Wawancara dengan Sipon [maaf: judul aslinya ilang]

KABAR terbaru yang didengar Sipon hanya beberapa hari setelah Thukul menerima anugerah Yap Thiam Hien Award adalah bahwa suaminya telah diketemukan seseorang di Depok, Jawa Barat, tetapi dalam keadaan gila.


Saya shock," ujarnya terbata. "Kalau itu benar Thukul, aku sedih sekali. Bukan hanya karena keadaan Thukul, tetapi terutama karena ia dicampakkan begitu saja," suara Sipon bergetar.

Kata Sipon, ia menerima telepon dari seorang ibu warga Depok, Kamis (26/12), yang katanya melihat Thukul di Pasar Agung Depok II Timur. "Katanya semuanya persis yang ia lihat di televisi, sampai pelo-pelo-nya segala. Aku pesen sama ibu itu kalau memang benar itu Thukul, tolong dibawa dulu ke rumahnya, tolong dikasih makan dan diberi pakaian bersih. Lalu aku kasih telepon Wahyu (Wahyu Susilo dari Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, Kopbumi, adik Wiji Thukul-Red) dan nomor kontakku. Aku bingung dan sedih. Permainan apa lagi ini."

Sudah tujuh tahun ini Sipon beserta dua anaknya, Fitri Nganthi Wani yang kini berusia 13 tahun, dan Fajar Merah (9) selalu dikejutkan oleh berita-berita tentang keberadaan Thukul. Sudah tujuh tahun pula berbagai kabar burung tentang suaminya itu beredar. Sempat ada berita yang menyatakan Thukul disekap di Kepulauan Seribu. Berita lain mengatakan Thukul bersembunyi di Jerman, bermukim di Belanda, atau tinggal di Australia. Namun, saat itu ada pula yang mensinyalir Thukul sengaja dilenyapkan aparat keamanan karena ia anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD), pihak yang dijadikan kambing hitam kerusuhan massa pada tanggal 27 Juli 1996.

Tak cuma itu. Berita tak jelas yang sempat sampai kepada Sipon dan anak-anaknya adalah Thukul masih hidup, tetapi sudah kawin lagi dan tinggal di suatu kota di Jawa Tengah.

Namun, keterkejutan itu hanya bersifat sesaat. Selanjutnya mereka kembali seperti semula. Tanpa Thukul. Penyair yang puisi-puisinya bernuansa perlawanan itu menghilang setelah Peristiwa 27 Juli 1996, ketika markas besar Partai Demokrasi Indonesia (PDI) di Jalan Diponegoro Jakarta diserbu polisi, tentara dan massa bayaran. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Hak-hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada bulan Oktober 1996, dinyatakan lima orang meninggal dunia, 149 luka-luka dan 23 orang hilang. Satu di antara mereka yang tak kunjung pulang adalah Wiji Thukul.

Sejak peristiwa itu, kontak dengan keluarga dan sahabat-sahabatnya semakin tidak teratur. Toh ia masih menulis puisi dengan nama samaran. Salah satu puisinya ditulis untuk Wani, putri sulungnya, pada tanggal 12 Agustus 1996: Wani/ Bapakmu harus pergi/ Kalau teman-temanmu tanya/ Kenapa Bapakmu dicari-cari polisi/ Jawab saja:/ Karena Bapakku orang berani/ Kalau nanti Ibu didatangi polisi lagi/ Menangislah sekuatmu/ Biar tetangga mengira ada pencuri masuk rumah kita.

Pada bulan Desember 1997, Thukul sempat bertemu Sipon dan anak-anaknya, lalu kembali menghilang. Awal Februari 1998 Thukul hanya bisa didengar lewat sebentuk suara di ujung telepon. Pada bulan April tahun 2000, Sipon melaporkan suaminya yang hilang ke Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras).

Sama halnya Thukul, Sipon dibesarkan di tengah keluarga tukang becak. Ia anak kelima dari enam bersaudara Atmojuhari. Kalau Thukul sempat bersekolah sampai kelas II Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI), Sipon hanya mengecap pendidikan sampai kelas lima sekolah dasar. Akan tetapi, perempuan kelahiran 21 September tahun 1966 itu punya nalar cemerlang. Kehidupannya bersama Thukul sejak perkawinan mereka pada tanggal 21 September 1988 telah membuatnya liat, meski hatinya kerap tersayat-sayat oleh berbagai perlakuan yang harus ia diterima sebagai istri Thukul; juga oleh harapan-harapan akan kepulangan Thukul. Namun, Sipon telah menentukan sikap. Hidup harus terus berjalan dengan atau tanpa Thukul.

DI rumahnya suatu siang menjelang Natal, setelah mengantarkan Fajar sekolah, Sipon mengatakan, "Saya harus hidup. Tanpa Thukul pun saya harus bisa hidup, membesarkan anak-anak dan menyekolahkan mereka. Ketika kami bertemu Thukul di Yogya..."

Pernah ketemu Thukul di Yogya?

Waktu itu bertepatan dengan Natalan tahun 1997. Kami dikagetkan oleh kemunculannya yang tiba-tiba di Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Katanya ia mau beli selimut untuk Wani dan mau dikirimkannya. Kelihatannya ia kasihan sama saya. Dia bilang, "Tubuhmu tidak terurus. Kamu gemuk." Saya bilang, saya tidak berpikir tubuh ini mau segede apa, pokoknya saya mau anak-anak bisa makan. Katanya, Thukul pernah melihat saya waktu saya jualan baju di Malioboro, tetapi karena bersama teman, ia tidak berani mendekati. Waktu itu katanya ia menangis. Tetapi, biar saja saya begini, daripada kami lapar. Lha waktu di Yogya itu kami membuat kesepakatan tentang anak-anak. Waktu itu diputuskan, saya yang akan mengasuh anak-anak, membesarkan, dan menyekolahkan mereka. Semula Thukul minta salah satu dari anak kami ikut dia, tetapi saya larang. Bukan karena saya mau menang sendiri, tetapi saya memikirkan sekolah dan masa depan anak-anak.

Sampai sekarang, Fajar suka rasanan, "Dulu pas Natal kita ketemu Bapak ya. Sekarang Bapak tidak ada." Saya bilang, kalau begitu kita berdoa untuk Bapak.

Anda ingin anak-anak Anda menjadi apa setelah besar?

Biar mereka menjadi diri mereka sendiri.

Anda yakin Thukul masih hidup?

Ya. Saya sendiri tidak tahu kenapa Thukul masih takut untuk muncul. Apa mungkin dia merasa situasinya belum aman betul. Soalnya ia pernah bilang kalau situasinya sudah aman dia akan pulang. "Aku pasti kembali," kata Thukul waktu itu. Tetapi saya kan tidak bisa diam saja menunggu dia pulang. Anak-anak harus makan, harus sekolah...

Andaikata Thukul benar menikah lagi?

Kami, anak-anak dan saya pernah mendiskusikan kemungkinan itu. Suatu malam, anak saya Fajar bermimpi bapaknya datang membawa adik. Tetapi itu kan cuma mimpi. Lalu kami tidak tidur dan mengobrol. Saya tanya pada Wani, bagaimana kalau Bapak kawin lagi. Dia menjawab, "Kalau begitu suruh Bapak bersama istrinya itu saja." Saya tanya, "kenapa?" Ia bilang, "Lebih baik kita begini saja." Jawaban itu persis yang ada di dalam pikiran saya.

Sejauh mana isu itu mengganggu Anda?

Karena isu itu begitu kuat, terus terang, kami khawatir itu benar. Tetapi, saya punya keyakinan itu tidak benar. Isu itu bertujuan menghancurkan saya dan anak-anak, supaya kami membenci Thukul.
Anda sendiri pernah berkeinginan menikah lagi?

Jangan tanya itu. Itu menyesatkan keluarga. ("Kalau Ibu kawin, akan saya tinggal pergi," sergah Wani).

Ketika Thukul dinyatakan sebagai buron, bagaimana sikap tetangga?

Walaupun warga di sekitar sini berasal dari lapisan yang sama, tetapi cap bahwa Thukul antek komunis sangat kuat. Saya sendiri memutuskan tidak ikut PKK lagi gara-gara ada yang bisik-bisik, "Wah hati-hati lho, di RT 03 sudah ada PKI-nya." Mereka menjauh dan saya merasa benar dijauhi. Kepada mereka saya jelaskan waktu tahun 1965 itu saya belum lahir. Jadi saya minta tolong dijelaskan, bagaimana sih PKI itu. Ketua PKK-nya mencegah saya keluar dari PKK. Tetapi saya bilang, saya tidak ingin anggota PKK keluar satu-satu karena saya. Itu pengalaman berharga. Jadi segala sesuatu kita hadapi saja.

Seperti yang dihadapi oleh Wani. Teman-teman pada ngatain Wani "anak buron", sampai ia sempat mogok sekolah. Yang bikin tertekan ternyata gurunya SD itu punya suami tentara. Rasa sakit terhadap gurunya itu dirasakan Wani sampai menjelang ia lulus SD.

Saya sendiri mencoba meyakinkan anak-anak supaya mereka tidak tenggelam dan percaya begitu saja pada omongan orang. Kalau percaya, maka kita akan memusuhi Bapak juga. Lalu kami berusaha mencari sebab mengapa kok disebut buron. Saya juga mengajak anak-anak menonton siaran berita di televisi, karena betapa pun itu adalah informasi. Setidaknya mungkin bisa membantu kami. Waktu itu PRD diangkat terus. Juga berita tentang Budiman Sujatmiko. Ketika Budiman dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan, anak-anak dan saya jadi ikut lega.

Waktu Budiman keluar dari penjara, rumah saya ikut dibersihkan. Harapannya kalau Budiman dikeluarkan, mungkin Thukul juga akan ikut muncul. Dulu Thukul bilang ia akan berjuang agar Budiman keluar lebih dulu. Saya masih ingat dia memakai bajunya Budiman. Baju putih, celananya hitam. Dia juga membuat puisi khusus untuk Budiman, judulnya Ibu. Tetapi setelah ditunggu sehari, dua hari, seminggu, dua minggu, ternyata Thukul tidak pulang. Anak-anak jadi kecewa lagi.

HIDUP bersama Thukul bukan hidup yang mudah. "Dulu saya pernah beberapa kali memperingatkan Thukul, tetapi ia tetap pada pendiriannya," kenang Sipon yang tidak paham apa mengapa Thukul disebut "kiri". Bukankah Thukul hanya menyuarakan kehidupan riil mereka dalam puisi-puisinya?

Namun, ia tidak pernah menyesal mengawini Thukul. Mereka bertemu di Sanggar Teater Jagad pimpinan Cempe Lawu Warta di Kampung Jagalan. Mereka sama-sama anggota teater itu. Pertemuan itu diawali dalam suatu lokakarya teater di Pantai Glagah, Parangtritis, Yogyakarta yang diselenggarakan Emha Ainun Nadjib dan Halim HD. "Saya baru tahu Thukul orang Solo waktu menikah," sambungnya. Ia juga baru tahu Thukul bukan nama yang sebenarnya juga ketika mereka menikah. "Ternyata namanya Wiji Widodo... ooooaalaaah thoooo Do...Do... kata saya waktu itu."

Pernikahan mereka terbilang unik. Pengantin duduk di becak diarak ke rumah sepulang dari KUA, lalu dibuat pesta rakyat yang sangat sederhana di kampung. Namun, bagi Sipon itulah saat-saat yang paling membahagiakan. "Saya tertarik kepada Thukul karena ia sangat bertanggung jawab walaupun kerjanya hanya jadi tukang pelitur," ujarnya. Sipon juga ikut ngamen bersama Thukul, bukan dengan menyanyi, tetapi membaca puisi. "Kami ngamen bukan semata-mata untuk mencari duit. Kata Thukul, itu cara untuk menyebarluaskan karya puisi." Mereka berdua juga kenyang dengan pengalaman pahit waktu ngamen. "Waktu kami ngamen di daerah Kalitan, yang punya rumah buru-buru menutup pintu sambil mengumpat, 'Ngganggu orang saja!'"

Sipon yang nama aslinya Dyah Sujirah - "Nama Sipon itu paraban (panggilan) saya. Waktu kecil saya suka sakit-sakitan, lalu saya dititipkan sama orang lain. Orang itu memberi nama paraban yang sama untuk dua anak yang ikut dia. Kami sama-sama diberi nama Sipon," katanya - memang sudah terbiasa hidup sederhana. Dari pekerjaannya sebagai tulang pelitur, Thukul mendapat upah Rp 90.000 seminggu, sementara ia kerja di konveksi dengan upah Rp 30.000. "Ya cukup tidak cukup. Kami cuma mampu beli susu bayi kardusan. Yang kalengan ndak kebeli." Sekarang, penghasilan Sipon berkisar antara Rp 20.000-Rp 30.000 sehari. Tetapi ia berusaha memberikan pendidikan yang cukup baik pada anak-anaknya. Wani kini duduk di kelas III SMP Pangudi Luhur, sedang Fajar di SD Kanisius.

Sampai sekarang Sipon masih tinggal di rumah orangtuanya, berbagi ruangan seluas 80 meter persegi itu dengan saudaranya. Di rumahnya ia juga terbiasa hidup dengan keluarga lain, atau dengan teman-teman suaminya. Makan apa adanya.

Akan tetapi, setelah peristiwa 27 Juli itu, teman-teman Thukul takut datang ke tempat itu. Sipon kemudian dibantu kakaknya, tetapi lalu berusaha sendiri. Mula-mula berjualan nasi, tetapi sangat repot karena anak-anaknya masih kecil sementara si kecil Fajar sering sakit. Kemudian ia menjahit. Pada awalnya mengambil jahitan dari orang lain, memburuh. Tetapi, karena tidak cukup untuk makan, ia mencoba mengambil kain kiloan, lalu ia jahit, kemudian dijajakan sendiri. Pernah ia mendapat bantuan dari PKK dalam bentuk mesin jahit. Tetapi setelah tahu pemberinya Golkar, Sipon mundur. "Saya tidak mau bantuan itu mengandung ikatan," katanya. Lalu ia memutuskan membeli mesin jahit secara kredit, angsurannya Rp 3.000 per hari dan sekarang sudah dilunasi.

Penghargaan demi penghargaan untuk Thukul membuat perlakuan orang mulai berubah. Guru si bungsu memberikan perhatian cukup baik pada anak itu. Sikap tetangganya juga mulai berubah. Sipon sendiri meneruskan pengelolaan Sanggar Suka Banjir secara bergantian dengan Slamet, teman suaminya dan anak-anak mereka. Kegigihannya dalam hidup dan upayanya memberikan pendidikan alternatif pada anak-anak membuat Sipon terpilih sebagai salah satu penerima Penghargaan Kemanusiaan dari Sidomuncul.

"Saya ndak ngerti kok saya bisa dapat penghargaan itu. Rasanya yang saya lakukan biasa-biasa saja," katanya. "Yang dulu dilakukan Thukul juga biasa-biasa saja. Jadi aneh saja rasanya."

Apa yang Anda rasakan ketika menerima Anugerah Yap Thiam Hien Award?

Terus terang saya bingung. Yap Thiam Hien itu apa? Saya kan pernah bilang, saya tidak ingin Thukul dianggap sebagai pahlawan. Itu kan sebutan untuk orang yang sudah meninggal. Padahal saya yakin Thukul masih hidup.

Waktu penerimaan anugerah itu, orangtua Thukul saya ajak supaya mereka tahu, anak sulungnya itu dinyatakan telah "hilang". Selama ini, bapak mertua terutama menganggap Thukul hanya saya sembunyikan, karena setiap Bapak minta uang untuk membeli kebutuhan, sampai untuk memperbaiki becaknya, saya selalu berusaha memenuhi. Saya sebenarnya kasihan, tetapi saya takut kalau saya jujur tentang Thukul, Bapak jadi tertekan. Setelah Bapak tahu sendiri Thukul telah hilang, Bapak bilang ke saya, "Jadi selama ini kamu bohong ya?" Saya nelangsa sekali. Tetapi saya juga menjadi lebih dekat sama Bapak.

Katanya Anda sempat menolak penghargaan uang dari Anugerah Yap Thiam Hien?

Semula Wahyu memang menegaskan akan menolak penghargaan berupa uang, karena di dalamnya menyangkut salah satu sponsor yaitu Rio Tinto yang punya kasus menyangkut pencemaran lingkungan. Tetapi, panitia menjelaskan uang yang dari Rio Tinto tidak diberikan kepada kami. Akhirnya kami mau menerima. Juga ada uang yang dikumpulkan teman-teman untuk kami. Kami masih belum tahu uang itu untuk apa. (Sipon sedang berusaha membuat sertifikat rumah mereka supaya tidak digusur. Sebagian uangnya mungkin dialokasikan ke situ).

Bagaimana pandangan Anda tentang situasi politik sekarang?

Sejak peristiwa 27 Juli, saya tidak percaya lagi terhadap politik. Juga tidak terhadap partai politik, termasuk PRD. Mungkin banyak orang mengira PRD membantu saya. Itu tidak benar. Mereka menjauh. Semua menjauh...

Pernah berhubungan dengan tentara, intel, aparat atau yang lain?

Pernah. Saya diinterogasi di kantor Koramil Jebres dekat Taman Budaya Jawa Tengah. Pertanyaannya itu-itu saja selama empat jam. Misalnya, di mana sekarang Thukul, kegiatannya, organisasinya. Saya jawab tidak tahu karena saya memang tidak tahu. Di situ saya merasa berdosa pada anak saja, Fajar, karena saya terpaksa menggigit punggungnya sampai ia menangis keras-keras, karena saya jenuh oleh pertanyaan-pertanyaan mereka. Padahal pukul 12.30 saya harus menjemput Wani di sekolah. Saya panik. Akhirnya mereka melepaskan saya. Lalu saya memeriksakan Fajar ke dokter.

Bagaimana kalau melihat pejabat di televisi sekarang?

Setelah Orde Baru, paling tidak pandangan tetangga yang dulu sudah berubah. Tetapi kalau melihat para pejabat bicara, saya tidak yakin mereka benar-benar punya komitmen pada rakyat kecil. Kemarin saja waktu Mbak Mega ke sini, pedagang kaki lima enggak boleh jualan. Kenapa mesti begitu? Kenapa tidak dibiarkan saja supaya Mbak Mega melihat kenyataan yang sebenarnya?

Saya pernah ketemu Bu Sinta Nuriyah. Cuma 10 menit di Istana. Dia bilang "Saya prihatin atas kejadian yang menimpa Thukul." Sudah itu saja. Tetapi, saya belum pernah ketemu Mbak Mega. Cuma, kalau dia sampai melupakan peristiwa 27 Juli, berarti ia memang hanya mengejar kursi dan meninggalkan dukungan rakyat dari bawah. Thukul dan banyak orang lain telah menjadi tumbal untuk mengantarkan Mega ke kursinya sekarang. Tetapi, Mega tampaknya lupa pada jalannya dulu. []

Pewawancara: Ardus M Sawega Maria Hartiningsih

Kompas-Minggu, 29 des 2002

0 tanggapan: