Saiful Amin Ghofur*
DUNIA pernah angkat topi tinggi-tinggi kepada Indonesia ketika mampu mengubah sejarah dari negeri pengimpor beras nomor wahid menjadi negeri pengekspor beras pada dasawarsa 1980-an. Karena itulah, Dr Edouard Saouma, Dirjen FAO, badan otonom PBB di bidang pangan, pada 21 Juli 1986 memberi penghargaan kepada Soeharto, presiden Indonesia waktu itu, berupa medali emas bergambar dirinya beserta seorang petani yang sedang menanam padi.
Produksi beras Indonesia ketika itu mencapai 33.889.862 ton, produktivitas 3,66 ton per hektare. Ini bisa diraih karena pada 1975-1979 laju peningkatan produksi beras 4,43 persen per tahun menjadi 6,54 persen per tahun pada 1980-1984. Periode 1985-1990 produksi beras masih 3,49 persen per tahun. Tetapi 1990-1996 peningkatan produksi "turun" hanya 2,15 persen dan laju permintaan 23 persen per tahun. Maka, Indonesia pun kembali mengimpor beras lagi pada 1995 dengan volume tiga juta ton. Kondisi ini terus berlangsung secara fluktuatif hingga 2007. Sebuah ironi di negeri para petani!
Fakta inilah yang menggugah Sapuan Gafar untuk menyatukan pemikirannya yang terserak: berupa makalah yang dipresentasikan di pelbagai seminar dan opini yang tersebar di sejumlah media massa yang kemudian diantologikan menjadi buku ini. Hatta, 33 artikel tentang perberasan yang ditulis antara 2002-2007 serta 30 diagram-grafik yang dikumpulkan sejak Orde Baru.
Dengan modal pengetahuan pertanian yang membuhur, Sapuan yang sempat memegang Biro Analisa Harga dan Pasar Badan Urusan Logistik ini memaparkan seluk-beluk kebijakan perberasan nasional sejak era (Orde Baru) Presiden Soeharto hingga beberapa presiden di era reformasi.
Masalah perberasan di era Soeharto merupakan agenda dalam skala prioritas. Ia berkeliling Nusantara, menyeberangi laut meniti jembatan untuk menyapa rakyat di seluruh pelosok. Ia turun langsung ke sawah dan kebun, berdialog dengan petani, bahkan memberikan petunjuk bagaimana menangani hama dan masalah tanaman.
Soeharto mencanangkan revolusi hijau untuk melipatgandakan produk pertanian. Ia selalu menyatakan bahwa sebuah bangsa tidak mungkin membangun kalau perut rakyatnya lapar. Sebuah bangsa besar takkan mencapai stabilitas politik jika penduduknya tidak makan. Maka, adagium paling kesohor tempo itu adalah "kalau ingin dekat dengan Soeharto, berprestasilah di bidang pertanian". Dan, mimpi swasembada beras pun tercapai.
Namun sayang, Soeharto "keblinger" untuk segera mewujudkan Indonesia sebagai negara industri baru. Cita-cita ini dibangun di atas industri berbahan baku impor, bukan agro-industri (resource base industries). Akibatnya, konsentrasi peningkatan produksi beras perlahan-lahan merosot.
Memang, industri berbahan baku impor cepat berkembang dengan indikasi meningkatnya ekspor nonmigas. Akan tetapi sewaktu krisis moneter menghantam Indonesia tahun 1997/1998 produksi beras terjun bebas dan industri berbahan baku impor segera kolaps. Beras pun dideregulasi.
Di masa Habibie deregulasi komoditas beras merupakan pilihan pahit untuk mengatasi penyediaan pangan dalam rangka pemulihan ekonomi. Tempo itu, antrean (dan perampokan) beras terjadi di mana-mana. Harga beras melambung tinggi hingga tak terjangkau kantong rakyat. Dampak dari keputusan deregulasi beras baru dirasakan sektor pertanian pada 2000. Harga-harga komoditas pertanian jatuh. Petani pun semakin terpuruk.
Era Gus Dur setali tiga uang. Bahkan tak tampak perubahan signifikan di sektor pertanian khususnya beras, kecuali pada tingkat wacana. Celaka tiga belas, bahkan Gus Dur membebaskan petani untuk menanam komoditas pertanian yang menguntungkan tanpa intervensi negara. Ini berarti, petani dituntut untuk mengatasi persoalannya sendiri.
Sementara kebijakan Megawati semakin absurd dan tidak jelas keberpihakannya. Di satu sisi, ditetapkan harga dasar pembelian beras untuk mengangkat harga di tingkat petani, namun di sisi lain, impor beras dibiarkan meluncur bebas tanpa bea-masuk bahkan tak terkendali oleh monopoli kelembagaan sehingga mengesankan seolah-olah harga beras ditekan.
Era Susilo Bambang Yudhoyono mulai berbenah. Dengan mengeluarkan Inpres No. 13/2005 ditetapkan bea masuk dan pembatasan impor beras. Namun kebijakan ini tidak ditopang dengan investasi baru di bidang infrastruktur pertanian dan mandeknya penemuan benih unggul baru dengan produktivitas tinggi, sehingga persoalan beras terus menjadi momok yang menakutkan.
Buku ini sama sekali tidak berpretensi membangun kiblat paradigmatik ke arah era keemasan Soeharto pada dasawarsa 1980-an. Sebab miliu dan faktisitasnya jelas berbeda. Dengan pengalaman malang-melintang ke berbagai negara, seperti Australia, India, Bangladesh, Thailand, Burma, dan Malaysia, untuk mendalami masalah perberasan, tentu kontribusi pemikiran Sapuan yang terpilah dalam 6 bab dalam buku ini amatlah berharga.
Bab pertama berisi rancang bangun evaluasi kritis atas kebijakan perberasan. Bab kedua merupakan analisis produksi, ekspor-impor, dan cadangan beras serta senyampang faktor kendala menuju swasembada beras. Pada bab ketiga disajikan analisis kelembagaan untuk menunjang efektivitas suatu kebijakan perberasan. Bab keempat mendeskripsikan pedoman membuat perkiraan penyediaan beras. Refleksi pendidikan pertanian, agroindustri untuk menerawang masa depan petani dan pertanian diulas pada bab kelima. Dan, bab keenam menyuguhkan grafik peningkatan produksi beras yang dirangkum selama sekisar 40 tahun.
Meski terkesan runtut, duplikasi pembahasan merupakan hal yang tak terelakkan dari antologi buku ini. Tapi, di balik itu, duplikasi dapat membantu kita untuk mengenali psikologi-massa dari setiap fenomena yang terjadi pada zamannya.
Melalui buku ini Sapuan mengirimkan sinyal tantangan kedaulatan beras yang patut direnungkan pemerintah. Pertama, fragmentasi pemilikan lahan saat ini kecil-kecil (kurang dari 0.5 ha) sehingga menciptakan petani gurem. Hal ini tentu berpengaruh pada produktivitas pertanian. Kedua, gerontokrasi SDM pertanian, yaitu dominasi kelompok tua dalam sektor pertanian. Kaum muda enggan menekuni pertanian dan lebih memilih menjadi buruh pabrik --walau bergaji kecil. Fakta di lapangan, sektor pertanian 75 persen didominasi petani berumur 50 tahun ke atas, 13 persen petani berumur 30-39 tahun, sedangkan sisanya, 12 persen, petani berumur di bawah 30 tahun. Ketiga, lemahnya koordinasi serta tidak berfungsinya Penyuluh Pertanian Lapangan.
Walhasil, dengan membaca buku ini, di samping mendapatkan pengetahuan dokumenter yang cukup komprehensif tentang perberasan nasional, juga menjadi modal dasar kekuatan menuju kedaulatan beras. Semoga! (*)
Judul Buku : Surplus Beras Kok Impor?
Penulis : Sapuan Gafar
Penerbit : Kreasi Wacana, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, 2007
Tebal : xii + 244 Halaman
Saiful Amin Ghofur, Redaktur Jurnal Millah Jogjakarta
Jawa Pos Minggu, 09 Mar 2008
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar