Bang Haji dan Inul

Dhimam Abror*

There is no biz like showbiz. Tidak ada bisnis seperti bisnis hiburan. Itulah ungkapan yang menggambarkan betapa uniknya bisnis panggung hiburan. Seorang yang sama sekali tidak didengar namanya, tiba-tiba saja bisa menjadi terkenal dalam waktu semalam. Tiba-tiba saja ia menjadi buah bibir setiap orang, mulai petani, tukang becak sampai politisi Senayan dan bahkan suami presiden. Sekarang ini, hampir tidak ada seorang pun di Indonesia yang tidak mengenal nama Inul.



Ungkapan Andy Warholl, "Fifteen minutes of fame" (Lima belas menit kesohoran) sekali lagi menemukan buktinya pada Inul Daratista. Dalam tempo semalam, namanya yang sebelumnya sama sekali tidak dikenal orang tiba-tiba menjadi sebutan setiap orang. Setiap hari ia muncul di televisi. Setiap stasiun berebut untuk menampilkan Inul. Tidak ada hari di televisi tanpa Inul.

Inul menjadi fenomena baru dalam musik dangdut. Ia lahir dari bawah. Lalu meroket ke puncak dan merevolusi dunia musik dangdut. Dangdut tidak akan pernah sama lagi. Kalau dulu penyanyi dangdut masih malu-malu, sekarang semua penyanyi berlomba-lomba menampilkan goyangnya yang paling panas.

Kecaman terhadap Inul mencapai puncaknya ketika kemarin tiga musisi paling senior dalam musik dangdut, H Rhoma Irama, Elvy Sukaesih dan Camelia Malik mengeluarkan "fatwa" mencekal Inul. Bang Haji --panggilan Rhoma Irama-- mencekal Inul dengan melarangnya membawakan lagu-lagunya. Hal yang sama dilakukan Elvy dan Camelia.

Ini bukan pencekalan pertama yang diterima Inul. Tetapi kali ini Inul tampaknya harus menyerah. Ia dipanggil ke markas Rhoma Irama, diadili dan dipaksa untuk membuat pengakuan dosa di depan masyarakat Indonesia melalui televisi. Dengan berurai airmata Inul didikte oleh Rhoma Irama untuk mengucapkan pengakuan dosa dan janji untuk tidak akan merusak citra dangdut.

Ini merupakan klimaks dari kontroversi Inul yang selama ini muncul. Ketika dicekal di Pasuruan, Gresik maupun Yogya, Inul masih bisa melawan. Tetapi kali ini ia tampaknya menyerah. Dulu ketika otoritas kekuasaan ulama maupun bupati mengekangnya, Inul berani memberontak. Tapi sekarang ia tidak berdaya.

Pertanyaan yang muncul sekarang adalah, otoritas apa yang dipegang Rhoma Irama sampai ia mempunyai hak untuk mengadili Inul? Seni bukan kekuasaan. Tidak ada hirarki dalam seni. Rhoma Irama mendapat julukan Raja Dangdut karena kiprahnya yang luar biasa dalam memajukan dangdut. Tetapi itu tidak berarti ia mempunyai otoritas untuk mengekang kebebasan seorang seniman dangdut lainnya untuk berekspresi.

Rhoma menilai Inul telah melempar dangdut ke comberan. Dangdut yang dulu diklaim Rhoma telah diangkatnya ke kelas yang lebih terhormat, sekarang hancur lagi gara-gara Inul.

Sebenarnya, goyang seronok macam Inul bukan sesuatu yang tiba-tiba muncul. Sejak 1980-an sudah banyak penyanyi dangdut yang menampilkan goyang hot. Salah satu yang saya tahu adalah "dangdut sekatenan" yang secara berkala digelar di Alun-Alun Yogya. Pertunjukan dangdut ini terkenal seronok dan vulgar. Saat itu tidak banyak orang yang tahu karena orang masih malu-malu menonton dangdut. Dangdut masih dianggap kampungan karena hanya ditonton oleh orang-orang di kampung-kampung kumuh atau orang desa yang miskin.

Tapi, dangdut kemudian naik ke kelas atas berkat munculnya penyanyi-penyanyi keren angkatan Evi Tamala, Iis Dahlia, Ike Nurjanah, Cici Faramida, dan beberapa lainnya. Merekalah yang punya andil membawa dangdut ke kelas yang lebih atas sehingga dangdut menjajah hotel-hotel mewah dan kafe-kafe mahal.

Rhoma Irama juga harus diakui jasa besarnya dalam meningkatkan citra dangdut. Ia berjasa memadukan dangdut dengan rock, khususnya Deep Purple, sehingga kemudian gaya musiknya ditiru dan melahirkan inspirasi bagi seluruh pemusik dangdut.

Tetapi, Rhoma Irama tidak serta-merta sampai kepada titik di mana ia sekarang berada. Perjalanan musiknya berproses dan mengalami metamorfosis sebelum ia menemukan bentuknya yang sekarang. Dalam perjalanan berkeseniannya, Rhoma Irama (dulu memakai nama Oma Irama) juga menyanyikan lagu-lagu yang jorok. Dengarkan lagunya berjudul "Helo" yang dinyanyikan bersama Elvy Sukaesih. Salah satu syairnya berbunyi, "….seumpama kau santapan, tentu segera kumakan…").

Karena itu, alangkah arifnya kalau Bang Haji kali ini membimbing Inul dengan menyadari sepenuhnya bahwa Inul juga sedang berproses. Suatu ketika nanti Inul pasti mengalami metamorfosis dan menemukan jati dirinya yang lebih baik dalam standar yang diinginkan Rhoma Irama. Alangkah baiknya kalau Rhoma mengajak Inul tampil sepanggung bersama Soneta dan mengajarinya bagaimana tampil lebih sopan. Itu jauh lebih mulia dibanding mengadili dan mencekal Inul seperti sekarang. Tindakan Wak Haji itu bisa memicu tudingan bahwa ia mengalami sindrom paska kekuasaan, karena sekarang popularitasnya semakin menurun.

Manusia memang menyimpan sifat narsisis dalam dirinya. Kalau kita pernah mengalami represi, kita berkecenderungan melakukan hal yang sama kepada orang lain ketika kita berkuasa. Rhoma Irama dulu pernah dicekal di zaman Orde Baru. Ia tahu bagaimana menderitanya dizalimi. Tapi sekarang ia melakukannya kepada orang lain.

Dangdut memang musik rakyat. Dangdut dan kampungan memang dua hal yang tidak bisa dipisahkan karena dangdut memang lahir dari rakyat. Mereka yang mengecam dangdut sebagai kampungan adalah mereka yang berpandangan feodalistik yang melihat kesenian dalam dikotomi seni adiluhung atau alus (refined) dan seni yang kasar yang dimainkan oleh rakyat.

Menggemari dangdut berarti harus juga berani menerima sifat-sifat kekampungannya. Menikmati dangdut tetapi menolak "kenorakannya" sama dengan doyan duren tetapi tidak mau baunya. Take it or leave it. []


Jawa Pos, Minggu, 27 Apr 2003

Catatan: Dhimam Abror, sekarang adalah Pimred Harian SURYA

0 tanggapan: