Inul: Pemberontak dan Kaya Mendadak

Inul lagi, Inul lagi! Suka atau tidak suka, pro-kontra seputar goyang ngebor ala Inul telah menjadi semacam orkestra baru, menjadi senyawa bahan bakar baru yang menghasilkan daya dorong yang sedemikian dahsyat untuk melesatkan roket pegoyang-ngebor bernama Inul Daratista. Pro-kontra seputar Inul ternyata tak juga reda walaupun sudah dibedah di berbagai forum dialog: sekian banyak artikel ditulis, sekian kakli dibuka forum dialog interaktif di layar kaca. Bahkan belum juga reda, setelah Bengkel Muda Surabaya mendatangkan para pakar: koreografer, budayawan, bahkan insinyur untuk sebuah diskusi bertajuk Pentas dan Diskusi Fenomena Inul (Balai Pemuda Surabaya, 5 Februari 2003).


[1]

Perpaduan antara pujian dan kecaman itu kini telah menjadi musik pengiring, mengantarkan Inul ke atas pentas yang membuatnya menjadi pusat perhatian. Ini seharusnya dipahami juga oleh pihak Inul. Yakni, bahwa kecaman sepedas apa pun, tetap menguntungkannya. Para pengecam dan penyanjung Inul –sadar atau tidak— telah secara spontan, bersamaan, memainkan sebuah sandiwara dengan primadona: Inul. Jika semua orang menyanjung, wacana tak akan berkembang, karena tidak akan ada diskusi. Bukankah pertandingan Mike Tyson akan jadi lebih seru dan makin diserbu penonton jika sebelumnya (misalnya dalam acara jumpa pers) Tyson sempat adu bogem mentah dengan calon lawannya di atas ring resmi? Yang begitu-begitu diperlukan dalam industri tontonan.

Dr Ayu Sutarto, Dr Sam Abede Pareno, dan beberapa pakar menyatakan bahwa ada urusan yang lebih besar yang mesti kita pikirkan dalam kaitannya dengan pornografi, misalnya demikian pesatnya pertumbuhan dan peredaran VCD, buku, termasuk di dalamnya komik porno. Tetapi, kecemasan sekelompok masyarakat terhadap pengaruh goyang ngebor Inul juga patut dihargai sebagai kontrol dari masyarakat, yang, biasanya jauh lebih manusiawi daripada “kontrol” yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karenanya, marilah kita hormati para ulama yang mengimbau umatnya agar tidak menonton Inul. Wong cuma mengimbau saja kok. Atau, paling banter meminta aparat untuk membatasi aksi Inul. Kalau kemudian, misalnya, ada panitia pergelaran musik dangdut yang membatalkan kontraknya dengan Inul, bukankah itu hanya sebuah resiko yang hampir pasti dialami oleh semua artis dengan sebab yang bervariasi?

Persoalannya akan jadi lain, misalnya, jika kebencian terhadap goyang Inul itu sudah sampai pada tahap melempari Inul dengan telor busuk atau bahkan dengan batu, membakari kaset dan VCD-nya, dan semacamnya. Jika sudah demikian, itu sudah kelewat batas. Dan pada tahap inilah Inul perlu memiliki pengacara, untuk melakukan upaya-upaya hukum terhadap aksi-aksi yang menimpanya. Tetapi, sekali lagi, jika masih sebatas kecaman verbal, imbauan, dan semacamnya, itu semua justru merupakan bumbu, menambah bahan bakar roket cap bokong: Inul Daratista!

[2]

Kita akan bicara soal selera masyarakat. Goyang pantat Inul adalah produk budaya populer. Kalau dalam sastra ada istilah kitch, roman picisan, yang dalam istilah Jawa disebut sebagai crita panglipur wuyung (hiburan), ya, di sekitar situlah tempat Inul. Dengan demikian goyang ngebor ala Inul lebih merupakan “kesenangan” daripada sebagai kesenian. Atau, kalau mau dipaksakan untuk disebut sebagai kesenian ya kesenian populer itu. Bukankah sebenarnya Inul sendiri juga bangga menyebut dirinya sebagai olahragawati, tukang fitness, aerobik, dan semacamnya, sehingga punya stamina sedemikian hebat untuk menyanyi campur memutar pantatnya sedemikian seser?

Tampaknya, jika dibandingkan secara kuantitatif, sebenarnya jumlah pengecam dan penyanjung Inul sangat tidak seimbang. Jumlah penggemar Inul tampaknya jauh lebih banyak. Tentu saja harus dihitung pula mereka yang tidak berani terang-terangan menyatakan diri sebagai pengagum goyang Inul. Atau coba, buatlah dua panggung relatif berdekatan. Isi salah satu panggung itu dengan tari-tari klasik macam legong, remo, srimpi, atau bahkan karya terbaru koreografer sekaliber Sardono W Kusumo. Dan pasanglah Inul lengkap dengan jurus ngebor dan jurus molen-nya di panggung yang satunya lagi. Pastilah Inul akan jauh lebih banyak menyedot penonton. Nah, inilah salah satu jasa Inul, menunjukkan “kelas” selera masyarakat kita, sebab memang selera itu ada “kelas-kelas”-nya.

Maka, jujur sajalah jika memang selera masyarakat kita masih tergolong rendah. Lalu, kita mesti menuntut agar pendidikan, sekolah, diselenggarakan dengan cara yang seksama, dengan anggaran secukupnya yang tidak boleh dikorup para penggede seenak udel mereka. Angkatlah guru-guru kesenian yang benar-benar bermutu, dari lulusan terbaik, dan jangan mempertimbangkannya berdasarkan besar-kecilnya uang suap mereka.

Kemudian, janganlah pelajaran kesenian di sekolah-sekolah dicitrakan sebagai pelajaran kelas dua (baca: tidak begitu penting), sebab tingkat apresiasi seni/budaya para siswa akan menentukan apakah kelak mereka akan berkembang menjadi manusia, warga masyarakat yang berbudaya tinggi ataukah berselera rendah dan bermental korup seperti kakek moyang mereka.

Pendidikan yang dilaksanakan seolah hanya dengan misi mempersiapkan manusia siap kerja di era industri ini, tak kurang dan tak lebih hanya akan menghasilkan mesin-mesin, yang secara fisik sangat perkasa, tetapi secara mental sedemikian rapuh, gampang terombang-ambing oleh, misalnya, kapitalisme, atau isme-isme yang lain. Jika kita tahu dan sadar bahwa selama ini pendidikan lebih banyak melahirkan manusia-manusia perkasa secara fisik dan cerdas secara pragmatis, mengapa kita tidak memprotes pembuat kebijakan, pemerintah, dan menuntut agar pendidikan juga diselenggarakan untuk membentuk manusia-manusia yang perkasa dan cerdas sekaligus berbudaya tinggi?

Sekadar gambaran, lihatlah hutan-hutan kita yang masih saja dibakar, digunduli secara serampangan, dan ditanami tanpa perencanaan yang matang. Berkali-kali terjadi bencana, longsor, banjir. Kita selalu panik ketika longsor melanda, ketika banjir bah datang. Tetapi seolah kita tidak mau belajar dari pengalaman (masya-Allah, masih mending keledai), tetap saja menggunduli hutan secara serampangan. Nah, jangan-jangan kita termasuk orang yang ikut-ikut panik baru ketika melihat Inul memutar pantatnya sedemikian seser, tetapi tetap saja abai terhadap pendidikan yang tak meningkatkan daya apresiasi seni pada anak-anak kita.

[3]

Budi Darma menyindir para seniman, khususnya para sastrawan yang suka sok-sok-an, dengan salah satu eseinya berjudul Pemberontak dan Pandai Mendadak (Solilokui, 1982). Sekian banyak orang yang menurut Budi Darma diragukan kesenimanan/kesastrawanannya, suka bikin acara aneh-aneh, bertingkah aneh-aneh, untuk menarik perhatian publik dan diakui sebagai seniman/sastrawan, walaupun Budi Darma tidak menutup mata terhadap sejumlah sastrawan besar yang memang memiliki tingkah aneh.

Apakah boleh disebut sebagai “pemberontakan” atau tidak, tetapi Inul telah menjungkirkan “pakem” yang selama ini berlaku di pakeliran musik, khususnya musik dangdut. Kita semua tahu bahwa kualitas suara Inul tergolong kurang bagus. Sebagai penyanyi, Inul tak punya kesaktian, sebab yoni-nya justru berada di pantat, bukannya di tenggorokan.

Satu-satunya keistimewaan Inul ialah pada goyangan ngebor-nya itu. Keistimewaan itu, pada tahap biasa hanya akan mengantarkan Inul sampai pada posisi: penari latar. Tetapi, karena keistimewaan goyang ngebor-nya adalah keistimewaan yang luar biasa, jadilah Inul penari utama, yang kalau perlu diiringi penari/penyanyi latar. Jadi, di atas panggung, yang kita saksikan adalah Inul si pegoyang-ngebor yang menyanyi. Oleh karenanya, saya meragukan pernyataan Inul bahwa kalau sedang menyanyi dia tak bisa diam dan mesti bergoyang sedemikian itu. Dengan begitu Inul mengaku bahwa ia tak berbeda dengan penyanyi lain yang bergoyang ketika bernyanyi, yang menempatkan joget sebagai ilustrasi lagu yang dilantunkan. Padahal, sebenarnya, yang dilakukan Inul justru sebaliknya: ia melantunkan tembang dangdut sebagai ilustrasi goyang ngebor-nya.

Inul telah mengangkat derajat “penari” yang dalam pentas musik biasanya hanya merupakan pengiring, menjadi maskot. Dalam hal inilah Inul boleh disebut telah menjungkirkan “pakem” pakeliran musik, khususnya musik dangdut. Mungkin juga Inul akan merasa tidak enak kalau disebut sebagai “pemberontak.” Tetapi itulah kenyataannya, pemberontak dan kaya mendadak! (Bonari Nabonenar)

0 tanggapan: