Wasiat Wiji Thukul: Lawan!

"Bila rakyat tidak berani mengeluh/itu artinya sudah gawat/dan bila omongan penguasa tidak boleh dibantah/kebenaran pasti terancam.
Apabila usul ditolak tanpa ditimbang/suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: lawan!"



LAWAN! Begitu bunyi kata wasiat seperti terdapat dalam puisi Peringatan karya penyair cerdas dan aktivis Wiji Thukul asal Solo, Jawa Tengah. Di kalangan para demonstran dan aktivis prodemokrasi dan proreformasi, satu kata ini tak ubahnya menjadi semacam slogan yang bisa menggelorakan semangat berjuang untuk demokrasi dan reformasi. Seruan kata yang sama bergaung lagi di Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin Wiji di kompleks Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta, Sabtu (22/7) petang. Hari itu digelar Forum Solidaritas untuk Wiji Thukul dengan tema "Wiji Thukul Pulanglah!" yang merupakan acara lanjutan serupa yang sebelumnya telah digelar di Solo, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta.

Di manakah gerangan Wiji Thukul kini berada? Atau kata penyair Wowok Hesti Prabowo dan Sosiawak Leak, koordinator acara ini, kalau saja benar Wiji Thukul senyatanya telah meninggal atau dibiarkan mati tanpa berita karena sengaja dilibas aparat keamanan, lalu di manakah jasad penyair dan aktivis ini telah dimakamkan?

Sebuah pertanyaan yang tak hanya memancing pilu, tetapi juga memuat gugatan untuk mempersoalkan seberapa besar dan ksatrianya para penculik sastrawan pelo (cedal) ini karena tak mau memberi tahu di manakah penyair asal Kampung Kalangan, Jagalan, Solo ini berada atau telah dimakamkan. Itulah sebabnya ketika istri Wiji Thukul yakni Ny Sipon (33) dan kedua anaknya-Fitri Ngantiwani (11) dan Fajar Merah (7) bersama kelompok Sanggar Suka Banjir-juga meneriakkan gugatan sama melalui lagu dan puisi, cairlah kemarahan mereka dan menjadi butir-butir air mata yang berlinang membasahi sekalian wajah mereka. Tak terkecuali juga para undangan.

[]

BAGI para aktivis dan demonstran prodemokrasi dan proreformasi, nama Wiji Thukul kini seakan telah menjadi sebuah legenda. Wiji adalah simbol sekaligus wujud korban pelanggaran hak-hak asasi manusia (HAM) oleh rezim Orde Baru.

Latar belakangnya sebagai aktivis di kelompok Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker) dan keberpihakannya kepada kaum tertindas telah menyeret penerima Wertheim Encourage Award tahun 1991 dari yayasan Wertheim Stichting Belanda-sastrawan Indonesia kedua setelah "Si Burung Merak" WS Rendra-ke dalam nasib yang tak menentu. Namun, bagi Ny Sipon dan kedua anaknya, nama Wiji Thukul sungguh merupakan sebuah bayang-bayang menakutkan. Bagi orang-orang terdekat ini, Wiji tak hanya membangkitkan rasa rindu tak berkesudahan, tapi trauma.

"Sejak nama suami saya disangkut-pautkan dengan Kerusuhan 27 Juli 1996, saya selalu dihujani teror dari orang-orang tak dikenal yang menanyakan di manakah suami saya. Kini, Mas Wiji sudah tidak ada lagi bersama kami. Namun teror bentuk lain tetap menyergap hati saya, itulah ketidakpastian," tutur Ny Sipon terisak-isak sembari membopong Fajar Merah yang tengah tertidur di pangkuannya.

"Bapak.....Paaaak, pulanglah! Kami, anak-anakmu, sudah amat rindu akan Bapak," sambung Fitri Ngantiwani meraung-raung dalam lolongan tangisan panjang yang memilu hati.

Itulah sebabnya, kriminolog dan aktivis LSM, Mulyana W Kusumah yang menjadi salah satu pembicara usai pergelaran kelompok ngamen ini menyerukan sudah saatnya pemerintah ikut bertanggung jawab atas "hilangnya" Wiji Thukul ini. Begitu pula seruan Wahyu, adik kandung Wiji, yang sempat melakukan kontak telepon terakhir dengan kakaknya sebelum akhirnya Wiji Thukul hilang bak "ditelan" bumi.

Wiji Thukul, segera pulanglah selagi kamu masih hidup! [ryi]

Kompas-Rabu, 26 Juli 2000

0 tanggapan: