Mereka yang Hilang tak Berbekas

MEREKA diculik atau menghilang, tak ada yang tahu. Sejumlah aktivis mengalami nasib itu, kejadian terakhir menimpa empat aktivis Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) Bandung yang sejak 14 Agustus lalu tidak diketahui keberadaannya. Mereka adalah Usep Setiawan (28) manajer masalah pertanahan, Anton Sulton (26) mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Bandung, Idham Kurniawan (24) dan Mohamad Hafiz Azdam (24) mahasiswa Universitas Padjajaran.


Mereka "menghilang" setelah berdemo mogok makan di Gedung MPR/DPR-saat berlangsung Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (ST MPR). Petugas medis kepolisian membawa mereka dari gedung itu, dan menurunkannya di Jalan Imam Bonjol, depan Kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU). Setelah itu mereka pun lenyap.

Pihak kepolisian pun-seperti dikemukakan Kepala Kepolisian RI Jenderal Polisi Rusdihardjo maupun Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Metro Jaya Inspektur Jenderal Polisi Nurfaizi-membantah mereka "menghilangkan" para aktivis. Sejumlah polisi di lapangan malah kebingungan atas kehilangan empat aktivis itu. Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda) Jawa Barat Inspektur Jenderal Adang Daradjatun berjanji mengusut kasus penculikan itu. Ia baru mengetahui peristiwa penculikan dari wartawan dan membantah keterlibatan aparat keamanan. "Saya akan terus usut," katanya.

Selain sejumlah alternatif kemungkinan penyebab mereka "diculik" atau "hilang" atau "dihilangkan", rasa heran pun muncul dari kalangan aktivis karena aksi aktivis Bandung itu seperti berjalan tunggal, tidak menyertakan jaringan aktivis di Jakarta. Bagaimana mungkin tidak ada aktivis lain yang mendampingi empat aktivis itu saat mereka diangkut oleh ambulans medis hingga diturunkan di Jl Imam Bonjol. Padahal aksi mogok makan mengandung resiko medis yang cukup tinggi.

Setelah kejadian baru kalangan aktivis ribut. Seorang anggota KPA, Yudi, mengaku pihaknya telah menelusuri perjalanan empat rekannya itu. Namun hasilnya nihil. "Pencarian aktivis di Menteng atas saran pihak pengamanan bernama Superintendent Jhoni dan Superintendent Aqiel," kata Yudi.

"Kami juga sudah melacak ke pelosok sampai ke tempat mereka kumpul," kata Erpan Faryadi, Sekretaris jenderal KPA Bandung. Kantor KPA di Bandung yang menjadi markas para aktivis tampak ramai dikunjungi wartawan maupun keluarga korban.
Selain tudingan berbagai kelangan bahwa penculik empat aktivis itu kalangan polisi maupun tentara-kesatuan resmi maupun tidak-Erpan malah memastikan keempat rekannya diculik kelompok tertentu yang tidak menginginkan pembaharuan agraria. Kelompok itu termasuk mereka yang kategori para pengusaha "lapar tanah" dan para pejabat.

Menurut Erpan indikasi penculikan itu sendiri secara bertahap mulai terungkap, hal itu bisa dilihat dari aksi teror dan pencurian di rumah Usep Setiawan. "Di samping kehilangan pesawat televisi dan perhiasan emas 30 gram, dokumen sengketa tanah di Jawa Barat yang disimpan Usep turut dijarah," katanya.

KPA Bandung yang didirikan tahun 1995 masih bisa dibilang "baru" di masyarakat Kota Bandung. Belakangan sepak terjang KPA, melalui aksi demo bersama petani cukup mendapat perhatian khalayak. KPA memang menginginkan adanya suatu pembaharuan dari hukum agraria yang menurut Sekjen KPA Erpan Faryadi, tidak relevan lagi dengan kondisi masyarakat Indonesia. Peluang terjadinya manipulasi dan monopoli lahan tidak bisa dibendung dengan undang-undang tersebut.

KPA mencatat hampir sebagian besar tanah-tanah di Indonesia bermasalah terutama lahan dikuasai rakyat kecil. Perampasan lahan petani juga terus terjadi, sementara undang-undang tidak menjamin secara konkret perlindungan terhadap tanah rakyat.

KEMISTERIUSAN hilangnya aktivis mulai terjadi di masa Orde Baru dan sampai sekarang masih belum terungkap. Juga menimpa penyair Wiji Thukul (37), yang hingga kini tidak jelas keberadaannya. Kekejaman kalian/adalah buku pelajaran/ yang tidak pernah ditulis. Wiji menuliskan itu pada sebuah kumpulan sajak berjudul Sajak Bawah Tanah, yang beredar luas di kalangan aktivis dan komunitas sastra. Penggalan puisi di atas sebenarnya mengungkapkan cerita, ketika di tengah pelariannya Wiji Thukul mendengar berita bahwa aparat keamanan telah mengobrak-abrik rumah kontrakannya di Kampung Kalangan, Solo. Aparat juga menyita buku-buku milik Thukul. Tindakan represif itu dilakukan di depan mata anak-anaknya yang masih kecil. Akan tetapi ia justru "berterimakasih", karena aparat memberi "pelajaran" berharga kepada anak-anaknya tentang bengisnya penguasa.

Menurut Ny Diah Sujirah alias Sipon (33), istri Thukul, Jumat (25/8), sajak dalam kumpulan puisi itu merupakan karya terakhir suaminya yang pernah dia ketahui.

Thukul meninggalkan keluarganya yang hidup dalam kemiskinan, awal Agustus 1997, sekitar sepekan setelah insiden penyerbuan kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58, Jakarta, 27 Juli 1997. "Aku mau pergi dulu. Kalau nanti sudah aman, aku akan kembali," demikian kalimat perpisahan yang sempat disampaikan kepada Ny Sipon dan kedua anaknya, Fitri Nganti Wani (11) dan Fajar Merah (6).

Sejak itu, Thukul tak pernah kembali. Sampai hari ini, tak ada yang tahu nasibnya. Dua pekan setelah ia pergi, seorang kurir mengabarkan, penyair pelo (cedal) itu selamat dan tengah bersembunyi di Kampung Semanggi, masih di Kota Solo.

Kontak terakhir Ny Sipon dengan suaminya terjadi awal Februari 1998. Thukul mengabarkan dirinya tinggal di Jakarta, tetapi pembicaraan hanya singkat. Setelah itu, Wiji Thukul seperti ditelan bumi. Ada kabar burung, ia melarikan diri ke Sumatera, bahkan ada yang bilang ke Australia. Namun semua tak ada buktinya.

Sebenarnya, apa yang terjadi pada penyair Aku Ingin Menjadi Peluru itu? Apakah benar dia menjadi korban penculikan oleh aparat keamanan dari penguasa Orde Baru? Ataukah, ia dalam pelarian tak berkesudahan, bersembunyi di suatu tempat, lantaran dibayangi ketakutan akan ancaman pihak keamanan yang akan menangkapnya?

Kalaupun kemungkinan terakhir itu yang terjadi, apakah situasi sekarang ini masih belum berubah? Apakah paradigma aparat keamanan dan penguasa masih sami mawon - sekalipun di bibir terdengar manis?

Apakah benar, penerima penghargaan Wertheim Encourage Award dari Wertheim Stichting Belanda itu "dihabisi" oleh para penculiknya? Apa sebenarnya kesalahan dan dosa Wiji Thukul?

Sejauh pengakuan Ny Sipon, suaminya itu semata-mata adalah seorang penyair yang menghidupi keluarganya sehari-hari dengan bekerja sebagai tukang pelitur mebel. "Kalau soal keterlibatannya dalam masalah politik, saya tidak tahu," kata Ny Sipon.

Karena itu, Thukul dan keluarganya kaget sewaktu menyaksikan siaran di layar TV (swasta) mengabarkan nama Wiji Thukul termasuk orang yang menjadi target operasi untuk ditangkap pihak aparat keamanan. Yang menyampaikannya adalah Kassospol ABRI Letjen TNI Syarwan Hamid sendiri, ditayangkan 28 Juli 1997.

Thukul, ungkap Ny Sipon, mengaku tak habis mengerti kenapa dirinya mendadak menjadi buruan. "Ini jelas fitnah! Saya tak merasa melakukan apa-apa," kata Thukul seperti dikutip istrinya.

Fitnah atau bukan, situasi saat itu memaksa Thukul untuk pergi menyelamatkan diri dan hingga kini tidak jelas keberadaannya. Apakah dia menghilang, diculik atau menyembunyikan diri. Setelah itu semuanya hanya menyisakan sejumlah pertanyaan tak terjawab. [zal/pin/asa]

Kompaas-Minggu, 27 Agustus 2000

0 tanggapan: