sastra seperti syair, cerpen, novel, dan skenario cerita film yang berbobot.

"Kritikan sastrawan terkemuka Indonesia masa dulu, seperti Chairil Anwar dan HB Jassin, kini jarang ditemukan, atau bahkan hanya sebatas cerpen," ujar Sudaryono seraya mengingatkan bahwa pada satu hingga dua dasawarsa silam, HB Jassin dengan kritik sastranya, "Kerakap di Atas Batu, Hidup Enggan Mati Tak Mau", berhasil membuat sastra Indonesia tumbuh harmonis.

Kongres sastra Indonesia di Jambi akan menampilkan 10 sastrawan Indonesia, yaitu Dr Katrin Bandel, Prof Dr Suminto A Sayuti, Todung Mulya Lubis, Prof Dr Abdul Bari AZ SH, Nirwan Dewanto, Pamusuk Eneste, dan Ahmadun Y Herfenda. Kemudian Acep Zam-zam Noor, Ahmad Subhanuddin Alwy, Eddy Utama, Dr Haris Effendi Thaher, Prof Dr Hasanuddin WS, Dr Maizar Karim MHum, Korrie Layun Rampan, dan Prof Dr Sunaryono Basuki. (Ami Herman)

SuaraKaryaOnLine Selasa, 1 April 2008

STA: Puisi dan Modernitas (2)

Goenawan Mohamad


Semua itu—yang terasa sejak 1945—tak terkait dengan ”pesimisme Barat”. Ia lebih terkait dengan ”Revolusi”—kejadian (l'événement, kata Alain Badiou) yang melahirkan kebenaran baru, ketika sebuah situasi sekonyong-konyong pecah, stabilitas retak, acuan guncang, dan tampak bahwa dunia yang ada sebenarnya ditopang oleh inkonsistensi sepenuhnya.



Maka, puisi sesudah-perang bukanlah Puspa Mega (Sanusi Pane) melainkan Deru Campur Debu, bukan Gamelan Jiwa (Armijn Pane) melainkan Kerikil Tajam Yang Terampas dan Yang Putus.

Takdir tak menangkap kondisi itu. Baginya, seperti dikutip Asrul Sani, revolusi Indonesia telah berlangsung tanpa jejak, seperti ”gelembungan yang kempis kembali karena tersonggol batu”. Tetapi, pengertian STA tentang revolusi hanya benar bagi mereka yang, kata Asrul, ”menganggap revolusi ini suatu rame-rame pada hari Minggu”.

Inilah cerminan, seperti dikatakan Asrul, sastra masa Takdir: sastra ”gestabiliseerde burgers”. Yang terasa adalah ”bau baju bersetrika”. Semuanya lempang dan tertib. ”Gambar-gambar dilukiskan dengan pertolongan mistar hingga segala-galanya lurus,” kata Asrul pula.

Asrul bisa berlebihan, tetapi membaca puisi Pujangga Baru memang membaca deretan majas yang diambil dari dunia yang utuh, di mana yang negatif tak membayang dan yang positif transparan. Puisi Pujangga Baru, terutama sajak-sajak Takdir, adalah puisi kehadiran; puisi sesudah-perang adalah puisi kehilangan.

Tetapi, dalam kehilangan itu, ada penebusan. STA keliru jika melihat modernisme sebagai sebuah sikap yang hanya menerima kekalahan manusia.

Modernisme memang menyentak dan mengejutkan: sesungguhnya ia teriak pembebasan manusia dari ”hidup yang cidera”. Beschädigten Leben itu, dalam analisis Adorno, adalah hidup yang dipak dan diringkas komodifikasi, hidup yang didera laba-rugi, terkurung rasa terasing, dipipih-keringkan administrasi. Manusia tak lagi bisa jadi subyek, atau subyek tak bisa diberhalakan lagi. Ia telah digiring politik, hanya jadi angka dalam demokrasi dan sekrup dalam bangunan totaliter, rudin oleh pengisapan, remuk oleh perang, atau hangus dalam kotak-kotak kamp konsentrasi. ”We are the hollow men/ We are the stuffed men,” gumam dalam sajak TS Eliot yang terkenal. Dari tanah gersang itulah modernisme bersuara, memantulkan melankoli.

Tetapi, sebenarnya mereka juga mencoba menebus yang hilang: yang bergairah pun bertaut dengan yang buruk, kepedihan dengan yang erotis. Tubuh yang dianiaya kapitalisme, kediktaturan dan perang, ditampilkan kembali, dan tak ditampik, dalam ketaksempurnaannya. Bahkan modernisme juga sebuah pembebasan dengan cara tersendiri. Buat melepaskan manusia dari posisi diperalat untuk mencapai satu tujuan, sastra justru membuat dirinya bebas dari guna. Di suatu masa ketika badan dan jiwa dituntut untuk berarti—dengan kata lain: tak ruwet dan bermanfaat—puisi muncul tanpa motivasi semantik: ia menampik ke-berarti-an.

Takdir tak memahami itu: satu kakinya berada pada masa kolonial, kakinya yang lain pada sebuah rencana masa depan untuk Indonesia. Dari sinilah justru ke-berarti-an jadi agenda utamanya. Ia menghendaki puisi memproduksi arti: makna dan guna.

Dalam sebuah wawancara pada akhir tahun 1947 ia mengecam puisi Chairil Anwar: sajak-sajak itu hanya ”rujak”. Makanan ini ”asam, pedas, asin dan banyak terasinya”, kata Takdir; rujak berguna untuk ”mengeluarkan keringat”, tetapi ”tak dapat dijadikan sari kehidupan manusia”.

II

Agaknya bisa dimengerti kenapa STA, dari kondisi tahun 1930-an, bersikap demikian.

Pemerintahan Hindia-Belanda membawa dalam dirinya optimisme modernitas dan semangat terang Aufklärung Eropa, dan dengan pelbagai motifnya mencoba menarik masyarakat jajahan ke dalamnya. Tetapi, proyek itu sebuah transformasi sosial yang setengah-hati; dalam dirinya ada keniscayaan untuk batal. Pada akhirnya kawula kolonial tak diperkenankan jadi bagian yang lumrah dan integral dari dunia ”Eropa”, dengan atau tanpa Pencerahannya. Mereka adalah ”yang-lain”, satu identitas yang dimestikan untuk berbeda—dan dikonstruksikan seakan-akan secara esensial berbeda. Pada akhirnya kolonialisme adalah pembentukan ruang hidup dengan garis yang brutal. Hindia-Belanda ditopang dengan apartheid.

Di situlah hubungan antara modernitas dan kebebasan dipotong. Para pengarang Pujangga Baru, yang mengadopsi optimisme modernitas, berurusan dengan kebebasan yang buntun—bukan saja kebebasan politik, tetapi pada gilirannya juga kebebasan puitik.

Dalam posisi mereka, mereka bekerja dengan apa yang disebut Homi Bhabha sebagai ”metonymy of presence”. Kolonialisme menghadirkan semangat Pencerahan dalam sebuah wacana yang tak penuh. Baik sang penjajah maupun sang terjajah mereproduksinya hanya sebagian-sebagian, seakan-akan itu (misalnya ”kemajuan” dan ”pembaharuan”) bisa bicara tentang yang seluruhnya. Tetapi di kedua pihak, metonimi itu mengandung strategi yang saling bertentangan. Bagi sang terjajah, reproduksi itu sebuah perlawanan.

Dalam kata pengantarnya untuk antologi Puisi Baru, STA menyebut dengan bersemangat bagaimana angkatan muda Indonesia ”tiada berapa banyak bedanya dengan ’manusia bebas dan perkasa’ Eropa”. Tetapi, dengan jadi demikian itulah lahir nasionalisme. Nasionalisme ini tak berangkat dari ingatan tentang akar budaya atau biologi; ia tak berangkat dari akar apa pun; ia tak lahir dari esensi, melainkan aksi. Ia membangun sesuatu yang baru: sebuah identitas (”bangsa Indonesia”) yang ditentukan cita-cita. Seperti kata Takdir ketika ia membahas ”sajak kebangsaan” dalam Kebangkitan Puisi Baru, ”bangsa” dalam pengertian modern ”bersandar pada sikap jiwa yang tentu kemauannya, tentu perasaan dan pikirannya dan tentu cita-citanya”.

Namun, tak terpikir oleh Takdir: dalam ”sikap jiwa” dengan kemauan yang ”tentu” itu—sikap yang bercirikan yang serba ”tentu” itu—terkandung pengekangan. Takdir agaknya tak tahu, semangat teleologis Pencerahan mengandung sejenis represi.

Adorno dan Horkheimer melukiskan represi itu dengan dongeng tentang Odysseus yang berlayar pulang ke Ithaca. Pendekar itu tahu, di tengah laut nanti akan terdengar suara para peri Sirena yang begitu merdu hingga membujuk para pelaut terjun dan tak kembali. Maka, Odysseus memerintahkan awak kapalnya menyumpal kuping dan mendayung terus. Tetapi, ia sendiri ingin menikmati suara para peri yang menghanyutkan itu. Ia ikatkan tubuhnya ke tiang agung, dan ia dengarkan nyanyian Sirena—dan ia berhasil ke tujuan.

Dengan kata lain: sang pendekar bisa menikmati yang tak bisa dinikmati orang lain. Mereka yang bekerja melayaninya dicopot kemungkinannya untuk menikmati sesuatu yang lezat. Tetapi, Odysseus sebenarnya juga membuat dirinya sendiri tak bebas; ia mengikat tubuhnya sendiri. Tetapi, tujuan tercapai. Ia lambang manusia borjuis Pencerahan, yang ditafsirkan sebagai ”manusia perkasa” oleh STA dalam pengantarnya untuk antologi Puisi Baru pada tahun 1946.(Bersambung)

Goenawan Mohamad Penyair dan Esais


Kompas, Minggu, 13 April 2008 | 01:53 WIB