Perangko Inul: Wajah Negeri Dangdut

Saat memandangi wajah pahlawan di perangko, timbullah perasaan kagum dan bangga. Terbayang bagaimana kegigihan sang pahlawan ketika perang melawan penjajah, bertaruh nyawa demi kehormatan bangsa. Ada perangko bergambar beraneka-ragam flora dan fauna, mengundang perasaan bangga dan bahkan pada akhirnya juga kekaguman kepada Sang Mahapencipta. Ada juga perangko bergambar bangunan-bangunan bersejarah, tokoh-tokoh budaya, seniman, figur-figur yang bisa diteladani, dan oleh karenanya semua bermuatan pendidikan.


Kini, seiring perubahan status POS Indonesia, tampaknya siapa pun, presiden, bupati, camat, bakul soto, penyanyi, penyair, penyiar, paranormal, bisa nampang di perangko (prisma) dengan membayar sekian rupiah. Strategi demikian, barangkali, ditempuh PT Pos Indonesia agar lebih populer, lebih merakyat, dan pada akhirnya untuk mendapatkan omset lebih.

Teknologi komunikasi akhir-akhir ini tampaknya memang cenderung menjepit PT Pos Indonesia. Vasilitas surat elektronik (e-mail) yang bisa diakses melalui internet, yang hampir boleh dikatakan mengatasi problem ruang dan waktu (hanya dalam hitungan detik surat yang kita kirim bisa sampai pada alamat yang kita tuju), telepon seluler yang juga dilengkapi dengan vasilitas SMS (short masage system) yang murah-meriah, tentu menyedot sekian banyak omset kiriman surat tradisional (lewat pos). Tetapi, benarkah itu semua yang kemudian mendorong diambilnya kebijaksanaan “populer” yang sesungguhnya lebih mencerminkan bahwa PT Pos telah kehabisan akal itu?

Kasus terakhir yang paling menarik untuk dikaji bersama adalah keputusan PT Pos Indonesia (Semarang) mengeluarkan perangko (prisma) seri terbaru dengan memasang Inul Daratista. Seperti yang secara selintas dapat saya ikuti melalui berita pagi Trans TV (Selasa, 27 Mei 2003), alasan dipilihnya Inul adalah karena pe-“ngebor”- asal Pasuruan itu dianggap fenomenal. Selain itu Inul juga dianggap menjadi simbol ketertindasan. Selebihnya, tentu saja, karena pihak Inul membayarkan sejumlah rupiah, karena aturannya adalah: walaupun atas pertimbangan nama baik dan jasa-jasanya belum layak diperangkokan, siapapun bisa diperangkokan asal membayar.

Diskusi ini pun akan menjadi semakin seru jika ternyata Inul --dengan dua pertimbangan (fenomenal dan simbol ketertindasan) itu-- sudah dianggap layak diperangkokan tanpa kompensasi. Kalau bicara soal fenomenal, Amrozi, misalnya, kurang fenomenal apa? Dia hanya warga sebuah kampung di Lamongan, bukan warga kota Surabaya, Jakarta, apalagi New York. Tapi dia bisa merakit bom dengan kekuatan sedahsyat itu. Saya tidak sedang membela Amrozi. Tetapi kalau mau bicara soal simpatisan, siapa bilang Amrozi tidak punya simpatisan? Tentu, mereka yang bersimpati kepada Amrozi adalah mereka yang tidak percaya bahwa Amrozi secara sadar terlibat dalam kasus bom yang merenggut sekian banyak nyawa itu. Tetapi kalau urusan popularitas, secara internasional popularitas Inul tentu kalah jauh oleh popularitas Amrozi. Kalau mau dihitung jumlah yang antipati, benci, atau tidak suka, jangan katakan sedikit orang yang tidak suka kepada Inul, walaupun jumlah simpatisannya mungkin lebih banyak. Ketika ibu-ibu di Jakarta berdemo mendukung Inul, misalnya, ibu-ibu di Probolinggo pun berdemo, dan bahkan tetangga kampung Inul di Pasuruan pun menyeru agar Inul berhenti me-“ngebor”.

Nah, pertimbangan berikutnya, ketertindasan, ini bisa menjadi diskusi yang lebih seru lagi. Bambang Sujiono, seniman senior Surabaya mengatakan bahwa Inul telah dibesarkan oleh musuh-musuhnya. Persis, memang. Pada awalnya, banyak yang meramalkan bahwa usia popularitas Inul hanya tinggal beberapa bulan, dan bahkan beberapa pekan saja, ketika kemudian tiba-tiba MUI pun ikut bicara soal Inul. Lalu beberapa daerah mencekalnya, dan akhirnya tokoh sekaliber Gus Dur pun ikut bicara. Ketika urusan cekal-mencekal reda mendadak Inul dicekel (Jw: dipegang) dan bahkan melesak ke dalam pelukan Taufik Kiemas. Isu Inul dan pelukan Mr. President pun reda, dan kemudian ganti Rhoma Irama yang mengguyurkan bahan bakar untuk makin membarakan pembicaraan mengenai Inul. Dari rangkaian peristiwa yang dialami Inul itu, terlihat nyata bahwa Inul justru mendapat berkah dari pihak-pihak yang menggempurnya. Ya, mirip-mirip Partai PDI (kemudian jadi PDIP) yang melipatgandakan jumlah simpatisannya ketika dikuya-kuya (selalu disakiti) rezim Orde Baru-lah. Nah, seandainya tidak ada yang “menyakiti” Inul secara alamiah, bisa saja lho, direkayasa sehingga seolah-olah ada yang menyakiti! Yang begitu-begitu tentu ada rumusnya di dunia entertain. Seperti dua petinju yang bisa saja direkayasa agar berantem ketika acara timbang badan (sebelum naik ring), untuk memperlaris tiket pertandingannya.

Dengan keluarnya perangko seri Inul itu tampaknya pihak PT Pos Indonesia (Semarang) merasa bangga karena pemesannya tidak hanya berasal dari dalam negeri, tetapi juga dari negara-negara Malaysia, Jepang, Belanda. Ada satu hal penting yang tampaknya tidak disadari, yaitu bahwa pro-kontra seputar Inulitas yang berkembang selama ini justru menjadi cermin bahwa tidak semua warga masyarakat kita menyukai Inul. Sebenarnya PT Pos bisa saja berkilah bahwa mereka yang tidak suka Inul ya belilah perangko bergambar lain, gambar monyet atau sapi, misalnya. Maka, tunggulah, sebentar lagi tampaknya akan beredar perangko seri terbaru dengan gambar lambang partai. Bukankah memerangkokan lambang partai merupakan cara beriklan yang sangat bergengsi?

Tetapi, sebenarnya berapakah jumlah pembeli perangko yang membeli karena gambarnya dan hanya untuk koleklsi saja? Artinya kalau diparalelkan dengan orang yang hendak mengirimkan surat lewat jasa pos, sebenarnya tak ada dampaknya, apakah perangkonya digambari kecoak atau tikus, jidat atau pantat. Dengan demikian, terus berupaya meningkatkan mutu pelayanan adalah cara terbaik yang mestinya ditempuh PT Pos Indonesia, dan tidak begitu ada manfaatnya ikut-ikutan selera massa.

Tak tahulah. Tetapi, kini citra mengenai perangko keluaran Indonesia yang kokoh berpuluh tahun di dalam benak saya rontok begitu saja. Seandainya saya jadi Presiden Megawati, hari ini juga akan saya panggil Kepala PT Pos Indonesia (Semarang) itu, saya beritahu bahwa dia benar-benar nranyak (kurang ajar), menyejajarkan presidennya dengan Inul. Lalu kata saya, “Cepat tarik dari peredaran itu perangko Inul, atau perangko gambar saya yang anda tarik dari peredaran!”

Ah, mungkin itu juga berlebihan. Lha, wong aturannya memang begitu, siapapun yang bisa membayar sesuai ketentuan bisa diperangkokan! Tetapi, setidak-tidaknya kebijaksanaan itu harus diyakini akan berdampak kurang baik bagi pendidikan generasi muda. Bukankah dengan demikian negara ini telah mengajari generasi muda bahwa apapun bisa dibeli di negeri ini (termasuk kehormatan atau harga diri)? Itu bukanlah pelajaran yang baik. Sistem pendidikan (formal) sudah tak karuan juntrungannya, UU Sisdiknas juga hanya memancing keributan, PT Pos Indonesia menambahnya dengan kebijaksanaan yang tidak mendidik pula.

Akhudiat berkata, “Indonesia berdangdut.” Benar sekali. Tapi, menurut saya sedikit kurang mantap. Lebih tepatnya, negeri kita ini telah jadi negeri dangdut: suka bergoyang, cengeng, kenes, dan genit! []

Bonari

Dari Surabaya News

0 tanggapan: