Inul Dibesarkan oleh "Musuh-musuhnya"

Bambang Sujiyono

Inul Daratista memang fenomenal. Dari tukang becak sampai first gentleman Taufik Kiemas mengenalnya. Goyangan Inul bikin heboh. Saya sendiri melihat Inul bergoyang, ya pada saat diskusi "Fenomena Inul" yang diselenggarakan oleh Bengkel Muda Surabaya di Balai Pemuda 5 Februari yang lalu. Sebelum dan sesudahnya, sekadar dengar-dengar dari omong-omong dengan teman serta baca surat kabar. Selebihnya, jangankan nonton VCD-nya, nonton lewat TV saja belum pernah. Baru kemudian Senin, 24 Februari lalu, ada artikel di Jawa Pos yang ditulis oleh Sirikit Syah berjudul Menolak Pembenaran Goyang Inul. Saya terusik untuk berkomentar.



Ada sebuah pertanyaan terlepas dari benak ini, siapa sebenarnya yang paling besar andilnya dalam mempopulerkan Inul? Jawabannya juga spontan: Ya mereka-mereka yang tidak setuju goyang Inul. Ya ibu-ibu yang merasa risi, ya mereka yang mengeluarkan pernyataan mencekal Inul. Juga artis-artis dangdut yang merasa tersaingi dengan kehadiran Inul, termasuk Sirikit Syah yang mengatakan sebagai goyangan yang sama sekali tidak estetis seperti adegan mesum.

Komentar mereka membuat sebagian orang penasaran untuk melihatnya, bagaimana sih goyang yang menghebohkan itu? Nah inilah yang menjadikan Inul populer, dan semakin heboh. Kalau hanya dari fans atau penggemar saja, saya pikir Inul mungkin hanya laris seputar Jatim saja. Tapi karena dipopulerkan oleh musuh-musuhnya, menjadikan dia menusantara alias top di tingkat nasional.

Barangkali, tulisan ini pun sedikit banyak juga ikut andil menjadikan Inul terus-menerus dibicarakan hingga mempertahankan popularitasnya. Tetapi yang ingin saya tegaskan di sini adalah, bahwasanya seringkali kita tidak menyadari bahwa apa-apa yang tidak kita sukai justru kita perlakukan sedemikian rupa sehingga justru menjadi besar dan malah disukai banyak orang. Dan persoalan Inul sesungguhnya juga merupakan refleksi dari potret diri masyarakat kita.

Lihatlah iklan-iklan di televisi (dan juga radio) yang kadang-kadang kontroversial yang bahkan dianggap bertentangan dengan etika. Tetapi ketika hal itu diperlakukan dengan cara yang kurang tepat, iklan tersebut malah semakin terkenal, semakin ditunggu-tunggu banyak orang dan tanpa sadar malah banyak pula yang menyukainya. Malah ada yang kemudian mengklaim, bahwa iklan "yang berhasil" manakala membuat masyarakat jengkel atau muak. Sungguh ironis!

Hal yang sama juga terjadi pada pelarangan sejumlah buku yang kerap dilakukan pemerintah Orde Baru, namun justru menjadikannya terkenal dan dicari-cari masyarakat, hingga kemudian beredar dalam segala bentuk. Termasuk, edisi bajakan dan foto copy. Suratkabar atau majalah yang dibredel pun akhirnya malah dicari orang, minimal edisi terakhir yang menjadikannya dibredel tersebut.

Jadi, dalam hal kasus Inul, ketika ada sementara kalangan yang mencekal penampilannya, ada segolongan masyarakat yang menghujatnya, maka tanpa terasa itulah bentuk lain dari "sosialisasi" goyang Inul hingga akhirnya menjadi kontroversial sekarang ini. Inul menjadi (semakin) terkenal karena dipopulerkan oleh musuh-musuhnya.

Belajar dari Sang Tokoh

Dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, memang kerapkali justru musuh itulah yang punya andil besar membesarkan dan mengangkat sang tokoh. Bung Karno menjadi besar karena musuhnya: Belanda. Soeharto menjadi besar karena berhadapan dengan musuhnya: PKI. Megawati juga menjadi besar ketika dia dimusuhi oleh Soeharto hingga membuat banyak orang yang memujanya sebagai simbol perlawanan rakyat.

Demikian pula Gus Dur lengket dengan koalisi yang tidak saja mengangkatnya tapi sekaligus juga menurunkannya dari kursi presiden. Dengan kata lain, musuh-musuh Gus Dur juga punya andil besar untuk membesarkannya.

Sementara itu, andil dari pihak pendukung boleh jadi memang mempunyai arti saat sang tokoh memang belum apa-apa. Namun dalam perjalanan sering kita jumpai kelompok pendukung ini justru merepotkan sang tokoh, termasuk melakukan pembusukan, penggerogotan bahkan pengkhianatan, yang tentu ini sangat menyakitkan. Saat itulah, kita melihat para pendukung hanya bisa berteriak-teriak dan ngamuk, termasuk ada yang ikut mencaci-maki melihat perilaku sang tokoh yang memang sudah kelewatan!

Pada sisi yang lain, kita menyaksikan musuh-musuhnya sudah bosan berteriak, mencaci-maki karena tidak dihiraukan, akhirnya semakin tenang dan mantap menurunkannya. Saat itulah yang merasa mengasihani ya tetap musuh-musuhnya itu. Kenapa saran dan nasihat serta kritik-kritik yang dilemparkan selama sang tokoh berkuasa tidak pernah digubris, ya beginilah akibatnya.

Kembali ke Inul, bagaimanapun suara-suara musuh itu memang harus didengarkan. Sebagaimana kata Thomas Carlyle, seorang sejarawan dan penulis Scotlandia. “Ya Tuhan, berilah aku kesabaran untuk menerima apa yang tidak bisa diubah, keberanian untuk mengubah apa yang seharusnya diubah, dan kebijaksanaan untuk mengerti orang lain.”

Bagi saya sendiri, saat melihat Inul bergoyang, maka yang timbul adalah perasaan terharu. Terharu karena tiba-tiba ia menjadi “duta” kesenian Jatim yang hal tersebut tidak bisa dilakukan oleh tim kesenian mana pun. Ia kemudian menjadi terkenal di Jepang, Belanda, Amerika Latin dan juga Australia. Begitu bersemangatnya ia bergoyang dan begitu tegarnya ia menapak hidup bak sebaris puisi Rendra, “Kita ditantang seratus dewa.”

Sekali lagi, bagi saya, jangankan Inul bergoyang, telanjang pun saya setuju. Tapi, ya itu tadi, dengarkanlah suara musuh-musuhmu. Jadi bergoyang dan telanjang serta ngebor, teruskan saja asal menyesuaikan dengan situasi dan tempatnya. Kalau mau telanjang, misalnya, tentu saja hanya boleh di depan suaminya. Nggak susah kan? Dan lagi, kalau sudah ngetop buat apa capek-capek terus ngebor dan bergoyang, sesekali baca puisi Taufik Ismail, WS Rendra, atau puisi Sirikit Syah, kan asyik juga.

Masalahnya, apakah tulisan ini, juga tulisan Sirikit Syah, sempat dibaca oleh Inul yang semakin supersibuk dan laris manis atau tidak?

(Bambang Sujiyono, ketua Tim Penghargaan Seniman Jawa Timur dan Sesepuh Bengkel Muda Surabaya.)

Jawa Pos, Minggu, 02 Mar 2003

0 tanggapan: