Sekitar Privilese Dangdut

BENI SETIA

POLEMIK antara Inul Daratista dan Rhoma Irama, yang konteksnya moralisasi pada cara menyanyi Inul Daratista dkk yang erotik, mendapat dimensi baru ketika Inul bersiap akan melempar produk rekamannya di Billboard.



Dengan mengatasnamakan Persatuan Artis Musik Melayu Indonesia (PAMMI), Rhoma Irama menyurati produsen agar ia menangguhkan peredaran kaset Inul dengan alasan para pencipta lagu PAMMI -dalam hal ini Endang Kurnia-sedang memboikot Inul. Di sini bagi saya yang buta masalah hukum, Rhoma Irama sedang berbicara tentang masalah hak cipta yang diterapkan secara salah. Kenapa?

Hak cipta adalah pengakuan publik (yang dijamin hukum) kepada seorang kreator ketika karyanya dipublikasikan dan diapresiasi banyak orang. Dengan kata lain, hak cipta merupakan pengukuhan akan "kepemilikan" seorang kreator atas kreasinya yang berupa karya ketika karya itu dihadirkan di ruang publik dan diapresiasi oleh publik.

Karena itu, hak cipta dan sebuah karya yang diakui hak cipta oleh si penciptanya selalu berhubungan dengan ruang publik dan kepentingan publik yang mengapresiasi karya itu. Karena itu, hak (pen)-cipta diakui. Dengan catatan dalam kurun waktu tertentu, karena setelah kepemilikan pribadi dan ahli waris hak cipta itu bisa jatuh ke negara, dan akhirnya jadi milik publik.

Sekaligus hak kepemilikan modal yang memproduksi secara massal diakui-hak produk (sehingga tak setiap orang berhak memproduksi-memperbanyak produk tersebut) dan sekaligus identik dengan hak distribusi.

Karena itu, tidak ada hak cipta yang mengatakan ini karya saya dan tak boleh dinyanyikan sembarang penyanyi. Bila harus begitu, kenapa ia mempublikasikan karyanya? Memberikannya sebagai anugrah kepada publik dan seumur hidup ada di ruang publik.

Dengan kata lain, karya tersebut boleh dinyanyikan siapa saja dan kapan saja. Hanya bila dinyanyikan secara profesional, maka hak cipta si pencipta harus dibayar. Sekaligus boleh direkam penyanyi lain dan produser lain, selama hak cipta dan keberatan bisnis produser dan record awal diperhatikan.

Dan melarang seorang penyanyi menyanyikan lagu yang diciptakan si A yang jadi anggota PAMMI yang kebetulan diketuai oleh Rhoma Irama? Ini gejala apa? Apa tak bermakna menghalang-halangi publik menikmati lagu A karya si A yang dinyanyikan si A secara khas, padahal publik menyukai penyanyi A yang menyanyikan lagu ciptaan si A secara unik.

BAGI saya, itu logika yang sangat tidak proporsional. Sebuah tarian tak lucu karena telah melampaui ambang batas estetika dan etik cul dogdog tinggal igel (Sunda, secara bebas bermakna: meninggalkan yang isi mengutamakan yang sampiran).

Meski yang sedang dibidik bukan rekaman audio kaset Inul, tapi khawatir kalau videoklip Inul Daratista (nanti) menonjolkan goyang erotik dan bukan hanya videoklip sederhana yang mengandalkan tari latar sederhana, goyang pakem, dan vokal.

Ini aneh. Karena dengan kata lain, Rhoma Irama, atas nama organisasi, melakukan intervensi pada sebuah produk rekaman, pada satu usaha investasi yang keuntungan dan (terutama) kerugiannya harus ditanggung sendiri oleh produser-bukan Inul, pencipta lagu, komposer, musisi dan teknisi rekaman, atau Asiri.

Aneh! Karena, bila produk itu memang menimbulkan kerugian massa, maka kerugiannya itu harus terjadi dan bisa dibuktikan dulu. Setelah terbukti merugikan, baru dilakukan desakan untuk menarik produk, bahkan gugatan perdata.

Akan tetapi, kalau produk belum dikeluarkan sudah minta ditangguhkan? Aneh sekali. Suudhon! Bahkan berkesan melakukan intervensi pada sesuatu yang berada di wilayah lain-setidaknya ketika Rhoma Irama melakukan kontak organisasi dengan organisasi, dengan menyurat kepada Asiri.

LUAR biasa sekali Rhoma Irama! Seakan-akan ia memiliki dangdut dan ia juga yang berhak menghitamputihkan dangdut. Tapi akan jadi apa bila dangdut tanpa Rhoma Irama? Saya pikir dangdut tetap sehat. Karena saya rasa, bukan cuma Rhoma Irama yang menaikkan gengsi dangdut yang dianggap sebelah mata oleh anak muda yang cenderung gandrung pada musik rock dan pop barat.

Bahkan dangdut bukan hanya berseberangan dengan rock, seperti musik dakwah yang berhadapan dengan musik dajal. Tidak bisa diset begitu, lalu merasa besar cuma dengan berprasangka telah menundukkan musuh-musuh dangdut. Dari Benny Subardja (dibungkam dalam sebuah diskusi di Bandung), Ahmad Akbar (sepanggung bersama, yang menunjukkan Slank bekas pemakai narkoba dan Soneta bebas narkoba).

Tak bisa sesederhana itu. Karena semua fenomena itu bisa dibaca sebagai terobosan industri entertainment. Klaim Rhoma Irama sebagai kekalahan rock, musik hura-hura, dan musisi, tersesat di satu sisi, dan kemulaian serta kesertaan dangdut sebagai pop terlalu simplisit. Dan barangkali dari "pertentangan kelas" itu pula Inul dibaca-dangdut Rhoma Irama mendapat musuh baru, dangdut di pengkhianat etika murni dangdut.

Tidak bisa dibaca. Dan juga tidak bisa diklaim dangdut dimuliakan oleh Rhoma Irama. Lagu Begadang pernah fenomenal dan diterima di stasiun radio MW (di dekade 1970-an), tetapi yang menyeret lagu itu masuk ke stasiun radio MW adalah Favourite’s Group yang saat itu mewabah dan relatif diterima ketika memperkenalkan lagu dangdut pop.

Sekaligus yang membuat dangdut diterima di kalangan anak muda adalah Warkop Prambors, dan terutama kehadiran Orkes Moral Pancaran Sinar Petromaks (OM PSP).

Mereka dengan sengaja memarodikan lagu-lagu pop Barat standar ke dalam kemasan dangdut, dengan tekanan melucu dan bukan serius bernyanyi.

LAGU My Bonny, It’s Holly Holiday, dan bahkan cengkok jazz Louis Armstrong dimainkan dengan ide parodi model Wong Pitoe, Project P, dan Padhyangan sekarang. Di mana, dari situasi orang tertawa sinis ketika mengapresiasi penampilan dangdut menjadi tawa lepas karena mengapresisasi lagu pop yang dijenakakan di dalam kemasan dangdut.

Ada upaya dekonstruksi sehingga lahir kesadaran toleransi yang mau menerima dangdut sebagai sodokan untuk melucu. Provokasi meledek dan menghancurkan antisipasi sinis, yang lebih berupa gengsi ketimbang kejujuran mau mengakui enaknya digoyang irama dangdut.

Situasi ini mirip dengan ketika musisi kulit putih melebur dirinya dengan arang sehingga jadi negro yang bermain jazz, dan yang dibalas orang negro berbedak putih ketika memainkan musik jazz.

Jarak lebur. Toleransi terbangun-bahkan berlanjut pada kreasi Kuntet Mangkulangit. Lantas ingatkah Rhoma Irama pada momen tersebut? Pada keajaiban bisnis musik pop yang dimulai oleh sekelompok mahasiswa, yang dengan kreasi bermain-main memainkan dangdut, dan meledak jadi industri musik dan film.

Saya pikir sumbangan OM PSP, Omen dan kawan-kawan, tidak kalah besar dengan sumbangan Rhoma Irama atau Reynold Panggabean. Dan sekarang ini, bagi saya, apa yang dilakukan Inul merupakan bandulan ekstrem dari apa yang pernah dilakukan Camelia Malik, yang bernyanyi dengan goyang Latin dan lecutan musik disko, dan ia perkaya dengan jaipongan.

Dengan kata lain, versi goyang erotik Inul pada dasarnya sudah ada dalam diri dangdut itu sendiri. Potensial dan siap digosok dan meledak sebagai keajaiban industri musik pop. Saat ini yang meledak adalah goyangnya Inul, tahun depan siapa tahu lelucon pelesetan model Omen, bukankah Inul juga serius menyanyikan What’s Up atau Asereje agar bisa ngebor dengan cita rasa impor?

Dengan kata lain, jangan membebani diri dengan tanggung jawab menjaga moralitas dan keadiluhungan dangdut. Karena dangdut bukan sistem nilai. Dangdut cuma residu industri musik pop.

Dan keberhasilan Rhoma Irama sebagai penyanyi dangdut-Raja Dangdut, kata sebagian orang-tak ditentukan oleh Rhoma Irama sendiri, tetapi lebih diakibatkan oleh industri musik pop Indonesia. Oleh naluri bisnis para produser, ketika Rhoma dicekal, yang melihat kontroversi pencekalan dan marjinalisasi oleh negara itu sebagai sarana buat berpromosi dan menjual.

Sama seperti Iwan Fals, yang dimusuhi negara dan jadi pahlawan yang melawan rezim. Di titik ini, ketika kontroversi di seputar Inul bisa jadi bahan ledak: apa kritisisme Rhoma Irama itu tentang murni amal makruf nahi munkar atau malah bertendensi? Ada semacam perkiraan bahwa produk rekaman Inul itu akan menjadi amunisi yang bisa meledakkan hoki? Kenapa tidak berpikiran itu malah akan gembos.

Tidak percaya? Lihat Mariah Carey, didongkrak dengan promosi dan bahkan dibantu dengan film (Glitter), tapi hasilnya nol, bahkan ia didepak dari Sony Record.
Tak terbayangkan, tapi nyata.


BENI SETIA Penyair dan cerpenis


Kompas [Jatim] Jumat, 20 Juni 2003

0 tanggapan: