AKHIR April 2003, Inul Daratista dicekal Rhoma Irama-kata Rhoma, "Bukan dicekal, tapi diboikot." Seniman Surabaya bangkit. Mereka melakukan demo, mengumpulkan tanda tangan guna mendukung Inul, dan mencari recehan untuk "dana pensiun" untuk Rhoma Irama-lihat Inul Jangan Kecil Hati, Seniman Surabaya Tetap Mendukungmu, Kompas Edisi Jawa Timur (1 Mei 2003, halaman J).
Akan tetapi, apa masalahnya cuma Inul benar dan dirampas hak mencari nafkahnya? Apa itu hanya trik Rhoma Irama untuk memotong popularitas Inul yang menggusur popularitasnya? Sekaligus: apa seni bisa bebas nilai hingga tak bisa diukur dengan pertimbangan norma moral?
Bahkan, Budi Utomo dan Sugeng Gondrong menyelenggarakan pameran lukisan jalanan-lihat Pameran Lukisan untuk Mendukung Inul, Kompas Edisi Jatim (10/5/2003, halaman J). Satu lukisan tentang Inul, bertelanjang di balik kain dan siap kejatuhan mahkota, dengan lelaki tanpa wajah. Meski demikian, kita bisa mempertanyakan kesucian motif memperagakan goyang yang provokatif dari Inul-yang akan disinggung di bawah nanti.
Dua buah lukisan yang sangat tendensius dan bahkan berpihak karena dipamerkan di tepi jalan. Provokatif-meski motifnya mungkin numpang beken dan memancing di air keruh-karena itu menggedorkan kesan mengerikan. Setidaknya bagi yang mengamatinya dari luar yang melihat persoalan pembelaan serta pemihakan yang berlebihan pada Inul dalam konteks yang lebih luas dari sekadar konteks Inul vs Rhoma.
Karena di belakang semua itu ada fenomena (1) seni sedang dibebaskan dari norma apa pun sehingga seni dan seniman memiliki semacam kebebasan absolut yang kebenarannya hanya ada dan berlaku dalam konteks kesenian dan kesenimanan bahkan apa pun jadi benar bila diberi kemasan kesenian dan kesenimanan.
Dan (2) bila ekspresi kesenian itu memasuki ruang publik dan si seniman mendapat konsekuensi finansial dari terjadinya proses apresiasi oleh massa apresiator, maka tak ada seorang pun yang berhak melarang si seniman tersebut untuk berkreasi, berekspresi, dan mendapat nafkah-karena ini menyangkut masalah hak ekonomi mencari.
Di sini alasan hak asasi manusia dari si seniman ditekankan, peduli itu mengabaikan hak asasi manusia dari apresiator lain yang merasa terganggu oleh corak ekspresi si bersangkutan-misalnya keberatan moral, ketersinggungan etik, dan pencederaan rasa susila, dan seterusnya.
Penekanan yang berlebihan pada aspek hak untuk memperoleh nafkah dan perlindungan hukum di dalam mencari nafkah yang jadi acuan bermakna kita jadi tak (pernah) peduli kalau kebebasan berkesenian dan hak dalam kemudahan mencari nafkah itu ternyata mengganggu orang lain-bahkan mencederai privasi dan hak asasi orang lain. Pertanyaannya: Kenapa kita tidak peka akan hal itu?
ADA toleransi yang menyebabkan lahirnya semacam pengagungan pada kebebasan berkesenian dan (hak) kemudahan untuk mencari nafkah. Rasa sungkan, ewuh-pakewuh yang menyebabkan kita senantiasa respek pada apa pun dan siapa pun. Yang menyebabkan kesenian ditampilkan seadanya dan sah dengan mitos tataran kebebasan berekspresi meski konsekuensi harganya (baca: konsekuensi pemenuhan kewajiban si apresiator yang dikondisikan menerima hak mencari nafkah dari si seniman) cuma recehan 100 perak.
Karena aspek kebebasan berkesenian itu menghasilkan fenomena bere-maen-bahasa Sunda, artinya "bila diberi recehan akan berkesenian", termin ironis bagi para seniman keliling di pedalaman Sunda sebelum PD II.
Deviasi sosial yang telah bertahun-tahun mengganggu masyarakat kota. Menyiksa rakyat kecil dalam bus antarkota, dalam bus kota, di warung pinggir jalan, dan di restoran, dan bahkan ketika sesaat mengambil rehat petang di beranda atau di ruang tamu. Rombongan pengamen yang tanpa diundang menyelonong tampil yang tanpa minta izin langsung berkesenian, dan selalu harus langsung diberi imbalan meski cuma recehan.
Di titik itu kita tak tahu lagi yang mana seniman yang berkesenian dengan kesantunan membuat ruang publik resmi dan yang mana seniman "senewen" yang menyodorkan kebebasan berkesenian dalam nampan hal mencari nafkah yang dimanifestasikan jadi kemudahan yang meneror pemirsa yang tidak sedang membangun ruang publik seni.
Kesewenangan dalam berkesenian teror seni dengan motif ekonomi, dan pengagungan seniman yang dimitoskan sebagai yang serba boleh itu telah menggasak kita bertahun-tahun. Dan berhak kita protes? Bukankah kita terkadang sering ketakutan oleh tampilan mereka yang bohemian? Atau telanjur iba karena kebebasan berkesenian menjadi nampan menunjukkan ketakberdayaan dan kepapaan si seniman?
Dan siapa yang membela kita dari teror semacam itu? Adakah pemerintah sebagai pengayom ketertiban hukum, memedulikan kesemena-menaan itu dan melihatnya sebagai penyakit sosial masyarakat urban?
Kealpaan hukum-setelah sanksi sosial, etika dan susila, direduksi oleh kebutuhan akan nafkah-ketiadaan peraturan resmi dan/atau kelemahan aparatur dalam menafsirkan UU menjadi perangkat aturan di lapangan jadi sebab. Sehingga terjadi kesewenangan di dalam penerapan kebebasan berkesenian di satu sisi, sedangkan peneguhan kemudahan dalam mengaplikasikannya ke dalam nampan "hak mencari nafkah" pun terealisasikan mendekati "teror pemaksaan" di sisi lainnya.
Dan bagi saya, dalam beberapa segi. Kecenderungan banyak orang dalam membela Inul Daratista itu ada dalam konteks ini. Dengan pembenaran akan adanya kebebasan berkesenian dan peneguhan pada hak mencari nafkah di tengah masyarakat agraris yang toleran karena tidak terbiasa tegas bersikap.
ADA pergeseran: dari kesenian yang benar di aspek dan konteks seni ke kesenian yang benar di aspek seni dan harus dibenarkan karena ada konsekuensi ekonomi bagi si seniman yang berkesenian. Ada logika kapitalisme di sana. Ada logika pembenaran moral liberalisme dengan mitos laissez falre, laissez aller di sini.
Semacam pemujaan pada otonomi manusia, penentangan pada kekuasaan absolut raja dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan UUD, dan sistem ekonomi yang tidak dicampuri pemerintah. Biarkanlah berbisnis, jangan dicampur tangan kalau sudah ada pembatasan UU dan peraturan, dan lihatlah laba yang diinvestasikan bisa mendorong kemajuan ekonomi, menanggulangi pengangguran, dan berbagi kesejahteraan lewat pajak.
Tidak terlalu mengherankan bila mitos permisif (ekonomi) itu melahirkan goyang yang indah ketika tampil sebagai goyang murni (lihat: iklan obat nyamuk, minuman suplemen bagi lelaki, dan bubuk sirup instan yang dibintangi Inul Daratista), dan menjijikkan saat diaplikasikannya di ruang publik ketika menyanyi menyapa para penggilanya.
Lihat, misalnya, saat menyelewengkan kobong ke bokong di dalam lagi "Anoman Obong", atau saat jongkok dan membuka paha sambil berkata "enggak bisa mulih delok iki tokh ?", atau saat ngebor di atas pemain ecek-ecek (tamborin) yang setelah terbaring telentang. Apa itu aplikasi seni? Atau itu aplikasi erotisme mencari perhatian (lelaki) yang menjadi benar karena mendapat pembenaran oleh mitos kebebasan berkesenian? Dan jadi absolut benar karena dengan itu Inul memperoleh nafkah?
Ada pragmatisme seni di sana. Pragmatisme berdasarkan motif ekonomi dan dibenarkan oleh konsekuensi ekonomi. Pragmatisme yang menyebabkan kita bisa mengeluh kepada seniman Surabaya karena memainkan jabatan Ketua DPRD demi keuntungan finansial, sebab menjadi konglomerat hitam, dan bahkan Robin Hood yang mencuri dari si kaya untuk menyejahterakan si miskin-terlebih bila bisa bermurah hati sebagai hati maecenas.
Tapi, apa kesenian itu cuma alat untuk mengeruk keuntungan ekonomi? Atau media untuk mengetuk empati sehingga kepekaan terbuka? Atau malah untuk…?
BENI SETIA Pengamat budaya
Kompas [Jatim] Sabtu, 24 Mei 2003
One Billion Raising
-
Minggu, 17 Februari 2019
Setiap 14 Februari banyak muda-mudi merayakan Valentine di penjuru dunia.
Di hari yang sama pula segenap elemen masyarakat turun k...
0 tanggapan:
Posting Komentar