Inul di Dalam Budaya Pop

INUL Daratista sepekan lalu menjadi buah bibir di mana-mana. Televisi, radio, dan media cetak banjir pemberitaan tentang penyanyi dangdut asal Pasuruan, Jawa Timur, ini, yang bila dihitung jumlah waktu pemberitaannya lebih banyak dari berita mengenai Aceh, gula yang melambung harganya, atau RUU Sistem Pendidikan Nasional.


MESKIPUN kemudian dibantah sendiri oleh Rhoma Irama, tetapi penyanyi dangdut yang Ketua Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI) itu sebelumnya ramai diberitakan media massa telah melarang Inul menyanyi dangdut dengan menggunakan gaya goyang ngebor yang menjadi ciri khas penyanyi ini. Media massa juga ramai memberitakan, Rhoma Irama melarang Inul menyanyikan lagu-lagu dangdut ciptaan para anggota PAMMI.

Pernyataan Rhoma seperti yang kita saksikan di televisi, dengar di radio, dan baca di media cetak, mengundang reaksi keras dari berbagai pihak. Kalangan pekerja seni adalah yang paling dulu bereaksi karena mereka merasa tidak pada tempatnya seorang individu membatasi hak berekspresi individu sesama warna negara lainnya. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid pun sampai perlu mengeluarkan pernyataan keras bahwa tidak ada individu yang bisa melarang hak berekspresi orang lain.

Dukungan terhadap Inul juga ditunjukkan oleh berbagai anggota masyarakat dengan beramai-ramai mengadakan acara goyang ngebor selama tiga menit di Bundaran Hotel Indonesia (HI) pada Jumat (2/5) sore. "Jangan salah paham, yang kami dukung adalah hak untuk bebas berekspresi, bukan goyang Inul-nya," kata Monica, salah satu pendukung acara di Bundaran HI itu.

Ketua Komisi Nasional Anti-Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Prof Dr Saparinah Sadli dalam jumpa pers hari Jumat mengatakan bahwa Inul telah menjadi korban kekerasan fisik dan psikologis. Kekerasan fisik karena dia dilarang tampil dengan gaya yang telah menjadi ciri khasnya dan kekerasan psikologis karena tuduhan bahwa gayanya di atas panggung merusak moral bangsa dan meningkatkan perkosaan telah menyebabkan trauma psikologis pada Inul. Salah satu indikasi bahwa Inul mengalami trauma adalah pernyataannya bahwa dia tidak ingin menyanyi di televisi untuk sementara. Di layar televisi penonton juga bisa melihat bagaimana tertekannya Inul ketika dia mendatangi Rhoma Irama.

WAKIL Ketua Komnas Perempuan Myra Diarsi mengatakan, kasus Inul memberi sejumlah pelajaran, yaitu masyarakat telah berubah yang diindikasikan dengan telah mulai tumbuhnya keberanian perempuan untuk mengungkapkan kekerasan yang dia alami, termasuk dalam hal ini Inul Daratista. Meskipun demikian, tidak bisa dimungkiri masih adanya "rezim patriarkhi" yang tidak ingin membiarkan dominasinya terganggu.

Myra juga menolak tuduhan bahwa goyangan Inul menyebabkan meningkatnya angka perkosaan. "Berbagai penelitian di berbagai tempat menunjukkan perkosaan dilakukan secara terencana dan biasanya oleh orang-orang yang berada di sekitar korban," kata Myra.

Menurut Myra, tidak ada perkosaan yang terjadi spontan. Kalaupun mau dibilang spontan, tetap ada rencana di baliknya. Yang jelas, perkosaan terjadi karena ada relasi tidak seimbang antara yang memerkosa dan yang diperkosa. "Jadi, terjadinya perkosaan tidak perlu stimulus, dalam hal ini yang dituduh adalah Inul," tambah Myra.

Kenapa muncul pemahaman di masyarakat bahwa perkosaan terjadi karena stimulus melalui televisi, misalnya, tidak lain karena ketika para pemerkosa ditanya media massa atau di dalam pemeriksaan mereka biasanya mengatakan, mereka memerkosa karena terangsang oleh sebuah tontonan. Supaya pelaku dimaafkan, seolah-olah itu salah orang lain. "Tanggung jawab tindakan kriminal itu jangan diseberangkan kepada orang lain, ke korban, yaitu dengan menyebut korban adalah pihak yang menyebabkan timbulnya keinginan melakukan perkosaan karena gagasan memperkosa itu ada di kepala pelaku," kata Myra.

Dalam hal kasus Inul, Myra juga mengkritisi peran media massa, terutama televisi, yang dengan alat kamera di tangannya menyorot bagian-bagian tertentu tubuh sehingga menimbulkan sebuah citra tertentu di benak pemirsa. Padahal, sebelumnya, selama dua tahun ketika masih bernyanyi dari satu kampung ke kampung lain, tidak ada yang meributkan Inul.

Sisi lain dari kasus Inul, menurut Myra, adalah berlakunya hukum budaya popular, yaitu menjadi populernya seorang pelaku budaya pop ditentukan oleh masyarakat. Bila masyarakat tidak menghendaki lagi, dia akan segera berganti dengan pelaku lainnya.

Dalam salah satu pernyataan sikap para pekerja seni yang dibacakan Rieke Dyah Pitaloka dalam jumpa pers di Komnas Perempuan pada Jumat pekan lalu, munculnya Inul sebagai bintang industri hiburan karena ada dukungan dan apresiasi dari masyarakat luas. "Ini proses lazim dalam mekanisme pasar," kata Rieke.

DI dalam wacana kebudayaan, budaya pop dianggap bukan budaya adiluhung, budaya tingkat tinggi. Budaya pop juga dituduh sebagai mendorong konsumtivisme.

Wacana perempuan di dalam budaya pop telah menarik perhatian para feminis dan mereka yang terlibat di dalam kajian perempuan. Jender dianggap bisa menjelaskan mengapa timbul anggapan, misalnya, bahwa budaya pop meminggirkan perempuan.

Dominic Strinati mengutip pendapat L Gamman dan M Marshment dalam tulisan keduanya berjudul The Female Gaze: Women as Viewer of Popular Culture (1988), mendefinisikan budaya pop sebagai "lokasi pertarungan, di mana banyak dari makna ini (pertarungan kekuasaan atas makna yang terbentuk dan beredar di masyarakat) ditentukan dan diperdebatkan. Tidak cukup untuk mengecilkan budaya pop sebagai hanya melayani sistem pelengkap bagi kapitalisme dan patriarkhi, membiarkan kesadaran palsu membius masyarakat. (Budaya pop) juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan ideologi yang dominan bisa saja diusik. Antara pasar dan berbagai ideologi, antara pemodal dan produser, antara sutradara dan aktor, antara penerbit dan penulis, antara kapitalis dan kaum pekerja, antara perempuan dan laki-laki, kelompok heteroseksual dan homoseksual, kelompok kulit hitam dan putih, tua dan muda, antara apa makna segala sesuatunya, dan bagaimana artinya, merupakan pertarungan atas kontrol (terhadap makna) yang berlangsung terus-menerus".

Definisi di atas menjadi menarik karena budaya pop terus- menerus menjadi tempat di mana makna tentang apa yang ditampilkan terus dipertandingkan dan kontrol atas makna-makna itu terus-menerus menjadi perebutan. Apalagi juga disebutkan bahwa ideologi yang dominan bisa diusik di dalam budaya pop.

Dalam kasus Inul, dengan berdasarkan definisi tersebut bisa disebutkan bahwa seorang penyanyi dari daerah pinggiran (Pasuruan) dengan gaya panggungnya yang berbeda dari arus utama yang dibangun oleh para elite penyanyi dangdut di pusat (Jakarta) telah mengusik pemahaman makna oleh pusat mengenai apa yang dianggap pantas dan apa yang dianggap tidak pantas, apa yang boleh berada di atas panggung dan apa yang tidak boleh muncul di panggung. Di sini jelas sekali terlihat sedang terjadi perebutan atas kontrol terhadap makna.

Dari sisi jender, juga bisa dilihat terjadinya pertarungan kontrol antara laki-laki dan perempuan, di mana laki-laki mewakili patriarkhi yang tidak selalu identik berkelamin laki-laki karena perempuan pun bisa menjadi seorang patriarkh. Pertarungan ideologi itu sangat nyata ketika kepada Inul diminta agar dia menjaga moral bangsa dengan tidak melakukan goyangan khasnya.

Selain itu, dalam kasus Inul harus pula dilihat pengaruh media massa, terutama televisi yang mengangkat sosok Inul ke panggung nasional. Di dalam budaya pop, menurut pengajar sosiologi di Universitas Leicester, Inggris, televisi dengan sifatnya yang menyiarkan informasi dan citra secara reguler dan bisa dibilang terus-menerus selama 24 jam, membangun rangkaian programnya atas dasar kolase teknik dan simulasi yang bersifat permukaan.

Televisi telah pula menuai kritik dengan tuduhan tidak mengungkapkan keadaan yang riil. Hal ini tidak berlebihan karena televisi melalui citra yang ditampilkannya telah memilih gambar mana yang akan ditampilkan, bagian tubuh mana yang akan ditayangkan. Dalam kasus Inul, televisi dengan teknik kolasenya seringkali memilih daerah bagian belakang bawah Inul sebagai fokus pencitraan seperti yang dikritisi oleh Myra Diarsi sehingga perhatian penonton mau tidak mau terpusat pada apa yang tersaji di layar kaca tersebut.

Pilihan-pilihan pada bagian tubuh yang ditampilkan di layar kaca juga mengundang pertanyaan, gagasan apa yang berada di benak para produser televisi ataupun media cetak.

MESKIPUN budaya massa seperti budaya pop dipandang sebagai budaya yang "dangkal" di dalam wacana kebudayaan, tetapi wacana budaya pop dipengaruhi bukan hanya oleh kepentingan ekonomi dan kapitalisme.
Salah seorang peneliti budaya massa, Modleski, misalnya, melihat lebih dalam wacana budaya massa dengan menggunakan pisau analisis feminisme, sesuatu cara pendekatan yang relatif baru pada pertengahan tahun 1980-an.

Menurut Modleski, cara kita berpikir dan merasa tentang budaya massa terikat dengan sangat rumit pada gagasan mengenai sifat-sifat feminin. Dia sangat menaruh perhatian pada cara di mana perempuan dipandang sebagai penanggung jawab budaya massa dan efek-efek budaya massa yang merugikan, sementara laki-laki dipandang sebagai bertanggung jawab untuk kesenian adiluhung.

Pendapat Modleski itu bersamaan dengan pandangan bahwa bukan saja karya penulis perempuan pada abad ke-19 lebih rendah mutunya dibandingkan karya penulis laki-laki, tetapi juga perempuan dianggap bertanggung jawab terhadap munculnya budaya massa.

Menurut Modleski, penggunaan istilah budaya massa serta meletakkannya dalam posisi lebih rendah dibandingkan seni tinggi, tidak terlepas dari konstruksi sosial yang bersifat eksis mengenai sifat-sifat feminin dan maskulin.

Budaya tinggi (kesenian) identik dengan sifat-sifat maskulin, produksi, kerja, intelektualitas, aktivitas, dan menulis. Sementara budaya massa (budaya popular) identik dengan sifat-sifat feminin, konsumsi, waktu luang, emosi, bersifat pasif, dan membaca (tidak menulis).

Pandangan Modleski tersebut bisa menjelaskan apa yang terjadi pada Inul. Sebagai perempuan yang datang dari daerah pinggiran, Inul dipandang sebagai mengusik budaya ciptaan para lelaki yang dipandang sebagai kesenian yang bernilai tinggi. Tidak heran bila Inul menuai kecaman yang begitu keras dari pihak yang selama bertahun-tahun dipandang sebagai penentu dan pengontrol budaya tinggi.

Apa yang dialami Inul adalah kejadian yang kesekian kali yang dialami perempuan yang bekerja di bidang kesenian. Dalam jumpa pers di Komnas Perempuan Jumat pekan lalu, Yeni Rosa Damayanti dari lembaga masyarakat Institut Ungu yang mengonsentrasikan diri pada kesenian yang dihasilkan perempuan, menyebutkan lahirnya perempuan penulis di Indonesia pun bukannya tanpa tantangan.

Ketika Ayu Utami menerbitkan novel Saman misalnya, dia menuai kecaman karena banyak mengungkap mengenai seksualitas perempuan. Padahal, perempuan memiliki pengalamannya sendiri yang ingin dia ungkap dengan caranya sendiri.

Bila apa yang disampaikan Yeni Rosa valid, hal itu menjadi bukti lain bahwa budaya pop tidak bisa dilepaskan dari jender dan konstruksi yang membentuk konsep jender tersebut. Pada masyarakat yang budaya patriarkhinya masih sangat kuat seperti di Indonesia, perempuan berada pada posisi inferior dibandingkan laki-laki sehingga apa yang dihasilkan oleh perempuan sering dinihilkan, dikecilkan, atau lebih buruk lagi coba dikontrol oleh pihak yang mengklaim memegang otoritas, yaitu laki-laki.

Seperti telah disebutkan di atas, budaya pop selalu melakukan kontes atas ideologi dan memperebutkan kontrol atas apa yang ditampilkan di dalam budaya pop. Di dalam sejarah perkembangan budaya pop, terjadinya pertarungan ideologi paling nyata terjadi pada fenomena penyanyi Madonna.

Beberapa penelitian menyebutkan bahwa dalam budaya pop perempuan bukan hanya menjadi konsumen, tetapi dia juga adalah pelaku. Namun, kontrol perempuan di dalam industri budaya pop seringkali dianggap marjinal yaitu sangat sedikit perempuan yang bisa menentukan apa yang akan muncul di panggung.

Bagi Susan McClary, Madonna menjadi pengecualian karena meskipun musik dan video klipnya merupakan produksi yang melibatkan banyak orang seperti penulis naskah, sutradara, penulis musik, dan seterusnya, tetapi dia memiliki kontrol yang utuh terhadap hampir setiap dimensi bagaimana citra dirinya muncul di media massa dan kariernya akan menjadi seperti apa. Dia juga menuliskan lirik dan irama lagu-lagunya, meskipun lagunya yang kontroversial yaitu Material Girl dan Like A Virgin ditulis oleh pengarang laki-laki. Di dalam industri musik Barat, sedikit perempuan yang menjadi penulis musik dibandingkan yang laki-laki.

Dalam sebuah wawancara, Madonna menolak dibandingkan dengan Marilyn Monroe meskipun dia merasa memiliki keterikatan dengan aktris berambut pirang yang mati secara tragis itu.

Monroe, menurut Madonna, tanpa sadar terjebak di dalam mesin perbudakan Hollywood dan tidak bisa keluar lagi. Sementara dirinya menolak untuk terjebak di dalam mesin Hollywood. "Marilyn adalah korban, sedangkan saya bukan. Karena itu sama sekali tidak diperbandingkan," kata Madonna.

Dalam kesimpulan pengamatannya terhadap Madonna, McClary mengatakan, bila Madonna benar-benar live to tell seperti lirik lagunya (maksudnya bertahan sebagai kekuatan budaya yang berdaya hidup), maka berarti telah lahir sebuah aksi yang menantang patriarkhi.

Bila Inul dengan kebersahajaan dan kejujurannya berhasil bertahan dan tidak terpengaruh oleh terpaan kekerasan fisik dan psikologi yang dia alami saat ini, boleh jadi dia akan menjadi model pula bagaimana perempuan bertahan hidup di dunia yang didominasi budaya patriarkhi.(Ninuk M Pambudy)

Kompas, Senin, 5 Mei 2003

0 tanggapan: