Buntut Kasus PIM, Menbudpar Dilaporkan ke Polisi

MOJOKERTO, JUMAT--Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar), Jero Wacik, akan dilaporkan ke Markas Besar (Mabes) Kepolisian Republik Indonesia (Polri) terkait Pembangunan Pusat Informasi Majapahit (PIM) yang dinilai merusak cagar budaya. "Kami akan melaporkan Menbudpar selaku penanggung jawab penuh proyek PIM yang dinilai telah melanggar undang-undang," kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia, Faisal Mahmud, saat melakukan kunjungan ke lokasi PIM di Mojokerto, Jawa Timur, Kamis.

Ia menganggap Mendbudpar melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya.

"Perusakan situs Majapahit bukan hanya menyangkut pencitraan Indonesia, melainkan kelanjutan warisan nenek moyang, seperti benda cagar budaya yang keberadaannya tidak tergantikan uang yang diperoleh dari kegiatan pariwisata," katanya.

Pihaknya menjamin dalam waktu dekat ini akan melaporkan Mendubpar kepada Mabes Polri. "Kami akan segera melaporkan Mendubpar kepada Mabes Polri seteleh melakukan konsultasi dengan pimpinan dewan terlebih dahulu," katanya.

Lebih lanjut Faisal mengatakan, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.

Menurut dia, pemerintah perlu segera merehabilitasi dan merelokasi bangunan ke lokasi lain.

"Intinya Departermen Kebudayaan dan Pariwisata harus bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi pada situs di Trowulan ini. Karena situs ini merupakan aset negara yang tidak tergantikan," katanya.

Dalam kunjungan hadir pula beberapa orang anggota DPD RI lainnya, seperti Nuruddin Arrahman dari Jawa Timur, Ali Warsito dari Yogyakarta, Nani Tuloli dari Gorontalo, Rusli Rachman dari Bangka Belitung, dan Ida Bagus Agastia dari Bali.(ANT)

JY
Sumber: Kompas, Jumat, 30 Januari 2009 | 01:56 WIB

Hari Ibu, Masihkah Perlu

Di negeri ini, perempuan dijunjung setinggi langit. Dalam setahun, diperingati dua hari perempuan. Yakni, Hari Kartini tiap 21 April dan Hari Ibu tiap 22 Desember. /Kaum lelaki mungkin sempat cemburu dengan konstruksi simbol seperti itu. Namun, semua pasti juga sadar mengapa tidak perlu ada hari untuk lelaki. Kedudukan lelaki dalam stratifikasi sosial memang sudah mapan. Pendapat umum menempatkan suami sebagai kepala rumah tangga. Hal tersebut bersumber dari ajaran agama dan nilai-nilai feodalisme masa pemerintahan kerajaan di Nusantara.

Meski masyarakat Indonesia telah mengalami transformasi sosial cukup panjang setelah kemerdekaan 1945, harus diakui bahwa persepsi sosial tentang peran perempuan belum terlalu berubah. Bila seorang lelaki sukses dalam karir, bisnis, atau politik, hal itu dianggap biasa.

Sebab, ekspektasi masyarakat terhadap kaum lelaki memang menuntut hal demikian. Lelaki harus bertanggung jawab atas kehidupan dan penghidupan rumah tangga. Hukum menafkahi keluarga bagi suami adalah wajib. Sedangkan bagi istri, mencari nafkah hanya sunah. Maka, istri yang sukses dalam bidang tertentu dianggap luar biasa. Orang pun biasa berkomentar, "Siapa ya suaminya. Dia bisa sukses pasti karena suaminya mengalah!"

Masyarakat masih mengonstruksikan bahwa perempuan bukan individu mandiri. Semua yang dilakukan istri bergantung atau ditentukan oleh lingkungan. Bila lingkungan kondusif, muncul peran perempuan yang melampaui sektor-sektor yang telah dikotakkan oleh tradisi.

Perempuan baru bisa keluar dari sektor domestik bila mendapatkan izin dari lingkungan. Meski pemikiran tentang emansipasi perempuan senantiasa diaktualisasi tiap April, demikian pula pemberdayaan perempuan yang telah menjadi judul program dalam jutaan proposal, belum seluruh image konco wingking dan stigma sektor domestik hilang.

Bahkan, ketika pemerintah merasa perlu mengurusi secara khusus masalah perempuan dalam Kementerian Urusan Wanita, persepsinya justru terbalik. Itu justru menunjukkan bahwa perjuangan secara kultural untuk keluar dari bingkai domestik masih membutuhkan sokongan politik.

Begitu juga ketika Undang-Undang (UU) Pemilu menetapkan kesertaan perempuan di parlemen pada angka 30 persen. Hal tersebut mengukuhkan bahwa partisipasi perempuan dalam sektor politik harus dibantu dengan regulasi khusus. Pemberdayaan perempuan terkesan masih akibat belas kasihan.

Kini, ketika perempuan didorong untuk keluar dari sektor domestik, kita dihadapkan pada ekspektasi lain. Yakni, menjadi seorang "ibu". Dikukuhkannya 22 Desember sebagai Hari Ibu menunjukkan bahwa ekspektasi itu merupakan sebuah konsensus kolektif, konsensus politik nasional.

Lepas dari keteladanan yang diberikan oleh Dewi Sartika (ikon Hari Ibu) konotasi tentang ibu bertolak belakang dengan semangat emansipasi. Bila emansipasi mendorong keluar dari sektor domestik untuk masuk ke sektor publik, konsep ibu sebaliknya. Ketika seseorang mendefinisikan ibu, yang muncul di benaknya adalah sosok perempuan bersuami yang punya anak dan suntuk mengurus rumah tangga seraya mendorong suami untuk maju.

Konsep ibu menjadi beban moral karena selalu dikaitkan dengan keberhasilan membentuk karakter sebuah generasi. Bila ditemukan anak melakukan kenakalan, biasanya yang disalahkan adalah sang ibu. Sang ibu dianggap tak mampu mendidik dengan baik. Kesannya, Hari Ibu merupakan rem semangat Hari Kartini.

Hari Ibu, menurut saya, justru menjadi ambigu dari tranformasi dan gerakan sosial kita yang diinspirasi oleh gagasan emansipasi perempuan. Bukan berarti posisi kaum ibu tidak penting. Kita mesti tetap menggelorakan pentingnya peran ibu bagi perempuan Indonesia.

Gerakan emansipasi perempuan, menurut saya, tidak bisa digeneralisasi kepada setiap individu. Sebab, ada banyak perbedaan karakteristik dan kualitas perempuan di Indonesia, baik tingkat pendidikan maupun pengalaman.

Karena itu, gerakan emansipasi (keluar dari sektor domestik) mesti dilihat sebagai sebuah pilihan. Bagi kalangan yang mampu dan mau, pintu emansipasi dibuka lebar. Sedangkan kalangan yang belum mampu dan tidak mau tidak bisa dipaksa. Sebab, bila gerakan itu dipaksakan, yang muncul hanya mobilisasi artifisial belaka. Dengan demikian, gerakan emansipasi mestinya bersifat parsial dan gradual. Bila kemajuan yang dicapai perempuan Indonesia sudah merata, baru emansipasi akan menyeluruh.

Agar gerakan emansipasi perempuan tidak tersendat, apakah tidak sebaiknya dipertanyakan, masihkah kita membutuhkan Hari Ibu? (soe)

Fany Setyawati
Koordinator Sarinah, lembaga pemberdayaan perempuan di Jatim

Sumber: Jawa Pos, Sabtu, 20 Desember 2008

Perbedaan Fatwa, Wacana, dan Vonis

Oleh A. Mustofa Bisri

Wacana, secara garis besar menurut kamus (KBBI), bermakna ucapan; perkataan; tutur atau keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan. Sebagai contoh, ungkapan seperti, ''Masalah ini baru merupakan wacana", berarti baru merupakan tuturan.


Wacana berbeda dengan fatwa, yang menurut kamus berarti: jawab (keputusan, pendapat) yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah; atau secara kiasan: nasihat orang alim; pelajaran baik; petuah. Dan lebih berbeda lagi dengan vonis, yang berarti putusan hakim atau hukuman.

Dalam kitab-kitab fikih, mufti, pemberi fatwa, dibedakan dengan hakim. Mufti hanya memberikan informasi kepada dan sesuai pertanyaan si peminta fatwa. Sementara hakim memutuskan hukuman setelah mendengarkan berbagai pihak seperti penuntut, terdakwa, dan saksi-saksi. Berbeda dengan putusan hakim, fatwa tidak memiliki kekuatan memaksa. Tidak mengikat kecuali bagi si peminta fatwa.

Itu pun dengan beberapa catatan, antara lain, bila si peminta fatwa hanya mendapat fatwa dari satu pihak/pemberi fatwa dan fatwa yang diberikan sesuai dengan kemantapan hatinya. Apabila ada dua pihak yang memberi fatwa dan berbeda, maka dia mengikuti fatwa yang sesuai dengan kata hatinya. Ini didasarkan kepada hadis Nabi Muhammad SAW, Istafti qalbak/nafsak wain aftaaka an-naas... (Mintalah fatwa hati nuranimu meski orang-orang sudah memberimu fatwa...).

Istilah Perlu Dijelaskan

Istilah-istilah itu -seperti banyak istilah lainnya- perlu dijelaskan, pertama, karena kenyataan membuktikan bahwa di negeri ini banyak sekali istilah yang karena tidak pernah dijelaskan, hanya asal diucapkan, telah membuat silang-sengkarut, bahkan silang-sengketa yang berkepanjangan. Kedua, semakin merajalelanya wacana tentang dan fatwa MUI. Ketika wacana, misalnya, dianggap fatwa atau vonis, maka akan -bahkan sudah sering- memunculkan tidak hanya wacana tandingan, tapi fatwa atau bahkan vonis, penghukuman. Penghukuman ini pun sering dilakukan oleh pihak yang tidak berhak menghakimi. Karena ketidaktahuan tentang apa itu fatwa, misalnya, terbukti menimbulkan ''vonis'' serampangan yang sangat bodoh dan konyol.

Kemarin orang ramai membicarakan wacana mengenai fatwa-fatwa MUI. Sekarang setelah ijtimaknya di Padang Panjang usai, ramai -dan untuk beberapa waktu insya Allah akan terus ramai- dibicarakan mengenai fatwa MUI mengenai hukum rokok, golput, yoga, dsb.

Sejak didirikan pemerintah Orde Baru, dulu MUI hanya melayani permintaan fatwa dan untuk kepentingan pemerintah. Namun sejak isu lemak babi, popularitas MUI terus melejit. Lemak babi telah mendorong MUI memulai era barunya, mengembangkan ''usaha''-nya.

Demi melindungi masyarakat muslim Indonesia dari terkena lemak babi atau hal-hal haram lainnya, MUI melakukan penelitian terhadap produk-produk yang akan dikonsumsi masyarakat. MUI pun laris manis. Permintaan sertifikat halal berdatangan dari perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik.

Karena untuk mengeluarkan sertifikat, MUI perlu melakukan penelitian-penelitian dan penelitian-penelitian membutuhkan biaya yang tidak sedikit; sedangkan dana MUI terbatas, maka saya pernah mengusulkan mbok Label Halal diganti saja dengan Label Haram. Pasalnya, yang haram hanya sedikit dan yang halal terlalu banyak. Pikir saya, nanti merepotkan MUI sendiri.

Makin Pede

Begitulah, lama-lama MUI semakin pede, semakin giat dan rajin berfatwa. Pesanan fatwa pun semakin meningkat, tidak hanya dari pihak pemerintah. Apalagi sejak fatwa spektakulernya tentang aliran sesat yang dampaknya luar biasa dahsyat, dari sekadar memunculkan wacana-wacana hingga aksi-aksi penghakiman.

Misalnya, mereka yang tidak paham perbedaan fatwa dan vonis, sekaligus tidak terdidik hidup berbudaya Islami pun menjadikan fatwa sesat MUI itu sebagai dalil pembenar untuk melakukan vonis alias menghakimi sendiri siapa yang mereka anggap beraliran sesat.

MUI pun akhirnya menjadi lembaga yang menakutkan. Tidak heran jika wakil presiden sampai berpesan dalam pembukaan Ijtimak Komisi Fatwa MUI kemarin, agar MUI jangan mengeluarkan fatwa yang meresahkan dan menjadi ketakutan baru, tapi menjadi solusi (JP, Minggu 25 Januari 2009).

Sebetulnya, resah dan takut tidak perlu terjadi seandainya semua orang memahami betul makna ketiga istilah yang dari awal coba saya jelaskan itu. Jangankan wacana, fatwa saja bukanlah sesuatu yang harus dipahami atau disikapi sebagai vonis. Tidak saja karena hal itu bertentangan dengan pengertian bahasa, tapi juga menyalahi pengertian secara istilahi.

Fatwa sendiri dalam istilah agama atau -sempitnya: fikh- mirip dengan pengertian bahasanya. Jawab mufti terhadap masalah keberagamaan. Dulu fatwa memang diminta dan diberikan mufti secara perorangan. Mufti yang boleh ditanya dan memberikan fatwa ialah orang yang memenuhi kriteria tertentu.

Tidak sembarang orang, misalnya, pensiunan pegawai tinggi Depag tidak bisa dijadikan ukuran. Para ulama berbeda mengenai rincian kriteria mufti, ada yang ketat, ada yang agak longgar. Ada yang mensyaratkan mufti harus mujtahid. Ada yang sekadar menyatakan -seperti Imam Malik- bahwa orang yang alim tidak seyogianya memberikan fatwa, sampai dia tahu bahwa orang melihatnya pantas memberikan fatwa dan demikian juga dirinya sendiri merasa pantas.

Secara garis besar, semua menyepakati bahwa yang diperkenankan diminta dan memberi fatwa hanyalah mereka yang memang ahlinya.

Fatwa, menurut para ulama, juga ada etikanya. Misalnya, mufti tidak boleh tergesa-gesa memberikan fatwa. Ibn Qayyim, misalnya, dalam salah satu kitabnya menyatakan, ''Dulu ulama salaf, para sahabat nabi dan tabi'ien, tidak suka cepat-cepat memberikan fatwa. Masing-masing mereka justru mengharap fatwa diberikan oleh selain dirinya.

Apabila sudah jelas bahwa fatwa itu harus diberikan olehnya, maka dia pun akan mengerahkan segala tenaga dan pikiran untuk mengetahui hukum masalah yang dimintakan fatwa itu, dari kitab Quran, Sunnah Rasulullah SAW, pendapat Khalifah Rasyidin.

Menurut Imam Ahmad Ibn Hanbal, mufti tidak boleh menjawab apa saja yang ditanyakan kepadanya. Dan orang tidak boleh mengajukan dirinya untuk memberikan fatwa kecuali telah memenuhi 5 (lima) hal. Pertama, dia mempunyai niat yang tulus lillahi ta'alaa. Tidak mengharapkan kedudukan dan sebagainya.

Kedua, dia berdiri di atas ilmu, sikap lapang dada, anggun, dan tenang. Karena bila tidak demikian, dia tidak bisa menjelaskan hukum-hukum agama dengan baik.

Ketiga, dia harus kuat pada posisinya dan pengetahuannya. Keempat, kecukupan. Mufti harus cukup. Bila tidak, akan membuat tidak senangnya masyarakat. Sebab, bila mufti tidak memiliki kecukupan, dia akan membutuhkan masyarakat dan mengambil (materi) dari tangan mereka. Masyarakat akan merasa dirugikan.

Kelima, mufti harus mengenal masyarakat. Artinya, dia harus tahu kejiwaan si peminta fatwa dan mengerti benar pengaruh fatwanya dan tersebarnya di masyarakat.

Karena fatwa intinya adalah kemaslahatan masyarakat, maka menurut Imam Syatibi, mufti yang mencapai derajat puncak adalah mufti yang membawa masyarakat ke kondisi tengah-tengah seperti yang dikenal masyarakat. Tidak menempuh aliran yang keras dan tidak yang terlalu longgar.

Wallahu a'lam.

H A. Mustofa Bisri, pengasuh Pesantren Roudlatut Talibin, Rembang

Sumber: Jawa Pos Rabu, 28 Januari 2009

Mengharamkan Golput Lebih Bermasalah

Oleh Hasibullah Satrawi

Sidang Komisi Fatwa III Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia yang berlangsung di Padang Panjang, Sumatera Barat, 23-26 Januari 2009, mengeluarkan fatwa haram terhadap golput. Sebagaimana telah diprediksi sebelumnya, fatwa haram golput tersebut melahirkan kontroversi di tengah-tengah masyarakat luas.


Sebagian beranggapan bahwa fatwa haram seperti itu dibutuhkan untuk mengoptimalkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan umum (pemilu). Di mana pemilu merupakan momentum akbar bagi masyarakat untuk menentukan pemerintahan ke depan.

Sedangkan sebagian yang lain beranggapan bahwa fatwa haram seperti itu tidak dibutuhkan. Sebab, memilih atau tidak adalah hak bagi masyarakat, bukan kewajiban. Terlebih lagi bila golput dilakukan sebagai kritik atas semua calon pemimpin yang dianggap tidak layak.

Pertanyaannya, di manakah letak persoalan golput? Tak dapat disangkal, golput adalah persoalan penting yang harus diperhatikan banyak pihak. Golput terkait langsung dengan sebuah pemerintahan yang akan dibentuk melalui pemilu. Sedangkan pemerintahan atau kepemimpinan adalah hal mutlak dalam kehidupan.

Dua Pandangan Ekstrem

Pertanyaan berikutnya, bagaimana Islam merespons persoalan politik seperti itu? Jawaban atas pertanyaan di atas tidak bisa dilepaskan dari relasi Islam dan politik. Dalam khazanah pemikiran Islam, setidaknya, ada dua pandangan ekstrem terkait dengan wacana relasi Islam dan politik.

Pertama, pandangan yang mengatakan Islam tidak bisa dipisahkan dari politik. Islam dan politik saling berhubungan; Islam tidak dapat dipisahkan dari politik dan politik tidak dapat dipisahkan dari Islam. Pandangan inilah yang kemudian menjadi basis pemikiran bagi gerakan politik Islam.

Fatwa haram golput yang dikeluarkan MUI seperti di atas tak lain adalah buah dari pandangan yang menyatukan Islam dengan politik tersebut. Melalui pandangan seperti itu, golput sebagai persoalan politik terasa begitu dekat dengan Islam. Dan Islam yang dipahami tidak bisa dilepaskan dari politik mempunyai kewajiban untuk merespons persoalan golput. Hingga ada solusi islami bagi persoalan tersebut.

Kedua, pandangan yang mengatakan Islam harus dipisahkan dari politik. Dalam pandangan ini, Islam terlalu suci untuk dicampuradukkan dengan politik yang telanjur identik dengan perbuatan kotor dan tidak terpuji. Oleh karena itu, fatwa haram atas persoalan politik (seperti golput) adalah ''langkah menyeberang" yang terlalu jauh. Di mana langkah ini acapkali menenggelamkan Islam (sebagai agama) ke dalam jurang politik yang sarat kecurangan dan keburukan.

Jalan Tengah

Menurut hemat saya, harus ada pemikiran yang bisa menjembatani dua pemikiran ekstrem di atas. Adalah benar bahwa Islam tidak bisa dipisahkan dari politik (sebagaimana dikatakan kelompok pertama), karena faktanya kebesaran Islam tidak bisa dipisahkan dari kerja-kerja politik. Juga benar bahwa Islam tidak identik dengan politik (sebagaimana dikatakan kelompok kedua), karena faktanya Islam (secara normatif) tidak ada sangkut pautnya dengan politik.

Tetapi, Islam tak dapat dikatakan identik dengan politik. Juga tak dapat dikatakan Islam terpisah dari politik. Islam tidak identik dengan politik, tapi juga tidak bisa dipisahkan dari politik.

Politik tidak pernah menjadi doktrin pokok dalam Islam. Baik itu dalam bentuk rukun Islam maupun rukun iman. Walau demikian, Islam sangat memperhatikan kekuasaan dan perpolitikan.

Bahkan, Islam mempunyai ajaran-ajaran luhur yang dapat digunakan dalam perpolitikan dan kekuasaan, seperti sifat amanah, kejujuran, bertanggung jawab, dan lain sebagainya.

Kalau boleh diistilahkan, ajaran Islam yang terkait dengan perpolitikan dan kekuasaan masuk kategori ''norma kondisional" (at-ta'aalim az-zamaniy). Sedangkan ibadah dan muamalah sosial masuk dalam kategori ''norma fundamental" (at-ta'aalim al-ushuliy). Dalam konteks norma kondisional, Islam menggunakan pendekatan penyadaran. Sedangkan dalam konteks norma fundamental (seperti rukun Islam dan iman), Islam menggunakan pendekatan hukum yang sarat pewajiban dan larangan (al-wajib wa al-haram atau al-halal wa al-haram).

Itulah sebabnya, para ulama terdahulu menggunakan istilah haram dan wajib dalam konteks ibadah dan muamalah sosial. Di mana dua istilah itu mempunyai konotasi pahala/dosa dan keselamatan/celaka yang bersifat ukhrawi. Sedangkan dalam konteks kekuasaan dan perpolitikan, dua istilah tersebut relatif tidak digunakan.

Secara normatif, hal itu dapat dipahami. Sebab, ajaran-ajaran tentang ibadah dan muamalah sosial bersifat kamaliy atau niha'iy (sempurna). Dalam Alquran disebutkan, al-yauma akmaltu lakum dinakum.... yang secara harfiah dapat diartikan, hari ini Aku (Allah) sempurnakan agama kalian.

Hal itu berbeda dengan perpolitikan dan kekuasaan yang bercorak istimroriy (berkelanjutan). Di mana suatu perkembangan tertentu mengalami perbedaan dengan perkembangan yang lain. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa Islam tidak membakukan suatu prosedur politik atau kekuasaan tertentu. Padahal, Islam sangat menekankan perihal urgensi politik atau kekuasaan dalam kehidupan.

Pada tahap ini, fatwa haram golput MUI menjadi persoalan yang tak kalah serius daripada golput itu sendiri. Selain karena fatwa tersebut menggunakan pendekatan hukum (haram atau halal) dalam persoalan politik yang terus bergerak, juga karena menggunakan istilah fatwa yang berkonotasi kolektif dan masif. Persoalan golput seharusnya diselesaikan dengan pendekatan penyadaran, bukan hukum!

Hasibullah Satrawi, peneliti pada Moderate Muslim Society (MMS) Jakarta

Sumber: Jawa Pos, Rabu, 28 Januari 2009

MUI; Masihkah Independen?

Oleh: Thoriq

Menyikapi fatwa MUI, muncul anekdot di masyarakat. Misalnya, tentang fatwa rokok haram. Pastilah umat Islam akan menghindari rokok karena itu syarat untuk masuk surga. Namun, umat Islam Indonesia akan kaget jika di surga nanti bertemu saudara sesama muslim dari negara lain. Akan muncul pertanyaan, "Kok dia masuk surga, padahal di negaranya, rokok yang katanya haram masih dikonsumsi?"


Dalam kurun waktu terakhir, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan beberapa fatwa yang mengatur kehidupan masyarakat. Nilai positif yang muncul, MUI menunjukkan ketegasannya. Entah ketegasan itu bermakna sebuah eksistensi kelembagaan atau yang lain. Kekhawatiran pun muncul jika fenomena itu hanya spontanitas dalam merespons realitas kehidupan sosial. Artinya, kebijakan tersebut muncul hanya sebagai pendukung. Bukan berdasar doktrin agama yang ada.

Fatwa haram untuk golput pada pemilu mendatang, misalnya, ibarat asap, yang tidak akan muncul jika tidak ada api. Fatwa itu muncul untuk merespons sikap masyarakat pada pesta demokrasi mendatang. Ditengarai, masyarakat bakal abstain pada pemilu tersebut. Dari situlah, MUI mengeluarkan fatwa golput haram.

Anehnya, hanya MUI yang mengeluarkan fatwa itu. Tidak tahu mengapa, yang jelas, organisasi keagamaan lain tidak mengeluarkan fatwa apa pun untuk merespons ancaman golput.

Belum selesai kontroversi fatwa golput haram, MUI di beberapa daerah mengeluarkan fatwa rokok haram. Esensi fatwa tersebut juga diragukan. Dalam lingkungan pesantren, hampir semua kiai lekat dengan budaya merokok. Hal itu ditiru santri yang mengaji di lembaganya. Bukan hanya kebiasaan, tetapi sampai pada jenis rokok yang diisap, akan menjadi panutan santri. Realitas ini menjadi dasar keraguan atas fatwa MUI tentang rokok haram.

Seperti halnya fatwa golput haram, fatwa rokok haram pun memiliki tujuan tersendiri. Salah satunya, program kawasan tanpa rokok (KTR). Di lingkungan pemerintahan, program KTR sudah menjadi perda. Seperti Surabaya yang menjadikan beberapa kawasan bebas rokok. Di antaranya, sarana ibadah, sarana pendidikan, tempat bermain yang banyak anak kecil, serta rumah sakit. Bisa jadi, fenomena itulah yang mendorong MUI mengeluarkan fatwa.

Konsep Hukum Menurut Islam

Sudah jelas bahwa fatwa MUI dalam kurun terakhir adalah untuk merespons fenomena yang terjadi di masyarakat. Dalam konsep maqassid syar'i (pembentukan hukum), hukum terbentuk atas dasar peristiwa yang terjadi di masyarakat. Kemudian, dikiaskan dengan peristiwa yang terjadi pada zaman dahulu sehingga diketahui dasar hukumnya.

Hal itu dilakukan karena apa yang terjadi saat ini tidak selamanya ada dalam Alquran dan hadis. Dengan demikian, manusia sering merasa kesulitan menentukan status hukum suatu peristiwa. Jalan keluarnya, diambil metode kias. Yaitu, menyamakan fenomena saat ini dengan peristiwa yang ada status hukumnya.

Golput merupakan istilah baru, tidak disebutkan di zaman dahulu. Bahkan, dalam Alquran tidak ada kajian yang menyinggung tentang golput. Yang tertera hanya anjuran untuk menaati Allah, Rasulullah, dan pemimpin yang bertakwa (QS: An Nisa: 59). Bukan larangan, masyarakat tidak memilih calon pemimpin yang ikut dalam pemilu.

Namun, yang menjadi pijakan ialah umat Islam taat pada perintah pemimpin negara. Salah satunya, menyampaikan suara pada pemilu mendatang. Pertanyaan yang muncul, sudahkah pemimpin kita sesuai kriteria manusia bertakwa sehingga harus ditaati perintahnya?

Begitu juga dengan fatwa rokok haram. Jika ditarik aspek manfaat dan tidaknya, kontradiksi muncul. Ilmu kesehatan menyatakan bahwa rokok merupakan racun kehidupan. Namun, dari aspek ekonomi, rokok mampu menyumbang pendapatan negara.

Selain itu, industri rokok bisa menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Karena itu, keberadaan rokok di Indonesia perlu dipertimbangkan dari segi perbandingan antara aspek manfaat dan mudarat.

Dari dua contoh tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa fatwa yang muncul dari MUI belum mewakili status hukum yang didasarkan pada doktrin agama. Yang ada hanyalah sikap masyarakat yang dipengaruhi aspek tertentu. Padahal, dalam berijtihad, kemandirian (independensi) sangat dijunjung tinggi.

Harus Independen

Dalam mengeluarkan fatwa, MUI harus mempertimbangkan segala aspek. Bukan hanya merespons suatu fenomena sehingga muncul peraturan yang terkesan emosional. Seperti dua fatwa di atas, yakni merespons ancaman golput dan mewujudkan KTR di Indonesia. Sementara Islam tidak hanya diterapkan di Indonesia.

Perlu diingat, produk hukum yang dihasilkan MUI harus selalu didasarkan pada Alquran dan hadis. Sebagai pendukung, beberapa kaidah fikih dan usul fikih pun harus menjadi bahan pertimbangan. Jangan sampai kaidah politik, fenomena sosial, dan tendensi sebuah kelembagaan menjadi pertimbangan. Sebab, itu akan menjadikan MUI sebagai motor sebuah kepentingan untuk mencapai tujuannya.

Yang seharusnya dilakukan MUI, menyikapi fenomena yang berkembang dan menetapkan sebuah aturan yang bermanfaat bagi semuanya. Bukan pada saat-saat tertentu dan golongan tertentu. Wallahu a'lam bisshowab.

Thoriq , wartawan Jawa Pos

Sumber: Jawa Pos, Kamis, 29 Januari 2009

Fatwa MUI Setengah Hati

Oleh: Saratri Wilonoyudho

Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengharamkan rokok dan masalah golput menarik perhatian masyarakat. Sederhana saja, rokok dan golput menyangkut nasib jutaan orang. Apalagi, masalah rokok juga menyangkut periuk nasi sekaligus kesehatan jutaan orang.


Sialnya, fatwa MUI tentang dua hal penting tersebut terkesan setengah hati. Soal fatwa haram merokok, misalnya. Mengapa MUI hanya membatasi untuk anak-anak, remaja, dan wanita hamil, serta mereka yang merokok di tempat umum? Fatwa itu seolah membolehkan atau menghalalkan orang dewasa, wanita tidak hamil, dst merokok sendirian di kamar.

Padahal, duduk masalahnya jelas bahwa sesuatu dianggap haram jika menyebabkan diri sendiri dan orang lain menderita. Atau dalam bahasa yang lebih gampang, jika banyak mudaratnya dibandingkan dengan manfaatnya.

Jangankan merokok atau minum minuman keras, baru makan nasi saja kalau berlebihan dan membuat badan sakit dan kesehatan terganggu sudah termasuk haram. Karena itu, sebelum memutuskan sesuatu itu haram atau tidak, MUI juga mesti bertanya kepada ahli kesehatan, apakah benar hasil penelitian menunjukkan bahwa merokok dapat membahayakan kesehatan manusia?

Jika jawabannya tegas ''ya'', mestinya MUI tidak boleh setengah hati untuk ''membatasi'' larangan merokok hanya bagi anak-anak dan remaja serta wanita hamil. Kalau memang berbahaya, ya harus ada fatwa tegas: merokok haram bagi siapa pun dan di mana pun, baik sendirian, apalagi di tempat umum.

Islam adalah agama rahmatan lil'alamin, agama yang diturunkan untuk memberikan rahmat bagi sekalian alam. Masalahnya, orang beragama sering hanya menyembah simbol ritual, tanpa penghayatan yang dalam bahwa kesalehan tidak cukup hanya ''pribadi'', namun juga kesalehan sosial dan kesalehan profesional.

Karena itu, dalam Alquran, hanya 3,5 persen ayat-ayat yang mengatur hubungan manusia dengan Allah SWT atau yang disebut ibadah mahdoh. Sedangkan sisanya adalah masalah muamalah, hubungan antarmanusia. Islam bukan agama yang abstrak yang hanya memahami dogma.

Jadi tidak mengherankan jika pemahaman atas ayat yang dogmatis membuat sebagian para pengikutnya jumud. Lihat saja, ada isu lemak babi sudah membuat geger ribuan umat dengan demo yang heroik. Sementara ada perusakan hutan yang mengancam kerusakan bumi, umat diam saja.

Ada masalah Gaza, ribuan umat sangat heroik dan gemas. Namun, melihat rakyat di sekitarnya yang kelaparan, terkena lumpur, kena gempa, korban penggusuran ketidakadilan, dst, umat diam saja. Mestinya masalah lemak babi, masalah perusakan lingkungan, korupsi, Gaza, korban lumpur, dst (untuk menyebut beberapa contoh kasus) adalah masalah-masalah berat yang harus ditangani bersama dengan pemahaman yang utuh.

Demikian juga fatwa setengah hati dari MUI. Mereka giat memfatwakan masalah-masalah yang ''sepele''. Namun, untuk masalah politik yang lebih berat, mereka tenang saja. Pernahkah kita dengar MUI memfatwakan haram atau tidak anggota DPR yang membolos atau anggota DPR yang menerima laptop atau uang ''terima kasih'' dari birokrat untuk mengesahkan RUU, misalnya? Haramkah para calon kepala daerah yang memasang janji-janji di baliho atau spanduk, kemudian mereka mengingkari?

Orang tentu akan menjawab, tanpa fatwa, ya jelas tindakan oknum anggota dewan tersebut haram. Namun, yang diharapkan, jika ada fatwa, akan lebih menekan secara psikologis dan moral. Dengan fatwa yang tegas akan menunjukkan sampai seberapa jauh kepekaan MUI terhadap nasib bangsa yang diombang-ambingkan oleh para politisi.

Yang terjadi malahan rakyat yang ''dikorbankan'' dengan mengharamkan ''golput''. Padahal, golput adalah hak rakyat setelah melihat perilaku sebagian besar anggota dewan melakukan korupsi, tidak serius memikirkan rakyat, menerima suap, memmbolos, dan hanya tidur di persidangan. Bahkan, sebagian lagi berpotensi membuat rakyat menderita dengan RUU yang merugikan masyarakat. Buktinya, pengajuan judicial review ke Mahkamah Konstitusi demikian tinggi.

Miskin Politik

Golput juga bukan sekadar masalah kesengajaan, namun bisa jadi juga karena kemiskinan politik. Ada orang yang sangat sibuk mencari sesuap nasi di tempat terpencil atau jauh dari rumah sehingga harus kehilangan hak pilih, ada golput karena tidak paham masalah politik, tidak paham apa maksud mencontreng, tidak paham arti legislatif, dan tidak merasakan kehadiran legislatif atau kehadiran pemimpinnya.

Boleh jadi dengan kehadiran oknum birokrat, pemimpin atau anggota dewan justru malah dianggap ''mengganggu'' irama kehidupan masyarakat yang sudah harmonis.

Fakta itu menunjukkan bahwa kehadiran sebagian anggota DPR boleh jadi malah menyusahkan rakyat. Sialnya, yang dijewer MUI adalah rakyat, dengan mengharamkan golput. Mestinya, jika MUI berendah hati dan arif, bisa jadi justru memilih anggota dewan dengan mutu yang rendah seperti ini menjadi ''haram'' karena berpotensi merusak kehidupan rakyat sebagaimana banyaknya kasus RUU dan UU yang bermasalah.

Apalagi jika ulah sebagian anggota dewan itu berpotensi memperpanjang rantai korupsi berjamaah, ini sungguh mengarah kepada kehancuran peradaban negeri. Sederhana saja sebagian oknum itu meminta jatah dari oknum birokrat yang juga korup dan ini berarti mempersubur kerusakan kehidupan sosial-ekonomi. Dengan cara ini, korupsi di segala lini terus dilakukan toh yang mengawasi juga minta bagian.

Singkatnya, masyarakat menunggu MUI membuat fatwa-fatwa yang ''proporsional'', jelas dan tegas, yang jelas untuk membela kepentingan bersama, yang jelas berdasarkan ajaran Allah SWT, yang jelas bermanfaat bagi bangsa dan umat manusia pada umumnya, dan bukan sekadar fatwa-fatwa ''sepele'', apalagi bernuansa politis.

Fatwa soal rokok haram yang disikapi secara setengah hati, bahkan NU ikut berbeda pendapat. Padahal, NU adalah gudang para ahli fiqih dan ahli masalah kemasyarakatan. Anehnya, mereka berbeda pendapat untuk masalah yang jelas-jelas sama dan dapat dibuktikan secara ilmiah oleh ahli kesehatan. Itu tentu ''memalukan'' umat Islam yang konon sangat maju di zaman abad pertengahan bahkan sampai di Eropa Barat dengan kisah klasiknya, Ibnu Sina, Aljabar, atau penguasaan di Konstantinopel, Cordoba, Spanyol, dan sebagainya.

Saratri Wilonoyudho, dosen dan peneliti di Universitas Negeri Semarang

*) dari Jawa Pos

Buruh Migran Hong Kong Terbitkan Buku Puisi

Surabaya - Sebanyak lima buruh migran Indonesia (BMI) yang bekerja di Hong Kong menerbitkan buku kumpulan puisi berjudul "5 Kelopak Mata Buhinia". "Buku berisi sekitar 50 puisi itu sudah diterbitkan akhir 2008 lalu dan diluncurkan di Hong Kong," kata Bonari Nabonenar di Surabaya, Kamis.

Kelima buruh migran yang selama ini aktif menulis karya sastra itu adalah, Mega Vristian asal Malang, Tarini Sorita (Cirebon), Kristina Dian Safitri (Malang), Tanti (Ponorogo) dan Ade Punk (Malang).

"Puisi-puisi mereka bercerita tentang Hong Kong dan tema-tema umum, seperti kerinduan akan kampung halaman, cinta dan lainnya. Judul buku itu diambil dari bunga khas Hong Kong bernama Buhinia," kata Ketua Paguyuban Pengarang Sastra Jawa Surabaya (PPSJS) itu.

Pria asal Trenggalek itu mengemukakan, penerbitan kumpulan puisi ini merupakan kelanjutan dari proses kreatif para BMI di Hong Kong yang telah menghasilkan puluhan buku kumpulan cerpen, puisi maupun karya novel.

Ia menjelaskan, Tarini Sorita pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul "Penari Naga Kecil" yang diluncurkan di Surabaya beberapa tahun lalu. Mega Vristian pernah menerbitkan kumpulan cerpen berjudul "Nyanyian Imigran", "Nu Buat Labirin Luka" dan "Yogya 5,9 SR".

Bonari mengemukakan, saat ini perkembangan sastra buruh migran Indonesia di Hong Kong semakin marak. Mereka sering mengadakan kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan sastra termasuk mendirikan organisasi.

"Ada Sekar Bumi yang merupakan kependekan dari Seni Karya Buruh Migran dan Forum Lingkar Pena (FLP) Hong Kong dan lainnya. Mereka semua cukup mewarnai kegiatan pengembangan sastra," katanya.

Mengenai buruh migran yang sudah kembali ke Indonesia, Bonari menjelaskan, mereka juga masih aktif berkarya di daerahnya masing-masing. Misalnya Mario Boneok asal Wonosobo, Jateng yang sebentar lagi akan menerbitkan novel.[dikopipaste dari: antara-jatim]

Surat Terbuka untuk Qotrun Nada

Novel "Rahasia Wanita" yang aku baca kemaren lumayan bagus tapi ada beberapa hal yang saya tangkap, yaitu : "Kehidupan Materialistis, Munafik, Merendahkan Agama, Novel Islam tapi tidak ISLAMI"....Sebelumnya saya mengucapkan terima kasih kepada Qotrun Nada telah menuangkan tulisannya di novel tersebut....tapi jujur saja saya kecewa dengan karakter-karakter yang ada pada novel tersebut...Apakah itu karakter yang sesungguhnya dari para tokoh pesantren atau hanya imajinasi saja??

Mungkin belum mengerti apa yang saya maksud di atas, Ok saya terangkan satu-satu kekecewaan saya :

1. Ketika si Pipit menyukai sesama jenis (Arina), kemudian mereka berdua dipanggil oleh Bu Nyai (pemilik pondok pesantren),Bu Nyai marah dan menggebrak meja dan bilang "kalau sifat mereka tidak sesuai dengan AlQuran", yang perlu saya tanyakan adalah...apakah hal itu pantas dilakukan oleh bu Nyai, marah sampe menggebrak meja?? dan apakah kemarahan dia sesuai dengan AlQuran??? padahal Bu Nyai sendiri menuduh bahwa tingkah laku Pipit gak sesuai dengan AlQuran..tapi Bu Nyai sendiri tidak punya karakter sesuai dengan AlQuran...apabila dia ngerasa sesuai dengan ALQUran, AlQuran itu mengajarkan akhlaq mulia, bagaimana menasihati orang lain dengan lemah lembut sesuai dengan ajaran AlQuran....

2. Ketika Pipit ditanya ama Bu Nyai diem aja, tapi kok "Pengurus" malah ikut-ikutan bicara sebelum diberi kesempatan bicara....apakah mencampuri/memotong pembicaraan orang sesuai dengan AlQuran, dan pantaskah watak seperti itu dimiliki oleh orang yang dipercaya sebagai "pengurus" pesantren??

3. Tentang Arina...Pantaskah memakai wewangian dan berdandan hanya untuk kencan dengan laki-laki yang dicintainya? Ok saya maklum kalau itu adalah anak muda zaman sekarang tapi tidak pantas untuk seorang perempuan yang hidup di pesantren, yang saya sesalkan...Arina yang dari kampung yang pemalu, yang meninggalkan shalat magrib dan Isya aja sampe sedih, tapi berubah menjadi "arogan" begitu...bahkan berganti-ganti pacar, membiarkan dirinya disentuh oleh laki-laki, dan lebih parahnya lagi..hanya gara-gara laki-laki dia mengacak-acak rambut Lana karena Lana melaporkan dirinya berpacaran...apakah sifat Arina sama dengan AlQuran??

dan masih ada lagi....sifat Arina adalah perempuan yang materialistis...dari kata-kata "Bangga karena Ustadz Yus yang dicintainya bukan hanya sekedar ustadz sekarang, tapi sejak pulang dari Mesir dia adalah anggota Parlemen",...Arina mau dibelikan apapun oleh orang yang belum jadi suaminya bahkan sifat materialistisnya terlihat jelas di novel tersebut..Seorang Muslimah yang baik tidak merendahkan agama demi jabatan....dan tidak merendahkan diri hanya karena harta...apakah sifat itu sesuai dengan AlQuran??

[Mohon menuntaskan di tempatnya, ya? Plis]

Hak Cipta dan Hak Masyarakat

Oleh: Beni Setia

SALAH satu realisasi sosialisasi sastra yang menonjol pada 2008 ini adalah penganugrahan hadiah sastra yang semakin dominan. Setidaknya setelah KLA yang diperuntukkan bagi buku-buku sastra yang terbit dalam rentang setahun sebelumnya - Juli 2007 sampai Juni 2008 -, muncul Hadiah Pena Kencana untuk puisi dan cerpen yang dipublikasikan lepas di koran-koran terpilih se-Indonesia. Sayang itikad baik, dengan nominal yang tak kecil itu, terantuk pada wibawa juri. Lebih tepatnya: selera penjurian yang dianggap subyektif, terlalu memihak pada satu genre estetika tertentu, sehingga nominee dan pemenangnya yang dianggap tak proposiponal - seperti kritik Wowok Hesti Prabowo pada penganugrahan Hadiah Mastera kepada Ayu Utami.


Tapi fokus tulisan ini tak pada hal itu, tapi pada reaksi ekstrim pada kewibawaan juri, seperti yang dilakukan Faisal Kamandobat yang mencabut karya puisinya - yang terpilih sebagai 1 dari 100 puisi terpilih nominee Pena Kencana 2008. Dan juga Saut Situmorang, yang kumpulan puisinya, Otobiografi termasuk dalam long lists10 Besar Khatulistiwa Literary Award [KLA] 2008 - lihat, Jawa Pos, 21/9. 2008. Meski pada hari itu juga, di milis apresiasi-sastra, Saut Situmorang membuat release, yang dengan tegas menolak keterlibatan buku kumpulan puisinya di ajang KLA 2008. Pencabutan karena secara tehnis sebagian dari karyanya telah terbit sebagai buku, dan karenanya melanggar aturan penilaian KLA. Dan tindakan serupa telah ada dilakukan pada tahun sebelumnya - meski ada juga buku serupa yang dimenangkan di tahun sebelumnya.

Saut Situmorang sendiri mencabut kumpulan puisinya itu dengan alasan, yang dengan jitu menelanjangi bias penjurian KLA. Kasus Goenawan Mohamad, misalnya. Pemilihan juri khusus untuk menilai finalis yang lolos seleksi tahap 1, misalnya. Dan seterusnya. Tapi, secara sosial, pantaskah pencabutan itu, yang hanya bertumpu pada faktor eksklusif kreator yang memiliki hak cipta atas puisi [Faisal Kamandobat] dan buku kumpulan puisi [Saut Situmorang - dan dukungan moral dari Penerbit [sic!]]? Yang dijadikan poin penting penyeimbang untuk mempertanyakan sistim dan model penjurian [Pena Kencana], serta konsistensi transparasi dan akuntabilitas juri KLA - yang diasumsikan sebagai penganut estetika TUK -?

--

TIAP teks sastra memang mutlak milik kreatornya, yang telah bersusah payah mengeluarkan kepekaan estetik, preferensi ekspresi, khazanah imajinasi dan fantasi, serta kesungguhan buat melakukan penjelajah referensial dalam rangka pemerkayaan ilham. Meski begitu segala investasi potensi dan energi kreatif yang dicurahkannya itu sesungguhnya hanya mampu "memiliki" teks sastra itu sampai di seputar zona waktu penciptaan, setidaknya sampai sesaat sebelum teks sastra itu dianggapnya matang dan layak dipublikasikan. Setelah dipublikasikan teks sastra itu milik masyarakat, menjadi permata khazanah sastra komunitas pencinta sastra. Di titik ini, mungkin, klaim hak cipta diperkenalkan, supaya teks sastra yang telah dipublikasikan, diapresiasi dan jadi milik masyarakat itu tetap memiliki "bapak yang mengupayakan dan ibu melahirkan".

Saat puisi Faisal Kamandobat dipublikasikan, dan saat kumpulan puisinya Saut Situmorang dipublikasikan, seketika itu juga puisi dan buku puisi itu menjadi milik masyarakat, yang menjadikannya permata atau sampah khazanah sastra, dan tak lagi mutlak milik Faisal Kamandobat dan Saut Situmorang dan Penerbit [sic!]. Puisi Faisal Kamandobat dan puisi-puisi dalam kumpulan puisi Saut Situmorang milik masyarakat - meski secara moral milik Faisal kamandobat dan Saut Situmorang. Konsekuensi dari semua itu: Faisal Kamandobat, Saut Situmorang, atau siapa saja, tak bisa berbuat apa-apa kalau teks puisi ciptaannya disukai atau tak disukai oleh orang-orang yang mengapresiasinya. Secara semiotik, pengarang mati begitu karya lahir dan diapresiasi - dengan konsekuensi tidak bisa bangga pada teks kritik yang mendewakannya lewat aprersiasi akademik, dan tak bisa menafikan kritik empatik model impen Togel.

Hal terakhir itulah yang perlu dicatat. Kenapa? Karena, praktek penjurian Pena Kencana bersipat seorang juri memilih dan mendiskusikan pilihan itu dengan juri lain. Pilihan atas karya yang terbit di koran terpilih itu melupakan dominasi selera redaksi yang menyatakan karya itu layak muat - selain seberapa jauh juri telaten memeriksa seluruh karya yang terbit tiap minggu. Sementara KLA bersipat kuantitatif nampung nominee sekian buku dari sekian puluh juri, yang tersebar di seluruh Indonesia. Lalu disusun daftar buku yang dipilih oleh banyak juri dan setelah itu diputuskan ranking nominee buku-buku yang diloloskan ke tahap 2.

Sebuah penjurian yang mengandung kelemahan vital: tak semua juri itu punya referensi teori sastra, pisau analisis [metoda] kritik atau sekedar pola apresiasi, dan wawasan estetik yang muncul dari pengalaman membaca [secara resepsi-estetik] yang sama. Lebih buruknya - selain alasan setiap juri awal tak pernah tersurat diungkapkan -, semua juri awal itu potensial tak sempat membaca buku yang sama di tengah kultur distribusi buku yang timpang.

--

CORAK penjurian awal KLA, dan terutama Pena Kencana, seperti laku polling menduga selera - lebih merupakan alat survey buat mendeteksi dan memetakan pola distribusi buku. Sekaligus membenarkan: karya-karya yang dipublikasikan itu dimiliki masyarakat, lalu mendorong anggota masyarakat yang menyukai satu puisi atau satu cerpen dari sekian puisi dan sekian cerpen, dan beberapa buku sastra yang terbit tahun itu, agar terus terang menunjukkan pemihakannya. Dan itu yang menyebabkan puisi Faisal Kamndobat terpilih dari sekian ratusan puisi yang terbit di koran terpilih, dan Otobiografi terpilih bersama 9 kumpulan puisi lainnya dari sekian yang tak terpilih. Sekaligus itu yang membuat Acep Zamzam Noor atau Etik Juwita tak memiliki hak mutal lagi atas puisi dan cerpennya, sama seperti Saut Situmorang, Oka Rusmini atau Afrizal Malna tak memiliki hak atas buku kumpulan puisinya - dianggap luar biasa oleh anggota masyarakat yang jadi voter yang memilih terbaik yang lalu dijumlahkan secara kuantitatif, dan yang kebetulan juri KLA, sehingga terekspos jadi yang layak lolos tahap awal KLA 2008.

Setelah itu selera masyarakat bermain [Pena Kencana], serta juri khusus dipilih [KLA 2008]. Sekelompok dewan [mungkin cuma "dewan"] juri yang akan melakukan apresiasi preferensi seleratif [Pena Kencana] atau diandaikan kritis profesional [KLA 2008], tanpa saling tahu, sebelum nilai akhir dikumpulkan dan juara ditentukan secara penjumlahan. Di titik ini kreator jadi yang diasingkan masyarakat, ditransendensikan jauh ke langit. Panitia Pena Kencana dan KLA pun berusaha absen dan pasif, hanya memfasilitasi selera anggota masyarakat dan juri. Tidak ada selera panitia. Yang ada selera masyarakat dan juri profesional. Meski preferensi pilihan masyarakat dan juri profesional ini melahirkan dominasi estetika, tapi diam-diam dibiaskan sebagai selera tak sengaja, karena anggota masyarakat dan anggota juri tak berkomunikasi, berdebat meruntuhkan atau mempertahankan satu selera estetik. Dan TUK - di mana TUK bila anggota masyarakat majemuk dan juri dipilih sebagai si anonim bagi yang lain - ?

Tapi itu pokok persoalannya; Kebetulan yang tak mengherankan. Memang.***

@ BENI SETIA, pengarang
E-Mail: benisetia54@yahoo.com

Suara Karya, Sabtu, 3 Januari 2009

Rasa Sakit Itu Indah


Pernahkah kita merasa sakit hati? Adakah kita dendam karena kesakitan yang kita rasakan itu? Atau... Bencikah kita pada yang membuat kita sakit? Jawabnya tentu IYA. Karena pada hematnya, anda atau Kee sama saja. Manusia dan punya perasaan. Pasti punya rasa sakit (dengan kadar yang berbeda, tentunya) juga bisa merasakan sakit serta bisa menyebabkan sakit.


Tapi. . .
Terkadang kita butuh rasa sakit itu.
Untuk membuat hati kebal akan luka yang menerpa. Untuk merasakan betapa sakitnya jika kita kecewa. Juga untuk lebih peka pada sesama sehingga kita tidak menciptakan rasa sakit itu terhadap mereka.
Kita, pasti tak ada yang benar2 sengaja ingin menyakiti orang lain. Tapi ketika kita sudah menyakiti kita tentu sedang tak menyadarinya atau bahkan kita memang sengaja menyakitinya untuk membalas rasa sakit hati kita?. Sekali lagi, Manusiawi bukan?.
Yang pasti. . .
Mulai hari ini kita harus yakin dengan diri kita, bahwa rasa sakit itu ada karena pada dasarnya hati kita memang sudah berpenyakit.
Boleh kita disakiti, asal kita ak sengaja menyakiti.
Boleh kita merasa sakit tapi... jangan lama-lama ya?
Nggak baik untuk kesehatan jantung, ibu dan janin juga bisa menyebabkan Impotensi.

Yuke