Menghargai Perempuan

Hari Perempuan Sedunia 8 Maret

Oleh Dyah Ayu P

Perempuan, sosok makhluk yang sepanjang sejarah diyakini menyimpan berjuta persoalan. Sederetan persoalan perempuan (baik dalam ranah publik maupun domestik) dipaparkan oleh sejumlah kalangan. Dalam lingkup domestik, dikatakan perempuan menghadapi apa yang disebut domestic violence (kekerasan dalam rumah tangga) baik secara fisik, seksual maupun psikologis seperti perlakuan semena-mena suami atas istri, penganiayaan, suami selingkuh, dan yang sering disebut-sebut adalah ketidakadilan dalam waris.



Berdasarkan pengamatan, penelitian serta wawancara langsung yang dilakukan sebuah lembaga advokasi perempuan didapat hasil bahwa hampir 80 persen perempuan Indonesia terdiri dari para "jablay" teraniaya secara mental maupun moral. Artinya "janda-janda kurang dibelai" yang terperangkap kejenuhan rutinitas hidup segan, mati tak mau, akibat impitan ekonomi yang semakin tak tertahankan.

Berbagai bentuk persoalan seringkali dipandang sebagai sebuah persoalan yang lebih banyak dimunculkan oleh adanya budaya patriarki yang mengharuskan perempuan tunduk dan patuh pada suami. Di samping itu perempuan menjadi tergantung secara ekonomi kepada suami. Ketergantungan inilah yang dipandang telah meletakkan perempuan pada posisi yang sulit di hadapan suami. Perempuan menjadi tidak bisa melawan pada saat menerima perlakuan kekerasan karena secara ekonomi perempuan tergantung kepada suaminya.

Sementara di sektor publik, perempuan menghadapi berbagai fakta seperti ketertinggalan, diskriminasi maupun pelecehan. Menurut laporan UNDP, perempuan yang merupakan setengah dari populasi masyarakat dunia, menempati 70 persen dari 1,3 miliar manusia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Menurut laporan PBB, ada 600 juta perempuan yang buta huruf saat ini. Jumlah itu merupakan sekitar 67 persen dari total penduduk buta huruf dunia. Fakta yang lebih tegas terlihat di Indonesia, lebih dari 70 persen penduduk buta huruf adalah perempuan.
Fakta berikutnya adalah diskriminasi. Perempuan Indonesia mengalami fakta ini secara nyata di dunia kerja. Studi yang dilakukan Bomer Pasaribu menunjukkan tingkat distorsi yang tidak pernah berubah, walaupun ada kemajuan, itu pun relatif sangat kecil. Upah pekerja perempuan kebanyakan tak lebih dari separo upah pekerja laki-laki. Keadaan di Indonesia disinyalir lebih buruk dari rata-rata keadaan dunia. Di samping itu, pelecehan merupakan persoalan besar lain yang dihadapi perempuan Indonesia.

Model Solusi

Yang lebih penting kemudian bagaimana menyelesaikan berbagai persoalan perempuan tersebut. Untuk menyelesaikannya tentu saja sangat dipengaruhi oleh pemahaman tentang apa sebenarnya yang menjadi persoalan perempuan, dan dari mana persoalan itu timbul.

Bagi sebagian kalangan, tekanan ekonomilah yang paling menghimpit kaum perempuan. Bagi mereka persoalan perempuan di sektor domestik timbul, pun karena secara ekonomi perempuan dalam posisi lemah. Mereka menganggap jika secara ekonomi seorang perempuan tergantung kepada suaminya, maka ketika menerima kekerasan atau perlakuan yang dirasakan tidak sebagaimana mestinya dari suaminya, perempuan tidak berani bereaksi atau bertindak lantaran takut kehilangan suami yang menjadi tumpuan hidupnya secara ekonomi.

Berdasarkan kenyataan tersebut, mereka kemudian mengajak kaum perempuan untuk juga memiliki kemandirian ekonomi. Caranya tentu saja dengan bekerja memasuki sektor publik. Perempuan yang hanya berkutat di sektor domestik dalam perspektif ini dianggap sudah bukan masanya lagi. Bahkan bisa-bisa dinilai sebagai melanggengkan ketertindasan perempuan di bawah laki-laki.

Tetapi ketika hendak memasuki sektor publik lagi-lagi perempuan dililit dengan persoalan baru. Perempuan menjumpai kenyataan bahwa tingkat pendidikan dan keterampilan kaum perempuan masih sangat rendah. Ini yang mungkin mendorong sebagian perempuan untuk menempuh jalan pintas atau bahkan nrimo bekerja di bidang yang tidak terlalu menuntut kemampuan ilmu dan keterampilan, kendati harus menghadapi resiko dijadikan proyek seks. Sementara mereka yang sudah memasuki dunia kerja ternyata juga menghadapi kenyataan yang tidak mengenakkan. Gaji yang diterima kadang tidak sama dengan yang diterima rekan kerja laki-laki kendati kedudukan dan pekerjaannya sama. Belum lagi pelecehan seksual yang acap kali mereka terima di lingkungan kerja atau kekerasan di tengah masyarakat.

Ironisnya, jalan yang ditempuh perempuan untuk keluar dari persoalan di sektor domestik dengan terjun ke sektor publik, ternyata kemudian mengundang persoalan baru. Persoalan ini berkembang saling kait-mengkait dan demikian sulit untuk diurai. Akhirnya, mereka melihat bahwa penanganan persoalan perempuan sudah tidak bisa lagi ditempuh dengan pendekatan individual. Artinya, mereka melihat bahwa persoalan perempuan ternyata berpangkal pada problematika di tingkat pengambilan kebijakan (birokrasi) dan penentu undang-undang (parlemen).

Di sinilah seruan untuk menyelesaikan persoalan perempuan melalui jalan birokrasi parlemen menemukan argumentasinya. Mereka beranggapan, hanya dengan cara mempengaruhi atau bahkan menguasai birokrasi serta memperbanyak anggota parlemen dari kalangan perempuan, persoalan-persoalan perempuan dapat dituntaskan. Seruan ini berjalan tentu saja dengan asumsi bahwa hanya perempuan saja yang paling tahu persoalan perempuan, sehingga hanya perempuanlah yang mampu bertindak tepat serta bijaksana untuk mengangkat harkat kaumnya, dan bukan diserahkan kepada laki-laki.

Dari sini tampak bahwa dalam melihat persoalan perempuan, sebagian besar orang masih menggunakan kaca mata subyektif. Perempuan memandang persoalan kaumnya dari sudut pandang keperempuanannya, sedangkan laki-laki memandang perempuan dengan tolok ukur kelelakiannya. Intinya masing-masing memandang perempuan hanya sebagai "perempuan" tanpa melihat segi "kemanusiaan universal perempuan". Dan selama, baik perempuan maupun laki-laki memandang wanita dari kepentingan masing-masing, selama itu pula persoalan perempuan akan tetap mengambang, tak terselesaikan.

Yang terjadi kemudian adalah terciptanya model pemisahan yang individualis, yaitu dengan membedakan peran penentu kebijakan wanita dan penentu kebijakan pria. Masyarakat bagaikan terkotak-kotak dalam "dunia perempuan" dan "dunia laki-laki" yang menggambarkan warna kebijakannya masing-masing. Sebuah potret egoistik dunia yang berangkat dari kepentingan masing-masing pihak.

Padahal persoalan perempuan tidaklah terpisah dari masalah manusia pada umumnya. Suatu contoh kasus di banyak negara maju, kerusakan keluarga akibat perceraian semakin meningkat. Perempuan-perempuan karir yang secara finansial mandiri, memandang pernikahan sebagai penghalang kemandirian dan belenggu kebebasan. Mereka ingin hidup bebas dan lepas dari tanggung jawab kerumahtanggaan. Akhirnya perpecahan keluarga tidak terhindarkan dan hancurlah institusi keluarga. Sampai di sini, bukan hanya perempuan yang menanggung persoalan, namun juga anak-anak dan juga suami turut menjadi korban.

Dengan demikian, upaya menyadari dan memahami posisi perempuan serta perannya dalam keluarga dan masyarakat menjadi hal yang penting bagi semua pihak. Harus ada kerjasama dari semua pihak. Dua pihak yang bekerjasama juga tidak akan berhasil dengan baik bila masing-masing memiliki gambaran yang berbeda mengenai hasil yang ingin dicapai. Maka membangun perspektif yang sama harus menjadi langkah awal bagi semua pihak sehingga akan mampu memberikan jaminan kemajuan peran wanita di dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus menjamin kemajuan masyarakat secara keseluruhan. Jika selama ini orang menuntut bahwa perempuan adalah sosok yang harus dihargai (tidak boleh dipandang sebelah mata, apalagi dilecehkan), maka barangkali inilah cara yang bisa dilakukan untuk menunjukkan penghargaan kita kepada kaum hawa ini.

Penulis adalah peneliti di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta), Banten


Sumber: Suara Pembaruan


http://www.suarapembaruan.com/News/2008/03/06/Editor/edit01.htm

0 tanggapan: