minet_minel@yahoo.com
tulisanku memang nggak terlalu banyak, bagiku menulis itu adalah sebuah aktivitas yang bermanfaat bagi kejiwaan, mengontrol emosi sehingga tidak harus teriak
sana teriak sini untuk cari teman curhat atau sekedar menampung cerita kita.
Dan menurutku penulis sejati tidak akan disibukkan dengan hanya mencari nama apa
yang tepat bagi dirinya, entah itu sastrawan/wati, cerpenis atau entah apa namanya. Yang jelas ia akan sibuk berkarya, berkarya & terus berkarya. Karena ia hanya ingin berkarya, & yang menilai adalah orang lain, apabila karyanya semakin berkualitas & berkarakter tentu orang lainpun akan menilai dengan baik. Jadi teman-teman tidak usah risau dengan nama karya sastra kita ini, sastra BABU kek... lagian siapa sich yang memulai memberi nama sastra BABU ini? Kalau itu non babu, kita bisa maklum, betapa sempitnya memandang kita, padahal kalau disadari ada seribu cerita ada pada diri kita, yang tentu saja tidak dimiliki oleh sembarang orang.
Yang muslim pasti selalu ingat,CARILAH ILMU WALAU SAMPAI KENEGRI CHINA kayaknya bunyinya kurang lebih begitu. Dan carilah uang sampai ke negri HK. Nah kan, disamping kita mendapatkan ilmu, pengetahuan, pengalaman, juga masih
mendapatkan uang. Jadi kita tidak usah berkecil hati, kalau mereka tidak mungkir tentu mereka berani menilai sesuai dengan fakta.
Paling tidak menyebut kita sebagai pekerja migran, untuk karya sastra tentu sama
dengan yang masih tinggal di Indonesia toh kita juga menggunakan bahasa ibu, bukan bahasa babu. Lagian kita merantau hanya sementara waktu, setelah pulang berbaur
kembali dengan masyarakat. Dan menjadi bagian dari mereka.
Apakah setelah itu karya kita disebut sastra mantan babu? Ironis sekali.
--- kossakata@yahoogrou ps.com
yaah..mau nulis, nulis saja. yang menulis bukan profesinya kan..tapi jiwa-nya kalau sastra-seni itu bisa ngomong, mungkin dia akan bilang bahwa dia tidak mengenal genre atau apa lain- lainlah sebagai sebutannya. Karena sastra bagiku sebagai bahasa batiniah secara universal. dia tak akan membeda-mbedakan status sosial seseorang. orang nya saja yang suku membeda-mbedakan strata sosial. Jadi menurutku, menulis dengan jiwa saja. Tidak usah mikirin genre atau apa2 lainnya.
terakhir salam satra..
Shafitri
(seorang pecinta seni-sastra)
DARI SINI
0 tanggapan:
Posting Komentar