Untuk Apa sih, Pameran Foto BMI?


Kalimat judul itu saya dapatkan melalui pertanyaan spontan dari seorang pejabat setelah ia mendengarkan keinginan saya untuk menggelar pameran foto keliling Jawa Timur bertajuk Hong Kong dan TKI Kita. Setelah beberapa kalimat saya ucapkan, maka potong pejabat itu, ’’Untuk apa sih, Mas, pameran foto….’’


Beberpa waktu kemudian pameran foto Hong Kong dan TKI Kita jadi tergelar di Galeri Surabaya, 5 – 11 September 2007 dan terbukti, sepi pejabat. Saya hanya mencatat seorang anggota DPRD Jatim yang datang untuk menyaksikan foto-foto yang dipamerkan, dan seorang anggota DPRD Jatim lagi datang karena diundang sebagai narasumber diskusi yang juga bertajuk Hong Kong dan TKI Kita itu. Keadaan itu bertolak belakang dengan Pameran Foto Letusan Kelud 1990 yang digelar di Atrium Tunjungan Plaza I Surabaya (10 – 15 November 2007) yang dalam dua hari sudah dikunjungi sekitar 2.000 orang dan dalam 2 hari pertamanya bisa meraup puluhan juta rupiah dari foto-foto yang diborong para pejabat, seperti dirilis detik.com yang versi utuhnya saya pasang di sebuah blog dengan judul tambahan ’’Bukan Pameran Foto Hong Kong dan TKI Kita.’’

Untunglah Mas Agung Pamoedjo (mbahureksa-nya Radar Tulungagung) tertarik untuk mendukung pameran foto ini dan bahkan melalui telepon mengabarkan bahwa Pemda Tulungagung siap memfasilitasinya, sekaligus untukmenyambut Hari Jadi Kabupaten. Setidaknya, ini mambantu saya untuk tidak terlalu lekat menyimpan kesan bahwa ’’pikiran pejabat’’ sungguh susah untuk diajak keplok dengan keinginan rakyatnya. Eh, ternyata ada pula yang tidak mau bertanya, ’’Pameran foto TKI, untuk apa sih, Mas?’’

Saya juga sudah lupa bagaimana tiba-tiba saya yakin pameran foto TKI ini sebegitu penting, dan kemudian untuk menambah keyakinan itu bertanyalah saya kepada beberapa sahabat saya yang kini berada di Hong Kong (HK). Etik Juwita, TKI-HK asal Garum, Blitar, yang cerpen-cerpennya bertebaran di berbagai media, termasuk Jawa Pos, mengatakan bahwa ketika berada di penampungan PJTKI tidak pernah mendapatkan informasi berupa foto-foto, dan apalagi film, mengenai negara tujuannya secara memadai. ’’

Saya juga sering mendengar TKI jatuh dari lantai yang tinggi apartemen majikannya, ketika mengelap jendela, sengaja (atau hanya diduga) bunuh diri, misalnya, maka ketika berita itu hanya lisan, atau tulisan yang tidak didukung foto, atau berupa berita televisi yang hanya memerlihatkan foto korban ketika masih hidup, tentang bagaimana wujud gedung/apartemen itu hanya bisa saya bayangkan. Ketika sekali waktu berkesempatan manatap ’wajah’ HK dari dekat, saya pun memotret beberapa bagian yang secara spontan menarik perhatian saya, termasuk gedung-gedung penyakar langitnya. Termasuk ketika naik ke kawasan puncak yang terkenal dengan nama The Peak, saya pun terus terang lebih tertarik pada gedung-gedung tinggi (di antaranya ada yang berlantai 61) yang manancap tidak di dataran luas, melainkan di lereng gunung. Dari serambi satu lantai apartemen itu saja, kita bisa menyaksikan jauh di bawah sana kawasan Central, lalu air laut dan Star Ferry di seberang sana. Bayangkan kalau kita melihat pemandangan itu dari lantai 61!

Maka, menurut saya adik-adik atau mbakyu-mbakyu yang terpaksa memilih HK sebagai negara tujuan untuk mendapatkan pekerjaan (karena di negri sendiri sungguh susah mendapatkan pekerjaan dengan imbalan hampir Rp 5 juta/bulan), sangatlah berguna foto-foto yang memerlihatkan gedung-gedung yang tinggi itu untuk menakar nyalinya kalau-kalau kelak mendapatkan majikan yang tinggal di lantai 61. Perlu tahu pula bagaimana sarana transportasinya, apa saja yang dilakukan teman-teman senasib (yang mendapatkan haknya berlibur di hari Minggu), bagaimana mengakses pengetahuan dan ketrampilan untuk mengembangkan diri, dan sebagainya.

Yang lebih penting lagi, kalau boleh memakai istilah yang agak gagah, pameran foto ini diharapkan menjadi semacam media untuk mengurangi kemungkinan terjadinya gegar budaya. Para TKI itu sebagian besar berasal pelosok-pelosok desa. Jika dipetakan, untuk Jawa Timur, maka akan terlihat daerah perbukitan kapur di kawasan selatan yang membentang dari Ngawi hingga Banyuwangi adalah wilayah yang paling banyak memasok TKI khususnya ke HK. Sekarang ini angka TKI-HK sekitar 110.000 orang (semua perempuan) dan 80% dari jumlah itu berasal dari Jawa Timur. Nah, sedang masuk kota macam Surabaya atau Jakarta saja, dulu, saya yang asal ndesane Trenggalek juga nyaris ’stress’ apalagi masuk negeri beton macam HK yang tatanan budayanya sangat berbeda dengan di Indonesia, dari soal kebersihan hingga disiplin ketika mesti mengantre, bahkan ketika memanfaatkan tangga berjalan pun mesti patuh pada kode etiknya.

Oleh karena itu calon pekerja rumah tangga (perempuan) yang akan bekerja di HK tidak cukup hanya dibekali tatacara ngepel, menyuci dan menyetrika baju, memasak, merawat bayi, merawat orang jompo, dan sebagainya, melainkan juga perlu bekal wawasan budaya, lingkungan, kemampuan beradaptasi, yang akan lebih baik jika tidak hanya disampaikan secara lisan, melainkan menuntut pula media visual. Dalam konteks seperti itulah seharusnya kita memandang pekerjaan sepele berupa: memamerkan foto-foto HK dan TKI-nya ini cukup punya arti dan bahkan saya pribadi menganggapnya: penting.

Perlu Klarifikasi

Ketika saya minta para TKI-HK untuk mengirimkan foto2 untuk dipamerkan dengan pesan, ’’Jangan hanya yang bernada ceria, tetapi juga yang muram, biar imbang,’’ mereka mengaku kesulitan untuk mendapatkan foto-foto yang muram itu. Maka, yang nanti bisa kami pamerkan adalah foto-foto yang sebagian besar bernada ceria: tentang TKI-HK berkesenian, mengikuti lomba modelling, sampai yang mengikuti program diploma.

Oleh karena itu dipandang perlu di tengah-tengah suasana pameran foto itu digelar diskusi untuk semacam klarifikasi, meletakkan foto-foto yang dipamerkan dalam konteks kenyataan yang sebenarnya bisa direkam dari kehidupan para domestic worker kita di HK itu.

Pada akhirnya, kami berharap pameran foto ini diminati masyarakat, termasuk para pejabat, walau tidak harus memborong-nya seperti yang terjadi pada pameran foto Letusan Kelud 1990 itu. Juga, semoga tidak ada lagi seorang suami yang tergopoh-gopoh datang untuk melihat barangkali ada istrinya yang bertahun-tahun pamit ke HK dan tidak pernah mengirim kabar seperti yang terjadi saat foto-foto yang sama dipamerkan di Desa Cakul, Kecamatan Dongko, Kabupaten Trenggalek, 14 – 17 Oktober 2007 lalu.

[Bonari Nabonenar, penggagas Pameran Foto: Hong Kong dan TKI Kita].

0 tanggapan: