Oleh: Dana Iswara
PENGHUJUNG April 2003 mungkin menjadi saat yang tak terlupakan buat Inul. Bagaimana tidak? Pekan lalu ia dihujat habis-habisan oleh sebagian besar musisi dangdut di bawah bendera Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) pimpinan Rhoma Irama, sang Raja Dangdut.
SAYA lalu teringat pada sebuah film televisi di BBC2 Inggris yang berjudul Oranges Are Not The Only Fruit. Film yang diangkat dari novel berjudul sama ini pertama kali ditayangkan di tahun 1990 dan langsung mendapat pujian setinggi langit. Berbagai penghargaan antara lain di Festival Film Cannes diraihnya, kritikus sastra kelas dunia di antaranya novelis Gore Vidal memberikan acungan jempol buat sang penulis novel, Jeanette Winterson.
Inul Daratista memang belum pernah mendapat anugerah penghargaan apa pun seperti film Oranges. Inul juga belum pernah melanggar satu hukum positif pun di negeri ini.
Tetapi, nasib Inul mirip film Oranges. Keduanya dianggap melawan arus dan "nilai-nilai kepantasan". Di Inggris, film Oranges yang mengangkat kisah cinta pasangan lesbian dianggap melanggar Undang-Undang Pemerintah Daerah Pasal 28. Regulasi ini melarang "berbagai bentuk promosi terhadap homoseksualitas yang disponsori pemerintah daerah".
Pada awal dekade 1990-an film The Accused juga berhasil merebut perhatian kalangan kritikus film feminis. Film bernuansa muram yang diperankan Jodie Foster ini dianggap berhasil mengetengahkan kisah perjuangan seorang perempuan melawan kekerasan terhadap dirinya, secara fisik dan mental.
Tetapi, seperti juga nasib Inul dan film Oranges, The Accused dikecam habis-habisan oleh sekelompok orang yang mencap film ini sebagai bentuk homofobia. Anehnya, baik Oranges, The Accused, dan Inul justru tambah meroket akibat benturan-benturan yang menghadang mereka di tengah jalan.
Benang merah yang menghubungkan ketiga peristiwa di atas adalah representasi seksualitas dan jender di media yang mengalami kooptasi oleh kelompok atau kalangan tertentu. Ketiga peristiwa itu mengalami pemaksaan pandangan dari kelompok masyarakat yang mengancam kebebasan berekspresi dan berkesenian.
Padahal, film Oranges dalam konteks kebudayaan dinilai sebagai satu karya seni bermutu tinggi oleh kalangan kritikus. Di antaranya adalah penulis feminis Inggris, Hilary Hinds, yang memujinya sebagai art television atau seni dalam televisi.
Bagi mereka, representasi lesbianisme ditampilkan dengan cara yang dewasa dan berkualitas. Namun, di Inggris kalangan yang menganggap diri tinggi dan berkualitas, melihat film itu sebagai sebuah tontonan murahan dan vulgar karena adegan-adegan seks "menyimpang".
Sementara itu The Accused, sebuah kisah perempuan yang mengalami pemerkosaan beramai-ramai dan menghadapi tekanan di pengadilan, oleh para kritikus film feminis dianggap karya gemilang karena menggambarkan perjuangan perempuan melawan dunia peradilan yang didominasi pandangan patriarkis. Bagi banyak orang, The Accused ada di batas antara film "normal" dan X-rated, dan toko-toko pornografi menjual film ini dengan alasan karena tergolong dalam kategori "perilaku menyimpang". Yang menyedihkan, ia juga dianggap mewakili pandangan perempuan yang homophobic.
Di Tanah Air, Inul dihujat bahkan diboikot oleh PAMMI. Majalah Interaksi yang saya kutip dari Internet memuat ucapan Rhoma Irama yang menganggap Inul "meresahkan dan sudah mengarah kepada pendangkalan umat, (karenanya) citra dangdut yang dibangun oleh seniman kembali terperosok masuk comberan karena tontonan itu". Sebelumnya turun "fatwa" dari sang Raja Dangdut, Inul haram menyanyikan lagu-lagunya dan sederet musisi senior lain.
Representasi jender dan seksualitas
Menilik ketiga peristiwa di atas, dari sudut pandang feminis paling tidak ada dua aspek menarik yang bisa dikaji. Pertama, representasi seksualitas dan jender di media, dan yang kedua, bagaimanakah representasi tersebut terbuka untuk interpretasi dan asimilasi oleh berbagai diskursus di masyarakat berdasarkan pandangan tradisional, religius, dan patriarkis.
Menurut ahli politik Richard Dunphy di dalam bukunya Sexual Politics, representasi seksualitas dan jender di media massa-apakah itu koran, majalah, televisi, radio, buku, maupun iklan-tidak sekadar merefleksikan berbagai ketidaksetaraan yang ada di masyarakat. Tetapi juga mereproduksinya kembali dan punya andil dalam terjadinya ketidaksetaraan itu.
Feminis Liesbet Van Zoonen lewat bukunya Feminist Media Studies mengingatkan, hubungan antara jender dan komunikasi terutama-walaupun bukan satu-satunya-bersifat kultural dan terkait dengan negosiasi terhadap berbagai arti dan nilai tentang tata cara hidup keseluruhan dan sebaliknya mendapat masukan pula dari tata cara hidup di masyarakat. Dalam hal ini sangat mungkin terbentuk konfigurasi ketidaksetaraan kekuasaan dan ekonomi antara laki-laki dan perempuan.
Dalam kasus Inul, pencekalan dan hujatan yang menimpanya menunjukkan bahwa di mata Rhoma Irama dan kawan-kawan, representasi dangdut Inul di media menonjolkan hal yang vulgar dan tidak lagi mencerminkan etika sopan santun. Pandangan ini menegaskan penjelasan Van Zoonen bahwa hubungan antara jender dan komunikasi sangat berlandaskan budaya.
Pencekalan Inul juga memembenarkan pendapat Van Zoonen bahwa hubungan jender dan komunikasi yang berlandaskan budaya tadi menghasilkan ketidaksetaraan kekuasaan (meskipun belum tentu ekonomi) antara laki-laki dan perempuan.
Buktinya? Lahir pandangan yang melihat Inul (baca: perempuan) sama dengan seksualitas. Ini merupakan konsekuensi dari budaya patriarkis di masyarakat kita yang membuat lelaki punya posisi tawar lebih tinggi. Dan ketika itu dijadikan landasan untuk membenarkan sesuatu, umum langsung menganggapnya sah.
Lihatlah bagaimana kalimat berikut ini meluncur dari mulut penyanyi dangdut senior perempuan: "Selama ini saya menganggap dia (Rhoma Irama) imam, dan niatnya juga benar nawaitu-nya baik. Kita anggap apa yang diinginkan sesuai dengan keinginan kita…"
Seni dalam televisi
Di lain pihak, kita pun perlu melihat kasus ini dengan lebih tenang dan jernih. Menurut hemat saya, untuk menghadapi dominasi budaya patriarkis di masyarakat kita, ada hal menarik yang bisa ditelaah kaum perempuan. Hal itu adalah hubungan khusus antara seni dalam televisi-mengutip istilah Hillary Hinds yaitu art television-dengan representasi dangdut Inul di media.
Jika Inul tidak datang dengan gaya itu, mungkin televisi sebagai medium yang memang bersifat menghibur akan menampilkannya lewat orang lain. Oleh karena itu, meskipun persamaan "perempuan adalah seksualitas" telanjur tertanam di benak orang, ada baiknya kita memakai kacamata seni televisi untuk melihat penampilan Inul dengan lebih jernih. Dengan kata lain, yang menjadi pokok persoalan di sini tidak lagi sekadar apa yang direpresentasikan oleh media, tetapi di mana ia direpresentasikan di dalam media.
Ketika kita menggolongkan representasi dangdut Inul ke dalam kategori seni dalam televisi-bukan dalam kategori lain, misalnya semata-mata hiburan-kita akan menemukan sesuatu dari goyang Inul. Dan sesuatu itu adalah arti dari sebuah goyang dangdut yang lahir dari proses kreatif, ketekunan, dan kerja keras, yang pada ujungnya ikut memperkaya khazanah seni dalam televisi di negeri ini.
Dengan sudut pandang seperti ini, semoga Inul tidak berhenti melakukan proses kreatifnya. Justru tantangan budaya patriarkis yang menyergapnya akhir-akhir ini adalah sesuatu yang harus dihadapi dengan tegar. Siapa tahu, pihak luar lebih menghargai karyanya, seperti yang terjadi pada film Oranges ketika menang di Festival Film Cannes.
Dana Iswara Praktisi media
Kompas, Senin, 5 Mei 2003
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar