GOENAWAN Mohamad, usai menghadiri peluncuran buku 100 Puisi Indonesia Terbaik 2008 dan 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2008 di toko buku Gramedia, Mataram, Jakarta, Rabu (5/3), mengatakan, ”Kini telah muncul dua buku yang memudahkan orang mendapatkan karya sastra terbaik Indonesia.”
Dengan alasan berbeda, kritikus Radhar Panca Dahana dalam diskusi buku yang dipersembahkan Anugerah Sastra Pena Kencana dan diterbitkan Gramedia Pustaka Utama itu berkata senada. ”Meski kelahiran buku ini menimbulkan kontroversi dan risiko, saya menyambut baik Anugerah Sastra Pena Kencana dan juri yang berani mengklaim telah menemukan karya terbaik Indonesia. Saya membayangkan akan ada lembaga lain yang mengklaim menemukan karya terbaik sehingga kian banyak versi.”
Namun sastrawan K Usman mengkritik penggunaan kata ”terbaik” dalam buku berisi karya terbaik dari 12 media Indonesia pilihan juri Budi Darma, Sapardi Djoko Damono, Ahmad Tohari, Apsanti Djokosujatno, Sitok Srengenge, Joko Pinurbo, dan Jamal D Rahman itu. ”Terbaik itu ya hanya satu. Gunung tertinggi di dunia ya cuma Mount Everest, bukan yang lain. Nah, buku ini kok terbaiknya lebih dari satu?” ujar Usman.
”Apa boleh buat, dengan membaca buku ini, terutama 100 Puisi Indonesa Terbaik, saya menyimpulkan telah terjadi deintelektualisasi puisi. Tak ada penyair yang berani melakukan pembaruan,” kata penyair Binhad Nurrohmat.
Benarkah terjadi kekeliruan besar dalam penerbitan buku itu? Benarkah ”imperium lirik” yang dipelopori Sapardi Djoko Damono, sebagaimana diungkapkan Radhar, tak bisa ditumbangkan?
”Eksperimen selalu melahirkan risiko. Kecuali Sutardji, rasanya tak ada eksperimen puisi yang berhasil di negeri ini. Jadi apa salahnya para penyair meneruskan tradisi penulisan yang sudah baik,” kata Jamal D Rahman, pembicara acara itu.
Unik
”Di berbagai belahan dunia lain, kumpulan puisi atau cerpen terbaik tak hanya satu. Istilah the best short stories juga digunakan di Amerika. Soal apakah terjadi keseragaman dalam berpuisi, saya kira tidak sepenuhnya benar,” ujar Sapardi dalam forum yang dihadiri tak kurang dari 200 pemerhati sastra dan diramaikan dengan pembacaan karya oleh Rieke Dyah Pitaloka itu.
Dia menyatakan setiap puisi memiliki keunikan. “Memang tak ada yang sama sekali baru. Itu tak jadi soal. Sesuatu yang sama sekali baru justru tak akan terbaca atau tak dikenali pembaca. Dalam puisi, selalu ada tradisi penyair pendahulu yang diteruskan para penyair kemudian.”
Apa alasan di balik penganugerahan sastra itu? ”Pemberian hadiah Rp 50 juta untuk cerpen terbaik dan Rp 50 juta untuk puisi terbaik tak lain untuk memartabatkan sastra dan sastrawan. Kapan lagi sastrawan dihargai jika tidak sekarang? Dan yang penting, kami juga memberikan hadiah total Rp 50 juta untuk pembaca yang beruntung. Jadi, jika ingin dapat hadiah, segera cari buku ini, segera beli buku ini,” kata sastrawan Triyanto Triwikromo, direktur program penghargaan itu.
Nugroho Suksmanto, penggagas penghargaan itu, menyatakan jika bisa ingin menjadikan program itu sebagai waralaba dan kemudian bisa membuat the best untuk tingkat dunia. “ Jadi, setiap tahun dimungkinkan hadiah bertambah,” ujar pengarang Petualangan Celana Dalam itu. (Benny Benke-53)
[Suara Merdeka ][HIBURAN & SENI][08 Maret 2008]
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar