Wiji Thukul dan Penantian Panjang Sipon

Jangan lupa kekasihku
Jika kau ditanya siapa mertuamu
Jawablah: yang menarik becak itu
Itu bapakmu kekasihku.



BERSAHAJA, bertanggung jawab, dan mau memahami pendapat istrinya. Itulah sifat-sifat Wiji Thukul yang menimbulkan respek di mata istrinya, Dyah Sujirah alias Sipon (35). Sebaris puisi romantis yang ditulisnya waktu pacaran dengan Sipon di atas mungkin menggambarkan kesederhanaan konsep kepenyairan Wiji Thukul, yang oleh Arief Budiman dianggap sebagai "penyair kampung lokal" ini.

Dewan Juri Yap Thian Hiem Award tahun ini memutuskan Wiji Thukul sebagai penerima Anugerah Yap Thiam Hiem 2002 karena melalui puisi-puisinya ia "berusaha mengungkapkan berbagai ketidakadilan dan peningkatan harkat dan martabat manusia". Menurut rencana, penyerahan Anugerah Yap Thiam Hien akan dilakukan di Jakarta, Selasa (17/12), yang akan diterimakan kepada istrinya, Ny Sipon.

Sikap jujur dan terus terang ditekankan oleh Wiji Thukul kepada istrinya. "Suami saya selalu mengajarkan, kita tidak perlu malu mengungkapkan keadaan kita sebenarnya. Kami berasal dari keluarga miskin. Ayah Wiji Thukul, Pak Wito Kemis, penarik becak, dan kebetulan bapak saya juga penarik becak. Jadi buat apa malu, asal pekerjaan itu halal," papar Ny Sipon, Selasa, di gubuknya yang berukuran 4 5 meter di Kampung Kalangan RT 01 RW 14, Jagalan, Solo.

Wiji Thukul menikahi Sipon pada tahun 1988 setelah setahun pacaran. Mereka sama-sama berasal dari lingkungan sosial yang marjinal. Kampung Kalangan adalah kampung langganan banjir bila musim hujan tiba, dan lingkungan hunian yang padat oleh rumah-rumah petak sempit berjejal-jejal sehingga terkesan kumuh. Kebanyakan warganya bekerja sebagai buruh pabrik, penarik becak, pedagang kecil, penjahit, dan tukang parkir.

Dalam salah satu buku kumpulan puisinya tertulis Wiji Thukul sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) di Solo, jurusan tari, namun tak sampai tamat. Setelah tak sekolah, Wiji Thukul (lahir 26 Agustus 1963)-sulung dari tiga bersaudara-menjadi buruh serabutan dan terakhir menekuni pekerjaan sebagai tukang pelitur. Ny Sipon membantu dengan menjahit dan membuat baju konveksi yang dipasarkan hingga ke Malioboro, Yogyakarta.

Kurang jelas, bagaimana Wiji Thukul kemudian menekuni dunia sastra (puisi). Tetapi belakangan ia aktif di Jaringan Kebudayaan Rakyat (Jaker) yang berafiliasi dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Ketika akhir tahun 1997 pemerintah Orde Baru mengumumkan PRD sebagai partai terlarang, Wiji Thukul pun dicap sebagai aktivis PRD dan dinyatakan sebagai "buronan" aparat keamanan.

[]

SEJAUH kesaksian Ny Sipon, suaminya bukanlah aktivis PRD. Tetapi diakui, Wiji Thukul memang sering terlibat dalam sejumlah aksi buruh di sekitar Surakarta, yang antara lain digerakkan para aktivis PRD. "Sewaktu deklarasi PRD di Jakarta, Wiji Thukul memang diminta membacakan puisinya," tutur Ny Sipon.

Rupanya semangat protes yang mewarnai puisi-puisi Wiji Thukul dianggap paralel dengan semangat perlawanan yang dipersepsikan orang terhadap PRD. Salah satu baris puisinya: ...suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/ maka hanya ada satu kata: lawan! agaknya menjadi idiom yang menyalakan semangat kalangan aktivis PRD.

Dengan latar belakang sosial-ekonomi yang marjinal, warga yang terpinggirkan dan sering dikalahkan di tengah persaingan hidup masyarakat kota, puisi-puisi Wiji Thukul seakan menyuarakan nurani mereka yang tertindas. Suara Wiji Thukul itu, baik melalui puisi-puisinya maupun sejumlah aksi yang diikutinya, rupanya dianggap "menantang" di mata pemerintahan Orde Baru yang represif. Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (waktu itu), Soesilo Soedarman, pada 28 Desember 1997 mengumumkan Wiji Thukul sebagai orang yang diburu.

Pada saat pengumuman itu ditayangkan di televisi, Wiji Thukul tengah terkapar sakit di rumahnya. Oleh karena keterlibatannya dalam aksi mogok buruh di PT Sritex Sukoharjo, Maret 1996, Wiji Thukul diciduk aparat keamanan, dan ia dihajar. Akibat hajaran dengan popor senapan, kelopak mata kanannya sobek dan retina matanya terganggu. Wiji Thukul harus beberapa kali menjalani perawatan di RS Mata Dr Yap di Yogyakarta. Bahkan, sampai saat ia menghilang dari umum, sebenarnya ia masih perlu perawatan. Retina matanya rusak, Wiji Thukul terancam buta.

[]

SEMENJAK itulah Wiji Thukul memutuskan bersembunyi dari kejaran pihak berwajib. Penyair yang dikenal pelo (cedal) dan gagap kalau berbicara itu kini menjadi buronan pemerintah. Lari dari satu tempat persembunyian ke tempat yang lain. Bukan hanya Wiji Thukul yang jiwanya diburu. Hidup penuh ketakutan dan jiwa tertekan pun sempat beberapa lama dialami oleh keluarganya.

Ia memutuskan tak akan sekali pun memberi tahu di mana suaminya bersembunyi. Apalagi ia memang sungguh-sungguh tak tahu. Antara akhir 1997 hingga akhir 1998, tercatat baru sepuluh kali Ny Sipon berhasil menemui suaminya. Itu pun di lokasi yang berpindah-pindah, namun lebih kerap di Yogyakarta. Setelah pertemuan terakhir Desember 1998, Thukul seperti hilang ditelan bumi.

"Waktu terakhir ketemu di Yogya itu, kami sempat ngobrol agak lama di tangga gedung Seni Sono. Saya saat itu mengajak dua anak saya, Wani dan Fajar. Lalu kami juga sempat makan siang di Malioboro. Mas Wiji membelikan sebuah selimut untuk Fajar, yang selalu dipakainya hingga sekarang," Ny Sipon mengenang.

Wiji Thukul sempat mengantar keluarganya ke Stasiun KA Tugu untuk kembali ke Solo. Ny Sipon mengaku sempat gemetaran ketika melihat sejumlah tentara di stasiun. Tetapi suaminya berusaha menenangkan. Ketika itu, Thukul berjanji akan menemui mereka "bulan depan". Namun, janji itu belum sempat terwujud hingga hari ini.

Kegundahan menyelimuti hari-hari Ny Sipon dan kedua anaknya. Begitu pula ibu mertuanya, Ny Sayem (55), yang tak yakin bahwa anak sulungnya benar-benar "hilang" seperti dikatakan banyak orang. Lima tahun bukanlah waktu penantian yang singkat. Sampai hari ini, mereka tak memiliki kejelasan tentang nasib Wiji Thukul: apakah telah tiada, masih bersembunyi, hilang, atau sengaja "dihilangkan" oleh pihak tertentu?

Dalam keyakinan Ny Sipon, suaminya sampai sekarang masih hidup, namun ia sama sekali tak memiliki informasi tentang keberadaannya saat ini. Seorang paranormal menyebutkan, Wiji Thukul akan ditemukan tahun 2003. "Tetapi itu saya anggap untuk menghibur hati saja," tuturnya. Ia justru lebih percaya kepada mimpinya pada hari ketiga bulan Puasa yang lalu. Dalam mimpinya Wiji Thukul berdiri di depannya dengan baju panjang warna krem sambil berkata, "Kesetiaan itu mahal harganya, Pon." [ASA]

Kompas-Kamis, 12 Des 2002

0 tanggapan: