Jangan Jauh-jauh dari Inul…

SIANG itu dia makan sop buntut di sebuah hotel yang tak terlalu bergengsi di bilangan Jakarta Selatan. Rambutnya diikat ke atas seperti biasa kalau dia tampil di panggung. Ia tak melepas kacamata hitam Moschino-nya yang bergagang keemasan. Sejumlah wartawan menungguinya makan, yang lain lagi berseliweran di sekitar situ. Inilah tokoh yang tengah membikin "heboh", Inul Daratista.


INUL adalah produk interaksi media massa dengan publiknya. Fantasi dunia hiburan telah melahirkan mimpi sampai di kampung-kampung. Di situ ia diterima, diinterpretasi, dijelmakan dalam mimpi yang sedemikian rupa. Ketika jelmaan mimpi itu memantul kembali ke pusat dunia hiburan yang memproduksi mimpi tadi, kagetlah si pusat itu. Ada sensasi baru dari sebuah kampung di Pasuruan, Jawa Timur (Jatim).

Bagi yang biasa blusukan sampai ke dangdut di kampung-kampung, Inul bukanlah nama asing, setidaknya di Jawa Timur pada satu-dua tahun terakhir. Goyangannya gila-gilaan. Diam-diam, di antara publik, ketika tontonan semacam ini menyebar sampai ke pelosok-pelosok, Inul tengah meniti jalan menuju "bintang" di tataran tontonan sejenis, pertunjukan "dangdut kampung" yang terus bergerilya dari Ambarawa sampai Tabanan, dari Gresik sampai Perbaungan. Para "gerilyawan kebudayaan massa" ini punya bahasa serupa: pembawa acara yang suaranya memantul lewat echo, para penyanyi wanita berpakaian sexy yang menari dengan goyang pinggul memutar, atau istilahnya "mengebor", penonton yang ikut bergoyang, sementara sebagian lagi melotot di bibir panggung dengan mata seperti mau terloncat keluar.

"Bokong?" tanya Inul pada khalayaknya dalam sebuah pertunjukan di kampung di Jawa Timur, dalam ucapan bahasa Jawa berlogat Jawa Timur. Panggung itu dibangun di tanah luas di dekat kebun. Di sekitar situ banyak pohon pisang. "Iki wis tak kurokno isih bokang-bokong& (Aku ini sudah menguruskan badan, kalian masih teriak pantat-pantat)," tambahnya mengundang tawa. Memang itulah yang ditunggu dari Inul, pusaran goyang pantatnya.

Ketika atraksi yang sering ditampilkannya itu terekam oleh video amatir dan kemudian rekamannya beredar secara luas di lapak-lapak penjualan VCD di pasar-pasar, makin ramailah orang membicarakannya. Tambah ramai lagi ketika dia muncul sebagai bintang tamu di stasiun televisi yang melakukan siaran secara nasional.

Dengan cepat nama Inul meroket. Sampai hari ini, dua stasiun televisi setiap pagi menyiarkan klip video Inul yang membawakan lagu dangdut berjudul Mbah Dukun dengan pusaran goyangnya yang bak puting beliung, yang menurut seorang pendangdut wanita yang dikenal dengan goyang jaipongnya, putaran pinggul Inul itu tujuh kali lipat kencangnya dari goyang dia punya. Waduh.

Di televisi pula-dalam konteks manipulasi media massa-kontroversi mengenai goyang Inul dieksploitasi. Beberapa pendangdut wanita dimintai komentar mengenai Inul. "Dia kurang bermutu," kata Liza Natalia gugup. "Ia salah jalan," komentar Kristina tak kalah panik. Sebuah stasiun televisi mendatangkan Inul ke studionya di Jakarta, beserta seorang pemuka agama dari Jawa Timur, untuk ditampilkan dalam arena pro dan kontra, seolah-olah sebuah goyang bisa menjadi terdakwa.

SEMENTARA, seperti halnya para pegoyang dari Karawang (Jawa Barat), sampai Perbaungan (Sumatera Utara), Inul hanyalah satu fenomena yang sempat ditangkap dari keseluruhan model hiburan semacam ini di kelas bawah. Sejak kecil, di lingkungan dia lahir-Inul dilahirkan di Gempol, Pasuruan, Jatim, 21 Januari 1979-ia telah akrab dengan hiburan semacam ini.

"Ada tetangga saya, penyanyi dangdut, kalau tampil pakai rok ada belekan-nya (belahannya-Red) sampai sini," ucap Inul sambil menunjuk batas paha yang sangat tinggi. "Nganti ketok katoke (Sampai kelihatan celana dalamnya)," tambahnya.

Pada mulanya, Inul mengaku enggan terjun menjadi pendangdut karena urusan "celana yang sampai kelihatan" itu. Katanya, "Aku takut jadi penyanyi dangdut, soalnya nanti disuruh berpakaian seperti mereka". Kelas VI SD, Inul memulai coba-coba menjadi penyanyi, sebagai penyanyi rock. Sampai di sekolah menengah-dia sekolah sampai tingkat SMA di Kejapanan, Gempol-Inul masih sering tampil sebagai penyanyi rock, dengan lagu-lagu keras seperti lagu-lagu dari Halloween, yang katanya disukainya. Selain itu, ia juga tampil di hotel-hotel di Surabaya, seperti Elmi, Sahid, Sheraton, menyanyikan lagu-lagu yang sering diistilahkan orang "Top 40".

Pernah juga bersama kelompok band-nya, dia hendak tampil di TVRI Surabaya dalam acara musik yang digemari di stasiun tersebut, yakni Galarama. Hanya dikarenakan adanya seleksi di situ, waktu itu penyanyi dari grup band-nya hanya dia yang dipilih, Inul memilih bersikap solider, tidak jadi main sekalian. Setelah itu, ia mengalami masa vakum karena ia juga tak lagi bergabung dengan band di mana ia sering tampil tadi.

Pada masa vakum itu, ia diajak bergabung dengan sebuah kelompok orkes Melayu, yang markasnya kebetulan berada di dekat rumahnya. Mulailah Inul bermain bersama kelompok dangdut ini, menyanyi di kampung-kampung, pada acara orang hajatan. Dia melanjutkan aksi goyangnya, yang katanya, sejak bergabung dengan musik rock pun sebetulnya sudah dilakukannya. "Ketika masih di musik rock, aku suka bikin atraksi naik ke atas drum, terus bokong aku gini-ginikan," cerita Inul menggoyang-goyang pantatnya.

Betapapun-dengan ukurannya sendiri-Inul ingin "memperbarui" goyang dangdut pada umumnya, yang dalam pandangannya sering "keterlaluan". "Ada yang mengangkang sambil muter-muter begini. Bajunya terbuka. Pokoknya ngeseks. Aku ingin bikin yang tidak seram. Ya, harus belajar pelan-pelan, tidak bisa langsung muter. Ternyata penonton senang," kata Inul, yang dalam percakapan ini memang sangat "murah hati" memperagakan goyangnya. Beberapa prinsipnya antara lain kaki rapat, tidak mengangkang-sesuatu yang dianggapnya jorok. "Jadi, bukan seksual, tapi goyang yang energik dan sportif," ujar Inul mengenai goyangnya.

Dengan modal itu, dia merebut hati penonton di kampung-kampung. Ia tampil dengan bayaran Rp 3.500 dan kemudian meningkat menjadi Rp 7.500. Ia terus merangkak dari situ. Dari penghasilannya ia pernah menabung untuk dibelikan cincin emas. Belakangan, karena ingin tampil dengan gemerlap seperti pendangdut lainnya, ia menjual cincin itu untuk membeli pakaian. "Aku pengin tampil modis, pakai baju bagus. Sebelumnya, aku seringnya memakai celana pendek, tank top, sepatu boot. Rocker, kan, biasanya begitu& "

DENGAN merebaknya "Inulmania" sekarang, pasti wanita ini tak perlu lagi menjual cincin hanya untuk beli baju. Bahkan, wanita, yang nama aslinya Ainul Rokhimah, ini mengubah namanya menjadi Inul Zarathustra pun pasti tak ada filsuf yang keberatan. Berbagai juragan dunia hiburan kini mengincarnya. Perusahaan rekaman Blackboard, yang antara lain telah memopulerkan lagu Alam, Mbah Dukun, sudah mengontraknya untuk album yang akan segera keluar dalam waktu dekat. Sebuah stasiun televisi telah mempersiapkannya menjadi semacam pembawa acara. Sebuah rumah produksi mendekatinya untuk menjadi pemeran utama sebuah produksi film. Lalu, perusahaan minuman hendak mengontraknya sebagai bintang iklan. Belum lagi jadwal pentas yang kini semakin ketat. Sebuah perusahaan minuman multinasional sudah mengontrak Inul untuk tampil pada acara intern mereka, sekitar pertengahan Februari ini. Itu akan menjadi penampilan panggung Inul yang pertama di Jakarta nanti.

Bintangnya yang melesat cepat berjalan seiring dengan mereka yang tergagap-gagap menanggapi dinamika dunia hiburan yang sering serba tak terduga. Karena, seperti adagium yang sudah sangat dikenal, "no business like showbusiness".

Memang itulah dunia hiburan-dan juga dunia. "Dosa" tak lahir serentak hanya oleh sebuah goyang, tapi terstruktur sejak genesis manusia. Mungkin itulah, selain yang mengecamnya, tak kalah banyak yang menyukai bahkan mendukung Inul.

"Sini, ojo adoh-adoh (Sini, jangan jauh-jauh)," ujar Inul pada para penggemarnya. Lalu, Goyang dombret& . (XAR/BRE)

Kompas, Minggu, 9 Februari 2003

0 tanggapan: