Yap Thiam Hien Award 2002 untuk Wiji Thukul

Jakarta, KCM

Wiji Thukul, penyair hilang asal Solo, mendapat penghargaan Yap Thiam Hien Award 2002. Keputusan tersebut disepakati secara bulat oleh dewan juri yang terdiri dari Prof. Dr. Soetandyo Wignjosoebroto, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Dr. Harkristuti Harkrisnowo, H. S. Dillon, dan Asmara Nababan.



Ketua Dewan Pendiri Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia (Yapusham) Todung Mulya Lubis, didampingi oleh Azyumardi Azra dan Asmara Nababan, kepada pers di Jakarta, Selasa (10/12), menyatakan, melalui puisi-puisinya Thukul mampu membangun kesadaran masyarakat akan hak asasi manusia (HAM). Meskipun tidak berpendidikan tinggi dan hanya bekerja sebagai tukang pelitur, Thukul memiliki kepekaan dan kesadaran akan situasi kertertindasan kemanusiaan.

"Dia membangun kesadaran masyarakat akan hak asasi manusia. Dia membangunkan kita untuk membaca puisi. Dia membangunkan kesadaran seniman untuk berbuat sesuatu. Dia membangunkan keluarga korban untuk tidak menyerah, meski pada akhirnya ia menjadi korban dari aktivitas yang ia lakukan," ujar Todung.

Sementara Azyumardi menambahkan, salah satu alasan kenapa penghargaan ini diberikan kepada penyair dari kalangan buruh ini adalah karena Wiji Thukul menjadi reminder (pengingat) bahwa masalah orang hilang di Indonesia masih terjadi dan belum terselesaikan hingga saat ini.

"Ini adalah reminder yang sedikit pahit tapi harus dipelihara. Wiji Thukul mengingatkan kepada kita bahwa meski kita sudah memasuki alam demokrasi namun aktivitas penghilangan orang masih terus berlangsung," katanya.

Sosok suami dari Mbak Sipon ini sekaligus juga merupakan representasi dari orang yang secara konkret berbuat sesuatu bagi penegakan HAM meski ia tidak menelan pendidikan formal tentang HAM.

Thukul juga bukan seorang aktivis yang bekerja di bidang advokasi dibawah naungan lembaga penggerak HAM. Pula, masih menurut Azyumardi, ia bukan opini leader yang gagasan-gagasannya bisa mempengaruhi opini publik. Thukul hanyalah seorang buruh yang hanya bisa menulis sajak sebagai pelampiasan rasa gundahnya.

"Tapi dengan kekurangan-kekurangan seperti itu, ia telah melakukan sesuatu yang sangat penting. Bahwa sesungguhnya, untuk menegakkan HAM orang tidak harus terlebih dahulu masuk fakultas hukum atau menjadi aktivis pembela hak asasi manusia," tandas Azyumardi.

Senada dengan Azyumardi, Asmara Nababan menegaskan, penghargaan terhadap Thukul menjadi lonceng peringatan bagi kita semua bahwa penghilangan orang secara paksa adalah kejahatan yang masih berlangsung.

"Lonceng yang mengingatkan bahwa kita semua berhutang kepada keluarga, sahabat, dan kekasih dari orang-orang yang dihilangkan di negeri ini. Tentulah jangan dilupakan bahwa yang paling berhutang adalah negara terutama pemerintah," ujar Asmara.

Menurut rencana malam penghargaan akan dilaksanakan pada hari Selasa (17/12) pekan mendatang, di Museum Nasional. Thukul merupakan orang kesembilan yang meraih penghargaan ini sejak diberikan pada pada tahun 1992. Ia adalah orang kedua peraih penghargaan yang bukan berasal dari kalangan aktivis HAM setelah Marsinah pada tahun 1993. [mbk]


Kompas Cybermedia-10 des 2002

0 tanggapan: