Penyair Wiji Thukul Raih Yap Thiam Hien Award 2002

Jakarta, Kompas - Dewan juri Yap Thiam Hien Award tahun 2002 memutuskan secara bulat penyair asal Solo, Jawa Tengah, Wiji Thukul sebagai penerima Anugerah Yap Thiam Hien. Wiji Thukul yang hilang sejak tahun 1998, melalui puisi-puisinya selalu berusaha mengungkapkan berbagai ketidakadilan dan pengingkaran harkat dan martabat manusia.


Hal itu dikemukakan Todung Mulya Lubis dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia di Jakarta, Selasa (10/12). Dewan Juri Yap Thiam Hien Award 2002 terdiri dari Prof Dr Soetandyo Wignjosoebroto, Prof Dr Azyumardi Azra, Dr Harkristuti Harkrisnowo, HS Dillon, dan Asmara Nababan mengambil keputusan tersebut 27 November 2002.

Wiji Thukul yang nama aslinya Wiji Widodo terpilih sebagai penerima Yap Thiam Hien Award ke-10, ia terpilih karena melalui puisi-puisinya mengajak kaumnya-masyarakat yang termarjinalisasi di Solo-untuk bangun memperjuangkan hak mereka yang asasi, hak yang mereka miliki karena mereka manusia. Puisinya ditulis dengan bahasa yang sederhana, oleh karena itu mudah dipahami oleh orang kebanyakan. Puisinya bening, karena itu dengan mudah kita menangkap nilai yang ingin dikomunikasikannya, yakni nilai-nilai kemanusiaan.

Wiji tidak berbicara mengenai deklarasi, konvensi, standar, dan lain-lain instrumen hak asasi manusia, tetapi sadar atau tidak sadar Wiji telah berjuang dalam memajukan nilai kemanusiaan yang menjadi awal dan akhir dari pemajuan hak asasi manusia.

Perjuangan Wiji tidak hanya bergerak di bidang pemajuan nilai kemanusiaan, tetapi juga mengambil langkah nyata untuk memperjuangkan nilai kemanusiaan itu sendiri. Wiji sebagai penduduk Jagalan-Pucangsawit bersama dengan warga lainnya bertindak melawan pencemaran lingkungan yang dilakukan pabrik tekstil Sariwarna Asli (1992). Wiji juga ikut bergabung dengan aksi perjuangan petani di Ngawi (1994), ia memimpin pemogokan buruh di PT Sritex (1995). Hak petani dan hak buruh adalah hak asasi manusia yang harus dibela dan diperjuangkan. Selanjutnya, dengan kalangan mahasiswa dan orang muda yang kritis, Wiji terlibat untuk memperjuangkan kebebasan sipil melalui aksi-aksi di jalan di berbagai kota di Pulau Jawa.

"Wiji sudah selayaknya mendapat penghargaan pertama-tama dan utama atas apa yang dilakukannya dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Penghargaan ini juga menjadi lonceng peringatan bagi kita semua bahwa penghilangan orang secara paksa adalah kejahatan yang masih berlangsung. Lonceng yang mengingatkan bahwa kita semua berutang kepada keluarga, sahabat, dan kekasih dari orang yang dihilangkan di negeri ini. Tentulah jangan dilupakan bahwa yang paling berutang adalah negara, terutama pemerintah," kata Asmara Nababan.

"Tentu saja kita masih berharap suatu hari Wiji Thukul bisa kembali. Mudah-mudahan dia masih hidup. Ini adalah penghargaan Yap Thiam Hien ke-10. Penghargaan khusus HAM ini harus tetap dilanjutkan dan diperluas dalam scope nasional," kata Azyumardi.

Wiji yang aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD) berhubungan telepon dengan Wahyu Susilo, adiknya, 19 Februari 1998. "Dia hanya menanyakan kabar dan segera akan pulang ke Solo. Setelah itu tak terdengar lagi kabarnya," kata Wahyu kepada Kompas.

Bukan pahlawan

Ditemui di Solo, Ny Dyah Sujirah alias Sipon (35), istri Wiji Thukul, mengaku dirinya tak menginginkan suaminya mendapat predikat "pahlawan". "Terus terang, saya tidak menginginkan itu. Daripada gelar pahlawan, saya lebih suka (Thukul) mendapat gelar purnawirawan," ujar ibu dua anak itu polos saat ditemui di rumahnya di Kampung Kalangan RT 01 RW 14, Kelurahan Jagalan, Kota Solo, Selasa (10/12).

Sebutan "pahlawan" untuk Wiji Thukul, lanjut Ny Sipon, tidak memberi apa-apa bagi keluarganya. Apalagi sebutan "pahlawan" umumnya untuk menyebut mereka yang telah meninggal. Padahal, dirinya yakin suaminya masih hidup. "Kalau sebutan purnawirawan, statusnya kan jelas dan mungkin hidup lebih sejahtera," ujarnya.

Pernyataan bernada gurauan itu mengungkapkan isi hati Ny Sipon yang sejak akhir 1997 harus "kehilangan" suaminya, penyair Wiji Thukul, yang sampai hari ini tidak ketahuan rimbanya. Ia ingat, Wiji Thukul untuk terakhir kali merayakan Natal bersama istri dan kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani (11) dan Fajar Merah (7), di rumah mereka yang sangat sederhana.

Sejak akhir Desember 1997 itu, Wiji Thukul (39) "menghilang" atau lebih tepat melarikan diri dari usaha perburuan yang dilakukan militer. Sampai hari ini Ny Sipon tidak bisa memastikan, apakah suaminya itu "hilang", bersembunyi, ataukah sengaja "dihilangkan" oleh pihak tertentu.
"Saya dan keluarga saya mendambakan kepastian akan nasibnya. Kalau masih hidup, bagaimana keadaannya dan di mana tempatnya," tutur Ny Sipon yang sehari-hari menghidupi keluarganya dari usaha menjahit dan membuat baju konveksi. Perempuan itu tampak tegar walau di sela-sela penuturannya kadang agak emosional, dan tampak cukup cerdas kendati pendidikannya tak tamat SD.

Pemerintah Orde Baru, melalui Menko Politik dan Keamanan Soesilo Soedarman pada 28 Desember 1997 menyatakan, Wiji Thukul sebagai buron aparat keamanan. Ini sejalan dengan langkah pemerintah yang menyatakan Partai Rakyat Demokratik sebagai partai terlarang, sedangkan Ketua PRD Budiman Sudjatmiko ditangkap. Sejak itu, Ny Sipon sulit menemui Wiji Thukul, kecuali atas kemauan suaminya. Itu pun dilakukan secara kucing-kucingan, melalui kontak orang lain dengan lokasi yang berpindah-pindah.

Berbagai upaya untuk mencari keberadaan Wiji Thukul sudah dilakukan, tetapi belum juga berhasil. Ny Sipon sampai hari ini tak bisa menyimpulkan, apa penyebab pemerintah Orde Baru bersikeras memburu suaminya. "Padahal," dalam pandangan Ny Sipon, "suami saya itu sehari-hari biasa-biasa saja. Saya tidak tahu, sampai di mana bahayanya Thukul. Ataukah mungkin karena pemerintah memang begitu bobroknya, seperti yang dibilang Thukul dalam puisinya, Peringatan, sehingga pemerintah berniat keras untuk menangkap dia."

Salah satu baris puisi Peringatan yang ditulis Wiji Thukul pada 1986 berbunyi sebagai berikut: Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/suara dibungkam, kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: lawan! Idiom-idiom yang dipakai oleh Thukul, dalam kaitan situasi saat itu, memang terasa "sensitif" bagi pemerintahan Orde Baru yang bersifat represif. [ASA/LOK/BDM]

Kompas-Rabu, 11 des 2002

0 tanggapan: