Nenek Marsinah Ingin Tahu Pembunuh Cucunya

Jakarta, 31 Agustus 2004 15:10

Ny. Puirah (81), nenek almarhumah Marsinah, pejuang buruh yang tewas dianiaya 11 tahun silam, ingin mengetahui siapa pembunuh cucunya, dan apa salah cucunya itu hingga tewas terbunuh.



"Saya merawat dia dari umur dua tahun sampai lulus SMA. Dia pergi cari kerja ke Surabaya, pulang-pulang sudah jadi mayat. Saya ingin tahu siapa yang tega membunuh cucuku," kata wanita renta itu dalam bahasa Jawa Timuran dengan lafal sudah kurang jelas di rumahnya, Sabtu (28/8).

Puirah yang dikunjungi di rumah tempatnya membesarkan Marsinah di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Nganjuk, Jawa Timur itu terus menanyakan siapa yang membunuh Marsinah.

"Saya tak tahu apa sebabnya dia dibunuh, lalu siapa pelakunya," kata Puirah, yang sudah jauh kehilangan daya pendengaran itu.

Ia mengatakan, mendengar cucunya membantu kawan-kawan kerjanya di pabrik untuk mendapat kenaikan gaji. "Dia bela kawan-kawannya sampai ketemu gubernur sehingga gajinya bisa naik," kata Puirah berulangkali menyebut-nyebut kata "pabrik", merujuk pada sentral kegiatan cucunya setelah pergi mencari kerja ke Surabaya.

Puirah menambahkan, beberapa tahun belakangan ini sedikit orang yang datang ke rumahnya untuk bertanya soal Marsinah.

"Sekarang orang-orang datang ke bapaknya Marsinah di Surabaya," katanya, mengenai ayah Marsinah, Mastin, yang menikah lagi setelah isterinya, Samini, ibu Marsinah, meninggal dunia saat Marsinah berusia dua tahun.

Terkait dengan tuntutan Puirah itu, Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Surya Chandra Surapaty mengingatkan pemerintah mengenai pentingnya kasus tersebut diungkap sehingga persoalannya tuntas.

"Jangan lupa, kasus itu tetap menjadi catatan ILO (organisasi perburuhan internasional), dikenal sebagai kasus 1713," kata Surya yang komisinya antara lain membidangi ketenagakerjaan.

Selain itu, menurut Surya, penyelesaian tuntas kasus Marsinah sesuai dengan jiwa UU N0. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia (HAM).

"Coba lihat saja pada butir tiga dan empat ketentuan umum UU tersebut. Di situ jelas-jelas disebutkan mengenai penyiksaan," katanya. Marsinah tewas setelah aktif dalam memperjuangkan tuntutan rekan-rekan kerjanya di pabrik PT Catur Putra Surya (CPS), Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Jenazahnya ditemukan pada 9 Mei 1993 di Hutan Wilangan, Nganjuk, sekitar 200 km dari tempatnya bekerja.

Kisah tewasnya gadis dari Desa Nglundo berawal dari aksi 18 buruh di CPS. Hari itu, 3 Mei 1993, mereka mencegah teman-temannya bekerja. Komando Rayon Militer (Koramil) setempat lantas turun tangan. Besoknya para buruh mogok total mereka mengajukan 12 tuntutan, termasuk perusahaan harus menaikkan upah pokok dari Rp 1.700 per hari menjadi Rp 2.250. Tunjangan tetap Rp 550 per hari mereka perjuangkan dan bisa diterima, termasuk oleh buruh yang absen.

Pada 5 Mei, tanpa Marsinah, 13 buruh yang dianggap menghasut unjuk rasa digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo. Di tempat itu mereka dipaksa mengundurkan diri dari CPS. Mereka dituduh telah menggelar rapat gelap dan mencegah karyawan masuk kerja.

Setelah itu, sekitar pukul 10 malam, Marsinah lenyap. Empat hari kemudian, 9 Mei, mayatnya ditemukan di pinggiran hutan jati Wilangan. Jasadnya ditemukan dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat, sampai tulang duduk dan kemaluannya koyak seperti diterjang benda keras.

Hasil penyidikan polisi ketika itu menyebutkan, Suprapto (pekerja di bagian kontrol CPS) menjemput Marsinah dengan motornya di dekat rumah kos Marsinah.

Dia dibawa ke pabrik, lalu dibawa lagi dengan Suzuki Carry putih ke rumah Yudi Susanto di Jalan Puspita, Surabaya. Setelah tiga hari Marsinah disekap, Suwono (satpam CPS) mengeksekusinya.

Di pengadilan, Yudi Susanto divonis 17 tahun penjara, sedangkan sejumlah stafnya yang lain itu dihukum berkisar empat hingga 12 tahun, namun mereka naik banding ke Pengadilan Tinggi dan Yudi Susanto dinyatakan bebas. Dalam proses selanjutnya, kasasi di Mahkamah Agung, mereka malah dinyatakan bebas murni.

Setelah kematiannya, Marsinah menerima anugerah HAM "Yap Thiam Hien" (Februari 1993) dan gelar "Pahlawan Pekerja Indonesia" dalam rapat kerja nasional II Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Selain itu juga penetapan tanggal penemuan jenazahnya di pos jaga hutan jati Wilangan, Nganjuk, 9 Mei 1993 sebagai Hari Solidaritas Buruh.

Selain itu, bulan ini kelompok seniman Surabaya dengan koordinasi penyanyi keroncong senior Mus Mulyadi meluncurkan album musik dengan judul Marsinah. Lagu ini diciptakan oleh komposer MasGat.

"Tergerak untuk mengenang jasa-jasa almarhumah Marsinah yang tak ternilai, saya sebagai pencipta lagu berharap jasa-jasanya itu tak dilupakan orang," kata MasGat, seperti tercantum dalam sampul album lagu tersebut. [Tma, Ant]


dikopipaste dari situs Majalah Gatra

0 tanggapan: